payan namehterakhir
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Kuntowijoyo pernah mengeluhkan mengenai kenyataan berubahnya sistem sosial manusia saat ini. Menurutnya, sistem sosial kebebasan manusia telah digantikan dengan mekanisasi manusia lewat industrialisasi dan teknologi. Manusia hanyalah dipakai sebagai bagian dan pelengkap dari mesin. Ia berada pada bayang-bayang alienasi industrialisasi yang membawa manusia terpuruk pada tipe “perbudakan” baru, “perbudakan mesin”. Itulah masyarakat yang kita sebut sebagai “masyarakat kapitalistik”. Di dalam masyarakat kapitalistik, manusia hanya menjadi elemen dari pasar. Dalam masyarakat seperti itu, kualitas kerja dan bahkan kualitas kemanusiaan itu sendiri, ditentukan oleh pasar.[1]
Selain itu, kenyataan lainnya, seperti banyak dikemukakan oleh banyak ahli yang menanggapi perkembangan dunia modern saat ini,[2] bahwa sebagai akibat dari kemajuan teknologi dan informasi, jiwa manusia banyak mengalami gangguan psikologis seperti keresahan jiwa, hipokretisme baru--yakni menduakan kepribadian diri sendiri, di satu sisi sebagai hamba dunia (teknologi) dan di sisi lain sebagai hamba Tuhan, yang keduanya sangat dominan dalam diri setiap manusia--kejenuhan dalam mengejar ambisi yang tidak pernah berhenti, serta banyak lagi penyakit manusia modern lainnya. Demikian pula kejahatan yang kian merajalela dan telah dikemas sedemikian rupa sehingga menyerupai “kebijaksanaan sejati”: pembunuhan di mana-mana, penindasan terhadap kaum tertindas sudah menjadi hiburan, dan mencuri telah menjadi kewajiban.
Untuk mengatasi problema kehidupan manusia modern di atas, para ahli telah merumuskan akar dari permasalahan tersebut sesuai dengan bidangnya. Jika dalam filsafat dikembangkan teori-teori tentang teosofi yang mengakomodasi dua kutub kebijaksanaan, yaitu kebijaksanaan rasional di satu sisi, dan kebijaksanaan transendental di sisi lain,[3] maka di bidang dakwah pun banyak dikembangkan teori-teori dengan tujuan yang sama, seperti teori dakwah profetik,[4] teori e-dakwah,[5] teori dakwah kultural,[6] dan peruntuhan (dekonstruksi) teori-teori dakwah lama yang dinilai memberikan sumbangan pada suburnya gerakan teroris.[7]
Mengenai perkembangan dalam dunia dakwah, Alawiyyah menyebutkan, bahwa dakwah bukan hanya kebutuhan manusia secara individual tetapi juga kebutuhan manusia secara universal, bukan hanya kebutuhan negeri-negeri Islam tetapi juga dunia secara keseluruhan. Kebutuhan manusia terhadap dakwah berhubungan dengan kehidupan sekarang yang semakin penuh dengan pilihan-pilihan (sebagai akibat dari gelombang demokratisasi), dan meningkatnya kecendrungan permisif dan hedonisme (sebagai akibat dari interdependesi pasar dan materialisme global) serta semakin banyaknya paradoks kehidupan dan sulitnya memegang monopoli kebenaran (sebagai akibat dari revolusi ilmu pengetahuan).[8]
Pentingnya dakwah dalam kehidupan manusia mengisyaratkan pentingnya berbagai kajian dan pengayaan literatur yang terkait dengan disiplin ilmu dakwah. Ilmu dakwah harus berkembang sesuai dengan tuntutan zaman yang berlaku di setiap zaman yang tentunya berbeda dari setiap waktu dan tempat. Sudah waktunya umat Islam untuk lebih terbuka dalam mengkaji secara komprehensif literatur-literatur ilmu dakwah maupun ilmu-ilmu keislaman lainnya tanpa didasari adanya fanatisme madzhab, golongan, aliran pemikiran, ras maupun bangsa. Karena dakwah menyangkut kemaslahatan manusia secara universal, maka dasar pemikirannya harus juga bersifat universal. Ia tidak memandang sekat-sekat golongan maupun bangsa. Dakwah harus dapat menembus semua itu. Oleh karena itu, semangat untuk menggali pemikiran-pemikiran dan metode-metode baru untuk kegiatan dakwah harus pula dilandasi dengan semangat "menjaga yang lama yang masih relevan dan mengambil yang baru yang lebih baik".[9]
Berbicara tentang konsep dakwah Islam tidak bisa terlepas dari sumber ajaran Islam itu sendiri, dikarenakan dakwah Islam diartikan sebagai penyampaian nilai-nilai Islam, sehingga pemahaman terhadap sumber-sumber ajaran Islam merupakan hal yang wajib dilakukan oleh seorang da’i. Sumber ajaran Islam yang utama adalah Al-Qur’an sebagai wahyu yang diturunkan oleh Allah Swt untuk menuntun umat manusia dalam mencapai tujuan hidupnya.[10] Setiap pemikir dan ulama di setiap masa sesuai dengan kapasitasnya masing-masing berupaya untuk memahami kandungan al-Qur’an.
Upaya menelusuri isi al-Qur’an dan menyingkap kandungan serta intinya inilah yang disebut tafsir.[11] Tafsir al-Qur’an dari masa ke masa mengalami perubahan dan perkembangan dan tak akan habis atau mengalami kepunahan. Setiap mufasir pendatang baru pasti menemukan sesuatu yang baru dalam al-Qur’an, masing-masing dari mereka menafsirkan al-Qur’an sesuai dengan bidang spesialisasinya; jika ia seorang teolog maka corak tafsirnya lebih didominasi oleh pembahasan teologi; demikian juga bila ia seorang ahli fiqh, sastra, filsafat, tasawuf atau hadis bahkan sering pula dipengaruhi oleh pemikiran-pemikiran yang sebelumnya telah ia yakini, sehingga bukan lagi penafsiran al-Qur’an yang kita dapati tetapi pemaksaan terhadap al-Qur’an agar sesuai dengan keyakinan sang mufasir, bukannya ia bertanya pada al-Qur’an apa yang diinginkan oleh al-Qur’an. Inilah yang diistilahkan oleh Thaba’thabai dalam al-Mizan sebagai tahmil bukan tafsir.[12] Atau dengan kata lain, mufasir datang kepada al-Qur’an untuk mencari jawaban terhadap pertanyaan: apa yang dikatakan oleh al-Qur’an tentang tema ini? Bukan menjawab pertanyaan: bagaimana pendapatnya sebagai pengikut mazhab anu?[13]
Dengan demikian, dari prolog di atas, terlihat bahwa antara dakwah dan tafsir memiliki saling keterkaitan satu sama lain, di satu sisi dakwah tidak bisa terlepas dari tafsir (cara pemahaman terhadap al-Qur’an), dan di sisi lain al-Qur’an pun memerintahkan untuk berdakwah.[14] Berdasarkan latar belakang inilah penulis melakukan penelitian dengan tujuan untuk menelusuri keterkaitan antara dakwah dan tafsir dengan fokus tokoh pada mufassir abad kontemporer, yaitu Muhsin Qira’ati, mufassir Iran yang memiliki metode khas dalam menafsirkan al-Qur’an.
Qiraati adalah pakar dalam ilmu-ilmu tradisional Islam termasuk juga dalam ilmu tafsir. Ia pendakwah sukses yang mampu menyampaikan Islam untuk segala kalangan dengan cara yang gampang dicerna serta menyentuh realita keseharian Padahal hampir seluruh tema-temanya tidak lepas dari rujukan-rujukan ayat-ayat al-Quran.
Qiraati tidak saja seorang ulama yang menjulang di negeri sendiri tapi juga memiliki kiprah di beberapa negeri Islam baik lewat kuliah-kuliahnya secara langsung di depan khalayak ramai yang selalu menyedot perhatian berbagai kalangan akademis seperti yang ditulis tentang pengalamannya di Pakistan atau lewat karya-karya yang cukup melimpah. Sebagai penulis prolific ia memiliki tulisan-tulisan yang enak dibaca. Kelebihan lain ditunjang juga oleh kepiawaiannya dalam berkomunitas baik secara verbal dan non verbal.
Kemampuan menggali gaya berpikir al-Quran itulah yang sangat menggugah kesadaran emosional dan spiritual audience dan juga komunitas yang hadir dalam kuliah-kuliah tafsirnya. Setiap orang akan tercengkram dengan ketajaman penalaran dan tafsirannya atas ayat-ayat yang sebenarnya sering menyapa setiap umat dan mubalig – yang sayangnya tidak setiap orang memiliki kapasitas untuk membaca gaya berpikir ayat-ayat al-Quran. Ia tidak hanya sekedar merujuk pada tafsiran-tafsiran tradisional dan menerima bulat-bulat penafsiran yang konvensional tapi juga pada perspektif lain yang lebih membangunkan kesadaran moral.
Berdasarkan hal tersebut, maka dalam penelitian ini penulis bermaksud melakukan penelitian lebih lanjut mengenai metoda[u1] tafsir Qira’ati dan kontribusinya terhadap perkembangan ilmu dakwah.
B. Fokus Penelitian
Berdasarkan latar belakang di atas, dalam penelitian ini penulis akan memfokuskan pembahasan pada metode tafsir Qira’ati dan kontribusinya terhadap perkembangan ilmu dakwah.
C[u2] . Rumusan Masalah Penelitian
Bagaimana metode tafsir yang dikembangkan oleh Qira’ati?
Bagaimana perkembangan ilmu dakwah?
Bagaimana kontribusi metode tafsir Qira’ati terhadap perkembangan ilmu dakwah?
D. Tujuan Penelitian
Sesuai dengan perumusan masalah di atas, maka penelitian ini bertujuan untuk :
1. Mengetahui metode tafsir yang dikembangkan oleh Qira’ati.
2. Mengetahui perkembangan ilmu dakwah.
3. Mengetahui kontribusi metode tafsir Qira’ati terhadap perkembangan ilmu dakwah.
E. Kegunaan Penelitian
Penelitian ini diharapkan dapat memiliki nilai signifikansi secara akademis, sosial, dan praktis.
1. Kegunaan Ilmiah
Berupaya memberikan kontribusi yang bermanfaat bagi perkembangan ilmu dakwah khususnya memberikan kontribusi sisi lain dari konsep dakwah yang dilahirkan dari tokoh Muhsin Qiraati.
2. Kegunaan Praktis
a. Memberikan informasi bagi masyarakat mengenai metode tafsir Qiraati dan kontribusinya terhadap perkembangan ilmu dakwah yang menggabungkan antara tafsir dan dakwah.
b. Sebagai bahan informasi dan referensi bagi penelitian selanjutnya yang akan meneliti mengenai konsep dakwah atau metode tafsir Muhsin Qiraati.
c. Rujukan bagi aktifitis dakwah
d. Bahan studi ilmiah untuk institusi-institusi dakwah
e. Untuk yayasan sebagai literatur dakwah
f. Bagi para mubalig, penelitian ini diharapkan dapat bermanfaat dalam menambah wawasan baru mengenai keterkaitan metode tafsir dengan metoda dakwah
g. Bagi institusi dakwah, penelitian ini juga diharapkan dapat bermanfaat sebagai referensi dalam merumuskan metode dakwah alternatif.
Bab II
KAJIAN PUSTAKA DAN KERANGKA PEMIKIRAN
A. Perkembangan Ilmu Dakwah
Perkembangan ilmu dakwah dapat ditelusuri dari perkembangan epistemologi yang digunakan dalam disiplin ilmu dakwah. Berkenaan dengan masalah ini, Dawam Rahardjo mengatakan ada perubahan epistemologi yang digunakan oleh para pemikir Muslim dalam pergerakannya di abad modern ini. Epistemologi dakwah yang berkembang saat ini merupakan gabungan dari dua epistemologi, yaitu epistemologi bayâni dan burhâni, sebuah epistemologi yang dikenal dalam pemikiran Muhammad ‘Abid al-Jabiry. Jabiry menyebutkan dua epistemologi Islam dalam trilogi bayâni, burhâni, dan ‘irfâni. Epistemologi bayâni bersumber pada teks, sedangkan burhani yang rasional dan demonstratif berkembang karena pengaruh pemikiran Yunani. Sedangkan ‘irfâni berkembang karena pengaruh tradisi Persia dan India. Burhâni merupakan kesadaran ontologis terhadap realitas alam, sosial dan manusia. Kesadaran terhadap alam melahirkan ilmu kealaman atau fisika dan astronomi; kesadaran terhadap makhluk hidup melahirkan biologi; kesadaran terhadap realitas sosial melahirkan ilmu-ilmu sosial dan humaniora, sedangkan kesadaran historis melahirkan ilmu sejarah.[15]
Dalam konteks ini, epistemologi burhâni inilah yang kemudian dikembangkan sehingga melahirkan perkembangan ilmu dakwah khususnya teori-teori baru dalam ilmu dakwah, sebagaimana yang telah dikemukakan pada latar belakang masalah pada Bab I, seperti teori “dakwah profetik”,[16] “teori e-dakwah”,[17] dan “teori dakwah kultural”.[18]
Perkembangan dalam ilmu dakwah dipengaruh juga oleh perkembangan dalam peradaban manusia dewasa ini. Alawiyyah menyebutkan, bahwa dakwah bukan hanya kebutuhan manusia secara individual tetapi juga kebutuhan manusia secara universal, bukan hanya kebutuhan negeri-negeri Islam tetapi juga dunia secara keseluruhan. Kebutuhan manusia terhadap dakwah berhubungan dengan kehidupan sekarang yang semakin penuh dengan pilihan-pilihan (sebagai akibat dari gelombang demokratisasi), dan meningkatnya kecendrungan permisif dan hedonisme (sebagai akibat dari interdependesi pasar dan materialisme global) serta semakin banyaknya paradoks kehidupan dan sulitnya memegang monopoli kebenaran (sebagai akibat dari revolusi ilmu pengetahuan).[19]
Dalam masalah perkembangan ilmu dakwah, Rahman mengatakan, bahwa sudah waktunya umat Islam untuk lebih terbuka dalam mengkaji secara komprehensif literatur-literatur ilmu dakwah maupun ilmu-ilmu keislaman lainnya tanpa didasari adanya fanatisme madzhab, golongan, aliran pemikiran, ras maupun bangsa. Karena dakwah menyangkut kemaslahatan manusia secara universal, maka dasar pemikirannya harus juga bersifat universal. Ia tidak memandang sekat-sekat golongan maupun bangsa. Dakwah harus dapat menembus semua itu. Oleh karena itu, semangat untuk menggali pemikiran-pemikiran dan metode-metode baru untuk kegiatan dakwah harus pula dilandasi dengan semangat "menjaga yang lama yang masih relevan dan mengambil yang baru yang lebih baik".[20]
Lebih jauh, untuk memahami lebih dalam perkembangan ilmu dakwah, di bawah ini akan dibahas secara rinci hal-hal yang berkaitan dengan dakwah, dari segi pengertian dakwah, pendekatan dakwah, dan metode dakwah. Dalam ketiga pembahasan tersebut akan dilihat bagaimana pengertian dakwah mengalami perubahan sesuai dengan perkembangan zaman, pendekatannya pun mengalami perubahan, bahkan metode dakwahnya pun mengalami perubahan karena cakupannya yang lebih luas.
1. Pengertian Dakwah
Achmad Mubarok menyebutkan bahwa banyak definisi untuk merumuskan dakwah, yang intinya adalah mengajak manusia ke jalan Allah agar mereka berbahagia di dunia dan di akhirat dengan cara-cara yang baik.[21] Pengertian tersebut diambil dari kata dakwah yang ada dalam al-Qur'an sebagaimana tertera dalam bunyi ayat al-Qur'an QS. An-Nahl [16]: 125:
اُدْعُ إِلَى سَبِيْلِ رَبِّكَ بِالْحِكْمَةِ وَالْمَوْعِظَةِ الْحَسَنَةِ وَجَادِلْهُمْ بِالَّتِي هِيَ أَحْسَنُ إِنَّ رَبَّكَ هُوَ أَعْلَمُ بِمَنْ ضَلَّ عَنْ سَبِيْلِهِ وَهُوَ أَعْلَمُ بِالْمُهْتَدِيْنَ.
Artinya: "Serulah (berdakwahlah) menuju jalan Tuhanmu dengan hikmat, pengajaran yang baik, dan ajaklah mereka berdebat dengan cara-cara yang baik. Sesungguhnya Tuhanmu lebih mengetahui siapa saja yang telah sesat dari jalan-Nya dan Dia lebih mengetahui siapa saja yang diberikan petunjuk".
Ayat di atas, selain memuat mengenai pengertian dakwah itu sendiri, juga secara implisit memuat mengenai metode-metode dakwah. Mengenai yang terakhir ini akan dibahas secara khusus dalam bagian "Metode Dakwah" dalam pembahasan selanjutnya.
Lebih jauh, untuk melihat secara rinci pengertian dakwah, berikut ini akan dibahas pengertian dakwah dari segi bahasa (etimologi) dan istilah (terminologi).
Dari segi bahasa, dalam bahasa Arab kata da'wat atau da'watun biasa digunakan untuk arti-arti berikut ini: "undangan", "ajakan", dan "seruan" yang kesemuanya menunjukkan komunikasi antara dua pihak dan upaya untuk mempengaruhi orang lain. Ukuran keberhasilan undangan, ajakan, dan seruan adalah manakala pihak kedua, yakni yang diundang atau yang diseru, memberikan respon positif, yaitu mau datang atau memenuhi ajakan dari pihak pertama (yang mengundang atau yang mengajak). Jadi, kalimat dakwah mengandung "makna aktif" dan "menantang", berbeda dengan kalimat tabligh yang artinya hanya menyampaikan. Ukuran keberhasilan seorang muballigh adalah manakala ia berhasil menyampaikan pesan Islam dan pesannya sampai (wama 'alaina illa al-balagh), sedangkan bagaimana respons masyarakat tidak menjadi tanggung jawabnya.
Achmad Mubarok juga menegaskan bahwa dari pengertian bahasa di atas, maka secara istilah (terminologi), dapat dirumuskan bahwa dakwah ialah:
"usaha untuk untuk mempengaruhi orang lain agar mereka bersikap dan bertingkah laku seperti apa yang didakwahkan oleh da'i, atau bertingkah laku Islami."[22]
Sejalan dengan pendapat Mubarok tersebut, Muhyiddin mengatakan bahwa dilihat dari segi kosakata dakwah dalam ayat al-Qur'an hampir semua yang ada kaitannya dengan dakwah diekspresikan dengan kata kerja (fi'il madhi, mudhari, dan amar).[23] Hal itu memberi isyarat bahwa upaya kegiatan dakwah, di samping harus dilaksanakan secara serius, juga dituntut sistematis dan tepat sasaran sehingga membuahkan hasil sesuai dengan yang diharapkan oleh sang da'i.[24]
Sedangkan Mansyur Suryanegara mendefinisikan dakwah sebagai berikut:
"Dakwah adalah aktivitas dalam menciptakan perubahan sosial dan pribadi yang didasarkan pada tingkah laku pelaku pembaharunya. Oleh karena itu, yang menjadi inti dari tindakan dakwah adalah perubahan kepribadian seseorang dan masyarakat secara kultural. Pelakunya sendiri disebut dengan istilah da'i, yakni he who summons men to the God or to the faith (orang yang menyeru manusia kepada jalan Tuhan atau jalan keimanan)."[25]
Dalam pengertian ini, cakupan dakwah sudah terlihat lebih luas, yaitu dengan diinterpretasikan secara sosial, bukan terbatas pada individu. Selain pengertian-pengertian dakwah tersebut, dapat dikemukakan pengertian dakwah yang lain. Secara substansial-filosofis, dakwah bermakna juga segala rekayasa dan rekadaya untuk mengubah segala bentuk penyembangan kepada selain Allah menuju keyakinan tauhid, mengubah semua jenis kehidupan yang timpang ke arah kehidupan yang lempang, yang penuh dengan ketenangan dan kesejahteraan lahir dan bathin berdasarkan nilai-nilai Islam.
Perbedaan definisi dakwah terlihat dalam orientasi dan penekanan bentuk kegiatannya. Berikut ini dikemukakan enam macam rumusan definisi dakwah, sebagaimana banyak dikemukakan para ahli. Pertama, definisi dakwah yang menekankan proses pemberian motivasi untuk melakukan pesan dakwah (ajaran Islam). Di antara tokoh yang berpendapat demikian adalah Ali Abdul Halim Mahmud. Ia berpendapat bahwa dakwah adalah:
"Mendorong manusia kepada kebaikan dan petunjuk, memerintahkan perbuatan yang diketahui kebenaranya, melarang perbuatan yang merusak individu dan orang banyak agar mereka memperoleh kebahagiaan di dunia dan akherat".[26]
Kedua, definisi dakwah yang menekankan proses penyebaran pesan dakwah (ajaran Islam) dengan mempertimbangkan penggunaan metode, media, dan pesan yang sesuai dengan situasi dan kondisi mad'u (khalayak dakwah). Tokoh yang memiliki pandangan demikian di antaranya adalah Ahmad Gholwusy. Ia berpendapat bahwa dakwah didefinisikan sebagai:
"Menyampaikan pesan Islam kepada manusia di setiap waktu dan tempat dengan metode-metode dan media-media yang sesuai dengan situasi dan kondisi para penerima pesan dakwah".[27]
Ketiga, definisi dakwah yang menekankan pengorganisasian dan pemberdayaan sumber daya manusia dalam melakukan berbagai petunjuk ajaran Islam, menegakkan norma sosial budaya (ma'ruf), dan membebaskan kehidupan manusia dari berbagai penyakit sosial (munkar). Definisi ini, antara lain dikemukakan oleh Sayyid Mutawakil. Beliau berpendapat bahwa dakwah adalah:
"Mengorganisasikan kehidupan manusia dalam menjalankan kebaikan, menunjukkan ke dalam yang benar dengan menegakkan norma sosial budaya dan menghindarkannya dari penyakit sosial".[28]
Keempat, definisi dakwah yang menekankan sistem dalam menjelaskan kebenaran, kebaikan, pentunjuk ajaran, menganalisis tantangan problema kebatilan dengan berbagai pendekatan, metode, dan media agar mad'u mendapatkan keselamatan dan kebahagiaan di dunia dan akhirat.
Kelima, definisi dakwah yang menekankan urgensi pengamalan aspek pesan dakwah (ajaran Islam) sebagai tatanan hidup manusia sebagai hamba Allah dan khalifah-Nya di muka bumi. Definisi dakwah seperti ini dikemukakan oleh Ibnu Taymiyyah (1398 H). Menurutnya dakwah adalah penyampaian pesan Islam berupa:
Mengimani Allah
Mengimani segala ajaran yang dibawa oleh semua utusan Allah, dengan membenarkannya dan mentaati segala yang diperintahkan.
Menegakkan pengikraran syahadatain
Menegakkan shalat
Mengeluarkan zakat
Menunaikan shaum bulan ramadhan
Menunaikan haji
Mengimani malaikat, kitab-kitab Allah, para rasul, kebangkitan setelah wafat, kepastiam baik-buruk yang datang dari Allah Swt.
Menyerukan agar hamba Allah hanya beribadah kepada-Nya dan seakan-akan melihat-Nya.[29]
Keenam, definisi dakwah yang menekankan profesionalisme dakwah, dalam pengertian dakwah dipandang sebagai kegiatan yang memerlukan keahlian, dan keahlian memerlukan penguasaan pengetahuan. Dengan demikian, da'i adalah ulama atau sarjana yang memiliki kualifikasi dan persyaratan akademik serta empirik dalam melaksanakan kewajiban dakwah. Definisi ini di antaranya diajukan oleh Zakaria, yaitu:
"Aktivitas para ulama dan orang-orang yang memiliki pengetahuan agama Islam dalam memberik pengajaran kepada orang banyak (khalayak dakwah) hal-hal yang berkenaan dengan urusan-urusan agama dan kehidupannya sesuai dengan realitas dan kemampuannya."[30]
Dengan demikian, dari seluruh pengertian dakwah di atas, ada beberapa hal penting yang dapat ditarik dari definisi operasional dakwah tersebut:
1.Adanya proses kondisioning mengenai pemahaman dan sikap mad'u (objek dakwah). Hal ini karena dari satu sisi dakwah berkaitan dengan mengkomunikasikan nilai-nilai ajaran Islam sebagai isi pesan dakwah yang perlu dipahami dan disikapi.
2.Adanya proses perubahan dan peningkatan kualitas hidup dan kehidupan masyarakat (mad'u) karena hakikat filosofis dakwah adalah membawa orang perorang dan masyarakat dari kekufuran kepada keimanan.
3.Karena aktivitas dakwah menyangkut kedua hal di atas (komunikasi dan perubahan sosial), strategi, cara dan teknik pendekatannya akan terkait dengan sarana dan prasarana kedua media tersebut yang berhubungan dengan berbagai aspek sosial budaya kehidupan masyarakat.
Selanjutnya, berikut ini akan dikutip ciri-ciri dakwah (komunikasi) yang efektif menurut pandangan Jalaluddin Rakhmat. Menurut beliau, suatu dakwah dinilai efektif manakala menimbulkan lima tanda: [31]
1.Melahirkan pengertian, yakni apa yang disampaikan dimengerti oleh yang menerima.
2.Menimbulkan kesenangan, yakni orang yang menerima pesan, dalam hal ini mad'u merasa bahwa seruan dakwah yang disampaikan oleh da'i itu menimbulkan rasa senang, sejuk dan menghibur, tidak memuakkan atau menyakitkan meski sifat tegurannya boleh jadi tajam dan mendasar. Meski demikian dakwah tidak sejenis dengan tontonan atau panggung hiburan, dan seorang da'i tidak harus berperan sebagai pelawak.
3.Menimbulkan pengaruh pada sikap mad'u, maksudnya, ajakan dan seruan da'i dapat mempengaruhi sikap mad'u dalam masalah-masalah tertentu, misalnya dari sikap sinis kepada tradisi keagamaan menjadi netral, simpati atau empati, adri stereotip terhadap ajaran Islam tentang wanita menjadi ingin mengetahui ajaran yang sebenarnya, dari sikap eksklusif (merasa benar sendiri) menjadi menghargai golongan lain dan sebagainya.
4.Menimbulkan hubungan yang makin baik, maksudnya, semakin sering komunikasi dengan mad'u, baik melalui ceramah, konsultasi, bermu'amalah atau pergaulan biasa, membuat hubungan antara kedua belah pihak semakin dekat dan semakin akrab serta saling membutuhkan. Bermula dari sekedar muballigh yang diundang ceramah berkembang menjadi guru, sahabat, tempat mengadu, konsultan, dan orang yang dituakan oleh jamaahnya.
5.Menimbulkan tindakan, maksudnya, dengan dakwah yang dilakukan terus menerus, mad'u kemudian terdorong bukan hanya dalam merubah sikap tapi sampai pada mau melakukan apa yang dianjurkan da'i, dari tidak menjalankan shalat menjadi patuh, dari kikir menjadi pemberi, dan berlaku kasar menjadi lemah-lembut, dari pemalas menjadi rajin dan sebagainya. Tanda kelima inilah yang merupakan tanda konkrit dari keberhasilan suatu dakwah, sebagai perwujudan dari proses komunikasi.
2. Pendekatan Dakwah
Pendekatan kegiatan dakwah dilakukan dengan pendekatan dakwah bi al-qaul (bi al-lisan) dan bi al-af'al (termasuk bi al-kitabah atau bi al-amal). Pendekatan dari kedua kegiatan itu melahirkan empat ragam kegiatan dakwah, yakni pertama tabligh dan ta'lim, kedua irsyad, ketiga tathwir, dan keempat tadbir.[32]
Tabligh dan ta'lim dilakukan dalam rangka pencerdasan dan pencerahan masyarakat melalui kegiatan pokok: sosialisasi, internalisasi dan ekternalisasi nilai ajaran Islam, dengan menggunakan sarana mimbar dan media massa (etak atau audio visual). Irsyad dilakukan dalam rangka pemecahan masalah psikologis melalui kegiatan pokok: bimbingan penyuluhan pribadi dan bimbingan penyuluhan keluarga, baik secara preventif ataupun kuratif. Tabligh dah Irsyad menyangkut kondisioning pemahaman, persepsi, dan sikap.
Tadbir (manajemen pembangunan masyarakat), dilakukan dalam rangka perekayasaan sosial dan pemberdayaan masyarakat dalam kehidupan yang lebih baik, peningkatan kualitas sumber daya manusia, dan pranata sosial keagamaan, serta menumbuhkan perekonomian dan kesejahteraan masyarakat, dengan kegiatan pokok: penyusunan kebijakan, perencanaan program, pembagian tugas dan pengorganisasian, pelaksanaan, dan pemonitoran serta pengevaluasian dalam pembangunan masyarakat dari aspek perekonomian dan kesejahteraannya. Dengan kata lain, tadbir berkaitan dengan dakwah melalui pembangunan. Dua ragam dakwah yang terakhir ini ditujukan utuk menjawab kebutuhan dan tantangan zaman.
Tathwir (pengembangan masyarakat) dilakukan dalam rangka peningkatan sosial budaya masyarakat, yang dilakukan dengan kegiatan pokok: pentransformasian dan pelembagaan nilai-nilai ajaran Islam dalam realitas kehidupan umat, yang menyangkut kemanusiaan, seni budaya, dan kehidupan bermasyarakat, penggalangan ukhuwah islamiyyah, dan pemeliharaan lingkungan. Dengan kata lain, tathwir berkaitan dengan kegiatan dakwah melalui pendekatan washilah sosial budaya (dakwah kultural).
Jika merujuk pada apa yang dicontohkan Rasulullah Saw, ketika membangun masyarakat, setidaknya harus ditempuh tiga tahap atau proses pengembangan masyarakat, yakni takwin, tanzim, taudi. Takwin adalah tahap pembentukan masyarakat Islam. Kegiatan pokok tahapan ini adalah dakwah bil lisan sebagai ikhtiar sosialisasi akidah, ukhuwah, dan ta'awun. Semua aspek ditata menjadi instrumen sosiologis. Proses sosialisasi dimulai dari unit terkecil dan terdekat sampai pada penrwujudan kesepakatan.
