Postingan

Menampilkan postingan dari Maret, 2008
Without question, the problem of evil vexed Leibniz as much as any philosophical problem during his career. This is obvious from the fact that the first and the last book length works that he authored, the Philosopher's Confession (written at age 26 in 1672) and the Theodicy (written in 1709, seven years before his death) were both devoted to this problem. It is, as well, equally striking that this latter work was the only book length treatise Leibniz saw fit to publish during his life. In this entry we will examine to two main species of the problem of evil which Leibniz addresses. The first, "the underachiver problem," is the one raised by the critic who argues that the evil in our world indicates that God cannot be as knowledgeable, powerful, or good, as traditional monotheists have claimed. The second, "the holiness problem," is one raised by a critic who argues that God's intimate causal entanglements with the world make God the cause of evil. God is th
Jadi yang dibicarakan essensi (mahiyah) itu hanyalah misdaq, sample ny saja, menurut prinsip ashalatul wujud, wujud itu dicerap tanpa bantuan lain, sementara esensi , pertama harus di ketahui dulu (to be known) dsb, jadi yang ashil itu adalah wujud. self-evident jadi prinsip sendiri (foundation), dalam bahasa filsafat itu selalu why, causa-effect, why, dalam irfan itu adalah keniscayaan Dan tidak ditanyakan.
Apalagi untuk fana, menghancurkan ruh dengan Allah,menghancurkan material corporeal dengan kemiskinan, penderitaan,kelaparan, ketertekanan saja belum siap? a pa yang dikhawatirkannya adalah urusan abdominal? survive? tidak ada yang lebih fatal selain memikirkan ego dan ego? seluruh kesedihan adalah ketidak berdayaan di hadapan kenyataan yang semakin menggiris perasaan? Melayani manusia adalah misi para nabi, tetapi misi itu terabaikan oleh para pewarisnya. naif memang, para pewaris terlalu sibuk dengan kosmetika, penampilan dan lupa dengan derita awam. Orang pintar juga suka bernalar jahil, kebenaran bak permata, siapa penemu pertama langsung eforia, menjerit-jerit teologis, padahal hakikat selalu santun, tolerans, mendidik, beradab, indah dan lezat, tapi hakikat di tangan manusia jahil menusuk hati orang lain. islam adalah kebenaran tapi sang penemu telah termakan oleh takaburnya, dari islam muncul sekte-sekte, mazhab-mazbab yang tidak disikapi dengan arif karena orang yang pintar te

catatan kuliah jumat 14-3-08

wujud dan mahiyah, mahiyah masdar ja'li (shinai), mahiyah itu ada dua pengertian 1: jawaban atas pertanyaan apa itu, 2. itu sendiri, tanpa harus tahu atributnya. existence itu ada 3 arti 1. verb 2. isim masdar, 3.? tema-tema untuk tesis 1. unity and multiplicity dalam pandangan ibnu sina dan syuhrawardi, 2. filsafat pendidikan menurut maulawi 3. konsep jauhar dalam filsafat peripatetik dan hikmah muta'aliyah. 4. analisa dan kritik atas teori koresponden terhadap kebenaran
Sebuah kebudayaan atau peradaban memiliki sejarahnya sendiri-sendiri untuk bangkit dan berkembang. Namun, suatu peradaban tidak mungkin lahir dan berkembang tanpa bersentuhan dengan kebudayaan lain dan saling meminjam. Proses pinjam meminjam antar kebudayaan hanya bisa terjadi jika masing-masing kebudayaan memiliki mekanismenya sendiri-sendiri. Pada umumnya sarjana Barat modern membagi sejarah Barat (Eropah) menjadi zaman kuno, zaman pertengahan dan zaman modern. Yang kuno dibagi menjadi Yunani dan Romawi. Zaman Pertengahan dikelompokkan menjadi zaman Kristen awal, transisi dari kuno ke Pertengahan dan Pencerahan. [1] Ini berarti bahwa akar zaman modern adalah Yunani, Romawi dan Abad Pertengahan. Akan tetapi para sejarawan Barat berbeda pendapat mengenai asal usul kebudayaan mereka. Perbedaan itu meruncing ketika para sejarawan berpegang pada ilmu sebagai akar kebudayaan. Artinya, sebuah kebudayaan atau peradaban akan lahir dan berkembang seiring dengan perkembangan konsep-konsep

artikel lutfi assyaukani

Tampaknya gerakan kebangkitan filsafat dalam diskursus intelektual Arab kontemporer (dan juga modern) berada pada margin pembahasan. Padahal topik yang satu ini begitu penting porsinya dalam mengilhami isu-isu intelektual dan ilmiah dalam keseluruhan wacana Arab kontemporer. Bisa dipastikan hampir seluruh pemikir modern Arab yang mempunyai ide-ide cemerlang berlatar belakang akademis filsafat yang kuat, lihatlah Rifa’ah Tahtawi dan Mushthafa ‘Abd al-Raziq di masa awal kebangkitan Arab, dan pada era sekarang Hassan Hanafi, Mohammed Arkoun dan Mohammed Abid Jabiri, semuanya jebolan fakultas filsafat. Kalau kemudian filsafat begitu dianaktirikan atau tidak menjadi mainstream seperti pada masa kejayaan bangsa Arab dulu itu disebabkan banyak faktor. Di antaranya, tradisi filsafat dalam dunia Islam, setelah mengalami pertarungan panjang dengan otoritas agama, mengalami stagnasi yang serius. Sudah lumrah diketahui bahwa dalam masa yang lumayan panjang, tradisi filsafat tidak lagi diajarkan