al-Jamiilu wa al-Jaliilu;
Purnama dan Mentari
mahapurnama sejuk dalam gulita
dan perahu kecapi berdentingan di samudra, pasang
serakmentari panas dalam benderang
debupun berkeringan,
nirwana,nirwana, nirwana
bibir merah Layla yang memabukkan Qays
neraka, siksaan, api-Nya
memerih rindu Qays pada bibir merah Layla
jika kau terbang menembus awan, kau tak bisa bernafas
jika kau masuk menembus bumi, kau tak bisa bernafas
diam ! duduk merunduk di tanah,paru-parupun berdetakan bernafasan
KeCantikan-Nya bak surya yang lebih nikmat dipandang dalam purnama
Innalloohal jamiil yuhibuul jamaal. Sesungguhnya Allah itu Indah dan mencintai Yang Indah. Pada saat semua yang ada, - yang tidak lain adalah Nama-Nama-Nya -, melihat ke arah wujud-Nya Yang Sejati, inilah yang disebut dengan tatapan husn (keindahan). Dan pada saat gelora samudera Nama-Nama-Nya ini teringat akan quadrilliun quadrilliun quadrilliun ... (baca; takhingga) Nama-Nama-Nya Yang belum termanifestasikan, maka ia akan menghantam karang-karang keras wujud yang tak terpecahkan oleh apapun, - yaitu Ash-Shomad -, dengan tatapan huzn (kesedihan).
Husn memanifestasikan dirinya melalui fakultas imajinatif ar-roja`, yang dengannya Allah senantiasa menatap KeIndahan dan KeCantikan Wajah-Nya melalui hati hamba-Nya dengan hati yang penuh syukur, maka Engkaulah Itu Yaa Rahmanusy-Syakuur. Huzn memanifestasikan dirinya melalui fakultas al-khouf, yang dengannya Ia senantiasa menatap KePerkasaan-Nya dan yang dengannya Allah senantiasa meratapi Kesedihan-Nya Yang Tiada Terbatas. Maka, hati mukmin-lah yang dapat menyatukan Nama Allah Al-Jamiil dan Al-Jaliil dengan ar-roja` dan al-khouf. Maka Allah berfirman dalam sebuah hadits qudsi; “Sesungguhnya bumi dan langit tidak mampu menerima-Ku, kecuali hati seorang mu`min, hamba-Ku, dialah yang mampu”[1] Maka, sungguh inti Keindahan adalah wujud-Nya, yang tiada lain adalah Kesempurnaan itu sendiri. Dan, inti Kesedihan adalah Pengetahuan Tuhan akan diriNya sendiri, Dia-lah Ketunggalan Yang Memustikan Kejamakan. Dalam bahasa filsafat, KeIndahan adalah identitas. Sedang, Kesedihan yang mahamenyakitkan adalah kontradiksi. Perhatikan jeritan seorang penyair yang mengaung-ngaung dalam khayal filsafatnya ini;
Ia arungi samudera Keberadaan-Nya sendiri,
dengan sampan-sampan bertuliskan safiinatun-najah
Ia arungi samudera Keberadaan-Nya sendiri menunjukkan prinsip identitas Semesta, tapi dalam sampan-sampan, yang jamak, bertuliskan safiinatun-najah (bahtera keselamatan), yang menunjukkan prinsip kontradiksi kemudian diakhiri kembali dengan prinsip identitas wujud.Adakah KeCantikan-Nya Yang melebihi Identitas Wujud-Nya ? Sungguh pasti Ia mencintai diri-Nya sendiri, Ia mengasihi diri-Nya sendiri, Ia memuji diri-Nya sendiri, ...., Ia meng-Iakan Ia sendiri,
Hakikat Ke-Unik-an,- KeTunggalan dan Kesendirian-, -Nya Yang Azali adalah haibah samudera Jalaliyyah-Nya yang tiada terkira Kesendirian Yang Maha Sendiri. Dalam Kesendirian-Nya Yang ‘Azali ini Nama-Nama-Nya bak bangunan-bangunan yang diremuk-debukan oleh puting beliung taufan Fujita-5.[2] Telah diriwayatkan bahwa Rasulullah SAW bersabda; “Sesungguhnya Allah mempunyai tujuh puluh ribu hijab dari cahaya dan kegelapan, kalau saja Dia membukanya, kesucian wajhNya akan membakar semua yang DilihatNya, dari makhluk-makhlukNya. “[3]