Tahap berikutnya adalah tanzim, yakni tahap pembinaan dan penataan masyarakat. Pada fase ini internalisasi dan eksternalisasi Islam muncul dalam bentuk institusionalisasi Islam secar akomprehensif dalam realitas sosial. Tahap ini dimulai dengan hijrah masyarakat Muslim ke Madinah. Dalam perspektif strategi dakwah, hijrah dilakukan ketika tekanan kultural, struktural, dan militer sudah demikian mencekam sehingga jika tidak hijrah, terjadi involusi kelembagaan dan menjadi lumpuh.
Kemudian, tahap berikutnya adalah taudi. Yang dimaksud dengan taudi adalah tahap pelepasan dan kemandirian. Pada tahap ini, umat telah siap menjadi masyarakat mandiri, terutama secara manajerial.
3. Metode Dakwah
Dari berbagai ekspresi al-Qur'an dapat diturunkan beberapa pesan moral al-Qur'an tentang metode penyampaian dakwah, antara lain bahwa upaya penyebaran agama Islam perlu disampaikan dengan cara yang lebih baik, cara penuh kasih sayang, tidak muncul dari rasa kecencian. Bahkan, kalaupun terjadi permusuhan, harus dianggap seolah-olah menjadi teman yang baik (ka'annahum waliyyun hamîm).
Apabila memperhatikan isyarat ayat-ayat yang secara khusus berkaitan dengan metode dakwah yang berhubungan dengan cara berkomunikasi (dakwah bi al-qaul/bi al-lisan) tampak bahwa al-Qur'an seringkali menyampaikan ungkapannya dengan ilustrasi pernyataan-pernyataan yang baik, sopan, santun, lemah lembut, berbobot, dan sebagainya. Dengan demikian, iklim dan suasana komunikasi dan dialog yang dibangunnya sangat kondusif bagi penyejukan jiwa dan pencarahan ruhani.
Berikut ini akan dijabarkan istilah-istilah yang digunakan oleh al-Qur'an berkenaan dengan metode dakwah bi al-qaul. Seperti dijelaskan secara luas oleh Ahmad Mubarok dalam bukunya, bahwa al-Qur'an memberikan istilah-istilah pesan yang persuasif, di antaranya dengan kalimat: (1) qaulan balîghâ, (2) qaulan layyinâ, (3) qaulan maisûrâ, (4) qaulan karîmâ, dan (5) qaulan sadîdâ.[33]
a. Qaulan Balîghâ (Perkataan yang Membekas pada Jiwa)
Al-Qur'an memberikan tuntunan, bahwa redaksi seruan dakwah berbeda-beda tekanannya, tergantung siapa mad'unya. Surat al-Nisa [4] ayat 63 di bahwa ini mengintrodusir istilah qaulan baligha yang dapat diterjemahkan dengan "perkataan yang membekas pada jiwa".
"Mereka itu adalah orang-orang yang Allah mengetahui apa yang ada dalam hati mereka. Karena itu berpalinglah kamu dari mereka, dan berilah mereka pelajaran, dan katakanlah kepada mereka perkataan yang berbekas pada jiwa mereka".
Ayat tersebut di atas berkenaan dengan orang munafik yang di hadapan Nabi berpura-pura baik, tapi di belakang, mereka menyabot dakwah Nabi. Kalimat dakwah yang persuasif bagi orang munafiq adalah kalimat yang tajam, pedas, tetapi benar, baik bahasa maupun substansinya. Dengan qaulan baligha, sekurang-kurangnya orang munafiq dibuat tak berkutik di depan da'i, meskipun di belakang hari mereka bekerja keras mencari celah yang dapat digunakan untuk menyerang da'i. Pengertian lain dari qaulan baligha adalah suatu perkataan yang membuat lawan bicaranya terpaksa harus mempersepsi perkataan itu sama dengan apa yang dimaksudkan oleh pembicara, sehingga tidak ada celah untuk mempersepsi lain.
b. Qaulan Layyinâ (Perkataan yang Lemah Lembut)
Di samping qaulan balîghâ, al-Qur'an juga mengintrodusir istilah qulan layyinâ, seperti yang disebutkan dalam Surat Thaha [10] ayat 43-44 di bawah ini.
"Pergilah kamu berdua kepada Fir'aun, sesungguhnya dia telah melampaui batas. Maka berbicaralah kamu berdua kepadanya dengan kaya-kata yang lemah lembut, mudah-mudahan ia ingat atau takut".
Ayat ini berada dalam rangkaian kisah Nabi Musa (dan Harun) dengan Fir'aun. Berhadapan dengan penguasa yang tiran, al-Qur'an mengajarkan agar dakwah kepada mereka haruslah bersifat sejuk dan lemah lembut, tidak kasar, dan menantang. Perkataan yang kasar kepada penguasa tiran dapat memancing respons yang lebih keras dalam waktu yang spontan, sehingga menghilangkan peluang untuk berdialog atau berkomunikasi antara kedua belah pihak. Psikologi penguasa yang sewenang-wenang ialah, jika diusik pikiran dan perasaannya oleh orang lain, maka ia akan segera bereaksi dengan keras sejak komunikasi yang oertama .
Jadi, dakwah yang lembut adalah dakwah yang dirasakan oleh mad’u sebagai sentuhan yang halus, tanpa mengusik atau menyentuk kepekaan perasaannya sehingga tidak menimbulkan ganggunan pikiran dan perasaan. Dengan sentuhan yang halus itu, orang kasar pun dibuat sulit untuk mendemonstrasikan kekasarannya.
c. Qaulan Maisûrâ (Perkataan yang Ringan)
Istilah qaulan maisura tersebut dalam Surat al-Isra [17] ayat 28:
"Dan jika kamu berpaling daari mereka untuk memperoleh rahmat dari Tuhanmu yang kamu harapkan, maka katakanlah kepada mereka ucapan yang pantas".
Kalimat maisura berasal dari kata yasr, yang artinya mudah. Qaulan Maisura adalah lawan dari qaulan ma'sura, perkataan yang sulit. Sebagai suatu proses komunikasi, qaulan maisura artinya perkataan yang mudah diterima, yang ringan, yang pantas, yang tidak berliku-liku dan tidak bersayap. Dakwah dengan qaulan maisura artinya pesan yang disampaikan itu sederhana, mudah dimengerti dan dapat dipahamu secara spontan tanpa harus berpikir panjang. Pesan dakwah model ini tidak memerlukan dalil naqli maupun argumen-argumen logika yang rumit.
d. Qaulan Karima (Perkataan yang Mulia)
Kalimat qaulan karima dalam al-Qur'an terdapat dalam ayat yang mengajarkan etika pergaulan manusia kepada kedua orang tuanya yang sudah tua, seperti yang disebutkan dalam surat al-Isra ayat 23:
"Dan Tuhanmu telah memerintahkan supaya kamu jangan menyembah selain Dia dan hendaklah kamu berbuat baik pada ibu bapakmu dengan sebaik-baiknya. Jika salah seorang di antara keduanya atau keduanya sampau berusia lanjut dalam pemeliharaanmu, maka sekali-kali janganlah kamu mengatakan kepada kedua perkataan "ah", dan janganlah kamu membantah mereka, dan ucapkanlah kepada mereka perkataan yang mulai".
Dalam perspektif dakwah, maka term qaulan karima diperlukan jika dakwah itu ditujukan kepada kelompok orang yang sudah masuk kategori usia lanjut, atau dalam masyarakat kota barangkali adalah kelompok pensiun. Seorang da'i dalam berhubungan dengan lapisan mad'u yang sudah masuk kategori usia lanjut, haruslah bersikap seperti terhadap orang tua sendiri, yakni hormat dan tidak berkata keras dan kasar kepadanya.
Kata karima yang artinya penuh kebajikan (katsir al-khair) jika dihubungkan dengan qaulan berarti sahlan wa layyinan yakni perkataan yang mudah dan lembut. Berdakwah kepada orang yang berusia lanjut, haruslah dengan perkataan yang musah dipahami dan disampaikan dengan retorika yang halus dan lembut.
e. Qaulan Sadida (Perkataan yang Benar)
Terma Qaulan Saida merupakan persyaratan umum suatu pesan dakwah agar dakwahnya persuasif. Ditujukan kepada siapa pun, pesan dakwah haruslah dengan perkataan yang benar. Term qaulan sadida disebut dua kali dalam al-Qur'an, yaitu dalam Surat an-Nisa ayat 9 dan surat al-Ahzab ayat 70: "Hai orang-orang yang beriman, bertakwalah kepada Allah dan katakanlah perkataan yang benar".
Perintah untuk berkata benar didahului oleh perintah bertaqwa, dan Allah berjanji bahwa berkata benar yang dilandasi oleh ketakwaan itu akan mengantar pada perbaikan amal dan ampunan dari dosa. Seorang da'i yang konsisten dengan pesan kebenaran dan didukung oleh integritas pribadinya yang mulia, dijamin oleh al-Qur'an bahwa dakwahnya bukan hanya membangun orang lain tetapi juga membangun dirinya, yakni meningkatkan integritas dirinya.
B. Jenis-Jenis Metode Tafsir
1. Pengertian dan Sejarah Tafsir Al-Qur’an
Secara etimologi, kata tafsir berasal dari kata al-fusru yang mempunyai arti al-ibanah wa al-kasyf (menjelaskan dan menyingkap sesuatu).[34] Makna ini tampak sesuai dengan Surat Al-Furqan ayat 33:
وَلاَ يَأْتُونَكَ بِمَثَلٍ إِلاَّ جِئْنَاكَ بِالْحَقِّ وَأَحْسَنَ تَفْسِيرًا
“Tidaklah orang-orang kafir itu datang kepadamu (membawa) sesuatu yang ganjil, melainkan Kami datangkan kepadamu suatu yang benar dan yang paling baik penjelasannya.” (QS. Al-Furqan: 33).
Adapun secara terminologi, seperti dinukil oleh Al-Hafizh As-Suyuthi dari Al-Imam Az-Zarkasyi, tafsir ialah ilmu untuk memahami kitab Allah SWT yang diturunkan kepada Nabi Muhammad SAW, menjelaskan makna-maknanya, menyimpulkan hikmah dan hukum-hukumnya.[35]
Thabathaba’i mendefinisikan tafsir sebagai: “Penjelasan tentang makna ayat-ayat al-Qur’an dan menyingkap maksud dan dilalahnya”.[36] Dengan demikian, dari pengertian tafsir ini mengandung beberapa unsur dalam penafsiran al-Qur’an, yaitu makna ayat-ayat al-Qur’an, penyingkapan maksud di balik teks al-Qur’an, dan dilalah atau qarinah yang menunjukkan arti dari kata tersebut.
Pada saat Al-Quran diturunkan, Rasul Saw berfungsi sebagai mubayyin (pemberi penjelasan), menjelaskan kepada sahabat-sahabatnya tentang arti dan kandungan Al-Quran, khususnya menyangkut ayat-ayat yang tidak dipahami atau samar artinya. Keadaan ini berlangsung sampai dengan wafatnya Rasul saw., walaupun harus diakui bahwa penjelasan tersebut tidak semua kita ketahui akibat tidak sampainya riwayat-riwayat tentangnya atau karena memang Rasul Saw sendiri tidak menjelaskan semua kandungan Al-Quran.[37]
Kalau pada masa Rasul saw. para sahabat menanyakan persoalan-persoalan yang tidak jelas kepada beliau, maka setelah wafatnya, mereka terpaksa melakukan ijtihad, khususnya mereka yang mempunyai kemampuan semacam 'Ali bin Abi Thalib, Ibnu 'Abbas, Ubay bin Ka'ab, dan Ibnu Mas'ud. Sementara sahabat ada pula yang menanyakan beberapa masalah, khususnya sejarah nabi-nabi atau kisah-kisah yang tercantum dalam Al-Quran kepada tokoh-tokoh Ahlul-Kitab yang telah memeluk agama Islam, seperti 'Abdullah bin Salam, Ka'ab Al-Ahbar, dan lain-lain. Inilah yang merupakan benih lahirnya Israiliyat.
Di samping itu, para tokoh tafsir dari kalangan sahabat yang disebutkan di atas mempunyai murid-murid dari para tabi'in, khususnya di kota-kota tempat mereka tinggal. Sehingga lahirlah tokoh-tokoh tafsir baru dari kalangan tabi'in di kota-kota tersebut, seperti: (a) Said bin Jubair, Mujahid bin Jabr, di Makkah, yang ketika itu berguru kepada Ibnu 'Abbas; (b) Muhammad bin Ka'ab, Zaid bin Aslam, di Madinah, yang ketika itu berguru kepada Ubay bin Ka'ab; dan (c) Al-Hasan Al-Bashriy, Amir Al-Sya'bi, di Irak, yang ketika itu berguru kepada 'Abdullah bin Mas'ud.
Gabungan dari tiga sumber di atas, yaitu penafsiran Rasul saw., penafsiran sahabat-sahabat, serta penafsiran tabi'in, dikelompokkan menjadi satu kelompok yang dinamai Tafsir bi Al-Ma'tsur. Dan masa ini dapat dijadikan periode pertama dari perkembangan tafsir.
Berlakunya periode pertama tersebut dengan berakhirnya masa tabi'in, sekitar tahun 150 H, merupakan periode kedua dari sejarah perkembangan tafsir. Pada periode kedua ini, hadis-hadis telah beredar sedemikian pesatnya, dan bermunculanlah hadis-hadis palsu dan lemah di tengah-tengah masyarakat. Sementara itu perubahan sosial semakin menonjol, dan timbullah beberapa persoalan yang belum pernah terjadi atau dipersoalkan pada masa Nabi Muhammad saw., para sahabat, dan tabi'in.
Pada mulanya usaha penafsiran ayat-ayat Al-Quran berdasarkan ijtihad masih sangat terbatas dan terikat dengan kaidah-kaidah bahasa serta arti-arti yang dikandung oleh satu kosakata. Namun sejalan dengan lajunya perkembangan masyarakat, berkembang dan bertambah besar pula porsi peranan akal atau ijtihad dalam penafsiran ayat-ayat Al-Quran, sehingga bermunculanlah berbagai kitab atau penafsiran yang beraneka ragam coraknya. Keragaman tersebut ditunjang pula oleh Al-Quran, yang keadaannya seperti dikatakan oleh 'Abdullah Darraz dalam Al-Naba' Al-Azhim: "Bagaikan intan yang setiap sudutnya memancarkan cahaya yang berbeda dengan apa yang terpancar dari sudut-sudut yang lain, dan tidak mustahil jika anda mempersilakan orang lain memandangnya., maka ia akan melihat lebih banyak dari apa yang anda lihat."[38]
Muhammad Arkoun, seorang pemikir Aljazair kontemporer, menulis bahwa: "Al-Quran memberikan kemungkinan-kemungkinan arti yang tak terbatas. Kesan yang diberikan oleh ayat-ayatnya mengenai pemikiran dan penjelasan pada tingkat wujud adalah mutlak. Dengan demikian ayat selalu terbuka (untuk interpretasi) baru, tidak pernah pasti dan tertutup dalam interpretasi tunggal."[39]
Corak-corak penafsiran yang dikenal selama ini antara lain:
a. Corak sastra bahasa, yang timbul akibat banyaknya orang non-Arab yang memeluk agama Islam, serta akibat kelemahan-kelemahan orang Arab sendiri di bidang sastra, sehingga dirasakan kebutuhan untuk menjelaskan kepada mereka tentang keistimewaan dan kedalaman arti kandungan Al-Quran di bidang ini.
b. Corak filsafat dan teologi, akibat penerjemahan kitab filsafat yang mempengaruhi sementara pihak, serta akibat masuknya penganut agama; agama lain ke dalam Islam yang dengan sadar atau tanpa sadar masih mempercayai beberapa hal dari kepercayaan lama mereka. Kesemuanya menimbulkan pendapat setuju atau tidak setuju yang tecermin dalam penafsiran mereka.
c. Corak penafsiran ilmiah, akibat kemajuan ilmu pengetahuan dan usaha penafsir untuk memahami ayat-ayat Al-Quran sejalan dengan perkembangan ilmu.
d. Corak fiqih atau hukum, akibat berkembangnya ilmu fiqih, dan terbentuknya mazhab-mazhab fiqih, yang setiap golongan berusaha membuktikan kebenaran pendapatnya berdasarkan penafsiran-penafsiran mereka terhadap ayat-ayat hukum.
e. Corak tasawuf, akibat timbulnya gerakan-gerakan sufi sebagai reaksi dari kecenderungan berbagai pihak terhadap materi, atau sebagai kompensasi terhadap kelemahan yang dirasakan.
f. Bermula pada masa Syaikh Muhammad 'Abduh (1849-1905 M), corak-corak tersebut mulai berkurang dan perhatian lebih banyak tertuju kepada corak sastra budaya kemasyarakatan. Yakni satu corak tafsir yang menjelaskan petunjuk-petunjuk ayat-ayat Al-Quran yang berkaitan langsung dengan kehidupan masyarakat, serta usaha-usaha untuk menanggulangi penyakit-penyakit atau masalah-masalah mereka berdasarkan petunjuk ayat-ayat, dengan mengemukakan petunjuk-petunjuk tersebut dalam bahasa yang mudah dimengerti tapi indah didengar.[40]
2. Metode Tafsir
Al-Quran adalah sumber ajaran Islam. Kitab Suci itu, menempati posisi sentral, bukan saja dalam perkembangan dan pengembangan ilmu-ilmu keislaman, tetapi juga merupakan inspirator, pemandu dan pemadu gerakan-gerakan umat Islam sepanjang empat belas abad sejarah pergerakan umat ini.[41] Dengan demikian, maka pemahaman terhadap ayat-ayat Al-Quran, melalui penafsiran-penafsirannya, mempunyai peranan yang sangat besar bagi maju-mundurnya umat. Sekaligus, penafsiran-penafsiran itu dapat mencerminkan perkembangan serta corak pemikiran mereka.
Berikut ini, akan dikemukakan pembahasan tentang perkembangan metode penafsiran, keistimewaan dan kelemahannya.
a. Metode Ma'tsur (Riwayat)
Sejarah perkembangan Tafsir dapat pula ditinjau dari sudut metode penafsiran. Walaupun disadari bahwa setiap mufassir mempunyai metode yang berbeda dalam perinciannya dengan mufassir lain. Namun secara umum dapat diamati bahwa sejak periode ketiga dari penulisan Kitab-kitab Tafsir sampai tahun 1960, para mufassir menafsirkan ayat-ayat Al-Quran secara ayat demi ayat, sesuai dengan susunannya dalam mushhaf.
Penafsiran yang berdasar perurutan mushaf ini dapat menjadikan petunjuk-petunjuk Al-Quran terpisah-pisah, serta tidak disodorkan kepada pembacanya secara utuh dan menyeluruh. Memang satu masalah dalam Al-Quran sering dikemukakan secara terpisah dan dalam beberapa surat. Ambillah misalnya masalah riba, yang dikemukakan dalam surat-surat Al-Baqarah, Ali 'Imran, dan Al-Rum, sehingga untuk mengetahui pandangan Al-Quran secara menyeluruh dibutuhkan pembahasan yang mencakup ayat-ayat tersebut dalam surat yang berbeda-beda itu.
Disadari pula oleh para ulama, khususnya Al-Syathibi (w. 1388 M), bahwa setiap surat, walaupun masalah-masalah yang dikemukakan berbeda-beda, namun ada satu sentral yang mengikat dan menghubungkan masalah-masalah yang berbeda-beda tersebut.
Bermacam-macam metodologi tafsir dan coraknya telah diperkenalkan dan diterapkan oleh pakar-pakar Al-Quran. Kalau kita mengamati metode penafsiran sahabat-sahabat Nabi saw., ditemukan bahwa pada dasarnya --setelah gagal menemukan penjelasan Nabi saw.-- mereka merujuk kepada penggunaan bahasa dan syair-syair Arab. Cukup banyak contoh yang dapat dikemukakan tentang hal ini. Misalnya, Umar ibn Al-Khaththab, pernah bertanya tentang arti takhawwuf dalam firman Allah: Auw ya'khuzahum 'ala takhawwuf (QS 16:47). Seorang Arab dari kabilah Huzail menjelaskan bahwa artinya adalah "pengurangan". Arti ini berdasarkan penggunaan bahasa yang dibuktikan dengan syair pra-Islam. Umar ketika itu puas dan menganjurkan untuk mempelajari syair-syair tersebut dalam rangka memahami Al-Quran.[42]
Setelah masa sahabat pun, para tabi'in dan atba' at-tabi'in, masih mengandalkan metode periwayatan dan kebahasaan seperti sebelumnya. Kalaulah kita berpendapat bahwa Al-Farra' (w. 207 H) merupakan orang pertama yang mendiktekan tafsirnya Ma'aniy Al-Qur'an,[43] maka dari tafsirnya kita dapat melihat bahwa faktor kebahasaan menjadi landasan yang sangat kokoh. Demikian pula Al-Thabari (w. 310 H) yang memadukan antara riwayat dan bahasa.
Mengandalkan metode ini, jelas memiliki keistimewaan, namun juga mempunyai kelemahan-kelemahan. Keistimewaannya, antara lain, adalah:
(a) Menekankan pentingnya bahasa dalam memahami Al-Quran.
(b) Memaparkan ketelitian redaksi ayat ketika menyampaikan pesan-pesannya.
(c) Mengikat mufasir dalam bingkai teks ayat-ayat, sehingga membatasinya terjerumus dalam subjektivitas berlebihan.[44]
Di sisi lain, kelemahan yang terlihat dalam kitab-kitab tafsir yang mengandalkan metode ini adalah:
(a) Terjerumusnya sang mufasir dalam uraian kebahasaan dan kesusasteraan yang bertele-tele sehingga pesan-pokok Al-Quran menjadi kabur dicelah uraian itu.
(b) Seringkah konteks turunnya ayat (uraian asbab al-nuzul atau sisi kronologis turunnya ayat-ayat hukum yang dipahami dari uraian nasikh/mansukh) hampir dapat dikatakan terabaikan sama sekali, sehingga ayat-ayat tersebut bagaikan turun bukan dalam satu masa atau berada di tengah-tengah masyarakat tanpa budaya.[45]
b. Metode Tahliliy
Shihab mengatakan, bahwa metode tafsir yang paling populer adalah metode tahliliy, dan metode mawdhu'iy. Metode tahliliy, atau yang dinamai oleh Baqir Al-Shadr sebagai metode tajzi'iy,[46]http://media.isnet.org/islam/Quraish/Membumi/Metoda.html - 49 adalah satu metode tafsir yang:
"Mufasirnya berusaha menjelaskan kandungan ayat-ayat Al-Quran dari berbagai seginya dengan memperhatikan runtutan ayat-ayat Al-Quran sebagaimana tercantum di dalam mushaf."[47]
Segala segi yang dianggap perlu oleh seorang mufasir tajzi'iy/tahliliy diuraikan, bermula dari arti kosakata, asbab al-nuzul, munasabah, dan lain-lain yang berkaitan dengan teks atau kandungan ayat. Metode ini, walaupun dinilai sangat luas, namun tidak menyelesaikan satu pokok bahasan, karena seringkali satu pokok bahasan diuraikan sisinya atau kelanjutannya, pada ayat lain.[48]
Baqir Shadr menilai bahwa metode tahlily telah menghasilkan pandangan-pandangan parsial serta kontradiktif dalam kehidupan umat Islam.[49] Dapat ditambahkan bahwa para penafsir yang menggunakan metode itu tidak jarang hanya berusaha menemukan dalil atau lebih tepat dalih pembenaran pendapatnya dengan ayat-ayat Al-Quran. Selain itu, terasa sekali bahwa metode ini tidak mampu memberi jawaban tuntas terhadap persoalan-persoalan yang dihadapi sekaligus tidak banyak memberi pagar-pagar metodologis yang dapat mengurangi subjektivitas mufasirnya.
Kelemahan lain yang dirasakan dalam tafsir-tafsir yang menggunakan metode tahliliy dan yang masih perlu dicari penyebabnya --apakah pada diri kita atau metode mereka-- adalah bahwa bahasan-bahasannya dirasakan sebagai "mengikat" generasi berikut. Hal ini mungkin karena sifat penafsirannya amat teoretis, tidak sepenuhnya mengacu kepada penafsiran persoalan-persoalan khusus yang mereka alami dalam masyarakat mereka, sehingga uraian yang bersifat teoretis dan umum itu mengesankan bahwa itulah pandangan Al-Quran untuk setiap waktu dan tempat.
c. Metode Mawdhu’i
Pada bulan Januari 1960, Syaikh Mahmud Syaltut menyusun kitab tafsirnya, Tafsir Al-Qur'an Al-Karim, dalam bentuk penerapan ide yang dikemukakan oleh Al-Syathibi tersebut. Syaltut tidak lagi menafsirkan ayat-demi-ayat, tetapi membahas surat demi surat, atau bagian-bagian tertentu dalam satu surat, kemudian merangkainya dengan tema sentral yang terdapat dalam satu surat tersebut. Metode ini kemudian dinamai metode mawdhu'iy.
Namun apa yang ditempuh oleh Syaltut belum menjadikan pembahasan tentang petunjuk Al-Quran dipaparkan dalam bentuk menyeluruh, karena seperti dikemukakan di atas, satu masalah dapat ditemukan dalam berbagai surat. Atas dasar ini timbul ide untuk menghimpun semua ayat yang berbicara tentang satu masalah tertentu, kemudian mengaitkan satu dengan yang lain, dan menafsirkan secara utuh dan menyeluruh. Ide ini di Mesir dikembangkan oleh Prof. Dr. Ahmad Sayyid Al-Kumiy pada akhir tahun enam puluhan. Ide ini pada hakikatnya merupakan kelanjutan dari metode mawdhu'iy gaya Mahmud Syaltut di atas.[50]
Dengan demikian, metode mawdhu'iy mempunyai dua pengertian: Pertama, penafsiran menyangkut satu surat dalam Al-Quran dengan menjelaskan tujuan-tujuannya secara umum dan yang merupakan tema sentralnya, serta menghubungkan persoalan-persoalan yang beraneka ragam dalam surat tersebut antara satu dengan lainnya dan juga dengan tema tersebut, sehingga satu surat tersebut dengan berbagai masalahnya merupakan satu kesatuan yang tidak terpisahkan.
Kedua, penafsiran yang bermula dari menghimpun ayat-ayat Al-Quran yang membahas satu masalah tertentu dari berbagai ayat atau surat Al-Quran dan yang sedapat mungkin diurut sesuai dengan urutan turunnya, kemudian menjelaskan pengertian menyeluruh dari ayat-ayat tersebut, guna menarik petunjuk Al-Quran secara utuh tentang masalah yang dibahas itu.
Pada tahun 1977, Abdul Hay Al-Farmawiy, yang juga menjabat guru besar pada Fakultas Ushuluddin Al-Azhar, menerbitkan buku Al-Bidayah fi Al-Tafsir Al-Mawdhu'i dengan mengemukakan secara terinci langkah-langkah yang hendaknya ditempuh untuk menerapkan metode mawdhu'iy. Langkah-langkah tersebut adalah:
(a) Menetapkan masalah yang akan dibahas (topik);
(b) Menghimpun ayat-ayat yang berkaitan dengan masalah tersebut;
(c) Menyusun runtutan ayat sesuai dengan masa turunnya, disertai pengetahuan tentang asbab al-nuzul-nya;
(d) Memahami korelasi ayat-ayat tersebut dalam surahnya masing-masing;
(e) Menyusun pembahasan dalam kerangka yang sempurna (outline);
(f) Melengkapi pembahasan dengan hadis-hadis yang relevan dengan pokok bahasan;
(g) Mempelajari ayat-ayat tersebut secara keseluruhan dengan jalan menghimpun ayat-ayatnya yang mempunyai pengertian yang sama, atau mengkompromikan antara yang 'am (umum) dan yang khash (khusus), mutlak dan muqayyad (terikat), atau yang pada lahirnya bertentangan, sehingga kesemuanya bertemu dalam satu muara, tanpa perbedaan atau pemaksaan.[51]
d. Metode Ijmali (Global)
Metode ini adalah berusaha menafsirkan Al-Qur'an secara singkat dan global, dengan menjelaskan makna yang dimaksud tiap kalimat dengan bahasa yang ringkas sehingga mudah dipahami. Urutan penafsiran sama dengan metode tahlili namun memiliki perbedaan dalam hal penjelasan yang singkat dan tidak panjang lebar.
Keistimewaan tafsir ini ada pada kemudahannya sehingga dapat dikonsumsi oleh lapisan dan tingkatan kaum muslimin secara merata. Sedangkan kelemahannya ada pada penjelasannya yang terlalu ringkas sehingga tidak dapat menguak makna ayat yang luas dan tidak dapat menyelesaikan masalah secara tuntas.[52]
C. Kerangka Pemikiran
Penelitian ini bertujuan untuk menjelaskan metode tafsir Qira’ati dan kontribusinya terhadap perkembangan ilmu dakwah.
Metode tafsir itu sendiri adalah cara mufassir dalam menjelaskan makna-makna yang terkandung dalam ayat-ayat al-Qur’an. Metode tersebut, seperti telah dijelaskan secara luas di atas, secara garis besar terdiri dari 4 metode: ma’tsur (penafsiran melalui perantara riwayat-riwayat), tahlily (penafsiran berdasarkan ayat demi ayat secara berurutan dari suatu surat tanpa menghubungkan dengan ayat lain), mawdhu’i (tafsir tematik, menghubungkan ayat demi ayat sesuai dengan tema), dan ijmaly (ringkas dan mudah dipahami).
Di bawah ini adalah gambar dari kerangka pemikiran di atas:
MUHSIN QIRA’ATI
METODE TAFSIR
ILMU DAKWAH
TAHLILY
MAWDHU’I
IJMALY
MA’TSUR
Gambar 2.1Kerangka Pemikiran
Keterangan gambar: Seperti telah dikemukakan di atas, metode tafsir terbagi ke dalam 4: ma’tsur, tahlily, mawdhui, dan ijmaly. Akan dilakukan analisis mengenai di manakah posisi Qira’ati dalam pembagian keempat metode tafsir tersebut. Selanjutnya, akan dilakukan analisis bagaimana kontribusi metode tafsir Qira’ati terhadap perkembangan ilmu dakwah. Hal itu dikarenakan, antara tafsir dan dakwah saling berkaitan. Di satu sisi, dakwah berarti menyampaikan nilai-nilai Islam sehingga tidak bisa terlepas dari pemahaman terhadap al-Qur’an, dan di sisi lain dalam al-Qur’an pun diperintahkan untuk berdakwah.
Bab III
METODE PENELITIAN
A. Tempat dan Waktu Penelitian
Penelitian dilakukan di beberapa perpustakaan untuk pengumpulan bahan penelitian berupa pustaka, di antaranya Perpustakaan ICC Jakarta, Perpustakaan ICAS-Jakarta, dan Perpustakaan STAI Madinatul Ilmi. Penelitian dilakukan selama 3 bulan, terhitung dari bulan Februari sampai dengan April 2008.
B. Pendekatan Penelitian
Pendekatan yang digunakan dalam penelitian ini adalah pendekatan kualitatif. Seperti dikemukakan oleh Sarwono, bahwa dalam tradisi riset dikenal ada dua jenis pendekatan utama penelitian, yaitu pendekatan kuantitatif dan kualitatif. Pendekatan kuantitatif menekankan pada penggunaan angka-angka, rumus-rumus statistik serta pengukuran, sementara pendekatan kualitatif memfokuskan pada aspek kealamiahan data.[53]
Pendekatan kualitatif menekankan pada makna, penalaran, definisi suatu situasi tertentu dalam konteks tertentu. Sedangkan pendekatan kuantitatif mementingkan adanya variabel‑variabel sebagai obyek penelitian dan variabel‑variabel tersebut harus didefinisikan dalam bentuk operasionalisasi variabel masing‑masing.[54] Adapun tujuannya, pendekatan kualitatif bertujuan mengembangkan pengertian dan konsep‑konsep atau realitas sosial yang ada. Sebaliknya pendekatan kuantitatif bertujuan untuk menguji teori, membangun fakta, menunjukkan hubungan antar variabel, memberikan deskripsi statistik, menaksir dan meramalkan hasilnya.[55]
Penelitian tentang konsep dakwah dalam pandangan Qiraati ini menggunakan pendekatan kualitatif dikarenakan bertujuan untuk mengembangkan pengertian dan konsep‑konsep tafsir dan dakwah tanpa melibatkan analisis statistik yang bertingkat-tingkat.
B. Sifat Penelitian
Penelitian yang dilakukan adalah penelitian deskriptif, yaitu penelitian yang berupaya untuk memperoleh deskripsi yang lengkap dan akurat guna mencapai tujuan penelitian.[56] Penelitian deskriptif dalam makna lain adalah penelitian yang tidak bermaksud untuk menguji hipotesis, melainkan hanya memaparkan situasi atau peristiwa.[57] Metode deskriptif amat berguna untuk melahirkan teori-teori alternatif. Di sinilah perbedaan metode deskriptif dengan metode-metode lain. Metode deskriptif mencari teori, bukan menguji teori, dan bukan menguji hipotesis (hypothesis-testing).[58]
Kaitannya dalam penelitian ini, metode deskriptif digunakan karena penelitian ini tidak bermaksud menguji suatu teori (grand theori), tetapi lebih pada pencarian teori yang tepat untuk diterapkan pada tafsir Qira’ati, baik dari segi corak penafsiran maupun metode tafsir yang dianutnya. Setelah itu, dilakukan proses deskripsi kontribusi metode tafsir Qira’ati tersebut terhadap perkembangan ilmu dakwah. Kontribusi di sini, bukan dalam arti metode “korelasional” yang mensyaratkan adanya variabel-variabel yang saling berhubungan, tetapi lebih pada analisis logis dari bukti teks yang mendukung hal tersebut.
Pada penelitian ini, semua data-data yang diambil dari buku-buku Qiraati dan ceramah-ceramah beliau akan diolah dan dianalisis secara mendalam untuk mengetahui bagaimana metode tafsir dan dakwah dalam pandangan beliau.
C. Paradigma Penelitian yang Digunakan
Paradigma penelitian yang digunakan dalam meneliti kontribusi metode tafsir Qiraati terhadap perkembangan ilmu dakwah di sini menggunakan paradigma konstruktivis, di mana konstruktivis melihat bahwa realitas bergantung kepada definisi subjektif individu peneliti. Konstruktivisme, lebih mengutamakan pemahaman terhadap konteks dan makna-makna dalam memahami realitas, sehingga akan muncul penjelasan yang beragam.[59]
Kebenaran dan pengetahuan objektif bukanlah ditemukan melainkan diciptakan oleh setiap individu, karena yang terlihat nyata sesungguhnya merupakan hasil konstruksi pemikiran individu.[60] Ini menunjukan bahwa subjek sangat memegang peranan yang menciptakan dan menyusun makna dalam pikirannya.
Penelitian yang menggunakan paradigma ini lebih menekankan kepada interaksi dialektis antara peneliti dengan objeknya untuk mengkonstruksi realita yang diteliti melalui metode-metode kualitatif. Di sini peneliti berusaha menjembatani keragaman dalam teks buku-buku Qiraati dan memilah metode tafsir dan dakwah beliau.[61]
E. Jenis dan Sumber Data
Data dalam penelitian ini adalah berupa data primer dan data sekunder. Data primer adalah buku-buku karya Qira’ati. Karya-karya Qiraati dalam bahasa Persia antara lain: Tafsir Nurul Quran, Ammar maruf nahi munkar, Syiweh da rahkar, gunah shenosi, anwa ghunah wa rah haye pisygiri, Haj, adab wa marasim, Quran wa tablig bar asase quran wa riwayat, Tafsir namaz bar asase quran wa riwayat, Partu az asrari namaz, Nukteh dari boreh namaz, nukat barguzideh piromun namaz. Raz namaz, tauhid-adl- nubuwat-imamate-ma’ad, umrah,tafsir surah qashsah,tafsir surah iqra, hadise haj, Quran wa Imam Husen as, Tamsilat, Khums wa Zakat.
Buku-buku tersebut sudah dialih bahasakan ke bahasa lain antaranya: Tafsir nur al-Quran, yang aslinya adalah tafsir nurul Quran ada 20 jilid dalam bahasa Inggris terjemahan dari bahasa Persia kemudian baru dicetak dalam 16 jilid oleh penerbit al-Huda, Ensiklopedia salat, Haji, Ammar makruf nahi munkar, Manusia dan dunia di dalam al-Quran, Dosa-dosa, tafsir al-ankabut, tafsir surah Yasin, Tafsir, Luqman, Tafsir al-Isra, Tafsir al-Hujurat, Tafsir ayat-ayat pilihan, dsb. Karya-karya peneliti lainnya yang meneliti tentang pemikiran dakwah Muhsin Qiraati dan tentang ayat-ayat al-Quran akan dijadikan sebagai sumber data sekunder selama masih relevan dengan penelitian ini.
Sedangkan data sekunder adalah data pendukung bagi data primer, yaitu buku-buku lain yang berhubungan dengan tema penelitian, di antaranya buku-buku mengenai tafsir dan mengenai dakwah yang ditulis oleh para pakar di bidang tafsir dan dakwah.
D. Teknik Pengumpulan Data
Pengumpulan data menggunakan metode penelitian kepustakaan (library research method), yaitu dengan mengambil bahan-bahan penelitian dari penelusuran dan penelaahan yang bersumber dari buku-buku atau karya-karya tulis Muhsin Qiraati.
Karakteristik dan kualifikasi riset kepustakaan adalah sebagai berikut: Pertama, penelitian kepustakaan dilakukan karena persoalan penelitian tersebut hanya bisa dijawab lewat penelitian pustaka dan mungkin tidak bisa mengharapkan datanya dari riset lapangan. Kedua, studi pustaka diperlukan sebagai satu tahap tersendiri yaitu studi pendahuluan untuk memahami gejala baru yang terjadi dalam masyarakat. Ketiga, data pustaka tetap andal untuk menjawab persoalan penelitiannya.[62]
Setidaknya ada empat ciri utama studi kepustakaan. Pertama, peneliti berhadapan langsung dengan teks dan bukannya dengan pengetahuan langsung dari lapangan atau saksi mata berupa kejadian, orang atau benda-benda lain. Kedua, data pustaka bersifat siap pakai. Ketiga, data pustaka umumnya adalah sumber sekunder yang bukan data orisinil dari tangan pertama di lapangan. Keempat, kondisi data pustaka tidak dibatasi oleh ruang dan waktu.[63]
Dari kualifikasi studi kepustakaan di atas, penelitian ini mengacu kepada kualifikasi riset kepustakaan yang pertama, yaitu metode ini dipakai dikarenakan untuk menjawab fokus penelitian hanya bisa dijawab lewat penelitian pustaka, dan penelitian berhadapan langsung dengan teks, dalam hal ini buku-buku karya Qira’ati sebagai inspirator dilakukannya penelitian ini.
Buku-buku tersebut di antaranya: Tafsir nur al-Quran, Ensiklopedia salat, Haji, Ammar makruf nahi munkar, Manusia dan dunia di dalam al-Quran, Dosa-dosa, tafsir al-ankabut, tafsir surah Yasin, Tafsir, Luqman, Tafsir al-Isra, Tafsir al-Hujurat, Tafsir ayat-ayat pilihan, dan karya-karya peneliti lainnya yang meneliti tentang pemikiran dakwah Muhsin Qiraati dan tentang ayat-ayat al-Quran akan dijadikan sebagai sumber data sekunder selama masih relevan dengan penelitian ini.
E. Teknik Analisis Data
Analisis data merupakan suatu proses lanjutan dari proses pengolahan data untuk menginterpretasikan data.[64] Sedangkan menurut Moleong, analisis data adalah proses mengorganisasikan dan mengurutkan data ke dalam pola, kategori, dan satuan uraian dasar sehingga dapat ditemukan tema dan dapat dirumuskan arah atau kesimpulan seperti yang disarankan oleh data.[65]
Analisis data dalam penelitian ini adalah memahami pemikiran Qiraati mengenai corak dan metode tafsirnya, lalu menganalisis kontribusinya terhadap perkembangan ilmu dakwah dengan dukungan dari teori-teori yang ada lalu memformulasikannya berdasarkan urutan logis sesuai dengan arah data dari karya-karya Qiraati.
Metode analisis data di atas disebut oleh Arikunto dengan teknik Content Analysis.[66]
BAB IV
HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN
A. Biograpi Hidup dan kiprah Qiraati
Ayatullah Muhsin Qiraati (selanjutnya disebut Qiraati) adalah figur alim yang tidak suka dengan basa-basi dan tidak suka dengan segala macam protokoler yang kaku dan menghalangi keakraban dengan umatnya. Ia juga terkenal sebagai mubalig yang mendakwahkan kehatia-hatian dalam pemanfaatan bait al-mal. Karena itu tidaklah heran kalau sebagian besar perjalannya dilakukan sendirian tanpa membawa ajudan. Keistimewaan darinya adalah kecintaan yang mendarah daging kepada al-Quran. Itu disempurnakan dengan kefasehannya dalam menafsirkan ayat-ayat al-Quran di sela-sela kuliah-kuliah umum.
Ayatullah Mohsen Qiraati lahir di iran pada tahun 1946 dari keluarga yang taat beragama. Ia adalah tipe ulama yang bersahaja dan merakyat, tapi meskipun demikian ia memiliki cirikhas seoang mubalig yang benar-benar menguasi forum. Tokoh yang dikenal karena kuliah-kuliah agamanya. Hampir 15 juta orang lebih lebih setiap minggunya menyaksikan kuliah-kuliah tafsir al-Quran yang sangat menyegarkaan jiwa.
Dalam karir akademiknya Muhsin Qiraati banyak belajar dari beberapa Ayattullah ternama seperti ayatulah Sayid Ridha Ghulfaegani yang pernah memberi nasihat agar lebih memberi fokus kepada anak-anak muda yang kehausan akan ilmu pengetahuan. Setelah menyelesaikan seluruh pelajaran dasar (muqadimah) di kota kelahirnya Kasyan, ia berhijrah ke kota Qom dan belajar selama 15 tahun dari tingkat satuh hinga tingal level kharij. Qiraati juga pernah belajr selama satu tahun di Masyhad dan satu tahun di Najaf abad dan Isfahan.
Figur lain yang sangat mempengaruhi kehidupan beliau adalah sosok Imam Khomeini. Ia mulai mengenal Imam sejak tahun 1964 melalui surat-surat dan ceramah-ceramah imam dalam rangka menyelamatkan masyarakat islam Iran dari cengkeraman Rezim syah dan boneka-boneka Amerika serikat.[67] Surat-surat Imam dari perancis digambarkan Qiraati seperti kampak nabi Ibraihinm yang dapat menghancurkan patung-patung berhala abad ini , Karena itu Imam juga mendapat gelar ruhullah. Bagi Qiraati Imam Khomeini adalah wasiat tuhan di muka bumi yang akan memberi rahmat kepada seluruh manusia. Karena Imam melihat semua kalangan dengan pandanga yang sama. Qira’ati juga adalah seorang mubalig yang sangat mencintai anak-anak muda dan itu tak lepas dari misinya sebagai mubalig. Ia merasa itu adalah panggilah Ilahi dan ia merasa bahwa dakwah itu harus dinikmati oleh semua kalangan
Ayatulah ini juga telah menghasilkan berbagai karya di antaranya kitab Ushuludin dalam lima jilid, tafsir an-Nur 12 jilid, Ensiklopedia salat 10 jilid, tentang Haji, Ammar makruf nahi-munkar, Tafsir anak muda surah yusuf, tafsir anak muda surah al-Ankabut, surah al-Isra, tafsir anak muda surah Luqman, tafsir anak muda surah al-Hujurat, tafsir anak muda surah Yasin, tentang Dosa, dan sebagainya.
Peranan para ulama di tengah-tengah masyarakat Iran dari dulu hingga saat ini dan terutama di zaman Khomeini dan Ali Khamenei, tidak mungkin diabaikan dari panggung sejarah. Mereka dengan segala kesulitan di tengah-tengah masyarakat yang sebagiannya masih sekuler terus berusaha menghidupkan ajaran-ajaran Islam dengan segala metode. Para ulama di bawah kepempimpinan Khomeini menjadi ujung tombak dari sebuah misi Islam yang hadir dalam setiap kancah perjuangan. Di antara sekian ribu ulama yang turut menghidupkan revolusi dan menjaga semangatnya adalah Muhsin Qiraati, seorang murid Khomeini yang mewarisi sifat tidak bisa tinggal diam atas segala problema umatnya.
Memang Islam mengkategorikan ulama dalam struktur sosialnya. Menurut Islam ulama itu ada beberapa kategori ulama yang lebih sibuk dengan kepentingannya sendiri tapi ada juga ulama ideal yaitu sosok dan figur yang terusm selain sebagai pemandu umat di saat yang sama ia juga aktif dan memiliki kesadaran social dan politik di zamannya. Seorang ulama umat adalah ulama yang ikut berkiprah terjun untuk mengatasi segala beban penderitaan umat.
Qara'ati pernah bercerita tentang ayahnya yang hingga mencapai usia 45 tahun masih belum diberkati anak. Padahal ia ingin sekali memiliki anak. Kemudian ia pergi ke Mekkah dan memohon di hadapan Kabah. Ia ingin agar jika dikarunia anak, kelak ia akan menjadi seorang muballigh. Lalu ketika dia pulang, Allah Swt memberikannya 12 anak dan semuanya menjadi muballigh, termasuk Qara'ati sendiri. "Saya sekarang bisa berada di negeri Indonesia di hadapan Anda sekalian berkat ayah saya yang menangis di hadapan ka'bah", katanya di hadapan jamaah seminar.Qara'ati melanjutkan pembicaraannya. Menurutnya, Muballigh yang baik harus lolos syarat moral.[68]
Qara'ati lalu menceritakan sebuah cerita lain yang menurutnya sangat penting. Pada saat peperangan antara Irak dan Iran, ada seorang ulama bernama Abu Thuraby yang ditawan oleh Saddam selama 10 tahun dan dia adalah pemimpin dari 100 ribu tawanan yang ada di Irak. "Saya pernah belajar bersama-sama beliau. Saya ingin mengetahui bagaimana seorang ruhani menjadi pemimpin dari 100 ribu tawanan", ujar Qara'ati. Ini cerita yang sangat penting dalam hidupnya, yang perlu diceritakan kepada orang lain, bahkan mungkin layak untuk dibuatkan film.
Qara'ati melanjutkan ceritanya. Ada sebuah mobil palang merah datang untuk melihat para tawanan dan mereka datang kepada Abu Thuraby. Palang merah ini bertanya tentang apakah ada penyiksaan dari Saddam kepada para tawanan. Namun beliau tidak menjawab karena di situ ada seorang kolonel tentara yang berdiri mengawasi mereka. Setiap kali mereka bertanya tentang itu kepadanya beliau tidak menjawab. Akhirnya mereka meninggalkan tempat itu. Si kolonel yang mengawasi tersentuh hatinya dan menghampiri Abu Thuraby. Dia berkata, "Saya sendiri yang menyiksa Anda. Saya sendiri yang dulu memaku kepala Anda."
Tahukah Anda apa yang dikatakan Abu Thuraby? Beliau menjawab, "Kenapa saya tidak katakan pada mereka tentang penyiksaan itu, karena palang merah ini adalah Kristen dan Anda adalah seorang Muslim. Karena dalam al-Quran dikatakan, jangan pernah menceritakan kepada orang kafir yang dengannya Anda merasakan kebaikan-kebaikan mereka." Kolonel itu merasa tersentuh dan berkata, "Saya malu kepada Anda dan malu kepada Al-Quran. Anda seorang mullah yang luar biasa. Al-Quran benar-benar telah melebur pada diri Anda."
Si Kolonel itu kemudian bertanya, "Karena Anda telah berbuat seperti itu kepada palang merah tadi, lantas apa yang harus saya perbuat kepada Anda? Dulu saya menyiksa Anda, sekarang saya ingin melakukan sesuatu yang luput dari pandangan Saddam. Apa yang harus saya lakukan untuk Anda?" Abu Thuraby lantas menjawab, "Saya hanya minta satu hal. Izinkan saya bertemu dengan 100 ribu anak muda tawanan-tawanan Iran."
Si Kolonel itu kemudian bekerja sama dengan Abu Thuraby dan menjadi mata-mata beliau di tengah tentara-tentara Saddam. Abu Thuraby lalu menyusun program pembinaan untuk tawanan anak-anak muda ini. Dia memberikan bimbingan tahfiz Quran, tafsir Quran, bahasa Inggris, Nahjul Balaghah, retorika, dan selama 10 tahun ia menjadi pemimpin mereka. Hal itu karena ayat yang dibacakan olehnya kepada si kolonel tadi.[69] Qara'ati berkata, agama Islam memiliki daya tarik tersendiri. Imam Ridha as pernah berkata, "Seandainya seluruh manusia mengetahui betapa manisnya agama ini, niscaya mereka akan masuk Islam".[70]
Qara'ati lalu bercerita tentang pengalamannya. Di Iran, ia biasa berceramah di hadapan ribuan orang. Suatu waktu, terdapat anak-anak kecil persis berada di bawah mimbarnya. Pada waktu itu beberapa orang perwira penting datang pada acara itu. Pimpinan majelis lalu mengangkat anak-anak kecil untuk tempat duduk para perwira. Qara'ati melihat hal tersebut dari atas mimbar dan menurutnya hal itu adalah kemunkaran. Beliau berkata bahwa ia harus mengatakan hal tersebut. Menurut Qara'ati, seandainya dalam sebuah majelis ada seorang anak yang duduk lalu ia dipindahkan untuk tempat shalat seorang presiden, maka shalat presiden itu tidak akan diterima oleh Allah Swt. Lalu, Qara'ati berhenti berbicara dalam acara itu dan berkata selamat datang kepada para penguasa negeri Iran seraya mengatakan bahwa mereka telah merampas hak dari anak-anak kecil. Mendengar itu, mereka berdiri dan mencari tempat yang kosong. Qara'ati lantas mempersilahkan anak-anak kecil tadi untuk kembali duduk di tempatnya semula. Inilah salah satu contoh dari perkataan Imam Ridha di atas, bahwa seandainya mereka mengetahui manisnya agama ini tentu mereka akan masuk Islam.[71]
B. Metode Tafsir Qira’ati
Dalam sub bab ini akan dijelaskan mengenai bahasan-bahasan untuk menjawab permasalahan nomor 1 dan 3, yaitu metode tafsir yang dikembangkan oleh Qira’ati dan kontribusi metode tafsir Qira’ati terhadap perkembangan ilmu dakwah
Dalam Bab III telah dijelaskan mengenai corak dan metode tafsir. Hal itu akan menjadi satu alat analisis dalam melihat metode tafsir yang dikembangkan oleh Qira’ati. Jika dilihat dari pembagian corak tafsir, Qira’ati lebih mewakili corak penafsiran sebagaimana dianut awalnya oleh Syaikh Muhammad 'Abduh (1849-1905 M), yakni satu corak tafsir yang menjelaskan petunjuk-petunjuk ayat-ayat Al-Quran yang berkaitan langsung dengan kehidupan masyarakat, serta usaha-usaha untuk menanggulangi penyakit-penyakit atau masalah-masalah mereka berdasarkan petunjuk ayat-ayat, dengan mengemukakan petunjuk-petunjuk tersebut dalam bahasa yang mudah dimengerti dan indah didengar.
Hal itu bisa dibuktikan dari karya-karya tafsirnya yang memiliki corak penggunaan bahasa yang sederhana, mudah dipahami, dan menembus alam realitas yang nyata sehingga teks al-Qur’an yang bersifat “langit” dapat “dibumikan”. Qira’ati bahkan menulis tafsir khusus untuk para remaja[72], yang mendapat respon luar biasa.
Dalam kata pengantar dari salah satu seri buku “Tafsir Untuk Remaja” Qira’ati mengemukakan:
“Saya bersyukur kepada Allah Swt karena hingga saat ini telah menyelesaikan tafsir 25 juz al-Quran dalam tempo lima tahun, dicetak lebih dari sepuluh kali dan dinobatkan sebagai ‘buku pilihan’ Republik Islam Iran pada tahun 1376 HS/1997M. Atas kemurahan (luthf) Tuhan pula, ringkasan dari tafsir ini telah dialihbahasakan ke dalam lebih dari dua puluh bahasa dunia, disiarkan di Radio Internasional Iran serta mendapat sambutan luas masyarakat Muslim.”[73]
Pemakaian kata-kata yang sederhana dan menyentuh realitas dengan mengambil analogi-analogi dari kehidupan nyata, banyak ditemui dalam karya-karya tafsir Qira’ati. Hal itu misalnya, dapat ditemui dalam salah satu karyanya, yaitu ketika membahas mengenai pertanyaan: Mengapa dianjurkan membaca bismillah sebelum memulai setiap kegiatan? Qira’ati mengulasnya dengan perumpamaan-perumpamaan yang diambil dari kehidupan nyata sehingga memudahkan pemahaman:
“Selalu berniat dengan nama Allah adalah bagian dari gaya hidup seorang muslim, Karena itu ia akan selalu mengucapkan kata Bismillah sebelum memulai segala aktifitas.
Produk-produk sebuah perusahaan biasanya diberi logo dengan lambang perusahaan tersebut Misalnya perusahaan pembuat keramik akan memberi cap logo perusahaan tersebut di atas seluruh produknya baik yang berukuran kecil maupun besar, atau seperti bendera-bendera setiap negara yang dikibarkan di kantor-kantor, sekolah-sekolah atau di tapal-tapal perbatasan negara-negara tersebut, di kapal-kapal yang berlayar di lautan dan di meja-meja para karyawan. Jadi bismillah adalah logo atau lambang yang akan terlihat dalam setiap aktifitas seorang muslim.”[74]
Contoh lainnya adalah ketika Qira’ati menafsirkan salah satu ayat dalam Surah Yasin, ia menjelaskan dengan ciri khasnya, yaitu perumpamaan dan memberikan penjelasan mengenai pelajaran yang bisa diambil:
“Al-Quran mengatakan, “Naktubu ma qaddamu wa atsarohum, “ Kami tidak hanya mencatat amal-amal hamba kami tapi juga buah dari amal-amal itu. Untuk lebih memperjelas maksud dari ayat itu kami akan memberikan contoh: Kalau seseorang secara tidak sopan masuk ke sebuah undangan pernikahan dan dengan kecerobohannya mengakibatkan listrik menjadi putus dan gelap, karena gelap terjadilah peristiwa-peristiwa yang tidak diharapkan seperti ada yang jatuh dari lantai, piring menjadi pecah, sepatu menjadi hilang, anak-anak ketakutan, ada orang yang mencuri, pernikahan menjadi kacau adan tuan rumah merasa tercemar padahal ini adalah efek dari perbuatan sederhana yaitu memutuskan listrik.
Sekarang saya juga akan membuat contoh tentang efek dari perbuatan baik Di dalam al-Quran dua kata la taqtulu (jangan bunuh!) yang keluar dari mulut seorang wanita dan seorang lelaki. Seorang wanita yaitu istrinya Fir’aun ketika melihat suaminya mau membunuh Musa, karena perbuatan baik ini Musa menjadi selamat kemudian Musa menjadi nabi dan Bani Israel diselamat oleh Musa as dari keganasan Fir’aun (ini adalah efek dari perbuatan baik seorang wanita).
Peristiwa kedua, ketika saudara-saudara Yusuf ingin membunuh Yusuf. Salah seorang dari mereka mengatakan jangan dibunuh! dengan peringatan itu Yusuf menjadi selamat tidak dibunuh tapi hanya diletakkan di sumur. Efek dari larangan membunuh ini membuat Yusuf tetap hidup, kemudian Yusuf menjadi seorang yang berkuasa di pemerintahan; ia juga berjasa menyelamatkan rakyat dari paceklik berkepanjangan (ini adelah efek yan baik dari perbuatna yang baik).[75]
Setelah Qira’ati menafsirkan makna dari ayat tersebut, ia juga memberikan butir-butir penting mengenai pelajaran yang dapat diambil dari ayat tersebut:
Pesan-pesan:
1- Salah satu bagian tugas nabi adalah menjelaskan sejarah masa lalu.
2- Sejarah orang-orang dahulu mengandung pelajaran yang amat berharga.
3- Seorang guru dan seorang mubalig harus memahami sejarah.
4- Masyarakat memiliki hukum-hukum yang pasti sehingga sangat mudah untuk membaca masa depan masyarakat itu. Demikian juga sunatullah adalah satu hukum yang tetap untuk semua bangsa dan suku.
5- Perumpamaan yang terbaik adalah perumpaan yang nyata dan bukan rekayasa.
6- Belajarlah dari sejarah dan jangan hanya terpesona dengan cerita-ceritanya.
7- Para nabi itu mendatangi umat dan tidak hanya duduk bertopang dagu menunggu umat datang.[76]
Sedangkan jika dilihat dari pembagian metode tafsir pada Bab III, metode tafsir Qira’ati lebih condong pada penggabungan metode tahlily dan metode ijmali. Dikatakan metode tahlily karena Qira’ati menafsirkan ayat al-Qur’an berdasarkan urutan ayat-ayatnya lalu dijelaskan makna-makna yang terkandung di dalamnya; dan dikatakan metode ijmaly dikarenakan berusaha menafsirkan Al-Qur'an secara singkat dan global, dengan menjelaskan makna yang dimaksud tiap kalimat dengan bahasa yang ringkas sehingga mudah dipahami.
Bukti bahwa Qira’ati menggunakan metode ijmaly telah dikemukakan contoh-contohnya di atas, yaitu dengan bahasa yang ringkas dan mudah dipahami. Sedangkan bukti bahwa Qira’ati menggunakan juga metode tahlily karena di hampir seluruh kitab tafsirnya ia menjelaskan makna ayat demi ayat dari suatu surat disertai pembahasan mengenai arti kata dan argumen-argumen pendukung, seperti menukil hadis-hadis dari Ahlul Bayt dan juga dari pendapat para mufassir lain, seperti Thabathaba’i dan sebagainya.
Dalam menafsirkan makna surat al-Ankabut misalnya, Qira’ati membahasnya dengan kandungan makna ayat demi ayat dari ayat 1 sampai dengan terakhir. Berikut adalah kutipan tafsir Qira’ati mengenai surat al-Ankabut ayat 1-3:
Alif Lâm Mîm (QS. Al-ankabut : 1)
Apakah manusia mengira bahwa mereka akan dibiarkan hanya dengan mengatakan, “Kami telah beriman,” dan mereka tidak diuji? (QS.Al-ankabut: 2)
Dan sungguh kami telah menguji orang-orang sebelum mereka, maka Allah pasti mengetahui orang-orang yang benar dan pasti mengetahui orang-orang yang dusta (QS. al-Ankabut :3)
Butir-butir penting
1- Istilah fitnah pada asalnya berarti meleburkan, mencairkan, melarutkan emas supaya unsur yang tidak murninya terpisah, karena dengan cobaan, kesulitan dan peristiwa akan tampak sifat-sifat asli manusia, apatah yang baik atau yang buruk, maka peristiwa-peristiwa dan cobaan itu disebut fitnah.
Pesan-pesan
1- Iman tidak cukup dengan diucapkan tapi harus diuji. Apakah manusia mengira bahwa mereka akan dibiarkan hanya dengan mengatakan, “Kami telah beriman,” dan mereka tidak diuji? (QS.al-Ankabut : 2). Syair mengatakan :
“Sa’di walaupun terkenal sebagai tukang nasehat dan jago bicara
Tapi ia juga suka beramal dan tidak hanya berbicara.”
2- Ujian adalah ketetapan Allah di sepanjang sejarah. Dan sungguh kami telah menguji orang-orang sebelum mereka,
3- Janganlah mengira bahwa kejadian-kejadian itu bukan merupakan ujian.
4- Dengan mempelajari sejarah masa lalu akan membuat kita siap menghadapi segala ujian. Dan sungguh kami telah menguji orang-orang sebelum mereka,
5- Cobaan-cobaan Ilahi untuk membuktikan ilmu-Nya, memilih mukmin hakiki dan mengembangkan kapasitas dan potensi manusia.[77]
Dari contoh penafsiran yang dilakukan oleh Qira’ati di atas, terlihat bahwa ia menjelaskan makna dari surat al-Ankabut ayat demi ayat tanpa menghubungkan dengan ayat-ayat lain. Lalu dilanjutkan dengan mengungkap makna-makna yang dimaksud dari ayat tersebut melalui pendekatan arti bahasa dan konteksnya.