konon Ia bak gadis berbibir-merah merekah
namun tak pernah ada satria bersimbah bibir merah-Nya
konon Ia bak Layla atau Syirin, atau Syirin
namun tak pernah ada Majnun atau Khusrauw, atau Khusrauw
Benarlah kata Guru kita YM, Hajj Mulla Hadiy Sabzavary, kontradiksi dapat dihilangkan pada tingkat tertentu[4] “Kontradiksi” wujud-nya pada tingkat tersebut adalah negasi sesuatu “yang dibatasi”, dan bukan suatu negasi yang “dibatasi”.[5] Sebagai contoh “tubuh” sebagai “quiditas atau mahiyyah” bisa tidak hitam tidak pula tidak hitam. Maka, hakikat Tuhan qua hakikat Tuhan, dalam Samudera Nama-Nama-Nya qua Nama-Nama-Nya, mungkin ada dan tidak ada sekaligus. Mungkin tunggal dan jamak sekaligus. Mungkin lahir dan batin sekaligus. Mungkin awal dan akhir sekaligus. Maka dikatakan Dia-lah al-wahdah fi al-katsrah, dan al-katsrah fi al-wahdah. Dan Dia-lah azh-zhaahiru wa al-baathinu, wa al-awwalu wa al-aakhiru. Tentang hakikat Tuhan adalah Tunggal dan Jamak sekaligus, mungkin dapat diibarati dari ayat “Qul ud’ullooha awid’ur-rohmaan ...”[6] (Katakanlah, “Serulah Allah atau serulah ar-Rahman).
Doktor Sony Yuliar, Maha Guru kita semua mengatakan,
dalam alam bahasa, dapatkah kau katakan apakah cangkir itu?
dalam alam ke-apa-an, dapatkah kau tunjukkan apakah hakikat hidup dan mati?
aku hidup dan mati sekaligus, dalam samudera keapaan
Bukankah keapaan selalu berakhir dengan hakikat tanda-tanya ?
Maka kukatakan pada beliau YM;
samudera keapaan hanyalah perumpamaan
Tuhan bak kupu-kupu yang ingin beterbangan meresapi KeIndahan
samudera keberadaan adalah Kenyataan
Tuhan bermuram-durja dalam kesedihannya, itulah saripati al-jalal
Maka apakah kontradiksi yang sebenarnya? Satu-satunya kontradiksi yang benar-benar kontradiksi, -sehingga mustahil adanya-, adalah kontradiksi dalam taraf wujud itu sendiri sebagaimana adanya dalam kenyataanya. Kontradiksi dalam taraf wujud murni, - yang belum tersifati oleh akal siapapun, penglihatan siapapun, yang belum tertuliskan oleh kitab apapun, yang tidak mungkin dipahami oleh akal-, tidak mungkin atau mustahil. Dan wujud inilah , kesangathakikatan dari Tuhan yang bahkan tidak bisa disebut hakikat lagi karena tak bisa disifatkan ke-qua-an apapun, atau apa-ditas apapun, atau mahiyyah apapun pada-Nya, subhaanalloohi ‘amma yashifuun. Maka, Maha Suci - lah Ia Yang Menyaksikan Keindahan Wujud-Nya dengan Wujud-Nya Sendiri. Dikaulah Asy-Syahiidu Al-Jamiilu Ar-Rohmaanu Ar-Rohiimu. Jadi apakah mungkin sesuatu itu sekaligus cangkir dan bukan cangkir ? Apakah mungkin sesuatu itu sekaligus Tuhan dan bukan Tuhan ? Apakah mungkin sesuatu itu manis dan bukan manis sekaligus ? Kebenaran jawaban dalam masalah ini adalah; mungkin, dalam taraf quiditasnya yang murni. Tapi dalam realitas wujudiyah-nya, wujud adalah wujud dan tidak ada selain wujud sehingga mustahil (bahkan; tidak pernah ada) kontradiksi apapun. Duhai Keindahan Hakiki ! Maka al-jaliilu tenggelam di dalam al-jamiil, tapi al-jamiil memustikan munculnya al-jaliil, maka mungkin itu adalah alasan bagi sebagian sufi mempercayai bahwa hakikat huruf “Jim” dalam bahasa arab adalah al-jamiilu.[7] Dan bukankah putus harapan akan rahmat Allah, - yang menjadi akibat dari pemisahan sifat-sifat Jalaliyyah - Nya atas hakikatnya yang Indah-, adalah salah satu dosa yang paling besar setelah syirik? Yaa ayyuhalladziina asrofuu ‘alaa anfusihim laa taqnathuu min rohmatillah, innallooha yaghfirudz-dzunuuba jamii’a, innahu huwal-ghofuurur-rohiim (Wahai orang-orang yang berbuat berlebihan atas dirinya, janganlah berputus asa akan rahmat Allah, sesungguhnya Ia mengampuni semua dosa, dan sesungguhnya Ia Maha Pengampun dan Maha Pengasih) [8]