Mengenai penggunaan metode tafsir tahlily ini, terdapat banyak kritik. Baqir Shadr, misalnya, mengatakan bahwa metode ini walaupun dinilai sangat luas, namun tidak menyelesaikan satu pokok bahasan, karena seringkali satu pokok bahasan diuraikan sisinya atau kelanjutannya pada ayat lain.[78] Shadr menilai bahwa metode tahlily telah menghasilkan pandangan-pandangan parsial serta kontradiktif dalam kehidupan umat Islam.[79]
Sihahb pun berpendapat serupa, bahwa dalam tafsir tahlily para penafsir yang menggunakan metode itu tidak jarang hanya berusaha menemukan dalil atau lebih tepat dalih pembenaran pendapatnya dengan ayat-ayat Al-Quran. Selain itu, terasa sekali bahwa metode ini tidak mampu memberi jawaban tuntas terhadap persoalan-persoalan yang dihadapi sekaligus tidak banyak memberi pagar-pagar metodologis yang dapat mengurangi subjektivitas mufasirnya.[80]
Namun, meskipun terdapat kelemahan dalam metode tafsir tahlily, tafsir Qira’ati berhasil memberikan kontribusi pada corak pembahasannya yang lugas, sederhana sehingga mudah dipahami bahkan oleh remaja sekalipun, sehingga jiwa al-Qur’an sebagai sumber dari ajaran Islam yang bersifat rahmatan lil ‘alamin dengan sendirinya tercapai, yaitu dapat menjangkau seluruh lapiran.
B. Kontribusi Qira’ati terhadap Ilmu Dakwah
1. Dakwah dalam Perspektif Qira’ati
Dakwah dalam perspektif Qira’ati diartikan sebagai aktivitas memberi petunjuk kepada manusia sebagai tugas utama nabi-nabi. Bahkan dengan tegas Allah swt mengatakan: Dan sungguh, kami telah mengutus seorang rasul untuk setiap umat (untuk menyerukan) sembahlah Allah, dan jauhilah Tagut! (an-Nahl :36).
Kisah-kisah para nabi yang dianggkat oleh al-Quran adalah aktifitas dakwah mereka yang merentang sejak nabi yang pertama sampai nabi yang terakhir Muhammad saw: Sesungguhnya kami mengutusmu dengan kebenaran untuk membawa kabar gembira dan peringatan dan tidak ada satupun umat melainkan di sana telah datang seorang pemberi peringatan (QS. fathir : 24). Allah menjuluki nabi sebagai mubalig syariat dan ia juga memperkenalkan nabinya: “Sesungguhnya kami mengutusmu untuk menjadi pembawa kabar gembira dan pembawa peringatan”.
Dengan demikian, dakwah adalah usaha untuk menyebarkan ajaran Islam kepada manusia, mengajak untuk menuji kepada Dzat yang menghidupan manusia. Ia mengajak kepada yang akan menghidupkan kalian (QS al-Anfal: 24). Dakwah Islam dalam arti lain adalah menghidupkan kebaikan-kebaikan manusia dan memberi petunjuk spiritual.
Dan apakah orang yang sudah mati lalu kami hidupkan dan kami beri dia cahaya yang membuatnya dapat berjalan di tengah-tengah orang banyak, sama dengan orang yang berada dalam kegelapan, sehingga dia tidak dapat keluar dari sana? (QS. al-an’am: 122)
Misi Rasul di antaranya adalah menyelamatkan manusia dari kegelapan menuju cahaya. Memberi petunjuk artinya menghidupkan ruh manusia, karena manusia yang hidup adalah juga dapat menghidupkan masyarakat sekitarnya. Barang siap menghidupkan seorang manusia, berarti ia telah menghidupkan semua manusia (QS al-Maidah: 32).
Jadi dakwah menjadi tugas yang mulia dan kebaikan yang sangat tinggi sebab ia menghidupkan seluruh manusia Siapakah yang memiliki kata-kata yang terbaik dibanding orang yang menyeru kepada Allah dan melakukan amal salih (QS. al-Fushilat :33). Thabarsi menafsirkan ayat tersebut bahwa mengajak manusia kepada agama Allah adalah kewajiban dan ketaatan yang paling utama.[81]
Dakwah yang akan dibicarakan di dalam penelitian ini adalah dakwah dalam pengertian agama Islam. Dakwah Islam adalah menyampaikan pesan-pesan Illahi dengan metode yang mencerahkan sehingga massa menjadi tertarik dan simpati, dan dengan menggunakan media-media yang benar. Ada perbedaan besar antara dakwah dalam Islam dan di luar Islam. Dalam Islam dakwah memiliki motivasi yang sakral. Seorang pembawa pesan harus memiliki sifat amanah, jujur, dan tidak melakukan distorsi atas pesan yang ingin disampaikannya. Islam tidak mengizinkan seorang da’i untuk menggunakan segala cara dan atau metoda-metoda yang tidak benar. Tujuan dan sarana dalam Islam sama pentingnya.
Al-Quran sendiri mengatakan :
Dan tidak sepatutnya orang-orang mukmin itu semuanya pergi ( ke medan perang). Mengapa sebagian dari setiap golongan di antara mereka tidak pergi untuk memperdalam pengetahuan agama mereka dan untuk memberi peringatan kepada kaumnya apabila mereka telah kembali, agar mereka dapat menjaga dirinya (QS. at-Taubah: 122)
Dan hendaklah di antara kamu ada segolongan orang yang menyeru kepada kebajikan, menyuruh (berbuat) makruf, dan mencegah dari yang mungkar (QS Ali Imran : 104).
Imam Khomeini mengatakan:
“Sekarang apa saja yang dikatakan di sini akan segera menyebar di seluruh dunia. Radio akan menyiarkan apa yang terjadi di sini karena itu sekarang hujah bagi kita semakin besar. Dakwah semakin penting karena sekarang anda tidak harus mendidik massa di masjid saja karena radio sekarang bisa menyuarakan suara anda dan sampai ke dunia luar.” [82]
Imam Khomeini di tempat lain mengatakan wali-wali kita harus melawan kaum tiran baik dengan dakwah atau dengan menggunakan senjata. Ketika Imam Khomeini bertamu dengan menteri kebudayaan Islam dan anggota dewan kerjasama mengatakan bahwa senjatanya adalah tabligh.[83]
Dakwah sejak awal islam adalah hal yang sangat ditekankan oleh Islam. Sebagaimana belajar adalah taklif maka dakwah juga lebih wajib belajar adalah mukadimah dalam tablig dan mukadiah untuk memberi nasihat.
Khomeini menjelaskan tugas para ruhaniawan:
“Kita memiliki tugas yang besar kita harus menyampaikan ajaran-ajaran islam sebagaimana apa adanya, seperti yang dijelaskan oleh tuhan, dan seperti yang dijelaskan dalam riwayat-riwayat dan ayat-ayat al-Quran, kita harus menyampaikan ke masyarakat dunia, demikian dan seterusnya demikian. Dan bahkan lebih kuat dari senjata dan tank. Pekerjaan untuk menarik hati orang adalah sebuah seni dan seni ini berasal dari islam.”[84]
Ali Khamenei mengatakan mengomentari tentang aktifitas para misionaris kristen. Ada manusia-manusia yang berasal dari kota-kota yang makmur di Eropa mereka datang ke tempat-tempat yang jauh ribuan kilometer ke Amerika latin, ke Afrika dan bertahun-tahun tinggal di sana. Dan saya juga berulang kali mengatakah kepada para ahli ilmu saya membaca perjuangan pendeta-pendeta yang aktif dan tinggal di wilayah-wilayah koloni yang tidak pernah diinjaki oleh kaki-kaki para penjajah. Mereka membawa salib-salib untukmenyebarkan ajaran-ajaran khurafat kristen di zaman ini. Mereka juga mengkristenkan sebagian orang-orang islam kalau merkea benar-benar bekerja keras di jalan kebatilan mengapa kita tidak mau berbuat apa-apa?[85]
Kalau memang benar, bahwa kemuliaan satu disiplin ilmu karena kemuliaan tujuannya, maka kita harus meyakini bahwa salah satu disiplin ilmu yang mulia adalah dakwah atau menyampaikan ajaran-ajaran agama. Atau yang dikenal di sini sebagai ceramah di atas mimbar karana dakwah adalah menyampaikan menyampaikan ajaran-ajaran agama. Nasihat-nasihat untuk membersihkan manusia (tazkiyatunna nafs), mengajarkan ajaran-ajaran ilahi agar manusia dapat mencapai maqam yang lebih mulia.
Ali Khamenei juga mengatakan, “Jangan kalian bawa-bawa pedang ke negeri-negeri Islam karena pedang tidak bisa meyakinkan iman manusia. Yang dapat meyakinkan mereka adalah nasihat-nasihat dan ajaran-ajaran tuhan!” [86]
Seorang ruhani adalah pembimbing manusia ke arah yang telah ditunjukan al-Quran dan Rasullullah saw. Salah satu wasilahnya adalah dengan memberi peringatan. Perlu disadari bahwa kita sedang menduduki posisi figur ulama-ulama yang ingin mengabdikan dirinya demi memelihara agama. Mereka adalah kelompok yang ingin memberi petunjuk kepada manusia di sepanjang hidup mereka. Mereka adalah manusia-manusia yang ingin mencerahkan hati, mengubah kehidupan dan mensucikan langkah-langkah perjalanan manusia.
Menurut Qiraati dakwah atau memberi peringatan adalah bagian dari fitrah:
“Rasulullah saw pernah berdoa meminta agar ilmunya ditambah rabi zidni ilman artinya ilm nabi saja terus berusaha ingin menambah ilmunya apalagi. Memberi peringatan adalah bagian dari fitrah, insting semua makhluk. Kita bisa belajar dari hewan-hewan ketika mereka terancam maka mereka akan memberi tahu hewan-hewan lain, atau ketika mereka mendapat sesuatu yang menarik mereka juga suka memberitahukan yang lain.”[87]
Qiraati mengajarkan tentang pentignya dakwah. Dalam hal in al-Quran juga memberi ilustrasi tentang peristiwa yang tejadi pada tentara Sulaiman ketika melewati sesuatu tempat, seekor semut segera memberi tahu yang lain agar segera menyingkir dan jalan agar tidak diinjak atau begitu pula tengan burung hud-hud yang memberi tahu tentang tradisi kaum saba yang suka menyemba matahari.
Dakwah itu penting kata Qiraati karena yang mengancam manusia atau yang membahayakan manusia tidak absen dari kehidupan manusia. Yang mengancam kehidupan manusia selalu ada dan eksis serta tidak pernah absen maka yang memberi tahu ancaman itu juga selalu akan ada dan siap memberi tahukan kepada manusia. Al-quran mengatakan bahwa di setiap umat selau ada nadzir (Wa in min umatin illa kholla fiha nazirun). Manusia yang pertama kali muncul di muka bumi adalah mubalig dan ayat pertama yang turun kepada nabi juga adalah ayat tabligh.[88]
Tujuan dakwah itu bermacam-macam. Kaum imperialis berdakwah demi melemahkan manusia mereka mengeluarkan anggaran untuk melemahkan yang lain dan menurutinya tapi tujuan tablig para nabi adalah menyelamatkan manusia dari thagut dan hawa nafsu, kebodohan, perpecahan, syirik sekaligus mengajark manusia agar mengimani tuhan.[89] Tujuan tabligh Nabi bisa diringkas dalam satu kalimat ayat al-Quran yaitu ‘ubudullah waj tanibut thagut. Sembahlah Allah dan jauhilah Thagut!”[90]
Imam ali as mengatakan dalam kitab Nahjul Balaghah bahwa nabi-nabi datang untuk menggali akal yang terkubur, menyebarkan syariat tuhan dan melawan kezaliman, menyebarkan keadilan dan menghidupkan ketakwaan, menyempurnakan hujah, irsyad dan ammar makruf nahi munkar.[91]
2. Urgensi Dakwah Perspektif Qiraati
Manusia adalah makhluk yang paling suka memperhatikan dirinya, tak peduli berapa banyak biaya dan waktu yang diperas habis demi dirinya. Karena saking cinta kepada dirinya ia akan berusaha menjaga dirinya sademikian rupa sehingga bisa selamat dari segala bahaya. Anggaran pertahanan, anggaran kesehatan, rumah-rumah anti gempa dibangun, pakaian-pakaian anti pelurus dan kendaraan lapis baja semua untuk menjaga dan menyelamatkan dirinya. Padahal ada musuh besar yang lebih berbahaya bagi dirinya dan musuh itu tidak kelihatan seperti kebodohan, lalai, hawa nafsu, perasaan-perasaan yang kotor, godaan setan baik setan berbentuk manusia atau jin. Orang-orang yang selalu memberi peringatan adalah para nabi.
Marilah sekarang kita pikirkan, ada sebuah perumpamaan misalnya ada 1000 orang yang berangkat ke satu tempat dengan menggunakan kendaraan-kendaraan mereka. Polisi sudah memberi peringatan kepada mereka bahwa mungkin ada bahaya di depan sana dan karena itu mereka harus mempersiapkan diri. Sebagian penumpang membawa alat-alat yang diperlukan untuk berjaga-jaga, sebagian yang lain tidak membawa apa-apa. Seandainya di tengah-tengah jalan tidak terjadi apa-apa maka membawa peralatan itu sama sekali tidak merugikan mereka yang berbahaya adalah kalau terjadi sesuatu dan mereka tidak membawa alat-alat yang diperlukan maka barulah mereka sadar betapa pentingnya sekarang alat-alat tersebut.
Sekarang marilah kita renungkan tentang diri kita, manusia-manusia di dunia ini sedang menempuh sebuah perjalananan menuju Allah Swt memberi peringatan kepada kita melalu para nabi dan rasul-Nya. Bahwa setela mati kita akan dihidupkan lagi, akan ada perhitungan semua amal perbuata akan ada dibalas dengan siksaan atau dibalas dengan pahala. Perjalanan kamu ini sangat berbahaya kalian harus membawa perbekalan jangan membawa barang-barang yang dilarang, Awasi kecepatan kalaian dan dengarkan peringatan para ulama. Masyarakat yang mendengar peringatan ini terbagi menjadi dua bagian. Ada golongan yang mau berhati-hati dengan melaksanakan salat, membayar khumus dan zakat, infak dan sedekah mereka menghindari dosa dan tidak memakan hal-hal yang diharamkan dan membawa bekal ketakwaan tetapi ada kelompok lain yang malah takabur, memperturutkan hawa nafsu, tidak mau beriman tidak melaksanan salat dan membela hak-hak orang miskin dan malah hidup seenaknya. Kemudian kita perhatikan apa yang terjadi di akhir dari kehidupan mereka Kita akan mengatakan kepada golongan yang melawan bahwa kalaupun seandainya hari kiamat itu tidak akan terjadi maka kita lihat- orang-orang yang bertakwa mereka melalukan salat beberapa menit membantu orang-orang fakir, melakukan puasa setahun sekali, dan jika mememiliki kelebihan mereka akan pergi ke haji maka apakah hal-hal itu merugikan? Kelompok ini seperti para pemilik kendaaraan yang membawa ala-alat yang diperlukan tapi kemudian ternyata tidak digunakan.
Namun kalau hari kiamat memang terjadi (yang bisa dibuktikan dengan ribuan dalil) maka orang-orang yang tidak mau mengikuti perintah Allah dan tidak mau mendengarkan peringatan-peringatannya, tidak mau beriman, tidak mau melaksanakan salat, tidak mau mengeluarkan zakat, tidak mau bertakwa dan tidak beramal saleh akan menghadap kepada Allah dengan tangan kosong, lalu apa yang bisa mereka lakukan saat itu?
Akal sehat mengatakan seperti hal nya ketika orang-orang pintar mempersiapkan diri untuk menghadapi musuh-musuh bayangan dengan mempersiapkan senjata dan anggaran-anggaran. Kalaupun perang itu tidak terjadi maka persiapan itu juga tidak ada ruginya, tapi kalau perang terjadi sementara mereka tidak memiliki persiapan maka sungguh kecelakaan bagi mereka.[92]
Salah satu mandat terpenting para nabi adalah memberitahukan sebuah bahaya besar dan di sepanjang masa Allah Swt tidak pernah tidak memberitahukan bahaya ini kepada semua umat. Jadi manusia memang jangan pernah main-main dengan ancaman dari para pengancam yang tidak pernah berdusta ini
Sungguh pasti berlaku perkataan (Hukuman) terhadap kebanyakan mereka, karena mereka tidak beriman.(QS. Yasin :7)
Sungguh kami telah memasang belenggu di leher mereka dan dibelakang mereka (diangkat) ke dagu, karena itu mereka tertengadah.(QS. Yasin : 8)
Menurut Qiraati mandat dan tanggung jawab dakwah sangat berat karena yang memikul pertama kali adalah kelompok nabi,kemudian auliya dan manusia-manusia maksum. Tujuan dakwah tentu sangat bervariasi dan tidak hanya tidak bisa dibatasi oleh tempat tertentu. Seperti Rasulullah yang menyampaikan misi melintas batas-batas geograpi ke seluruh negeri-negeri seperti Yaman, Ethiopia, Iran. Imam Khomeini sendiri juga bahkan menulis surat dakwah kepada pemimpin negara komunis terbesar di dunia saat itu.
Qira’ati berkata:
“Beberapa tahun kemudian saya menemukan satu jawaban bahwasanya al-Quran selalu memperhatikan dimensi psikologis pembaca atau pendengar dalam tehnik penyampaia pesan yang dikandung oleh ayat-ayatnya sebagaimana lazimnya harus dikuasai oleh para dia ketika menyampaikan pesan-pesan dakwanya. Al-Quran juga memiliki daya pikat yang efektif dan kuat dalam menari hati para pembacanya. Kedua rahasia kehebatan al-quran itu tersembunyi di balik kata-kata yang dipakainya”.[93]
Ulama besar indo-Pakistan, Khursid ahmad mengatakan, “Keunikan islam itu terletak pada kenyataan, bahwa agama ini mendasarkan diri pada sebuah kitab, yaitu al-quran. Demikian pula halnya dengan umat (al-ummah). Al-Quran adalah sumber yang kaya dan inspirati tetapi untuk membaca cara berpikrinya memang tidak mudah tidak setiap orang memikiki kesempatan dan kemampuan seperti itu.
Al-Quran adalah sumber yang kaya dan inspirasif tetapi untuk membaca cara berpikirnya memang tidak setiap orang memikiki kesempatan dan kemampuan seperti itu. Dalam hal ini Qiraati dengan latar belakang sebagai ahli tafsir al-quran memiliki kemampuan untuk menggali atau memahami logika berpikir al-quran yang khas, Ini adalah kemampuan dari hasil dialektika antara teks dan realita, sehingg menghasilkan tafsiran yang hidup, mudah, mengena, kreatif dan enak didengar.
Hubungan manusia dengan kitab suci haruslah kekal dan dalam semua aspek, kata Qiraati Jadi kita harus berusaha sebisa-bisanya untuk memberikan perhatian kepada Al-Qur’an suci dan menjadikannya sebagai landasan ilmiah dan praktis kita dalam semua dimensi kehidupan.
Meninggalkan praktek membaca Al-Qur’an, lebih mengutamakan buku-buku lain daripada Al-Qur’an suci, tidak menjadikannya sebagai poros, tidak merenungkan isinya, tidak mengajarkannya kepada orang lain, dan tidak menerapkannya dalam praktek, merupakan perluasan dari arti ‘mengabaikan Al-Qur’an.’ Bahkan orang yang mempelajari Al-Qur’an tetapi tidak memberikan perhatian kepadanya dan tidak merasa bertanggungjawab terhadapnya, berarti telah melalaikan Al-Qur’an.
Mulla Sadra dalam hal ini mengatakan dalam pendahuluan untuk Surat Al-Waqi’ah:
Aku membaca buku-buku dari banyak filsuf sehingga aku mengira bahwa aku mengetahui semua hal dan aku telah menjadi orang yang penting. Tetapi ketika aku mulai meninjau sedikit dari situasi-situasi yang sebenarnya, aku menemukan bahwa aku tidak memiliki pengetahuan yang sebenarnya. Pada akhir masa hidupku, aku mulai merenungkan isi Al-Qur’an Suci dan riwayat-riwayat dari Nabi Saaw dan keluarganya. Aku menjadi yakin bahwa apa yang telah kulakukan hingga saat itu tidaklah berdasar. Sebab selama aku hanya berdiri di bawah bayang-bayang saja dan bukannya dalam sinaran cahaya. Aku menjadi betul-betul sedih, dan kemudian anugerah Ilahi dilimpahkan kepadaku dan aku menjadi akrab dengan rahasia-rahasia Al-Qur’an Suci dan aku mulai menafsirkan dan merenungkan Al-Qur’an. Aku mengetuk pintu wahyu sampai tabir-tabir diangkat dan pintu-pintu dibuka dan aku melihat malaikat-malaikat berkata kepadaku: “... Semoga kedamaian dilimpahkan kepadamu! Kamu adalah manusia yang baik. Karena itu masuklah ke dalamnya untuk berdiam di dalamnya (selama-lamanya).[94]
Fayz al-Kasyani (semoga ruhnya disucikan) dalam hal ini berkata:
Aku menulis buku-buku dan risalah-risalah serta melakukan penelitian. Tetapi tak satupun dari karya-karyaku itu yang bisa mengobati rasa sakitku, dan aku tidak menemukan air untuk memuaskan dahagaku. Aku menjadi khawatir tentang diriku, dan aku berpaling kepada Allah dan bertaubat sehingga Allah membimbingku melalui perenungan terhadap Al-Qur’an dan hadis-hadis.3
Imam Khumayni mengatakan bahwa beliau menyesal tidak menghabiskan seluruh hidupnya untuk Al-Qur’an suci, dan beliau menasehatkan siswa-siswa di pesantren-pesantren agar menjadikan Al-Qur’an dan berbagai dimensinya sebagai tujuan ultimat dalam semua pelajaran, agar di akhir hidup mereka, mereka tidak menyesali masa muda mereka.4
3. Relasi Tafsir dengan Dakwah Perspektif Qira’ati
Seorang mukmin sejati seperti yang dijelaskan oleh ayat memiliki hati yang mudah tergetar begitu telinganya disapa ayat-ayat al-Quran. Sesungguh orang mukmin itu apabila dibacakan ayat-ayat al-Quran maka bergetarlah hatinya dan bertambahlah keimananya dan hanya takut kepada tuhan-nya. (QS al-Anfal : 9).
Ayat ini menggambarkan kedashyatan pengaruh al-Quran terhadap jiwa manusia dan merupakan argument bayani bahwa ayat-ayat al-quran bukan ayat-ayat biasa untuk orang-orang yang beriman dan juga bahkan kepada orang yang tidak beriman sekalipun, Sejarah juga membuktikan bahwa orang-orang musyrik yang membenci nabi Muhammad sekalai saja mau menyimak ayat-ayatnya mereka menjadi terpesona.
Tentu saja mendengar saja tidak cukup seseorang akan lebih tertarik lagi bila benar-benar menghayatinya dengan sepenuh hati. Ayat-ayat al-quran adalah bukti kecintaan Tuhan kepada manusia. Ia adalah surat-surat dari sang kekasih. Ayat-ayat al-Quran bisa anggap memiliki dua kategori; pertama ayat-ayat yang bersifat maulawi dan kedua ayat-ayat yang bersifat irssyadi. Ayat-ayat maulawi adalah ayat-ayat yang harus kita patuhi dan take for granted, karena ia adalah dari seorang maula (pemilik otoritas hukum) seperti ayat-ayat tentang salat, zakat dan sebagainya. Ada juga ayat-ayat irsyadi yaitu ayat-ayat yang mendukung dan memberi dorongan kepada perbuatan atau pada keyakinan yang sebelumnya sudah difahami secara rasional.
Seandainya ayat-ayat ini tidak dicantumkan akal masih tetap meniscayakannya keyakinan atau perbuatan tertentu seperti mengimani kepada Allah, perlunya pengenalam kepada Allah atau isu-isu tentang keimanan atau prinsip-prinsip dalam akidah islamiyah. Ayat-ayat al-Quran adalah irsyadi dari Allah swt yang akan menyambungkan hubungan spiritual antara manusia dengan Allah swt. Tentu saja ayat-ayat Allah tidak hanya terbatas dalam ayat-ayat al-Quran saja tapi juga ayat-ayat kauniyah dan di alam ayat-ayat kauniyah ini menurut Huseni Nashr kita bisa menemukan Vestigia Dei (Jejak-jejak Ilahi). Maka ayat-ayat al-Quran adalah jalan untuk menemukan wisdom, kekayaan spiritual, khazanah keilmuan dan makrifat dan juga bimbingan-bimbingan kehidupan tentang kemahamelimpahan al-Quran. Ali bin Abi Thalib as berkata, di dalam kitab Nahjul Balaghah bahwa al-Quran tidak pernah pernah habis keajaiban-keajaibannya. Ia adalah lautan yang sangat dalam sekali dan tidak memiliki dasar.[95]
Qiraati tidak hanya berhenti pada lafaz-lafaz ayat-ayat lahiriyah, ia menggali lebih dalam lagi cara berpikir al-Quran yang ternyata memang luar biasa. Qiraati berusaha untuk memahami cara berpikir al-Quran dan ini tampaknya kurang dimiliki oleh sebagian besar mubalig. Kreatifitas inilah yang membuat dirina subur dengan terobosan-terobosan baru dalam menyampaikan ceramah-ceramahnya.
Belakangan ini pembahasan tentang kratifitas semakin meluas. Kreatifitas dipandang sebagia satu-satunya karakteristik unik ‘manusia’.. kreatifitas adalah wilayah yang tidak bias dijangkau mikroelektronik. Dalam tulisan-tulsain awal Barat tentang kreatifitas, faktor yang konstan muncul adalah kebaruan (novelty). Dengan semakin banyak riset yang dilakukan terhadap topik tersebut,unsur-unsur lain juga diperhatikan seperti relevansi, efektifitas. [96]
Terlalu banyak aspek kreatifitas yang dimiliki yang dikembangkan oleh Qiraati, salah satu aspek kreatifitas nya adalah pemahaman cara atau ekplorasi dalam menggali cara berpikir al-Quran, tentunya selain gaya komunikasi juga penguasan pskologi komunikasi yang dimilikinya juga turut andil dalam membentuk ciri khas dakwahnya.
Ada dua jenis manusia berpikir atau menarik kesimpulan yang pertama berpikir autistic dan berpikir realistis. Yang pertama adalah melamun, mengkhayal, wishful thinking, dengan berpikir autistic orang melarikan diri dari kenyataan dan melihat hidup sebagai gambar-gambar fantastis. Ini adalah tipe mubalig yang ingin memaksakan doktrin dan dogma sebagai salah satu tafsiran atau tafsiran terbaik atas kenyataan tapi ada juga yag berpikir realistik sebagaimana Qiraati yang melihat yang berpikir dalam rangka menyesuaikan diri dengan dunia.[97] Maka Qiraati bisa kita masukan sebagai alim yang berpikir evaluatif yaitu berpikir kritis. Mubalig yang tidak berupaya mendekatkan teks dengan kenyataan akan sulit menjadi mubalig yang kreatif.
Sementara James C.Coleman dan Coustance L.Hammen mendefinisikan berpikir kreatif sebagai: Thinking which produces new methods, new concept, new understanding,new invention,new work art.[98]
Ada Ciri konsep kreatifitas Islam,yaitu
Kreatifitas bersifat multidimensi,menggabungkan unsur fisik, mental, spiritual dan teologis
Karena kreatifitas terkait erat dengan peran kekhalifahan manusia maka ia mesti bersatu dengan konsep tanggungjawab, akuntabilitas, takwa,kerendahan hati dan syukur
Disamping bersifat praktis dan terkait dengan perbuatan penemuan dan kreatif juga harus mencerminkan dimensi spiritualitas manusia dan tidak memiliki fungsi utilitarian kaku
Tidak boleh jadi urusan individualistik
Terkait dengan pahala[99]
Dalam analisa Qiraati ayat-ayat al-Quran itu dapat membaca pikiran manusia secara luar biasa (extraordinary). Al-Quran misalnya sangat mengerti bahwa mengajarkan bahwa manusia secara sejati yang menghajatkan aturan-aturan (syariat) dan bukan sebaliknya. Kebutuhan manusia kepada salat dan sabar misalnya sangatlah inheren dan esensil karena itu mengapa manusia disuruh meminta bantuan kepada salat dan sabar. Al-Quran tahu bawha manusia tidak akan sangggup menyelesaikan hidupnya tanpa kecerdasan spiritual dan salat itu mengajarkan kecerdasan spiritual demikian juga dengan sabar.
Latar belakang sebagai alim dan juga mufasir membantu dirinya untuk membaca gaya berpikir al-quran sedemikian dalam dan menggugah kesadaran. Al-quran juga sering menyampaikan fakta tentang kehancuran sebuah perabadan besar, suatu bangsa yang pernah menjadi besar dalam lintasan sejarah tetapi kemudian menjadi hancur berantakan karena itu.
Kebesaran adalah keagungan akhlak dan karakter dalam hal ini Qiraati menyampaikan pelejaran berharga dari kisah bani Israil yang pernah dicatat oleh al-Quran. Allah Swt di dalam Quran mengatakan kepada bani Israil……Kami telah melebihkanmu dari seluruh alam (QS.al-Baqarah :47), tapi di ayat lain Allah Swt mengatakan ..Dan mereka (kembali) mendapat kemurkaan dari Allah. (QS.Al-Baqarah :61). Timbul pertanyaan bagaimana mungkin satu umat yang diistimewakan menjadi umat yang mendapat kemurkaan?
Jawabannya : Allah Swt menjelaskan bahwa kemurkaan itu karena mereka telah melakukan pelanggaran, diantaranya :
1. Mereka kafir kepada terhadap ayat-ayat Allah Swt.
2. Mereka membunuh para nabi
3. Mereka jago dalam berbuat dosa
4. Para ulama dan orang-orang pintarnya mengubah hukum-hukum tuhan dan menyelewengkannya.
5. Para pedagangnya melakukan perbuatan riba
6. Masyarakat yahudi kehilangan sifat pemberani dan menjadi pengecut, mereka juga mengabaikan perintah nabi
Memang pantas umat yang menggantikan iman dengan kekafiran, membunuhi para nabi, malas berjuang untuk menegakan keadilan, malahan menginjak-injaknya keadilan dan lebih banyak menuruti kesenangan pribadi daripada taat kepada hukum-hukum Allah, meninggalkan perdagangan dan asyik dengan riba, pengecut kehilangan keberanian, akan dihinaakan oleh Allah Swt.
Tetapi yang luar bisa kemudian Qiraati menggiring kita untuk merefleksikan tentang nasib umat Islam di dunia ini. Kaum muslimin di masa-masa awal Islam, dari Madinah, dari sebuah masjid yang disangga dengan 10 tiang dari pohon kurma, sukses melakukan ekspedisi sampai ke jantungnya Eropa. Tapi gerangan apa yang terjadi dengan hari ini? Dengan penduduk milyaran, dengan cadangan minyak dan aset alam yang tidak ternilai, terperosok dalam lubang ketidak berdayaan? Karena mereka tidak punya kekuatan dan tidak punya pemimpin yang kuat. !![100]
Dari contoh-contoh penafsiran yang dilakukan oleh Qira’ati di atas, hal itu memberikan gambaran yang jelas mengenai kontribusinya terhadap perkembangan ilmu dakwah, yaitu bahwasanya beliau memiliki jasa besar dalam mengembangkan metode tafsir yang khusus, yaitu penggabungan antara metode tahlily dengan ijmaly sebagaimana telah dikemukakan di atas. Hal itu memberikan kontribusi terhadap perkembangan ilmu dakwah terletak pada upaya membangun fondasi pemahaman terhadap al-Qur’an sebagai sumber utama ajaran Islam, yang juga tidak bisa dilepaskan dari aktivitas dakwah.
Dakwah dengan tafsir adalah dua hal yang saling mendukung. Di satu sisi, dakwah tidak bisa terlepas dari tafsir (cara pemahaman terhadap al-Qur’an), dan di sisi lain al-Qur’an pun memerintahkan untuk berdakwah Dengan demikian, metode yang digunakan dalam pemahaman terhadap al-Qur’an (tafsir) akan memberikan kontribusi juga terhadap cara pandangnya terhadap realitas yang ada, yang pada gilirannya, memberikan pengaruh juga terhadap apa yang disampaikannya terhadap orang lain dalam proses dakwah.
BAB V
KESIMPULAN DAN SARAN
A. Kesimpulan
Dalam bab ini penulis bermaksud menyimpulkan pembahasan yang telah diuraikan pada bab-bab sebelumnya ke dalam beberapa poin sesuai dengan perumusan masalah yang ada dan hasil penelitian yang ditemukan:
1. Metode tafsir yang dikembangkan oleh Qira’ati merupakan penggabungan metode tahlily dan metode ijmali. Dikatakan metode tahlily karena Qira’ati menafsirkan ayat al-Qur’an berdasarkan urutan ayat-ayatnya lalu dijelaskan makna-makna yang terkandung di dalamnya; dan dikatakan metode ijmaly dikarenakan berusaha menafsirkan al-Qur'an secara singkat dan global, dengan menjelaskan makna yang dimaksud tiap kalimat dengan bahasa yang ringkas sehingga mudah dipahami.
Metode tafsir tahlily ini banyak mendapat kritik, yang dinilai tidak menyelesaikan satu pokok bahasan, karena seringkali satu pokok bahasan diuraikan sisinya atau kelanjutannya pada ayat lain, dan lebih bersifat subyektif. Namun, meskipun terdapat kelemahan, tafsir Qira’ati berhasil memberikan kontribusi pada corak pembahasannya yang lugas, sederhana sehingga mudah dipahami bahkan oleh remaja sekalipun, sehingga jiwa al-Qur’an sebagai sumber dari ajaran Islam yang bersifat rahmatan lil ‘alamin dengan sendirinya tercapai, yaitu dapat menjangkau seluruh lapiran
2. Perkembangan ilmu dakwah salah satunya dipengaruhi oleh perkembangan pada ilmu pengetahui Islam, khususnya epistemologi. Epistemologi dakwah yang berkembang saat ini merupakan gabungan dari dua epistemologi, yaitu epistemologi bayâni dan burhâni. Epistemologi bayâni bersumber pada teks, sedangkan burhani bersifat rasional dan demonstratif. Burhâni merupakan kesadaran ontologis terhadap realitas alam, sosial dan manusia. Kesadaran terhadap alam melahirkan ilmu kealaman atau fisika dan astronomi; kesadaran terhadap makhluk hidup melahirkan biologi; kesadaran terhadap realitas sosial melahirkan ilmu-ilmu sosial dan humaniora, sedangkan kesadaran historis melahirkan ilmu sejarah. Dalam konteks ini, epistemologi burhâni inilah yang kemudian dikembangkan sehingga melahirkan kesadaran baru dalam bidang dakwah yang melahirkan teori-teori baru dalam ilmu dakwah.
Pergeseran juga terjadi bukan hanya dari segi teori-teori baru dan epistemologi yang membangunnya, bahkan pada pengertian dakwah, pendekatan dakwah, dan metode dakwah. Ketiganya mengalami perubahan cakupan sesuai dengan kondisi zaman, ilmu pengetahuan, serta kebutuhan umat terhadap dakwah.
3. Dari hasil analisis, menghasilkan kesimpulan mengenai kontribusi Qira’ati terhadap perkembangan ilmu dakwah, yaitu bahwasanya beliau memiliki jasa besar dalam mengembangkan metode tafsir yang khas, yaitu penggabungan antara metode tahlily dengan ijmaly. Hal itu memberikan kontribusi terhadap perkembangan ilmu dakwah terletak pada upaya membangun fondasi pemahaman terhadap al-Qur’an sebagai sumber utama ajaran Islam, yang juga tidak bisa dilepaskan dari aktivitas dakwah. Metode yang digunakan dalam pemahaman terhadap al-Qur’an (tafsir) akan memberikan kontribusi juga terhadap cara pandang seseorang terhadap realitas yang ada, yang pada gilirannya, memberikan pengaruh juga terhadap apa yang disampaikannya terhadap orang lain dalam proses dakwah, sehingga efektivitas dakwah bisa tercapai.
B. Saran-saran
Di bawah ini adalah saran-saran yang dapat penulis kemukakan sehubungan dengan hasil penelitian:
1. Dikarenakan metode tafsir dan dakwah saling berkaitan maka diperlukan penelitian lebih lanjut untuk menguatkan atau mendukung penelitian ini, sehingga dihasilkan kesimpulan penelitian yang lebih komprehensif.
2. Qira’ati merupakan mufassir abad kontemporer, sehingga perlu terus digali pemikiran-pemikirannya. Posisi utama Qira’ati adalah dalam penyampaian makna-makna dari al-Qur’an yang sangat luas biasa mudah dipahami sehingga proses dakwah yang diartikan sebagai penyampaian nilai-nilai Islam akan mudah tercapai.
3. Selain itu, diperlukan penelitian lebih lanjut juga mengenai empat metode tafsir: ma’tsur, tahlily, mawdhu’i, dan ijmaly, serta analisis metode apa yang harus dikembangkan dalam mendukung dakwah.
DAFTAR PUSTAKA
Adz-Dzahabiy, Muhammad Husain. At-Tafsir wa Al-Mufassirun, Kairo: Dar Al-Kutub Al-Haditsah, 1961.
Afzalur Rahman, Al-Quran sumber ilmu pengetahuan Jakarta : Rineka Cipta
Alawiyyah AS, Tutty. Paradigma Baru Dakwah Islam, Dokumen Pidato penganugerahan Doctor Honoris Causa Bidang Dakwah, IAIN Syarif Hidayatullah, Jakarta, 17 Februari 2001.
Ali Iyazi, Sayid Muhammad. Al-Mufasirûn Hayâtuhum wa Manhaju-hum, Teheran: Muasassah al-Thibah wa al-Nasyr, Wizarah al-Tsaqafah wa Al-Irsyad al-Islami, 1414 H.
Al-Mursyid, Ali bin Shalih. Mustazalmat ad-Da'wah fi al-Ashr Al-Hadhir. Jeddah: Maktabah Layyinah, 1989.
Amin al-Syanqithi, Muhammad. Adhwa’ al-Bayan fi Iydhahi al-Qur’an bi al-Qur’an, Kairo: Maktabah Ibn Taymiyyah, Jilid 1, 1988.
Arikunto, Suharsimi. Prosedur Penelitian: Suatu Pendekatan Praktik, Jakarta: Rineka Cipta, 2006.
Asy-Syathibiy, Al-Muwafaqat, Beirut: Dar Al-Marifah, tt.
Baqir Shadr, Muhammad. dalam bukunya Al-Madrasah al-Qur’aniyyah, al-Darsu al-Tsani, Beirut.
Denzin, Norman K. and Lincoln, Yvonna S. “Introduction : Entering the Field of Qualitative Research”’, dalam Norman K. Denzin and Yvonna S. Lincoln (eds), Handbook of Qualitative Research (Sage Publications, London, 1994
Gholwusy, Ahmad. Ad-Dakwah al-Islamiyah, Kairo: Dar al-Kitab al-Mishr, 1987.
Hanafi, Hasan. Al-Yamin wa Al Yasar Fi Al-Fikr Al-Diniy, Mesir: Madbuliy, 1989.
http://id.wikipedia.org/wiki/Tafsir_al_qur'an, diakses tanggal 30 Maret 2008.
Hunter, Shireen T. (ed.), The Politics of Islamic Revivalism, Bloomington: Indiana University Press, 1988.
Husayni, Murtadha. Akhlak Tabligh dar Sirah Rasulullah.
Husein Thaba’thabai, Muhammad. Memahami Esensi Al-Qur’an. Jakarta: Lentera, 2001.
Husein Thaba’thbai, Muhammad. Al-Mizan, jilid 1, Muassassah al-Nasyr al-Islami, Jamiah al-Mudarrisin, Qum, 1414 H.
Ibn Abdurrahman al-Magrawi, Muhammad. Al-Mufassirûn baina al-Ta’wil wa al-Itsbat fi Ayat al-Shifat, Jil. I, Riyad: Dar al-Thaibah, 1405 H.
J.J G. Jansen. Diskursus tafsir al-Quran. Jakarta : Tiara Wacana
Jalaluddin Rakhmat, Metode Penelitian Komunikasi, Bandung: Rosdakarya, 2005.
Jurnal Ulumul Qur’an, I/1993.
Kuntowijoyo, Muslim tanpa Mesjid: Esai-esai Agama,Budaya dan Politik dalam Bingkai Strukturalisme Transendental. Bandung: Mizan, 2001.
Madjid, Nurcholish. Masyarakat Religius: Membumikan Nilai-nilai Islam dalam Kehidupan Masyarakat, Jakarta: Paramadina, 2004.
Mahmud, Ali Abdul Halim. Dakwah Fardiyah, terj. As'ad Yasin. Jakarta: Gema Insani Press, 1995.
Moleong, Lexy J. Metodologi Penelitian Kualitatif, Bandung: Remaja Rosdakarya, 2000.
Mubarok, Ahmad. Psikologi Dakwah, Jakarta: Pustaka Firdaus, 1999.
Muhammad Bagir Shadr. Sejarah dalam perpektif al-Quran. Bandung Pustaka Hidayah
Muhammad Salim, Athiyyah. dalam Muhammad Amin al-Syanqithi, Muqaddimah Adhwa’ al-Bayan fi Iydhahi al-Qur’an bi al-Qur’an, Kairo: Maktabah Ibn Taymiyyah, Jilid I, 1988.
Muhyiddin, Asep dan Safei, A.A. Metode Pengembangan Dakwah, Bandung: Pustaka Setia, 2002.
Murtada Muthahhari. Tafsir surah-surah pilihan. Bandung :Pustaka hidayah
Muslim, Musthofa. Dirasat fi al-Tafsir al-Maudhui li al-Qishosh.
Muthahhari, Murtadha. Asynaai Baa Qur’an. Teheran: Intisyarat Shadra, 1995.
Natsir, Mohammad. Fiqhud Dakwah. Jakarta: Yayasan Capita Selecta, 1996.
Qira’ati, Muhsin. Seri Tafsir untuk Remaja, terjemahan oleh Nano Warno, Jakarta: Al-Huda, 2006.
Qira’ati, Muhsin. Tafsir Surat Al-Ankabut, Terjemahan oleh Nano Warno, Jakarta: Alhuda, 2006.
Qira’ati, Muhsin. Tafsir Surat Yasin, terjemahan Nano Warno. Jakarta: Al-Huda, 2006.
Qira’ati, Muhsin. Tafsir Surat Yusuf untuk Remaja, terjemahan oleh Nano Warno. Jakarta: Al-Huda, 2006.
Rahardjo, Dawam. “Krisis Peradaban Islam”, dalam Abdul Hakim dan Yudi Latif (ed.), Bayang-bayang Fanatisisme, Jakarta: PSIK Paramadina, 2007.
Rahman, Fazlur. Metode dan Alternatif Neo-Modernisme Islam, Bandung: Mizan, 1998.
Rahmat Taufik Hidayah. Khazanah Istilah Al-Quran Bandung Mizan
Rakhmat, Jalaluddin. Psikologi Kebahagiaan, Bandung: Rosdakarya, 2004.
Rakhmat, Jalaluddin. Psikologi Komunikasi, Bandung: Remaja Rosda Karya, 1998.
Sarwono, Jonathan. Metodologi Penelitian Kualitatif & Kuantitatif, Yogyakarta: Graha Ilmu, 2006.
Shadr, Muhammad Baqir. At-Tafsir Al-Maudhu'iy wa Al-Tafsir Al-Tajzi'iy fi Al-Qur'an Al-Karim, Beirut: Dar Al-Tatuf lil Mathbu'at, 1980.
Shihab, Quraish. Membumikan Al-Qur’an. Bandung: Mizan, 1996.
Sugiyono, Statistika untuk Penelitian, Bandung: Alfabeta, 2006.
Suryanegara, A. Mansyur. "Dakwah Bagi Para Politisi" dalam bagian bukunya Menemukan Sejarah, Bandung: Mizan, 1995.
Thaba’thabai, Muhammad Husein. Memahami Esensi Al-Qur’an. Jakarta: Lentera, 2001.
Thabarsi, Majma al-Bayan fi tafsir al-Quran, juz 9, Beirut: Dar al-Ma’arif, 1988.
Thabathaba’i, Muhammad Husein. Al-Mizan, jilid 1, Qum: Muassassah al-Nasyr al-Islami, Jamiah al-Mudarrisin, 1414 H.
Wahid, Fathul. E-Dakwah: Dakwah Melalui Internet, Yogyakarta: Gaya media, 2004.
Watt, Montgomery. Politik Islam dalam Lintasan Sejarah, Jakarta: P3M, 1988.
WWW. QIRAATI. NET
Zed, Mestika “Metode Penelitian Kepustakaan”, http://history2001.multiply.com/journal/item/44, diakses tanggal 30 Maret 2008, pkl.20.05.
Zendegi Nameh Qiraati (risalah biografi Qiraati).
[1] Kuntowijoyo, Muslim tanpa Mesjid: Esai-esai Agama,Budaya dan Politik dalam Bingkai Strukturalisme Transendental. (Bandung: Mizan, 2001), hal.19.
[2] Lihat Jalaluddin Rakhmat, Psikologi Kebahagiaan, (Bandung: Rosdakarya, 2004), hal.22-23.
[3] Tokoh teosofi Muslim terkenal adalah Mulla Shadra (979 H / 1571 M).
[4] Istilah Dakwah profetik dapat ditemui dalam Buku Kuntowijoyo, Op.Cit. Yaitu gerakan dakwah yang lebih memiliki nilai-nilai dalam membangun peradaban sebagaimana yang dilakukan oleh Rasulullah Saw yang mendirikan madinah dengan nilai-nilai Islam yang damai.
[5] Teori E-Dakwah dikembangkan akhir-akhir ini seiring dengan perkembangan dunia internet. Dakwah tidak lagi tersekat di masjid-masjid dan majlis ta’lim, tetapi juga di dunia maya, yaitu internet. Lihat Fathul Wahid, E-Dakwah: Dakwah Melalui Internet, (Yogyakarta: Gaya media, 2004), hal.1.
[6] Teori dakwah kultural hampir sama pengertiannya dengan dakwah kultural, yaitu menyebarkan nilai-nilai Islam dengan pendekatan budaya dan peradaban yang lebih damai. Lihat Nurcholish Madjid, Masyarakat Religius: Membumikan Nilai-nilai Islam dalam Kehidupan Masyarakat, (Jakarta: Paramadina, 2004).
[7] Lihat analisis Montgomery Watt, Politik Islam dalam Lintasan Sejarah, (Jakarta: P3M, 1988), hal.94, yang mengulas akar-akar sejarah dan politik Islam sehingga memunculkan gerakan-gerakan politik yang bermacam-macam di dunia Islam, salah satunya adalah Islam Fundamentalisme, sebagai akar dari gerakan teroris dewasa ini.
[8] Tutty Alawiyyah AS, Paradigma Baru Dakwah Islam, Dokumen Pidato penganugerahan Doctor Honoris Causa Bidang Dakwah, IAIN Syarif Hidayatullah, Jakarta, 17 Februari 2001.
[9] Fazlur Rahman, Metode dan Alternatif Neo-Modernisme Islam, (Bandung: Mizan, 1998), h. 66 .
[10] Lihat QS, Al-Baqarah [2] ayat 2.
[11] Lihat Muhammad Husein Thabathaba’i, Al-Mizan, jilid 1, (Qum: Muassassah al-Nasyr al-Islami, Jamiah al-Mudarrisin, 1414 H), hlm. 4: “Tafsir adalah penjelasan tentang makna ayat-ayat al-Qur’an dan menyingkap maksud dan dilalahnya”.
(التفسير: هو بيان معانى الأيات القرآنية والكشف عن مقاصدها ومداليلها).
[12] Thaba’thbai, Ibid., hlm. 6-8.
[13] Thaba’thabai, Memahami Esensi Al-Qur’an. (Jakarta: Lentera, 2001), hlm. 8.
[14] Lihat QS An-Nahl [16] ayat 125.
[15] Dawam Rahardjo, “Krisis Peradaban Islam”, dalam Abdul Hakim dan Yudi Latif (ed.), Bayang-bayang Fanatisisme, (Jakarta: PSIK Paramadina, 2007), hal.35.
[16] Istilah Dakwah profetik dapat ditemui dalam Buku Kuntowijoyo, Op.Cit. Yaitu gerakan dakwah yang lebih memiliki nilai-nilai dalam membangun peradaban sebagaimana yang dilakukan oleh Rasulullah Saw yang mendirikan madinah dengan nilai-nilai Islam yang damai.
[17] Teori E-Dakwah dikembangkan akhir-akhir ini seiring dengan perkembangan dunia internet. Dakwah tidak lagi tersekat di masjid-masjid dan majlis ta’lim, tetapi juga di dunia maya, yaitu internet. Lihat Fathul Wahid, E-Dakwah: Dakwah Melalui Internet, (Yogyakarta: Gaya media, 2004), hal.1.
[18] Teori dakwah kultural hampir sama pengertiannya dengan dakwah kultural, yaitu menyebarkan nilai-nilai Islam dengan pendekatan budaya dan peradaban yang lebih damai. Lihat Nurcholish Madjid, Masyarakat Religius: Membumikan Nilai-nilai Islam dalam Kehidupan Masyarakat, (Jakarta: Paramadina, 2004).
[19] Tutty Alawiyyah AS, Paradigma Baru Dakwah Islam, Dokumen Pidato penganugerahan Doctor Honoris Causa Bidang Dakwah, IAIN Syarif Hidayatullah, Jakarta, 17 Februari 2001.
[20] Fazlur Rahman, Metode dan Alternatif Neo-Modernisme Islam, (Bandung: Mizan, 1998), h. 66 .
[21] Ahmad Mubarok, Psikologi Dakwah, (Jakarta: Pustaka Firdaus, 1999), h. 2.
[22] Ahmad Mubarok, Ibid, h.3.
[23] Dapat dilihat dari pernyataan-pernyataan al-Qur'an, antara lain dalam QS. Ali Imran ayat 104, 110 QS an-Nahl ayat 125, dan dalam QS. Fushilat ayat 33.
[24] Asep Muhyiddin & A.A. Safei, Metode Pengembangan Dakwah, (Bandung: Pustaka Setia, 2002), h.27.
[25] A. Mansyur Suryanegara, "Dakwah Bagi Para Politisi" dalam bagian bukunya Menemukan Sejarah, (Bandung: Mizan, 1995), h. 165.
[26] Ali Abdul Halim Mahmud, Dakwah Fardiyah, terj. As'ad Yasin. (Jakarta: Gema Insani Press, 1995), h. 17.
[27] Ahmad Gholwusy, Ad-Dakwah al-Islamiyah, (Kairo: Dar al-Kitab al-Mishr, 1987), h.10-11.
[28] Sayyid Mutawakil dalam Ali bin Shalih al-Mursyid, Mustazalmat ad-Da'wah fi al-Ashr Al-Hadhir. (Jeddah: Maktabah Layyinah, 1989), h. 21.
[29] Ibn Taymiyyah yang dikutip Asep Muhyiddin, Pengembangan Metode Dakwah, Op.Cit., h.33.
[30] Zakaria dalam Mohammad Natsir, Fiqhud Dakwah. (Jakarta: Yayasan Capita Selecta, 1996), h. 8.
[31] Jalaluddin Rakhmat, Psikologi Komunikasi, (Bandung: Remaja Rosda Karya, 1998), h.16.
[32] A.A. Safei, Metode Pengembangan Dakwah, (Bandung: Pustaka Setia, 2002), h. 34.
[33] Ahmad Mubarok, Psikologi Dakwah, Op.Cit., hlm. 132-146.
[34] Quraish Shihab, Membumikan Al-Qur’an (Bandung: Mizan, 1996), hal.3.
[35] Muhammad Husain Adz-Dzahabiy, At-Tafsir wa Al-Mufassirun, (Kairo: Dar Al-Kutub Al-Haditsah, 1961), Jilid 1, hal. 10.
[36] Husain Thabathaba’i, Al-Mizan, jilid 1, (Qum: Muassassah al-Nasyr al-Islami, Jamiah al-Mudarrisin, 1414 H), hlm. 4.
[37] Quraish Shihab, Op.Cit., hal.10.
[38] Ibid., hal.12.
[39] Lihat makalah Martin van Bruinessen, "Mohammed Arkoun tentang Al-Quran," disampaikan dalam diskusi Yayasan Empati. Pada h. 2. ia mengutip Mohammed Arkoun, "Algeria," dalam Shireen T. Hunter (ed.), The Politics of Islamic Revivalism, (Bloomington: Indiana University Press, 1988), hal. 182-183.
[40] Ibid.
[41] Hasan Hanafi, Al-Yamin wa Al Yasar Fi Al-Fikr Al-Diniy, (Mesir: Madbuliy, 1989), hal. 77.
[42] Lihat Al-Syathibiy, Al-Muwafaqat, (Beirut: Dar Al-Marifah, tt)., Jilid II, h. 18.
[43] Muhammad Husain Adz-Dzahabiy, Op.Cit, h. 142
[44] Quraish Shihab, Op.Cit., hal.42.
[45] Ibid.
[46] Muhammad Baqir Al-Shadr, At-Tafsir Al-Maudhu'iy wa Al-Tafsir Al-Tajzi'iy fi Al-Qur'an Al-Karim, (Beirut: Dar Al-Tatuf lil Mathbu'at, 1980), hal. 10
[47] Quraish Shihab, Op.Cit., hal.45.
[48] Ibid.
[49] Muhammad Baqir Al-Shadr, Op.Cit., hal.12.
[50]Di beberapa negara Islam selain Mesir, para pakarnya juga melakukan upaya-upaya penafsiran Al-Quran dengan menggunakan metode ini. Di Irak, misalnya, Muhammad Baqir Al-Shadr menulis uraian menyangkut tafsir tentang hukum-hukum sejarah dalam Al-Quran dengan menggunakan metode yang mirip dengan metode ini, dan menamakannya dengan metode tawhidiy (kesatuan). Lihat Quraish Shihab, Ibid., hal.20.
[51] Ibid.
[52] http://id.wikipedia.org/wiki/Tafsir_al_qur'an, diakses tanggal 30 Maret 2008, pkl.19.00
[53] Jonathan Sarwono, Metodologi Penelitian Kualitatif & Kuantitatif, ( Yogyakarta: Graha Ilmu), 2006, hal. 257.
[54] Ibid, hal. 257.
[55] Ibid, hal.259.
[56] Sugiyono, Statistika untuk Penelitian, (Bandung: Alfabeta, 2006), hal.77.
[57] Jalaluddin Rakhmat, Metode Penelitian Komunikasi, (Bandung: Rosdakarya, 2005), hal.24.
[58] Ibid., hal.25.
[59] Norman K. Denzin and Yvonna S. Lincoln, “Introduction : Entering the Field of Qualitative Research”’, dalam Norman K. Denzin and Yvonna S. Lincoln (eds), Handbook of Qualitative Research (Sage Publications, London, 1994), hlm.69-72.
[60] Ibid..
[61] Ibid.
[62] Suharsimi Arikunto, Prosedur Penelitian: Suatu Pendekatan Praktik, (Jakarta: Rineka Cipta, 2006), hal.10. Lihat jug artikel yang ditulis oleh Mestika Zed, “Metode Penelitian Kepustakaan”, http://history2001.multiply.com/journal/item/44, diakses tanggal 30 Maret 2008, pkl.20.05.
[63] Ibid.
[64] Sugiyono, Op.Cit, hal.182.
[65] Lexy J. Moleong, Metodologi Penelitian Kualitatif, (Bandung: Remaja Rosdakarya, 2000), hal.103.
[66] Suharsimi Arikunto, Op,Cit., hal.10.
[67] Muhsin Qiraati Zendegi Nameh Qiraati (risalah biografi Qiraati), Qum : tanpa nama penerbit dan tanpa tahun.
[68] Ceramah Qira’ati di ICC Jakarta, 21 April 2007.
[69] Ibid.
[70] Risalah biografi Ayatullah Mohsen Qiraati.
[71] Ceramah Qira’ati di ICC Jakarta, 21 April 2007.
[72] Lihat Muhsin Qira’ati, Seri Tafsir untuk Remaja, terjemahan oleh Nano Warno, (Jakarta: Al-Huda, 2006).
[73] Muhsin Qira’ati, Tafsir Surat Yusuf untuk Remaja, terjemahan oleh Nano Warno (Jakarta: Al-Huda, 2006), dalam kata pengantar.
[74] Muhsin Qira’ati, Tafsir Surat Yasin, terjemahan Nano Warno (Jakarta: Al-Huda, 2006), hal.3.
[75] Ibid.
[76] Ibid.
[77] Muhsin Qira’ati, Tafsir Surat Al-Ankabut, Terjemahan oleh Nano Warno, (Jakarta: Alhuda, 2006), hal.5.
[78] Muhammad Baqir Al-Shadr, At-Tafsir Al-Maudhu'iy wa Al-Tafsir Al-Tajzi'iy fi Al-Qur'an Al-Karim, (Beirut: Dar Al-Tatuf lil Mathbu'at, 1980), hal. 11.
[79] Muhammad Baqir Al-Shadr, Op.Cit., hal.12.
[80] Quraish Shihab, Membumikan Al-Qur’an, (Bandung: Mizan, 1996), hal.34.
[81] Thabarsi, Majma al-Bayan fi tafsir al-Quran, juz 9 (Beirut: Dar al-Ma’arif, 1988), hal.19
[82] Murtadha Husayni, Akhlak Tabligh dar Sirah Rasulullah, Qum : Intisyarat , 1990, hal 3-6
[83] Ibid.
[84] Ibid.
[85] Ibid
[86] Ibid
[87] Mohsen Qiraati, Tablig dar Quran, Qum : Intisyarat, 2006, hal.4
[88] Ibid., hal 5
[89] Ibid. 24
[90] Mohsen Qira’ati, Tafsir an-Nur, Jakarta : al-Huda 2006 jilid 4,hal 34
[91] Ibid.
[92] Muhsin Qira’ati, Tafsir Surah Yusuf, Terjemahan oleh Nano Warno (Jakarta: Al-Huda, 2006), hal 56.
[93] Al-quarn bukan kitab sejarah Muhammad A. Khalafullah : 12
[94] Surat Az-Zumar (No. 39) ayat 73. Pengantar untuk tafsir Surat Al-Waqi’ah
3 Faez Kasyani, Risalatul Inshaf, Qum : Markaze Intisyarat, 1998, hal, 7.
4 Imam Khomeini, Sahifah Nur, Jil. 20, hal. 20.
[95] Husen Nasr, Ed. Al-Quran dan hadis sebagai sumber inspirasi Filsafat Islam (dari buku Ensiklopedia Tematis Filsafat Islam, 2003.
[96] Jamil , Islami creative thinking, Jakarta : Mizania, 2005, hal 45
[97] Jalaluddin Rakhmat, Psikologi Komunikasi, (Bandung: Rosdakarya, 1998), hal.34.
[98] Ibid., hal 67
[99] Islamic Creative thinking, Op,Cit.,hal 34
[100] Muhsin Qira’ati, Tafsir ayat-ayat pilihan, Jakarta : Al-Huda, 2004, hal. 45
[u1]Ini kecil atau besar, ??? hal 13.
[u2]Ini redaksi bahasa kurang enak?
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Kuntowijoyo pernah mengeluhkan mengenai kenyataan berubahnya sistem sosial manusia saat ini. Menurutnya, sistem sosial kebebasan manusia telah digantikan dengan mekanisasi manusia lewat industrialisasi dan teknologi. Manusia hanyalah dipakai sebagai bagian dan pelengkap dari mesin. Ia berada pada bayang-bayang alienasi industrialisasi yang membawa manusia terpuruk pada tipe “perbudakan” baru, “perbudakan mesin”. Itulah masyarakat yang kita sebut sebagai “masyarakat kapitalistik”. Di dalam masyarakat kapitalistik, manusia hanya menjadi elemen dari pasar. Dalam masyarakat seperti itu, kualitas kerja dan bahkan kualitas kemanusiaan itu sendiri, ditentukan oleh pasar.[1]
Selain itu, kenyataan lainnya, seperti banyak dikemukakan oleh banyak ahli yang menanggapi perkembangan dunia modern saat ini,[2] bahwa sebagai akibat dari kemajuan teknologi dan informasi, jiwa manusia banyak mengalami gangguan psikologis seperti keresahan jiwa, hipokretisme baru--yakni menduakan kepribadian diri sendiri, di satu sisi sebagai hamba dunia (teknologi) dan di sisi lain sebagai hamba Tuhan, yang keduanya sangat dominan dalam diri setiap manusia--kejenuhan dalam mengejar ambisi yang tidak pernah berhenti, serta banyak lagi penyakit manusia modern lainnya. Demikian pula kejahatan yang kian merajalela dan telah dikemas sedemikian rupa sehingga menyerupai “kebijaksanaan sejati”: pembunuhan di mana-mana, penindasan terhadap kaum tertindas sudah menjadi hiburan, dan mencuri telah menjadi kewajiban.