Maka tidak ada kontradiksi apapun antara al-Jamiil dengan al-Jaliil , karena dalam realitas wujudiyah-nya keduanya adalah Wujud Yang Satu. Manakala dalam samudra khayalan-Nya atas diri-Nya, Ia terjebak dalam “kontradiksi” terhadap diri-Nya sendiri[9] maka Ia-lah al-jaliil, KeTunggalan akan meremukkan seluruh “kontradiksi” tersebut ke dalam KeSendirianNya Yang Azali. Manakala dalam Ia menatap lurus pada Zat-Nya sendiri, maka Ia akan selalu melihat KeCantikan dan
Maka Dia-lah Al-Jamiilul-Hayyu, Yang Kecantikan-Nya berubah-ubah terus menerus sehingga perubahannya memestikan termanifestasikannya Al-Jaliilul-Hayyu. Maka hati mu`min yang hidup adalah manifestasi pergerakan Al-Jamiil Al-Jaliil Al-Jamiil Al-Jaliil Al-Jamiil ..... dengan al-basth (baca pula; kelapangan, atau harapan) dan al-qobdh (baca; kesempitan, atau takut) terus-menerus.[11] Maka seimbangnya rasa takut (al-khouf) dan harap (ar-roja`) menjadi satu ciri mu`min. Telah diriwayatkan, “ .... Abu Abdillah menambahkan: ‘Ayahku berkata, “Tak ada mu`min yang tak memiliki dua cahaya dalam hatinya: cahaya rasa takut dan cahaya pengharapan. Jika yang satu diukur, maka ia tak akan melebihi yag lainnya; dan jika yang lain diukur, maka ia tak akan melebihi yang satu ini” ‘ “[12]
Menyatunya rasa takut akan Keagungan Kekasih dan rasa takjub Keindahan Kekasih dalam al-khouf dan ar-roja` ini demikian indah diungkapkan oleh Maulana Rumi;
Raja telah datang, raja telah datang; potong jari-jarimu, puji si tampan dari Kana’an
Karena jiwa dari segala jiwa telah datang, mengapa kita mesti bertanya tentang jiwa lagi; tidakkah dengan kehadirannya jiwa kita akan dipelihara sebagai korban?
Tanpa cinta aku telah menjadi orang sesat jalan; cinta sekonyong-konyong datang
Mula-mula aku ini gunung, kemudian berubah jadi jerami makanan kuda sang raja[13]
Sungguh , Aku bersaksi bahwa dialah Al-Jamiil, al-jam’u baynal-jamiil wal-jalaal. Tentang dialektika cinta oleh sang hamba dalam alunan rasa antara Ia yang Jalaal dan tak mungkin dikenali, dan Ia yang Jamaal dan memanifestasikan diri, Ibn ‘Arabi mengatakan: “Kita dapat memisalkanNya dan mengambilNya sebagai obyek perenungan, tidak hanya dalam hati kita yang terdalam tapi juga pada mata kita dan imajinasi kita, seolah kita melihat-Ny, atau lebih baik lagi, sehingga kita benar-benar melihat-Nya”[14] Manifestasi terbesar Jalaliyyah Allah di depan para Kekasih-Nya adalah ketersembunyian-Nya yang azali dalam Nama Al-Munfarid. Dan KeIndahan atau Jamaliyyah Allah satu-satunya di depan mereka adalah menatap wajah-Nya dalam rumah persatuan. Ini nampak dengan rintihan Imam ‘Ali bin Abi Thalib (‘a.s.); Shobartu ‘ala ‘adzaabika fakaifa ashbiru ‘alaa firaaqik. Wa habnii shobartu ‘ala hari naarika fakaifa ashbiru ‘anin-nazhori ilaa karoomatik. Maka, Yaa Allah, sempurnakanlah Keindahan-Mu dalam hatiku dengan tatapan ke wajah-Mu , ke-wajah-Mu dan ke-wajah-Mu. Bihurmati Muhammadin wa aalihith-thoohiriina.
wallohu a’lam bish-showab
Komentar