Untuk mengatasi problema kehidupan manusia modern di atas, para ahli telah merumuskan akar dari permasalahan tersebut sesuai dengan bidangnya. Jika dalam filsafat dikembangkan teori-teori tentang teosofi yang mengakomodasi dua kutub kebijaksanaan, yaitu kebijaksanaan rasional di satu sisi, dan kebijaksanaan transendental di sisi lain,[3] maka di bidang dakwah pun banyak dikembangkan teori-teori dengan tujuan yang sama, seperti teori dakwah profetik,[4] teori e-dakwah,[5] teori dakwah kultural,[6] dan peruntuhan (dekonstruksi) teori-teori dakwah lama yang dinilai memberikan sumbangan pada suburnya gerakan teroris.[7]
Mengenai perkembangan dalam dunia dakwah, Alawiyyah menyebutkan, bahwa dakwah bukan hanya kebutuhan manusia secara individual tetapi juga kebutuhan manusia secara universal, bukan hanya kebutuhan negeri-negeri Islam tetapi juga dunia secara keseluruhan. Kebutuhan manusia terhadap dakwah berhubungan dengan kehidupan sekarang yang semakin penuh dengan pilihan-pilihan (sebagai akibat dari gelombang demokratisasi), dan meningkatnya kecendrungan permisif dan hedonisme (sebagai akibat dari interdependesi pasar dan materialisme global) serta semakin banyaknya paradoks kehidupan dan sulitnya memegang monopoli kebenaran (sebagai akibat dari revolusi ilmu pengetahuan).[8]
Pentingnya dakwah dalam kehidupan manusia mengisyaratkan pentingnya berbagai kajian dan pengayaan literatur yang terkait dengan disiplin ilmu dakwah. Ilmu dakwah harus berkembang sesuai dengan tuntutan zaman yang berlaku di setiap zaman yang tentunya berbeda dari setiap waktu dan tempat. Sudah waktunya umat Islam untuk lebih terbuka dalam mengkaji secara komprehensif literatur-literatur ilmu dakwah maupun ilmu-ilmu keislaman lainnya tanpa didasari adanya fanatisme madzhab, golongan, aliran pemikiran, ras maupun bangsa. Karena dakwah menyangkut kemaslahatan manusia secara universal, maka dasar pemikirannya harus juga bersifat universal. Ia tidak memandang sekat-sekat golongan maupun bangsa. Dakwah harus dapat menembus semua itu. Oleh karena itu, semangat untuk menggali pemikiran-pemikiran dan metode-metode baru untuk kegiatan dakwah harus pula dilandasi dengan semangat "menjaga yang lama yang masih relevan dan mengambil yang baru yang lebih baik".[9]
Berbicara tentang konsep dakwah Islam tidak bisa terlepas dari sumber ajaran Islam itu sendiri, dikarenakan dakwah Islam diartikan sebagai penyampaian nilai-nilai Islam, sehingga pemahaman terhadap sumber-sumber ajaran Islam merupakan hal yang wajib dilakukan oleh seorang da’i. Sumber ajaran Islam yang utama adalah Al-Qur’an sebagai wahyu yang diturunkan oleh Allah Swt untuk menuntun umat manusia dalam mencapai tujuan hidupnya.[10] Setiap pemikir dan ulama di setiap masa sesuai dengan kapasitasnya masing-masing berupaya untuk memahami kandungan al-Qur’an.
Upaya menelusuri isi al-Qur’an dan menyingkap kandungan serta intinya inilah yang disebut tafsir.[11] Tafsir al-Qur’an dari masa ke masa mengalami perubahan dan perkembangan dan tak akan habis atau mengalami kepunahan. Setiap mufasir pendatang baru pasti menemukan sesuatu yang baru dalam al-Qur’an, masing-masing dari mereka menafsirkan al-Qur’an sesuai dengan bidang spesialisasinya; jika ia seorang teolog maka corak tafsirnya lebih didominasi oleh pembahasan teologi; demikian juga bila ia seorang ahli fiqh, sastra, filsafat, tasawuf atau hadis bahkan sering pula dipengaruhi oleh pemikiran-pemikiran yang sebelumnya telah ia yakini, sehingga bukan lagi penafsiran al-Qur’an yang kita dapati tetapi pemaksaan terhadap al-Qur’an agar sesuai dengan keyakinan sang mufasir, bukannya ia bertanya pada al-Qur’an apa yang diinginkan oleh al-Qur’an. Inilah yang diistilahkan oleh Thaba’thabai dalam al-Mizan sebagai tahmil bukan tafsir.[12] Atau dengan kata lain, mufasir datang kepada al-Qur’an untuk mencari jawaban terhadap pertanyaan: apa yang dikatakan oleh al-Qur’an tentang tema ini? Bukan menjawab pertanyaan: bagaimana pendapatnya sebagai pengikut mazhab anu?[13]
Dengan demikian, dari prolog di atas, terlihat bahwa antara dakwah dan tafsir memiliki saling keterkaitan satu sama lain, di satu sisi dakwah tidak bisa terlepas dari tafsir (cara pemahaman terhadap al-Qur’an), dan di sisi lain al-Qur’an pun memerintahkan untuk berdakwah.[14] Berdasarkan latar belakang inilah penulis melakukan penelitian dengan tujuan untuk menelusuri keterkaitan antara dakwah dan tafsir dengan fokus tokoh pada mufassir abad kontemporer, yaitu Muhsin Qira’ati, mufassir Iran yang memiliki metode khas dalam menafsirkan al-Qur’an.
Qiraati adalah pakar dalam ilmu-ilmu tradisional Islam termasuk juga dalam ilmu tafsir. Ia pendakwah sukses yang mampu menyampaikan Islam untuk segala kalangan dengan cara yang gampang dicerna serta menyentuh realita keseharian Padahal hampir seluruh tema-temanya tidak lepas dari rujukan-rujukan ayat-ayat al-Quran.
Qiraati tidak saja seorang ulama yang menjulang di negeri sendiri tapi juga memiliki kiprah di beberapa negeri Islam baik lewat kuliah-kuliahnya secara langsung di depan khalayak ramai yang selalu menyedot perhatian berbagai kalangan akademis seperti yang ditulis tentang pengalamannya di Pakistan atau lewat karya-karya yang cukup melimpah. Sebagai penulis prolific ia memiliki tulisan-tulisan yang enak dibaca. Kelebihan lain ditunjang juga oleh kepiawaiannya dalam berkomunitas baik secara verbal dan non verbal.
Kemampuan menggali gaya berpikir al-Quran itulah yang sangat menggugah kesadaran emosional dan spiritual audience dan juga komunitas yang hadir dalam kuliah-kuliah tafsirnya. Setiap orang akan tercengkram dengan ketajaman penalaran dan tafsirannya atas ayat-ayat yang sebenarnya sering menyapa setiap umat dan mubalig – yang sayangnya tidak setiap orang memiliki kapasitas untuk membaca gaya berpikir ayat-ayat al-Quran. Ia tidak hanya sekedar merujuk pada tafsiran-tafsiran tradisional dan menerima bulat-bulat penafsiran yang konvensional tapi juga pada perspektif lain yang lebih membangunkan kesadaran moral.
Berdasarkan hal tersebut, maka dalam penelitian ini penulis bermaksud melakukan penelitian lebih lanjut mengenai metoda[u1] tafsir Qira’ati dan kontribusinya terhadap perkembangan ilmu dakwah.
B. Fokus Penelitian
Berdasarkan latar belakang di atas, dalam penelitian ini penulis akan memfokuskan pembahasan pada metode tafsir Qira’ati dan kontribusinya terhadap perkembangan ilmu dakwah.
C[u2] . Rumusan Masalah Penelitian
Bagaimana metode tafsir yang dikembangkan oleh Qira’ati?
Bagaimana perkembangan ilmu dakwah?
Bagaimana kontribusi metode tafsir Qira’ati terhadap perkembangan ilmu dakwah?
D. Tujuan Penelitian
Sesuai dengan perumusan masalah di atas, maka penelitian ini bertujuan untuk :
1. Mengetahui metode tafsir yang dikembangkan oleh Qira’ati.
2. Mengetahui perkembangan ilmu dakwah.
3. Mengetahui kontribusi metode tafsir Qira’ati terhadap perkembangan ilmu dakwah.
E. Kegunaan Penelitian
Penelitian ini diharapkan dapat memiliki nilai signifikansi secara akademis, sosial, dan praktis.
1. Kegunaan Ilmiah
Berupaya memberikan kontribusi yang bermanfaat bagi perkembangan ilmu dakwah khususnya memberikan kontribusi sisi lain dari konsep dakwah yang dilahirkan dari tokoh Muhsin Qiraati.
2. Kegunaan Praktis
a. Memberikan informasi bagi masyarakat mengenai metode tafsir Qiraati dan kontribusinya terhadap perkembangan ilmu dakwah yang menggabungkan antara tafsir dan dakwah.
b. Sebagai bahan informasi dan referensi bagi penelitian selanjutnya yang akan meneliti mengenai konsep dakwah atau metode tafsir Muhsin Qiraati.
c. Rujukan bagi aktifitis dakwah
d. Bahan studi ilmiah untuk institusi-institusi dakwah
e. Untuk yayasan sebagai literatur dakwah
f. Bagi para mubalig, penelitian ini diharapkan dapat bermanfaat dalam menambah wawasan baru mengenai keterkaitan metode tafsir dengan metoda dakwah
g. Bagi institusi dakwah, penelitian ini juga diharapkan dapat bermanfaat sebagai referensi dalam merumuskan metode dakwah alternatif.
Bab II
KAJIAN PUSTAKA DAN KERANGKA PEMIKIRAN
A. Perkembangan Ilmu Dakwah
Perkembangan ilmu dakwah dapat ditelusuri dari perkembangan epistemologi yang digunakan dalam disiplin ilmu dakwah. Berkenaan dengan masalah ini, Dawam Rahardjo mengatakan ada perubahan epistemologi yang digunakan oleh para pemikir Muslim dalam pergerakannya di abad modern ini. Epistemologi dakwah yang berkembang saat ini merupakan gabungan dari dua epistemologi, yaitu epistemologi bayâni dan burhâni, sebuah epistemologi yang dikenal dalam pemikiran Muhammad ‘Abid al-Jabiry. Jabiry menyebutkan dua epistemologi Islam dalam trilogi bayâni, burhâni, dan ‘irfâni. Epistemologi bayâni bersumber pada teks, sedangkan burhani yang rasional dan demonstratif berkembang karena pengaruh pemikiran Yunani. Sedangkan ‘irfâni berkembang karena pengaruh tradisi Persia dan India. Burhâni merupakan kesadaran ontologis terhadap realitas alam, sosial dan manusia. Kesadaran terhadap alam melahirkan ilmu kealaman atau fisika dan astronomi; kesadaran terhadap makhluk hidup melahirkan biologi; kesadaran terhadap realitas sosial melahirkan ilmu-ilmu sosial dan humaniora, sedangkan kesadaran historis melahirkan ilmu sejarah.[15]
Dalam konteks ini, epistemologi burhâni inilah yang kemudian dikembangkan sehingga melahirkan perkembangan ilmu dakwah khususnya teori-teori baru dalam ilmu dakwah, sebagaimana yang telah dikemukakan pada latar belakang masalah pada Bab I, seperti teori “dakwah profetik”,[16] “teori e-dakwah”,[17] dan “teori dakwah kultural”.[18]
Perkembangan dalam ilmu dakwah dipengaruh juga oleh perkembangan dalam peradaban manusia dewasa ini. Alawiyyah menyebutkan, bahwa dakwah bukan hanya kebutuhan manusia secara individual tetapi juga kebutuhan manusia secara universal, bukan hanya kebutuhan negeri-negeri Islam tetapi juga dunia secara keseluruhan. Kebutuhan manusia terhadap dakwah berhubungan dengan kehidupan sekarang yang semakin penuh dengan pilihan-pilihan (sebagai akibat dari gelombang demokratisasi), dan meningkatnya kecendrungan permisif dan hedonisme (sebagai akibat dari interdependesi pasar dan materialisme global) serta semakin banyaknya paradoks kehidupan dan sulitnya memegang monopoli kebenaran (sebagai akibat dari revolusi ilmu pengetahuan).[19]
Dalam masalah perkembangan ilmu dakwah, Rahman mengatakan, bahwa sudah waktunya umat Islam untuk lebih terbuka dalam mengkaji secara komprehensif literatur-literatur ilmu dakwah maupun ilmu-ilmu keislaman lainnya tanpa didasari adanya fanatisme madzhab, golongan, aliran pemikiran, ras maupun bangsa. Karena dakwah menyangkut kemaslahatan manusia secara universal, maka dasar pemikirannya harus juga bersifat universal. Ia tidak memandang sekat-sekat golongan maupun bangsa. Dakwah harus dapat menembus semua itu. Oleh karena itu, semangat untuk menggali pemikiran-pemikiran dan metode-metode baru untuk kegiatan dakwah harus pula dilandasi dengan semangat "menjaga yang lama yang masih relevan dan mengambil yang baru yang lebih baik".[20]
Lebih jauh, untuk memahami lebih dalam perkembangan ilmu dakwah, di bawah ini akan dibahas secara rinci hal-hal yang berkaitan dengan dakwah, dari segi pengertian dakwah, pendekatan dakwah, dan metode dakwah. Dalam ketiga pembahasan tersebut akan dilihat bagaimana pengertian dakwah mengalami perubahan sesuai dengan perkembangan zaman, pendekatannya pun mengalami perubahan, bahkan metode dakwahnya pun mengalami perubahan karena cakupannya yang lebih luas.
1. Pengertian Dakwah
Achmad Mubarok menyebutkan bahwa banyak definisi untuk merumuskan dakwah, yang intinya adalah mengajak manusia ke jalan Allah agar mereka berbahagia di dunia dan di akhirat dengan cara-cara yang baik.[21] Pengertian tersebut diambil dari kata dakwah yang ada dalam al-Qur'an sebagaimana tertera dalam bunyi ayat al-Qur'an QS. An-Nahl [16]: 125:
اُدْعُ إِلَى سَبِيْلِ رَبِّكَ بِالْحِكْمَةِ وَالْمَوْعِظَةِ الْحَسَنَةِ وَجَادِلْهُمْ بِالَّتِي هِيَ أَحْسَنُ إِنَّ رَبَّكَ هُوَ أَعْلَمُ بِمَنْ ضَلَّ عَنْ سَبِيْلِهِ وَهُوَ أَعْلَمُ بِالْمُهْتَدِيْنَ.
Artinya: "Serulah (berdakwahlah) menuju jalan Tuhanmu dengan hikmat, pengajaran yang baik, dan ajaklah mereka berdebat dengan cara-cara yang baik. Sesungguhnya Tuhanmu lebih mengetahui siapa saja yang telah sesat dari jalan-Nya dan Dia lebih mengetahui siapa saja yang diberikan petunjuk".
Ayat di atas, selain memuat mengenai pengertian dakwah itu sendiri, juga secara implisit memuat mengenai metode-metode dakwah. Mengenai yang terakhir ini akan dibahas secara khusus dalam bagian "Metode Dakwah" dalam pembahasan selanjutnya.
Lebih jauh, untuk melihat secara rinci pengertian dakwah, berikut ini akan dibahas pengertian dakwah dari segi bahasa (etimologi) dan istilah (terminologi).
Dari segi bahasa, dalam bahasa Arab kata da'wat atau da'watun biasa digunakan untuk arti-arti berikut ini: "undangan", "ajakan", dan "seruan" yang kesemuanya menunjukkan komunikasi antara dua pihak dan upaya untuk mempengaruhi orang lain. Ukuran keberhasilan undangan, ajakan, dan seruan adalah manakala pihak kedua, yakni yang diundang atau yang diseru, memberikan respon positif, yaitu mau datang atau memenuhi ajakan dari pihak pertama (yang mengundang atau yang mengajak). Jadi, kalimat dakwah mengandung "makna aktif" dan "menantang", berbeda dengan kalimat tabligh yang artinya hanya menyampaikan. Ukuran keberhasilan seorang muballigh adalah manakala ia berhasil menyampaikan pesan Islam dan pesannya sampai (wama 'alaina illa al-balagh), sedangkan bagaimana respons masyarakat tidak menjadi tanggung jawabnya.
Achmad Mubarok juga menegaskan bahwa dari pengertian bahasa di atas, maka secara istilah (terminologi), dapat dirumuskan bahwa dakwah ialah:
"usaha untuk untuk mempengaruhi orang lain agar mereka bersikap dan bertingkah laku seperti apa yang didakwahkan oleh da'i, atau bertingkah laku Islami."[22]
Sejalan dengan pendapat Mubarok tersebut, Muhyiddin mengatakan bahwa dilihat dari segi kosakata dakwah dalam ayat al-Qur'an hampir semua yang ada kaitannya dengan dakwah diekspresikan dengan kata kerja (fi'il madhi, mudhari, dan amar).[23] Hal itu memberi isyarat bahwa upaya kegiatan dakwah, di samping harus dilaksanakan secara serius, juga dituntut sistematis dan tepat sasaran sehingga membuahkan hasil sesuai dengan yang diharapkan oleh sang da'i.[24]
Sedangkan Mansyur Suryanegara mendefinisikan dakwah sebagai berikut:
"Dakwah adalah aktivitas dalam menciptakan perubahan sosial dan pribadi yang didasarkan pada tingkah laku pelaku pembaharunya. Oleh karena itu, yang menjadi inti dari tindakan dakwah adalah perubahan kepribadian seseorang dan masyarakat secara kultural. Pelakunya sendiri disebut dengan istilah da'i, yakni he who summons men to the God or to the faith (orang yang menyeru manusia kepada jalan Tuhan atau jalan keimanan)."[25]
Dalam pengertian ini, cakupan dakwah sudah terlihat lebih luas, yaitu dengan diinterpretasikan secara sosial, bukan terbatas pada individu. Selain pengertian-pengertian dakwah tersebut, dapat dikemukakan pengertian dakwah yang lain. Secara substansial-filosofis, dakwah bermakna juga segala rekayasa dan rekadaya untuk mengubah segala bentuk penyembangan kepada selain Allah menuju keyakinan tauhid, mengubah semua jenis kehidupan yang timpang ke arah kehidupan yang lempang, yang penuh dengan ketenangan dan kesejahteraan lahir dan bathin berdasarkan nilai-nilai Islam.
Perbedaan definisi dakwah terlihat dalam orientasi dan penekanan bentuk kegiatannya. Berikut ini dikemukakan enam macam rumusan definisi dakwah, sebagaimana banyak dikemukakan para ahli. Pertama, definisi dakwah yang menekankan proses pemberian motivasi untuk melakukan pesan dakwah (ajaran Islam). Di antara tokoh yang berpendapat demikian adalah Ali Abdul Halim Mahmud. Ia berpendapat bahwa dakwah adalah:
"Mendorong manusia kepada kebaikan dan petunjuk, memerintahkan perbuatan yang diketahui kebenaranya, melarang perbuatan yang merusak individu dan orang banyak agar mereka memperoleh kebahagiaan di dunia dan akherat".[26]
Kedua, definisi dakwah yang menekankan proses penyebaran pesan dakwah (ajaran Islam) dengan mempertimbangkan penggunaan metode, media, dan pesan yang sesuai dengan situasi dan kondisi mad'u (khalayak dakwah). Tokoh yang memiliki pandangan demikian di antaranya adalah Ahmad Gholwusy. Ia berpendapat bahwa dakwah didefinisikan sebagai:
"Menyampaikan pesan Islam kepada manusia di setiap waktu dan tempat dengan metode-metode dan media-media yang sesuai dengan situasi dan kondisi para penerima pesan dakwah".[27]
Ketiga, definisi dakwah yang menekankan pengorganisasian dan pemberdayaan sumber daya manusia dalam melakukan berbagai petunjuk ajaran Islam, menegakkan norma sosial budaya (ma'ruf), dan membebaskan kehidupan manusia dari berbagai penyakit sosial (munkar). Definisi ini, antara lain dikemukakan oleh Sayyid Mutawakil. Beliau berpendapat bahwa dakwah adalah:
"Mengorganisasikan kehidupan manusia dalam menjalankan kebaikan, menunjukkan ke dalam yang benar dengan menegakkan norma sosial budaya dan menghindarkannya dari penyakit sosial".[28]
Keempat, definisi dakwah yang menekankan sistem dalam menjelaskan kebenaran, kebaikan, pentunjuk ajaran, menganalisis tantangan problema kebatilan dengan berbagai pendekatan, metode, dan media agar mad'u mendapatkan keselamatan dan kebahagiaan di dunia dan akhirat.
Kelima, definisi dakwah yang menekankan urgensi pengamalan aspek pesan dakwah (ajaran Islam) sebagai tatanan hidup manusia sebagai hamba Allah dan khalifah-Nya di muka bumi. Definisi dakwah seperti ini dikemukakan oleh Ibnu Taymiyyah (1398 H). Menurutnya dakwah adalah penyampaian pesan Islam berupa:
Mengimani Allah
Mengimani segala ajaran yang dibawa oleh semua utusan Allah, dengan membenarkannya dan mentaati segala yang diperintahkan.
Menegakkan pengikraran syahadatain
Menegakkan shalat
Mengeluarkan zakat
Menunaikan shaum bulan ramadhan
Menunaikan haji
Mengimani malaikat, kitab-kitab Allah, para rasul, kebangkitan setelah wafat, kepastiam baik-buruk yang datang dari Allah Swt.
Menyerukan agar hamba Allah hanya beribadah kepada-Nya dan seakan-akan melihat-Nya.[29]
Keenam, definisi dakwah yang menekankan profesionalisme dakwah, dalam pengertian dakwah dipandang sebagai kegiatan yang memerlukan keahlian, dan keahlian memerlukan penguasaan pengetahuan. Dengan demikian, da'i adalah ulama atau sarjana yang memiliki kualifikasi dan persyaratan akademik serta empirik dalam melaksanakan kewajiban dakwah. Definisi ini di antaranya diajukan oleh Zakaria, yaitu:
"Aktivitas para ulama dan orang-orang yang memiliki pengetahuan agama Islam dalam memberik pengajaran kepada orang banyak (khalayak dakwah) hal-hal yang berkenaan dengan urusan-urusan agama dan kehidupannya sesuai dengan realitas dan kemampuannya."[30]
Dengan demikian, dari seluruh pengertian dakwah di atas, ada beberapa hal penting yang dapat ditarik dari definisi operasional dakwah tersebut:
1.Adanya proses kondisioning mengenai pemahaman dan sikap mad'u (objek dakwah). Hal ini karena dari satu sisi dakwah berkaitan dengan mengkomunikasikan nilai-nilai ajaran Islam sebagai isi pesan dakwah yang perlu dipahami dan disikapi.
2.Adanya proses perubahan dan peningkatan kualitas hidup dan kehidupan masyarakat (mad'u) karena hakikat filosofis dakwah adalah membawa orang perorang dan masyarakat dari kekufuran kepada keimanan.
3.Karena aktivitas dakwah menyangkut kedua hal di atas (komunikasi dan perubahan sosial), strategi, cara dan teknik pendekatannya akan terkait dengan sarana dan prasarana kedua media tersebut yang berhubungan dengan berbagai aspek sosial budaya kehidupan masyarakat.
Selanjutnya, berikut ini akan dikutip ciri-ciri dakwah (komunikasi) yang efektif menurut pandangan Jalaluddin Rakhmat. Menurut beliau, suatu dakwah dinilai efektif manakala menimbulkan lima tanda: [31]
1.Melahirkan pengertian, yakni apa yang disampaikan dimengerti oleh yang menerima.
2.Menimbulkan kesenangan, yakni orang yang menerima pesan, dalam hal ini mad'u merasa bahwa seruan dakwah yang disampaikan oleh da'i itu menimbulkan rasa senang, sejuk dan menghibur, tidak memuakkan atau menyakitkan meski sifat tegurannya boleh jadi tajam dan mendasar. Meski demikian dakwah tidak sejenis dengan tontonan atau panggung hiburan, dan seorang da'i tidak harus berperan sebagai pelawak.
3.Menimbulkan pengaruh pada sikap mad'u, maksudnya, ajakan dan seruan da'i dapat mempengaruhi sikap mad'u dalam masalah-masalah tertentu, misalnya dari sikap sinis kepada tradisi keagamaan menjadi netral, simpati atau empati, adri stereotip terhadap ajaran Islam tentang wanita menjadi ingin mengetahui ajaran yang sebenarnya, dari sikap eksklusif (merasa benar sendiri) menjadi menghargai golongan lain dan sebagainya.
4.Menimbulkan hubungan yang makin baik, maksudnya, semakin sering komunikasi dengan mad'u, baik melalui ceramah, konsultasi, bermu'amalah atau pergaulan biasa, membuat hubungan antara kedua belah pihak semakin dekat dan semakin akrab serta saling membutuhkan. Bermula dari sekedar muballigh yang diundang ceramah berkembang menjadi guru, sahabat, tempat mengadu, konsultan, dan orang yang dituakan oleh jamaahnya.
5.Menimbulkan tindakan, maksudnya, dengan dakwah yang dilakukan terus menerus, mad'u kemudian terdorong bukan hanya dalam merubah sikap tapi sampai pada mau melakukan apa yang dianjurkan da'i, dari tidak menjalankan shalat menjadi patuh, dari kikir menjadi pemberi, dan berlaku kasar menjadi lemah-lembut, dari pemalas menjadi rajin dan sebagainya. Tanda kelima inilah yang merupakan tanda konkrit dari keberhasilan suatu dakwah, sebagai perwujudan dari proses komunikasi.
2. Pendekatan Dakwah
Pendekatan kegiatan dakwah dilakukan dengan pendekatan dakwah bi al-qaul (bi al-lisan) dan bi al-af'al (termasuk bi al-kitabah atau bi al-amal). Pendekatan dari kedua kegiatan itu melahirkan empat ragam kegiatan dakwah, yakni pertama tabligh dan ta'lim, kedua irsyad, ketiga tathwir, dan keempat tadbir.[32]
Tabligh dan ta'lim dilakukan dalam rangka pencerdasan dan pencerahan masyarakat melalui kegiatan pokok: sosialisasi, internalisasi dan ekternalisasi nilai ajaran Islam, dengan menggunakan sarana mimbar dan media massa (etak atau audio visual). Irsyad dilakukan dalam rangka pemecahan masalah psikologis melalui kegiatan pokok: bimbingan penyuluhan pribadi dan bimbingan penyuluhan keluarga, baik secara preventif ataupun kuratif. Tabligh dah Irsyad menyangkut kondisioning pemahaman, persepsi, dan sikap.
Tadbir (manajemen pembangunan masyarakat), dilakukan dalam rangka perekayasaan sosial dan pemberdayaan masyarakat dalam kehidupan yang lebih baik, peningkatan kualitas sumber daya manusia, dan pranata sosial keagamaan, serta menumbuhkan perekonomian dan kesejahteraan masyarakat, dengan kegiatan pokok: penyusunan kebijakan, perencanaan program, pembagian tugas dan pengorganisasian, pelaksanaan, dan pemonitoran serta pengevaluasian dalam pembangunan masyarakat dari aspek perekonomian dan kesejahteraannya. Dengan kata lain, tadbir berkaitan dengan dakwah melalui pembangunan. Dua ragam dakwah yang terakhir ini ditujukan utuk menjawab kebutuhan dan tantangan zaman.
Tathwir (pengembangan masyarakat) dilakukan dalam rangka peningkatan sosial budaya masyarakat, yang dilakukan dengan kegiatan pokok: pentransformasian dan pelembagaan nilai-nilai ajaran Islam dalam realitas kehidupan umat, yang menyangkut kemanusiaan, seni budaya, dan kehidupan bermasyarakat, penggalangan ukhuwah islamiyyah, dan pemeliharaan lingkungan. Dengan kata lain, tathwir berkaitan dengan kegiatan dakwah melalui pendekatan washilah sosial budaya (dakwah kultural).
Jika merujuk pada apa yang dicontohkan Rasulullah Saw, ketika membangun masyarakat, setidaknya harus ditempuh tiga tahap atau proses pengembangan masyarakat, yakni takwin, tanzim, taudi. Takwin adalah tahap pembentukan masyarakat Islam. Kegiatan pokok tahapan ini adalah dakwah bil lisan sebagai ikhtiar sosialisasi akidah, ukhuwah, dan ta'awun. Semua aspek ditata menjadi instrumen sosiologis. Proses sosialisasi dimulai dari unit terkecil dan terdekat sampai pada penrwujudan kesepakatan.
Tahap berikutnya adalah tanzim, yakni tahap pembinaan dan penataan masyarakat. Pada fase ini internalisasi dan eksternalisasi Islam muncul dalam bentuk institusionalisasi Islam secar akomprehensif dalam realitas sosial. Tahap ini dimulai dengan hijrah masyarakat Muslim ke Madinah. Dalam perspektif strategi dakwah, hijrah dilakukan ketika tekanan kultural, struktural, dan militer sudah demikian mencekam sehingga jika tidak hijrah, terjadi involusi kelembagaan dan menjadi lumpuh.
Kemudian, tahap berikutnya adalah taudi. Yang dimaksud dengan taudi adalah tahap pelepasan dan kemandirian. Pada tahap ini, umat telah siap menjadi masyarakat mandiri, terutama secara manajerial.
3. Metode Dakwah
Dari berbagai ekspresi al-Qur'an dapat diturunkan beberapa pesan moral al-Qur'an tentang metode penyampaian dakwah, antara lain bahwa upaya penyebaran agama Islam perlu disampaikan dengan cara yang lebih baik, cara penuh kasih sayang, tidak muncul dari rasa kecencian. Bahkan, kalaupun terjadi permusuhan, harus dianggap seolah-olah menjadi teman yang baik (ka'annahum waliyyun hamîm).
Apabila memperhatikan isyarat ayat-ayat yang secara khusus berkaitan dengan metode dakwah yang berhubungan dengan cara berkomunikasi (dakwah bi al-qaul/bi al-lisan) tampak bahwa al-Qur'an seringkali menyampaikan ungkapannya dengan ilustrasi pernyataan-pernyataan yang baik, sopan, santun, lemah lembut, berbobot, dan sebagainya. Dengan demikian, iklim dan suasana komunikasi dan dialog yang dibangunnya sangat kondusif bagi penyejukan jiwa dan pencarahan ruhani.
Berikut ini akan dijabarkan istilah-istilah yang digunakan oleh al-Qur'an berkenaan dengan metode dakwah bi al-qaul. Seperti dijelaskan secara luas oleh Ahmad Mubarok dalam bukunya, bahwa al-Qur'an memberikan istilah-istilah pesan yang persuasif, di antaranya dengan kalimat: (1) qaulan balîghâ, (2) qaulan layyinâ, (3) qaulan maisûrâ, (4) qaulan karîmâ, dan (5) qaulan sadîdâ.[33]
a. Qaulan Balîghâ (Perkataan yang Membekas pada Jiwa)
Al-Qur'an memberikan tuntunan, bahwa redaksi seruan dakwah berbeda-beda tekanannya, tergantung siapa mad'unya. Surat al-Nisa [4] ayat 63 di bahwa ini mengintrodusir istilah qaulan baligha yang dapat diterjemahkan dengan "perkataan yang membekas pada jiwa".
"Mereka itu adalah orang-orang yang Allah mengetahui apa yang ada dalam hati mereka. Karena itu berpalinglah kamu dari mereka, dan berilah mereka pelajaran, dan katakanlah kepada mereka perkataan yang berbekas pada jiwa mereka".
Ayat tersebut di atas berkenaan dengan orang munafik yang di hadapan Nabi berpura-pura baik, tapi di belakang, mereka menyabot dakwah Nabi. Kalimat dakwah yang persuasif bagi orang munafiq adalah kalimat yang tajam, pedas, tetapi benar, baik bahasa maupun substansinya. Dengan qaulan baligha, sekurang-kurangnya orang munafiq dibuat tak berkutik di depan da'i, meskipun di belakang hari mereka bekerja keras mencari celah yang dapat digunakan untuk menyerang da'i. Pengertian lain dari qaulan baligha adalah suatu perkataan yang membuat lawan bicaranya terpaksa harus mempersepsi perkataan itu sama dengan apa yang dimaksudkan oleh pembicara, sehingga tidak ada celah untuk mempersepsi lain.
b. Qaulan Layyinâ (Perkataan yang Lemah Lembut)
Di samping qaulan balîghâ, al-Qur'an juga mengintrodusir istilah qulan layyinâ, seperti yang disebutkan dalam Surat Thaha [10] ayat 43-44 di bawah ini.
"Pergilah kamu berdua kepada Fir'aun, sesungguhnya dia telah melampaui batas. Maka berbicaralah kamu berdua kepadanya dengan kaya-kata yang lemah lembut, mudah-mudahan ia ingat atau takut".
Ayat ini berada dalam rangkaian kisah Nabi Musa (dan Harun) dengan Fir'aun. Berhadapan dengan penguasa yang tiran, al-Qur'an mengajarkan agar dakwah kepada mereka haruslah bersifat sejuk dan lemah lembut, tidak kasar, dan menantang. Perkataan yang kasar kepada penguasa tiran dapat memancing respons yang lebih keras dalam waktu yang spontan, sehingga menghilangkan peluang untuk berdialog atau berkomunikasi antara kedua belah pihak. Psikologi penguasa yang sewenang-wenang ialah, jika diusik pikiran dan perasaannya oleh orang lain, maka ia akan segera bereaksi dengan keras sejak komunikasi yang oertama .
Jadi, dakwah yang lembut adalah dakwah yang dirasakan oleh mad’u sebagai sentuhan yang halus, tanpa mengusik atau menyentuk kepekaan perasaannya sehingga tidak menimbulkan ganggunan pikiran dan perasaan. Dengan sentuhan yang halus itu, orang kasar pun dibuat sulit untuk mendemonstrasikan kekasarannya.
c. Qaulan Maisûrâ (Perkataan yang Ringan)
Istilah qaulan maisura tersebut dalam Surat al-Isra [17] ayat 28:
"Dan jika kamu berpaling daari mereka untuk memperoleh rahmat dari Tuhanmu yang kamu harapkan, maka katakanlah kepada mereka ucapan yang pantas".
Kalimat maisura berasal dari kata yasr, yang artinya mudah. Qaulan Maisura adalah lawan dari qaulan ma'sura, perkataan yang sulit. Sebagai suatu proses komunikasi, qaulan maisura artinya perkataan yang mudah diterima, yang ringan, yang pantas, yang tidak berliku-liku dan tidak bersayap. Dakwah dengan qaulan maisura artinya pesan yang disampaikan itu sederhana, mudah dimengerti dan dapat dipahamu secara spontan tanpa harus berpikir panjang. Pesan dakwah model ini tidak memerlukan dalil naqli maupun argumen-argumen logika yang rumit.
d. Qaulan Karima (Perkataan yang Mulia)
Kalimat qaulan karima dalam al-Qur'an terdapat dalam ayat yang mengajarkan etika pergaulan manusia kepada kedua orang tuanya yang sudah tua, seperti yang disebutkan dalam surat al-Isra ayat 23:
"Dan Tuhanmu telah memerintahkan supaya kamu jangan menyembah selain Dia dan hendaklah kamu berbuat baik pada ibu bapakmu dengan sebaik-baiknya. Jika salah seorang di antara keduanya atau keduanya sampau berusia lanjut dalam pemeliharaanmu, maka sekali-kali janganlah kamu mengatakan kepada kedua perkataan "ah", dan janganlah kamu membantah mereka, dan ucapkanlah kepada mereka perkataan yang mulai".
Dalam perspektif dakwah, maka term qaulan karima diperlukan jika dakwah itu ditujukan kepada kelompok orang yang sudah masuk kategori usia lanjut, atau dalam masyarakat kota barangkali adalah kelompok pensiun. Seorang da'i dalam berhubungan dengan lapisan mad'u yang sudah masuk kategori usia lanjut, haruslah bersikap seperti terhadap orang tua sendiri, yakni hormat dan tidak berkata keras dan kasar kepadanya.
Kata karima yang artinya penuh kebajikan (katsir al-khair) jika dihubungkan dengan qaulan berarti sahlan wa layyinan yakni perkataan yang mudah dan lembut. Berdakwah kepada orang yang berusia lanjut, haruslah dengan perkataan yang musah dipahami dan disampaikan dengan retorika yang halus dan lembut.
e. Qaulan Sadida (Perkataan yang Benar)
Terma Qaulan Saida merupakan persyaratan umum suatu pesan dakwah agar dakwahnya persuasif. Ditujukan kepada siapa pun, pesan dakwah haruslah dengan perkataan yang benar. Term qaulan sadida disebut dua kali dalam al-Qur'an, yaitu dalam Surat an-Nisa ayat 9 dan surat al-Ahzab ayat 70: "Hai orang-orang yang beriman, bertakwalah kepada Allah dan katakanlah perkataan yang benar".
Perintah untuk berkata benar didahului oleh perintah bertaqwa, dan Allah berjanji bahwa berkata benar yang dilandasi oleh ketakwaan itu akan mengantar pada perbaikan amal dan ampunan dari dosa. Seorang da'i yang konsisten dengan pesan kebenaran dan didukung oleh integritas pribadinya yang mulia, dijamin oleh al-Qur'an bahwa dakwahnya bukan hanya membangun orang lain tetapi juga membangun dirinya, yakni meningkatkan integritas dirinya.
B. Jenis-Jenis Metode Tafsir
1. Pengertian dan Sejarah Tafsir Al-Qur’an
Secara etimologi, kata tafsir berasal dari kata al-fusru yang mempunyai arti al-ibanah wa al-kasyf (menjelaskan dan menyingkap sesuatu).[34] Makna ini tampak sesuai dengan Surat Al-Furqan ayat 33:
وَلاَ يَأْتُونَكَ بِمَثَلٍ إِلاَّ جِئْنَاكَ بِالْحَقِّ وَأَحْسَنَ تَفْسِيرًا
“Tidaklah orang-orang kafir itu datang kepadamu (membawa) sesuatu yang ganjil, melainkan Kami datangkan kepadamu suatu yang benar dan yang paling baik penjelasannya.” (QS. Al-Furqan: 33).
Adapun secara terminologi, seperti dinukil oleh Al-Hafizh As-Suyuthi dari Al-Imam Az-Zarkasyi, tafsir ialah ilmu untuk memahami kitab Allah SWT yang diturunkan kepada Nabi Muhammad SAW, menjelaskan makna-maknanya, menyimpulkan hikmah dan hukum-hukumnya.[35]
Thabathaba’i mendefinisikan tafsir sebagai: “Penjelasan tentang makna ayat-ayat al-Qur’an dan menyingkap maksud dan dilalahnya”.[36] Dengan demikian, dari pengertian tafsir ini mengandung beberapa unsur dalam penafsiran al-Qur’an, yaitu makna ayat-ayat al-Qur’an, penyingkapan maksud di balik teks al-Qur’an, dan dilalah atau qarinah yang menunjukkan arti dari kata tersebut.
Pada saat Al-Quran diturunkan, Rasul Saw berfungsi sebagai mubayyin (pemberi penjelasan), menjelaskan kepada sahabat-sahabatnya tentang arti dan kandungan Al-Quran, khususnya menyangkut ayat-ayat yang tidak dipahami atau samar artinya. Keadaan ini berlangsung sampai dengan wafatnya Rasul saw., walaupun harus diakui bahwa penjelasan tersebut tidak semua kita ketahui akibat tidak sampainya riwayat-riwayat tentangnya atau karena memang Rasul Saw sendiri tidak menjelaskan semua kandungan Al-Quran.[37]
Kalau pada masa Rasul saw. para sahabat menanyakan persoalan-persoalan yang tidak jelas kepada beliau, maka setelah wafatnya, mereka terpaksa melakukan ijtihad, khususnya mereka yang mempunyai kemampuan semacam 'Ali bin Abi Thalib, Ibnu 'Abbas, Ubay bin Ka'ab, dan Ibnu Mas'ud. Sementara sahabat ada pula yang menanyakan beberapa masalah, khususnya sejarah nabi-nabi atau kisah-kisah yang tercantum dalam Al-Quran kepada tokoh-tokoh Ahlul-Kitab yang telah memeluk agama Islam, seperti 'Abdullah bin Salam, Ka'ab Al-Ahbar, dan lain-lain. Inilah yang merupakan benih lahirnya Israiliyat.
Di samping itu, para tokoh tafsir dari kalangan sahabat yang disebutkan di atas mempunyai murid-murid dari para tabi'in, khususnya di kota-kota tempat mereka tinggal. Sehingga lahirlah tokoh-tokoh tafsir baru dari kalangan tabi'in di kota-kota tersebut, seperti: (a) Said bin Jubair, Mujahid bin Jabr, di Makkah, yang ketika itu berguru kepada Ibnu 'Abbas; (b) Muhammad bin Ka'ab, Zaid bin Aslam, di Madinah, yang ketika itu berguru kepada Ubay bin Ka'ab; dan (c) Al-Hasan Al-Bashriy, Amir Al-Sya'bi, di Irak, yang ketika itu berguru kepada 'Abdullah bin Mas'ud.
Gabungan dari tiga sumber di atas, yaitu penafsiran Rasul saw., penafsiran sahabat-sahabat, serta penafsiran tabi'in, dikelompokkan menjadi satu kelompok yang dinamai Tafsir bi Al-Ma'tsur. Dan masa ini dapat dijadikan periode pertama dari perkembangan tafsir.
Berlakunya periode pertama tersebut dengan berakhirnya masa tabi'in, sekitar tahun 150 H, merupakan periode kedua dari sejarah perkembangan tafsir. Pada periode kedua ini, hadis-hadis telah beredar sedemikian pesatnya, dan bermunculanlah hadis-hadis palsu dan lemah di tengah-tengah masyarakat. Sementara itu perubahan sosial semakin menonjol, dan timbullah beberapa persoalan yang belum pernah terjadi atau dipersoalkan pada masa Nabi Muhammad saw., para sahabat, dan tabi'in.
Pada mulanya usaha penafsiran ayat-ayat Al-Quran berdasarkan ijtihad masih sangat terbatas dan terikat dengan kaidah-kaidah bahasa serta arti-arti yang dikandung oleh satu kosakata. Namun sejalan dengan lajunya perkembangan masyarakat, berkembang dan bertambah besar pula porsi peranan akal atau ijtihad dalam penafsiran ayat-ayat Al-Quran, sehingga bermunculanlah berbagai kitab atau penafsiran yang beraneka ragam coraknya. Keragaman tersebut ditunjang pula oleh Al-Quran, yang keadaannya seperti dikatakan oleh 'Abdullah Darraz dalam Al-Naba' Al-Azhim: "Bagaikan intan yang setiap sudutnya memancarkan cahaya yang berbeda dengan apa yang terpancar dari sudut-sudut yang lain, dan tidak mustahil jika anda mempersilakan orang lain memandangnya., maka ia akan melihat lebih banyak dari apa yang anda lihat."[38]
Muhammad Arkoun, seorang pemikir Aljazair kontemporer, menulis bahwa: "Al-Quran memberikan kemungkinan-kemungkinan arti yang tak terbatas. Kesan yang diberikan oleh ayat-ayatnya mengenai pemikiran dan penjelasan pada tingkat wujud adalah mutlak. Dengan demikian ayat selalu terbuka (untuk interpretasi) baru, tidak pernah pasti dan tertutup dalam interpretasi tunggal."[39]
Corak-corak penafsiran yang dikenal selama ini antara lain:
a. Corak sastra bahasa, yang timbul akibat banyaknya orang non-Arab yang memeluk agama Islam, serta akibat kelemahan-kelemahan orang Arab sendiri di bidang sastra, sehingga dirasakan kebutuhan untuk menjelaskan kepada mereka tentang keistimewaan dan kedalaman arti kandungan Al-Quran di bidang ini.
b. Corak filsafat dan teologi, akibat penerjemahan kitab filsafat yang mempengaruhi sementara pihak, serta akibat masuknya penganut agama; agama lain ke dalam Islam yang dengan sadar atau tanpa sadar masih mempercayai beberapa hal dari kepercayaan lama mereka. Kesemuanya menimbulkan pendapat setuju atau tidak setuju yang tecermin dalam penafsiran mereka.
c. Corak penafsiran ilmiah, akibat kemajuan ilmu pengetahuan dan usaha penafsir untuk memahami ayat-ayat Al-Quran sejalan dengan perkembangan ilmu.
d. Corak fiqih atau hukum, akibat berkembangnya ilmu fiqih, dan terbentuknya mazhab-mazhab fiqih, yang setiap golongan berusaha membuktikan kebenaran pendapatnya berdasarkan penafsiran-penafsiran mereka terhadap ayat-ayat hukum.
e. Corak tasawuf, akibat timbulnya gerakan-gerakan sufi sebagai reaksi dari kecenderungan berbagai pihak terhadap materi, atau sebagai kompensasi terhadap kelemahan yang dirasakan.
f. Bermula pada masa Syaikh Muhammad 'Abduh (1849-1905 M), corak-corak tersebut mulai berkurang dan perhatian lebih banyak tertuju kepada corak sastra budaya kemasyarakatan. Yakni satu corak tafsir yang menjelaskan petunjuk-petunjuk ayat-ayat Al-Quran yang berkaitan langsung dengan kehidupan masyarakat, serta usaha-usaha untuk menanggulangi penyakit-penyakit atau masalah-masalah mereka berdasarkan petunjuk ayat-ayat, dengan mengemukakan petunjuk-petunjuk tersebut dalam bahasa yang mudah dimengerti tapi indah didengar.[40]
2. Metode Tafsir
Al-Quran adalah sumber ajaran Islam. Kitab Suci itu, menempati posisi sentral, bukan saja dalam perkembangan dan pengembangan ilmu-ilmu keislaman, tetapi juga merupakan inspirator, pemandu dan pemadu gerakan-gerakan umat Islam sepanjang empat belas abad sejarah pergerakan umat ini.[41] Dengan demikian, maka pemahaman terhadap ayat-ayat Al-Quran, melalui penafsiran-penafsirannya, mempunyai peranan yang sangat besar bagi maju-mundurnya umat. Sekaligus, penafsiran-penafsiran itu dapat mencerminkan perkembangan serta corak pemikiran mereka.
Berikut ini, akan dikemukakan pembahasan tentang perkembangan metode penafsiran, keistimewaan dan kelemahannya.
a. Metode Ma'tsur (Riwayat)
Sejarah perkembangan Tafsir dapat pula ditinjau dari sudut metode penafsiran. Walaupun disadari bahwa setiap mufassir mempunyai metode yang berbeda dalam perinciannya dengan mufassir lain. Namun secara umum dapat diamati bahwa sejak periode ketiga dari penulisan Kitab-kitab Tafsir sampai tahun 1960, para mufassir menafsirkan ayat-ayat Al-Quran secara ayat demi ayat, sesuai dengan susunannya dalam mushhaf.
Penafsiran yang berdasar perurutan mushaf ini dapat menjadikan petunjuk-petunjuk Al-Quran terpisah-pisah, serta tidak disodorkan kepada pembacanya secara utuh dan menyeluruh. Memang satu masalah dalam Al-Quran sering dikemukakan secara terpisah dan dalam beberapa surat. Ambillah misalnya masalah riba, yang dikemukakan dalam surat-surat Al-Baqarah, Ali 'Imran, dan Al-Rum, sehingga untuk mengetahui pandangan Al-Quran secara menyeluruh dibutuhkan pembahasan yang mencakup ayat-ayat tersebut dalam surat yang berbeda-beda itu.
Disadari pula oleh para ulama, khususnya Al-Syathibi (w. 1388 M), bahwa setiap surat, walaupun masalah-masalah yang dikemukakan berbeda-beda, namun ada satu sentral yang mengikat dan menghubungkan masalah-masalah yang berbeda-beda tersebut.
Bermacam-macam metodologi tafsir dan coraknya telah diperkenalkan dan diterapkan oleh pakar-pakar Al-Quran. Kalau kita mengamati metode penafsiran sahabat-sahabat Nabi saw., ditemukan bahwa pada dasarnya --setelah gagal menemukan penjelasan Nabi saw.-- mereka merujuk kepada penggunaan bahasa dan syair-syair Arab. Cukup banyak contoh yang dapat dikemukakan tentang hal ini. Misalnya, Umar ibn Al-Khaththab, pernah bertanya tentang arti takhawwuf dalam firman Allah: Auw ya'khuzahum 'ala takhawwuf (QS 16:47). Seorang Arab dari kabilah Huzail menjelaskan bahwa artinya adalah "pengurangan". Arti ini berdasarkan penggunaan bahasa yang dibuktikan dengan syair pra-Islam. Umar ketika itu puas dan menganjurkan untuk mempelajari syair-syair tersebut dalam rangka memahami Al-Quran.[42]
Setelah masa sahabat pun, para tabi'in dan atba' at-tabi'in, masih mengandalkan metode periwayatan dan kebahasaan seperti sebelumnya. Kalaulah kita berpendapat bahwa Al-Farra' (w. 207 H) merupakan orang pertama yang mendiktekan tafsirnya Ma'aniy Al-Qur'an,[43] maka dari tafsirnya kita dapat melihat bahwa faktor kebahasaan menjadi landasan yang sangat kokoh. Demikian pula Al-Thabari (w. 310 H) yang memadukan antara riwayat dan bahasa.
Mengandalkan metode ini, jelas memiliki keistimewaan, namun juga mempunyai kelemahan-kelemahan. Keistimewaannya, antara lain, adalah:
(a) Menekankan pentingnya bahasa dalam memahami Al-Quran.
(b) Memaparkan ketelitian redaksi ayat ketika menyampaikan pesan-pesannya.
(c) Mengikat mufasir dalam bingkai teks ayat-ayat, sehingga membatasinya terjerumus dalam subjektivitas berlebihan.[44]
Di sisi lain, kelemahan yang terlihat dalam kitab-kitab tafsir yang mengandalkan metode ini adalah:
(a) Terjerumusnya sang mufasir dalam uraian kebahasaan dan kesusasteraan yang bertele-tele sehingga pesan-pokok Al-Quran menjadi kabur dicelah uraian itu.
(b) Seringkah konteks turunnya ayat (uraian asbab al-nuzul atau sisi kronologis turunnya ayat-ayat hukum yang dipahami dari uraian nasikh/mansukh) hampir dapat dikatakan terabaikan sama sekali, sehingga ayat-ayat tersebut bagaikan turun bukan dalam satu masa atau berada di tengah-tengah masyarakat tanpa budaya.[45]
b. Metode Tahliliy
Shihab mengatakan, bahwa metode tafsir yang paling populer adalah metode tahliliy, dan metode mawdhu'iy. Metode tahliliy, atau yang dinamai oleh Baqir Al-Shadr sebagai metode tajzi'iy,[46]http://media.isnet.org/islam/Quraish/Membumi/Metoda.html - 49 adalah satu metode tafsir yang:
"Mufasirnya berusaha menjelaskan kandungan ayat-ayat Al-Quran dari berbagai seginya dengan memperhatikan runtutan ayat-ayat Al-Quran sebagaimana tercantum di dalam mushaf."[47]
Segala segi yang dianggap perlu oleh seorang mufasir tajzi'iy/tahliliy diuraikan, bermula dari arti kosakata, asbab al-nuzul, munasabah, dan lain-lain yang berkaitan dengan teks atau kandungan ayat. Metode ini, walaupun dinilai sangat luas, namun tidak menyelesaikan satu pokok bahasan, karena seringkali satu pokok bahasan diuraikan sisinya atau kelanjutannya, pada ayat lain.[48]
Baqir Shadr menilai bahwa metode tahlily telah menghasilkan pandangan-pandangan parsial serta kontradiktif dalam kehidupan umat Islam.[49] Dapat ditambahkan bahwa para penafsir yang menggunakan metode itu tidak jarang hanya berusaha menemukan dalil atau lebih tepat dalih pembenaran pendapatnya dengan ayat-ayat Al-Quran. Selain itu, terasa sekali bahwa metode ini tidak mampu memberi jawaban tuntas terhadap persoalan-persoalan yang dihadapi sekaligus tidak banyak memberi pagar-pagar metodologis yang dapat mengurangi subjektivitas mufasirnya.
Kelemahan lain yang dirasakan dalam tafsir-tafsir yang menggunakan metode tahliliy dan yang masih perlu dicari penyebabnya --apakah pada diri kita atau metode mereka-- adalah bahwa bahasan-bahasannya dirasakan sebagai "mengikat" generasi berikut. Hal ini mungkin karena sifat penafsirannya amat teoretis, tidak sepenuhnya mengacu kepada penafsiran persoalan-persoalan khusus yang mereka alami dalam masyarakat mereka, sehingga uraian yang bersifat teoretis dan umum itu mengesankan bahwa itulah pandangan Al-Quran untuk setiap waktu dan tempat.
c. Metode Mawdhu’i
Pada bulan Januari 1960, Syaikh Mahmud Syaltut menyusun kitab tafsirnya, Tafsir Al-Qur'an Al-Karim, dalam bentuk penerapan ide yang dikemukakan oleh Al-Syathibi tersebut. Syaltut tidak lagi menafsirkan ayat-demi-ayat, tetapi membahas surat demi surat, atau bagian-bagian tertentu dalam satu surat, kemudian merangkainya dengan tema sentral yang terdapat dalam satu surat tersebut. Metode ini kemudian dinamai metode mawdhu'iy.
Namun apa yang ditempuh oleh Syaltut belum menjadikan pembahasan tentang petunjuk Al-Quran dipaparkan dalam bentuk menyeluruh, karena seperti dikemukakan di atas, satu masalah dapat ditemukan dalam berbagai surat. Atas dasar ini timbul ide untuk menghimpun semua ayat yang berbicara tentang satu masalah tertentu, kemudian mengaitkan satu dengan yang lain, dan menafsirkan secara utuh dan menyeluruh. Ide ini di Mesir dikembangkan oleh Prof. Dr. Ahmad Sayyid Al-Kumiy pada akhir tahun enam puluhan. Ide ini pada hakikatnya merupakan kelanjutan dari metode mawdhu'iy gaya Mahmud Syaltut di atas.[50]
Dengan demikian, metode mawdhu'iy mempunyai dua pengertian: Pertama, penafsiran menyangkut satu surat dalam Al-Quran dengan menjelaskan tujuan-tujuannya secara umum dan yang merupakan tema sentralnya, serta menghubungkan persoalan-persoalan yang beraneka ragam dalam surat tersebut antara satu dengan lainnya dan juga dengan tema tersebut, sehingga satu surat tersebut dengan berbagai masalahnya merupakan satu kesatuan yang tidak terpisahkan.
Kedua, penafsiran yang bermula dari menghimpun ayat-ayat Al-Quran yang membahas satu masalah tertentu dari berbagai ayat atau surat Al-Quran dan yang sedapat mungkin diurut sesuai dengan urutan turunnya, kemudian menjelaskan pengertian menyeluruh dari ayat-ayat tersebut, guna menarik petunjuk Al-Quran secara utuh tentang masalah yang dibahas itu.
Pada tahun 1977, Abdul Hay Al-Farmawiy, yang juga menjabat guru besar pada Fakultas Ushuluddin Al-Azhar, menerbitkan buku Al-Bidayah fi Al-Tafsir Al-Mawdhu'i dengan mengemukakan secara terinci langkah-langkah yang hendaknya ditempuh untuk menerapkan metode mawdhu'iy. Langkah-langkah tersebut adalah:
(a) Menetapkan masalah yang akan dibahas (topik);
(b) Menghimpun ayat-ayat yang berkaitan dengan masalah tersebut;
(c) Menyusun runtutan ayat sesuai dengan masa turunnya, disertai pengetahuan tentang asbab al-nuzul-nya;
(d) Memahami korelasi ayat-ayat tersebut dalam surahnya masing-masing;
(e) Menyusun pembahasan dalam kerangka yang sempurna (outline);
(f) Melengkapi pembahasan dengan hadis-hadis yang relevan dengan pokok bahasan;
(g) Mempelajari ayat-ayat tersebut secara keseluruhan dengan jalan menghimpun ayat-ayatnya yang mempunyai pengertian yang sama, atau mengkompromikan antara yang 'am (umum) dan yang khash (khusus), mutlak dan muqayyad (terikat), atau yang pada lahirnya bertentangan, sehingga kesemuanya bertemu dalam satu muara, tanpa perbedaan atau pemaksaan.[51]
d. Metode Ijmali (Global)
Metode ini adalah berusaha menafsirkan Al-Qur'an secara singkat dan global, dengan menjelaskan makna yang dimaksud tiap kalimat dengan bahasa yang ringkas sehingga mudah dipahami. Urutan penafsiran sama dengan metode tahlili namun memiliki perbedaan dalam hal penjelasan yang singkat dan tidak panjang lebar.
Keistimewaan tafsir ini ada pada kemudahannya sehingga dapat dikonsumsi oleh lapisan dan tingkatan kaum muslimin secara merata. Sedangkan kelemahannya ada pada penjelasannya yang terlalu ringkas sehingga tidak dapat menguak makna ayat yang luas dan tidak dapat menyelesaikan masalah secara tuntas.[52]
C. Kerangka Pemikiran
Penelitian ini bertujuan untuk menjelaskan metode tafsir Qira’ati dan kontribusinya terhadap perkembangan ilmu dakwah.
Metode tafsir itu sendiri adalah cara mufassir dalam menjelaskan makna-makna yang terkandung dalam ayat-ayat al-Qur’an. Metode tersebut, seperti telah dijelaskan secara luas di atas, secara garis besar terdiri dari 4 metode: ma’tsur (penafsiran melalui perantara riwayat-riwayat), tahlily (penafsiran berdasarkan ayat demi ayat secara berurutan dari suatu surat tanpa menghubungkan dengan ayat lain), mawdhu’i (tafsir tematik, menghubungkan ayat demi ayat sesuai dengan tema), dan ijmaly (ringkas dan mudah dipahami).
Di bawah ini adalah gambar dari kerangka pemikiran di atas:
MUHSIN QIRA’ATI
METODE TAFSIR
ILMU DAKWAH
TAHLILY
MAWDHU’I
IJMALY
MA’TSUR
Gambar 2.1Kerangka Pemikiran
Keterangan gambar: Seperti telah dikemukakan di atas, metode tafsir terbagi ke dalam 4: ma’tsur, tahlily, mawdhui, dan ijmaly. Akan dilakukan analisis mengenai di manakah posisi Qira’ati dalam pembagian keempat metode tafsir tersebut. Selanjutnya, akan dilakukan analisis bagaimana kontribusi metode tafsir Qira’ati terhadap perkembangan ilmu dakwah. Hal itu dikarenakan, antara tafsir dan dakwah saling berkaitan. Di satu sisi, dakwah berarti menyampaikan nilai-nilai Islam sehingga tidak bisa terlepas dari pemahaman terhadap al-Qur’an, dan di sisi lain dalam al-Qur’an pun diperintahkan untuk berdakwah.
Bab III
METODE PENELITIAN
A. Tempat dan Waktu Penelitian
Penelitian dilakukan di beberapa perpustakaan untuk pengumpulan bahan penelitian berupa pustaka, di antaranya Perpustakaan ICC Jakarta, Perpustakaan ICAS-Jakarta, dan Perpustakaan STAI Madinatul Ilmi. Penelitian dilakukan selama 3 bulan, terhitung dari bulan Februari sampai dengan April 2008.
B. Pendekatan Penelitian
Pendekatan yang digunakan dalam penelitian ini adalah pendekatan kualitatif. Seperti dikemukakan oleh Sarwono, bahwa dalam tradisi riset dikenal ada dua jenis pendekatan utama penelitian, yaitu pendekatan kuantitatif dan kualitatif. Pendekatan kuantitatif menekankan pada penggunaan angka-angka, rumus-rumus statistik serta pengukuran, sementara pendekatan kualitatif memfokuskan pada aspek kealamiahan data.[53]
Pendekatan kualitatif menekankan pada makna, penalaran, definisi suatu situasi tertentu dalam konteks tertentu. Sedangkan pendekatan kuantitatif mementingkan adanya variabel‑variabel sebagai obyek penelitian dan variabel‑variabel tersebut harus didefinisikan dalam bentuk operasionalisasi variabel masing‑masing.[54] Adapun tujuannya, pendekatan kualitatif bertujuan mengembangkan pengertian dan konsep‑konsep atau realitas sosial yang ada. Sebaliknya pendekatan kuantitatif bertujuan untuk menguji teori, membangun fakta, menunjukkan hubungan antar variabel, memberikan deskripsi statistik, menaksir dan meramalkan hasilnya.[55]
Penelitian tentang konsep dakwah dalam pandangan Qiraati ini menggunakan pendekatan kualitatif dikarenakan bertujuan untuk mengembangkan pengertian dan konsep‑konsep tafsir dan dakwah tanpa melibatkan analisis statistik yang bertingkat-tingkat.
B. Sifat Penelitian
Penelitian yang dilakukan adalah penelitian deskriptif, yaitu penelitian yang berupaya untuk memperoleh deskripsi yang lengkap dan akurat guna mencapai tujuan penelitian.[56] Penelitian deskriptif dalam makna lain adalah penelitian yang tidak bermaksud untuk menguji hipotesis, melainkan hanya memaparkan situasi atau peristiwa.[57] Metode deskriptif amat berguna untuk melahirkan teori-teori alternatif. Di sinilah perbedaan metode deskriptif dengan metode-metode lain. Metode deskriptif mencari teori, bukan menguji teori, dan bukan menguji hipotesis (hypothesis-testing).[58]
Kaitannya dalam penelitian ini, metode deskriptif digunakan karena penelitian ini tidak bermaksud menguji suatu teori (grand theori), tetapi lebih pada pencarian teori yang tepat untuk diterapkan pada tafsir Qira’ati, baik dari segi corak penafsiran maupun metode tafsir yang dianutnya. Setelah itu, dilakukan proses deskripsi kontribusi metode tafsir Qira’ati tersebut terhadap perkembangan ilmu dakwah. Kontribusi di sini, bukan dalam arti metode “korelasional” yang mensyaratkan adanya variabel-variabel yang saling berhubungan, tetapi lebih pada analisis logis dari bukti teks yang mendukung hal tersebut.
Pada penelitian ini, semua data-data yang diambil dari buku-buku Qiraati dan ceramah-ceramah beliau akan diolah dan dianalisis secara mendalam untuk mengetahui bagaimana metode tafsir dan dakwah dalam pandangan beliau.
C. Paradigma Penelitian yang Digunakan
Paradigma penelitian yang digunakan dalam meneliti kontribusi metode tafsir Qiraati terhadap perkembangan ilmu dakwah di sini menggunakan paradigma konstruktivis, di mana konstruktivis melihat bahwa realitas bergantung kepada definisi subjektif individu peneliti. Konstruktivisme, lebih mengutamakan pemahaman terhadap konteks dan makna-makna dalam memahami realitas, sehingga akan muncul penjelasan yang beragam.[59]
Kebenaran dan pengetahuan objektif bukanlah ditemukan melainkan diciptakan oleh setiap individu, karena yang terlihat nyata sesungguhnya merupakan hasil konstruksi pemikiran individu.[60] Ini menunjukan bahwa subjek sangat memegang peranan yang menciptakan dan menyusun makna dalam pikirannya.
Penelitian yang menggunakan paradigma ini lebih menekankan kepada interaksi dialektis antara peneliti dengan objeknya untuk mengkonstruksi realita yang diteliti melalui metode-metode kualitatif. Di sini peneliti berusaha menjembatani keragaman dalam teks buku-buku Qiraati dan memilah metode tafsir dan dakwah beliau.[61]
E. Jenis dan Sumber Data
Data dalam penelitian ini adalah berupa data primer dan data sekunder. Data primer adalah buku-buku karya Qira’ati. Karya-karya Qiraati dalam bahasa Persia antara lain: Tafsir Nurul Quran, Ammar maruf nahi munkar, Syiweh da rahkar, gunah shenosi, anwa ghunah wa rah haye pisygiri, Haj, adab wa marasim, Quran wa tablig bar asase quran wa riwayat, Tafsir namaz bar asase quran wa riwayat, Partu az asrari namaz, Nukteh dari boreh namaz, nukat barguzideh piromun namaz. Raz namaz, tauhid-adl- nubuwat-imamate-ma’ad, umrah,tafsir surah qashsah,tafsir surah iqra, hadise haj, Quran wa Imam Husen as, Tamsilat, Khums wa Zakat.
Buku-buku tersebut sudah dialih bahasakan ke bahasa lain antaranya: Tafsir nur al-Quran, yang aslinya adalah tafsir nurul Quran ada 20 jilid dalam bahasa Inggris terjemahan dari bahasa Persia kemudian baru dicetak dalam 16 jilid oleh penerbit al-Huda, Ensiklopedia salat, Haji, Ammar makruf nahi munkar, Manusia dan dunia di dalam al-Quran, Dosa-dosa, tafsir al-ankabut, tafsir surah Yasin, Tafsir, Luqman, Tafsir al-Isra, Tafsir al-Hujurat, Tafsir ayat-ayat pilihan, dsb. Karya-karya peneliti lainnya yang meneliti tentang pemikiran dakwah Muhsin Qiraati dan tentang ayat-ayat al-Quran akan dijadikan sebagai sumber data sekunder selama masih relevan dengan penelitian ini.
Sedangkan data sekunder adalah data pendukung bagi data primer, yaitu buku-buku lain yang berhubungan dengan tema penelitian, di antaranya buku-buku mengenai tafsir dan mengenai dakwah yang ditulis oleh para pakar di bidang tafsir dan dakwah.
D. Teknik Pengumpulan Data
Pengumpulan data menggunakan metode penelitian kepustakaan (library research method), yaitu dengan mengambil bahan-bahan penelitian dari penelusuran dan penelaahan yang bersumber dari buku-buku atau karya-karya tulis Muhsin Qiraati.
Karakteristik dan kualifikasi riset kepustakaan adalah sebagai berikut: Pertama, penelitian kepustakaan dilakukan karena persoalan penelitian tersebut hanya bisa dijawab lewat penelitian pustaka dan mungkin tidak bisa mengharapkan datanya dari riset lapangan. Kedua, studi pustaka diperlukan sebagai satu tahap tersendiri yaitu studi pendahuluan untuk memahami gejala baru yang terjadi dalam masyarakat. Ketiga, data pustaka tetap andal untuk menjawab persoalan penelitiannya.[62]
Setidaknya ada empat ciri utama studi kepustakaan. Pertama, peneliti berhadapan langsung dengan teks dan bukannya dengan pengetahuan langsung dari lapangan atau saksi mata berupa kejadian, orang atau benda-benda lain. Kedua, data pustaka bersifat siap pakai. Ketiga, data pustaka umumnya adalah sumber sekunder yang bukan data orisinil dari tangan pertama di lapangan. Keempat, kondisi data pustaka tidak dibatasi oleh ruang dan waktu.[63]
Dari kualifikasi studi kepustakaan di atas, penelitian ini mengacu kepada kualifikasi riset kepustakaan yang pertama, yaitu metode ini dipakai dikarenakan untuk menjawab fokus penelitian hanya bisa dijawab lewat penelitian pustaka, dan penelitian berhadapan langsung dengan teks, dalam hal ini buku-buku karya Qira’ati sebagai inspirator dilakukannya penelitian ini.
Buku-buku tersebut di antaranya: Tafsir nur al-Quran, Ensiklopedia salat, Haji, Ammar makruf nahi munkar, Manusia dan dunia di dalam al-Quran, Dosa-dosa, tafsir al-ankabut, tafsir surah Yasin, Tafsir, Luqman, Tafsir al-Isra, Tafsir al-Hujurat, Tafsir ayat-ayat pilihan, dan karya-karya peneliti lainnya yang meneliti tentang pemikiran dakwah Muhsin Qiraati dan tentang ayat-ayat al-Quran akan dijadikan sebagai sumber data sekunder selama masih relevan dengan penelitian ini.
E. Teknik Analisis Data
Analisis data merupakan suatu proses lanjutan dari proses pengolahan data untuk menginterpretasikan data.[64] Sedangkan menurut Moleong, analisis data adalah proses mengorganisasikan dan mengurutkan data ke dalam pola, kategori, dan satuan uraian dasar sehingga dapat ditemukan tema dan dapat dirumuskan arah atau kesimpulan seperti yang disarankan oleh data.[65]
Analisis data dalam penelitian ini adalah memahami pemikiran Qiraati mengenai corak dan metode tafsirnya, lalu menganalisis kontribusinya terhadap perkembangan ilmu dakwah dengan dukungan dari teori-teori yang ada lalu memformulasikannya berdasarkan urutan logis sesuai dengan arah data dari karya-karya Qiraati.
Metode analisis data di atas disebut oleh Arikunto dengan teknik Content Analysis.[66]
BAB IV
HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN
A. Biograpi Hidup dan kiprah Qiraati
Ayatullah Muhsin Qiraati (selanjutnya disebut Qiraati) adalah figur alim yang tidak suka dengan basa-basi dan tidak suka dengan segala macam protokoler yang kaku dan menghalangi keakraban dengan umatnya. Ia juga terkenal sebagai mubalig yang mendakwahkan kehatia-hatian dalam pemanfaatan bait al-mal. Karena itu tidaklah heran kalau sebagian besar perjalannya dilakukan sendirian tanpa membawa ajudan. Keistimewaan darinya adalah kecintaan yang mendarah daging kepada al-Quran. Itu disempurnakan dengan kefasehannya dalam menafsirkan ayat-ayat al-Quran di sela-sela kuliah-kuliah umum.
Ayatullah Mohsen Qiraati lahir di iran pada tahun 1946 dari keluarga yang taat beragama. Ia adalah tipe ulama yang bersahaja dan merakyat, tapi meskipun demikian ia memiliki cirikhas seoang mubalig yang benar-benar menguasi forum. Tokoh yang dikenal karena kuliah-kuliah agamanya. Hampir 15 juta orang lebih lebih setiap minggunya menyaksikan kuliah-kuliah tafsir al-Quran yang sangat menyegarkaan jiwa.
Dalam karir akademiknya Muhsin Qiraati banyak belajar dari beberapa Ayattullah ternama seperti ayatulah Sayid Ridha Ghulfaegani yang pernah memberi nasihat agar lebih memberi fokus kepada anak-anak muda yang kehausan akan ilmu pengetahuan. Setelah menyelesaikan seluruh pelajaran dasar (muqadimah) di kota kelahirnya Kasyan, ia berhijrah ke kota Qom dan belajar selama 15 tahun dari tingkat satuh hinga tingal level kharij. Qiraati juga pernah belajr selama satu tahun di Masyhad dan satu tahun di Najaf abad dan Isfahan.
Figur lain yang sangat mempengaruhi kehidupan beliau adalah sosok Imam Khomeini. Ia mulai mengenal Imam sejak tahun 1964 melalui surat-surat dan ceramah-ceramah imam dalam rangka menyelamatkan masyarakat islam Iran dari cengkeraman Rezim syah dan boneka-boneka Amerika serikat.[67] Surat-surat Imam dari perancis digambarkan Qiraati seperti kampak nabi Ibraihinm yang dapat menghancurkan patung-patung berhala abad ini , Karena itu Imam juga mendapat gelar ruhullah. Bagi Qiraati Imam Khomeini adalah wasiat tuhan di muka bumi yang akan memberi rahmat kepada seluruh manusia. Karena Imam melihat semua kalangan dengan pandanga yang sama. Qira’ati juga adalah seorang mubalig yang sangat mencintai anak-anak muda dan itu tak lepas dari misinya sebagai mubalig. Ia merasa itu adalah panggilah Ilahi dan ia merasa bahwa dakwah itu harus dinikmati oleh semua kalangan
Ayatulah ini juga telah menghasilkan berbagai karya di antaranya kitab Ushuludin dalam lima jilid, tafsir an-Nur 12 jilid, Ensiklopedia salat 10 jilid, tentang Haji, Ammar makruf nahi-munkar, Tafsir anak muda surah yusuf, tafsir anak muda surah al-Ankabut, surah al-Isra, tafsir anak muda surah Luqman, tafsir anak muda surah al-Hujurat, tafsir anak muda surah Yasin, tentang Dosa, dan sebagainya.
Peranan para ulama di tengah-tengah masyarakat Iran dari dulu hingga saat ini dan terutama di zaman Khomeini dan Ali Khamenei, tidak mungkin diabaikan dari panggung sejarah. Mereka dengan segala kesulitan di tengah-tengah masyarakat yang sebagiannya masih sekuler terus berusaha menghidupkan ajaran-ajaran Islam dengan segala metode. Para ulama di bawah kepempimpinan Khomeini menjadi ujung tombak dari sebuah misi Islam yang hadir dalam setiap kancah perjuangan. Di antara sekian ribu ulama yang turut menghidupkan revolusi dan menjaga semangatnya adalah Muhsin Qiraati, seorang murid Khomeini yang mewarisi sifat tidak bisa tinggal diam atas segala problema umatnya.
Memang Islam mengkategorikan ulama dalam struktur sosialnya. Menurut Islam ulama itu ada beberapa kategori ulama yang lebih sibuk dengan kepentingannya sendiri tapi ada juga ulama ideal yaitu sosok dan figur yang terusm selain sebagai pemandu umat di saat yang sama ia juga aktif dan memiliki kesadaran social dan politik di zamannya. Seorang ulama umat adalah ulama yang ikut berkiprah terjun untuk mengatasi segala beban penderitaan umat.
Qara'ati pernah bercerita tentang ayahnya yang hingga mencapai usia 45 tahun masih belum diberkati anak. Padahal ia ingin sekali memiliki anak. Kemudian ia pergi ke Mekkah dan memohon di hadapan Kabah. Ia ingin agar jika dikarunia anak, kelak ia akan menjadi seorang muballigh. Lalu ketika dia pulang, Allah Swt memberikannya 12 anak dan semuanya menjadi muballigh, termasuk Qara'ati sendiri. "Saya sekarang bisa berada di negeri Indonesia di hadapan Anda sekalian berkat ayah saya yang menangis di hadapan ka'bah", katanya di hadapan jamaah seminar.Qara'ati melanjutkan pembicaraannya. Menurutnya, Muballigh yang baik harus lolos syarat moral.[68]
Qara'ati lalu menceritakan sebuah cerita lain yang menurutnya sangat penting. Pada saat peperangan antara Irak dan Iran, ada seorang ulama bernama Abu Thuraby yang ditawan oleh Saddam selama 10 tahun dan dia adalah pemimpin dari 100 ribu tawanan yang ada di Irak. "Saya pernah belajar bersama-sama beliau. Saya ingin mengetahui bagaimana seorang ruhani menjadi pemimpin dari 100 ribu tawanan", ujar Qara'ati. Ini cerita yang sangat penting dalam hidupnya, yang perlu diceritakan kepada orang lain, bahkan mungkin layak untuk dibuatkan film.
Qara'ati melanjutkan ceritanya. Ada sebuah mobil palang merah datang untuk melihat para tawanan dan mereka datang kepada Abu Thuraby. Palang merah ini bertanya tentang apakah ada penyiksaan dari Saddam kepada para tawanan. Namun beliau tidak menjawab karena di situ ada seorang kolonel tentara yang berdiri mengawasi mereka. Setiap kali mereka bertanya tentang itu kepadanya beliau tidak menjawab. Akhirnya mereka meninggalkan tempat itu. Si kolonel yang mengawasi tersentuh hatinya dan menghampiri Abu Thuraby. Dia berkata, "Saya sendiri yang menyiksa Anda. Saya sendiri yang dulu memaku kepala Anda."
Tahukah Anda apa yang dikatakan Abu Thuraby? Beliau menjawab, "Kenapa saya tidak katakan pada mereka tentang penyiksaan itu, karena palang merah ini adalah Kristen dan Anda adalah seorang Muslim. Karena dalam al-Quran dikatakan, jangan pernah menceritakan kepada orang kafir yang dengannya Anda merasakan kebaikan-kebaikan mereka." Kolonel itu merasa tersentuh dan berkata, "Saya malu kepada Anda dan malu kepada Al-Quran. Anda seorang mullah yang luar biasa. Al-Quran benar-benar telah melebur pada diri Anda."
Si Kolonel itu kemudian bertanya, "Karena Anda telah berbuat seperti itu kepada palang merah tadi, lantas apa yang harus saya perbuat kepada Anda? Dulu saya menyiksa Anda, sekarang saya ingin melakukan sesuatu yang luput dari pandangan Saddam. Apa yang harus saya lakukan untuk Anda?" Abu Thuraby lantas menjawab, "Saya hanya minta satu hal. Izinkan saya bertemu dengan 100 ribu anak muda tawanan-tawanan Iran."
Si Kolonel itu kemudian bekerja sama dengan Abu Thuraby dan menjadi mata-mata beliau di tengah tentara-tentara Saddam. Abu Thuraby lalu menyusun program pembinaan untuk tawanan anak-anak muda ini. Dia memberikan bimbingan tahfiz Quran, tafsir Quran, bahasa Inggris, Nahjul Balaghah, retorika, dan selama 10 tahun ia menjadi pemimpin mereka. Hal itu karena ayat yang dibacakan olehnya kepada si kolonel tadi.[69] Qara'ati berkata, agama Islam memiliki daya tarik tersendiri. Imam Ridha as pernah berkata, "Seandainya seluruh manusia mengetahui betapa manisnya agama ini, niscaya mereka akan masuk Islam".[70]
Qara'ati lalu bercerita tentang pengalamannya. Di Iran, ia biasa berceramah di hadapan ribuan orang. Suatu waktu, terdapat anak-anak kecil persis berada di bawah mimbarnya. Pada waktu itu beberapa orang perwira penting datang pada acara itu. Pimpinan majelis lalu mengangkat anak-anak kecil untuk tempat duduk para perwira. Qara'ati melihat hal tersebut dari atas mimbar dan menurutnya hal itu adalah kemunkaran. Beliau berkata bahwa ia harus mengatakan hal tersebut. Menurut Qara'ati, seandainya dalam sebuah majelis ada seorang anak yang duduk lalu ia dipindahkan untuk tempat shalat seorang presiden, maka shalat presiden itu tidak akan diterima oleh Allah Swt. Lalu, Qara'ati berhenti berbicara dalam acara itu dan berkata selamat datang kepada para penguasa negeri Iran seraya mengatakan bahwa mereka telah merampas hak dari anak-anak kecil. Mendengar itu, mereka berdiri dan mencari tempat yang kosong. Qara'ati lantas mempersilahkan anak-anak kecil tadi untuk kembali duduk di tempatnya semula. Inilah salah satu contoh dari perkataan Imam Ridha di atas, bahwa seandainya mereka mengetahui manisnya agama ini tentu mereka akan masuk Islam.[71]
B. Metode Tafsir Qira’ati
Dalam sub bab ini akan dijelaskan mengenai bahasan-bahasan untuk menjawab permasalahan nomor 1 dan 3, yaitu metode tafsir yang dikembangkan oleh Qira’ati dan kontribusi metode tafsir Qira’ati terhadap perkembangan ilmu dakwah
Dalam Bab III telah dijelaskan mengenai corak dan metode tafsir. Hal itu akan menjadi satu alat analisis dalam melihat metode tafsir yang dikembangkan oleh Qira’ati. Jika dilihat dari pembagian corak tafsir, Qira’ati lebih mewakili corak penafsiran sebagaimana dianut awalnya oleh Syaikh Muhammad 'Abduh (1849-1905 M), yakni satu corak tafsir yang menjelaskan petunjuk-petunjuk ayat-ayat Al-Quran yang berkaitan langsung dengan kehidupan masyarakat, serta usaha-usaha untuk menanggulangi penyakit-penyakit atau masalah-masalah mereka berdasarkan petunjuk ayat-ayat, dengan mengemukakan petunjuk-petunjuk tersebut dalam bahasa yang mudah dimengerti dan indah didengar.
Hal itu bisa dibuktikan dari karya-karya tafsirnya yang memiliki corak penggunaan bahasa yang sederhana, mudah dipahami, dan menembus alam realitas yang nyata sehingga teks al-Qur’an yang bersifat “langit” dapat “dibumikan”. Qira’ati bahkan menulis tafsir khusus untuk para remaja[72], yang mendapat respon luar biasa.
Dalam kata pengantar dari salah satu seri buku “Tafsir Untuk Remaja” Qira’ati mengemukakan:
“Saya bersyukur kepada Allah Swt karena hingga saat ini telah menyelesaikan tafsir 25 juz al-Quran dalam tempo lima tahun, dicetak lebih dari sepuluh kali dan dinobatkan sebagai ‘buku pilihan’ Republik Islam Iran pada tahun 1376 HS/1997M. Atas kemurahan (luthf) Tuhan pula, ringkasan dari tafsir ini telah dialihbahasakan ke dalam lebih dari dua puluh bahasa dunia, disiarkan di Radio Internasional Iran serta mendapat sambutan luas masyarakat Muslim.”[73]
Pemakaian kata-kata yang sederhana dan menyentuh realitas dengan mengambil analogi-analogi dari kehidupan nyata, banyak ditemui dalam karya-karya tafsir Qira’ati. Hal itu misalnya, dapat ditemui dalam salah satu karyanya, yaitu ketika membahas mengenai pertanyaan: Mengapa dianjurkan membaca bismillah sebelum memulai setiap kegiatan? Qira’ati mengulasnya dengan perumpamaan-perumpamaan yang diambil dari kehidupan nyata sehingga memudahkan pemahaman:
“Selalu berniat dengan nama Allah adalah bagian dari gaya hidup seorang muslim, Karena itu ia akan selalu mengucapkan kata Bismillah sebelum memulai segala aktifitas.
Produk-produk sebuah perusahaan biasanya diberi logo dengan lambang perusahaan tersebut Misalnya perusahaan pembuat keramik akan memberi cap logo perusahaan tersebut di atas seluruh produknya baik yang berukuran kecil maupun besar, atau seperti bendera-bendera setiap negara yang dikibarkan di kantor-kantor, sekolah-sekolah atau di tapal-tapal perbatasan negara-negara tersebut, di kapal-kapal yang berlayar di lautan dan di meja-meja para karyawan. Jadi bismillah adalah logo atau lambang yang akan terlihat dalam setiap aktifitas seorang muslim.”[74]
Contoh lainnya adalah ketika Qira’ati menafsirkan salah satu ayat dalam Surah Yasin, ia menjelaskan dengan ciri khasnya, yaitu perumpamaan dan memberikan penjelasan mengenai pelajaran yang bisa diambil:
“Al-Quran mengatakan, “Naktubu ma qaddamu wa atsarohum, “ Kami tidak hanya mencatat amal-amal hamba kami tapi juga buah dari amal-amal itu. Untuk lebih memperjelas maksud dari ayat itu kami akan memberikan contoh: Kalau seseorang secara tidak sopan masuk ke sebuah undangan pernikahan dan dengan kecerobohannya mengakibatkan listrik menjadi putus dan gelap, karena gelap terjadilah peristiwa-peristiwa yang tidak diharapkan seperti ada yang jatuh dari lantai, piring menjadi pecah, sepatu menjadi hilang, anak-anak ketakutan, ada orang yang mencuri, pernikahan menjadi kacau adan tuan rumah merasa tercemar padahal ini adalah efek dari perbuatan sederhana yaitu memutuskan listrik.
Sekarang saya juga akan membuat contoh tentang efek dari perbuatan baik Di dalam al-Quran dua kata la taqtulu (jangan bunuh!) yang keluar dari mulut seorang wanita dan seorang lelaki. Seorang wanita yaitu istrinya Fir’aun ketika melihat suaminya mau membunuh Musa, karena perbuatan baik ini Musa menjadi selamat kemudian Musa menjadi nabi dan Bani Israel diselamat oleh Musa as dari keganasan Fir’aun (ini adalah efek dari perbuatan baik seorang wanita).
Peristiwa kedua, ketika saudara-saudara Yusuf ingin membunuh Yusuf. Salah seorang dari mereka mengatakan jangan dibunuh! dengan peringatan itu Yusuf menjadi selamat tidak dibunuh tapi hanya diletakkan di sumur. Efek dari larangan membunuh ini membuat Yusuf tetap hidup, kemudian Yusuf menjadi seorang yang berkuasa di pemerintahan; ia juga berjasa menyelamatkan rakyat dari paceklik berkepanjangan (ini adelah efek yan baik dari perbuatna yang baik).[75]
Setelah Qira’ati menafsirkan makna dari ayat tersebut, ia juga memberikan butir-butir penting mengenai pelajaran yang dapat diambil dari ayat tersebut:
Pesan-pesan:
1- Salah satu bagian tugas nabi adalah menjelaskan sejarah masa lalu.
2- Sejarah orang-orang dahulu mengandung pelajaran yang amat berharga.
3- Seorang guru dan seorang mubalig harus memahami sejarah.
4- Masyarakat memiliki hukum-hukum yang pasti sehingga sangat mudah untuk membaca masa depan masyarakat itu. Demikian juga sunatullah adalah satu hukum yang tetap untuk semua bangsa dan suku.
5- Perumpamaan yang terbaik adalah perumpaan yang nyata dan bukan rekayasa.
6- Belajarlah dari sejarah dan jangan hanya terpesona dengan cerita-ceritanya.
7- Para nabi itu mendatangi umat dan tidak hanya duduk bertopang dagu menunggu umat datang.[76]
Sedangkan jika dilihat dari pembagian metode tafsir pada Bab III, metode tafsir Qira’ati lebih condong pada penggabungan metode tahlily dan metode ijmali. Dikatakan metode tahlily karena Qira’ati menafsirkan ayat al-Qur’an berdasarkan urutan ayat-ayatnya lalu dijelaskan makna-makna yang terkandung di dalamnya; dan dikatakan metode ijmaly dikarenakan berusaha menafsirkan Al-Qur'an secara singkat dan global, dengan menjelaskan makna yang dimaksud tiap kalimat dengan bahasa yang ringkas sehingga mudah dipahami.
Bukti bahwa Qira’ati menggunakan metode ijmaly telah dikemukakan contoh-contohnya di atas, yaitu dengan bahasa yang ringkas dan mudah dipahami. Sedangkan bukti bahwa Qira’ati menggunakan juga metode tahlily karena di hampir seluruh kitab tafsirnya ia menjelaskan makna ayat demi ayat dari suatu surat disertai pembahasan mengenai arti kata dan argumen-argumen pendukung, seperti menukil hadis-hadis dari Ahlul Bayt dan juga dari pendapat para mufassir lain, seperti Thabathaba’i dan sebagainya.
Dalam menafsirkan makna surat al-Ankabut misalnya, Qira’ati membahasnya dengan kandungan makna ayat demi ayat dari ayat 1 sampai dengan terakhir. Berikut adalah kutipan tafsir Qira’ati mengenai surat al-Ankabut ayat 1-3:
Alif Lâm Mîm (QS. Al-ankabut : 1)
Apakah manusia mengira bahwa mereka akan dibiarkan hanya dengan mengatakan, “Kami telah beriman,” dan mereka tidak diuji? (QS.Al-ankabut: 2)
Dan sungguh kami telah menguji orang-orang sebelum mereka, maka Allah pasti mengetahui orang-orang yang benar dan pasti mengetahui orang-orang yang dusta (QS. al-Ankabut :3)
Butir-butir penting
1- Istilah fitnah pada asalnya berarti meleburkan, mencairkan, melarutkan emas supaya unsur yang tidak murninya terpisah, karena dengan cobaan, kesulitan dan peristiwa akan tampak sifat-sifat asli manusia, apatah yang baik atau yang buruk, maka peristiwa-peristiwa dan cobaan itu disebut fitnah.
Pesan-pesan
1- Iman tidak cukup dengan diucapkan tapi harus diuji. Apakah manusia mengira bahwa mereka akan dibiarkan hanya dengan mengatakan, “Kami telah beriman,” dan mereka tidak diuji? (QS.al-Ankabut : 2). Syair mengatakan :
“Sa’di walaupun terkenal sebagai tukang nasehat dan jago bicara
Tapi ia juga suka beramal dan tidak hanya berbicara.”
2- Ujian adalah ketetapan Allah di sepanjang sejarah. Dan sungguh kami telah menguji orang-orang sebelum mereka,
3- Janganlah mengira bahwa kejadian-kejadian itu bukan merupakan ujian.
4- Dengan mempelajari sejarah masa lalu akan membuat kita siap menghadapi segala ujian. Dan sungguh kami telah menguji orang-orang sebelum mereka,
5- Cobaan-cobaan Ilahi untuk membuktikan ilmu-Nya, memilih mukmin hakiki dan mengembangkan kapasitas dan potensi manusia.[77]
Dari contoh penafsiran yang dilakukan oleh Qira’ati di atas, terlihat bahwa ia menjelaskan makna dari surat al-Ankabut ayat demi ayat tanpa menghubungkan dengan ayat-ayat lain. Lalu dilanjutkan dengan mengungkap makna-makna yang dimaksud dari ayat tersebut melalui pendekatan arti bahasa dan konteksnya.
Mengenai penggunaan metode tafsir tahlily ini, terdapat banyak kritik. Baqir Shadr, misalnya, mengatakan bahwa metode ini walaupun dinilai sangat luas, namun tidak menyelesaikan satu pokok bahasan, karena seringkali satu pokok bahasan diuraikan sisinya atau kelanjutannya pada ayat lain.[78] Shadr menilai bahwa metode tahlily telah menghasilkan pandangan-pandangan parsial serta kontradiktif dalam kehidupan umat Islam.[79]
Sihahb pun berpendapat serupa, bahwa dalam tafsir tahlily para penafsir yang menggunakan metode itu tidak jarang hanya berusaha menemukan dalil atau lebih tepat dalih pembenaran pendapatnya dengan ayat-ayat Al-Quran. Selain itu, terasa sekali bahwa metode ini tidak mampu memberi jawaban tuntas terhadap persoalan-persoalan yang dihadapi sekaligus tidak banyak memberi pagar-pagar metodologis yang dapat mengurangi subjektivitas mufasirnya.[80]
Namun, meskipun terdapat kelemahan dalam metode tafsir tahlily, tafsir Qira’ati berhasil memberikan kontribusi pada corak pembahasannya yang lugas, sederhana sehingga mudah dipahami bahkan oleh remaja sekalipun, sehingga jiwa al-Qur’an sebagai sumber dari ajaran Islam yang bersifat rahmatan lil ‘alamin dengan sendirinya tercapai, yaitu dapat menjangkau seluruh lapiran.
B. Kontribusi Qira’ati terhadap Ilmu Dakwah
1. Dakwah dalam Perspektif Qira’ati
Dakwah dalam perspektif Qira’ati diartikan sebagai aktivitas memberi petunjuk kepada manusia sebagai tugas utama nabi-nabi. Bahkan dengan tegas Allah swt mengatakan: Dan sungguh, kami telah mengutus seorang rasul untuk setiap umat (untuk menyerukan) sembahlah Allah, dan jauhilah Tagut! (an-Nahl :36).
Kisah-kisah para nabi yang dianggkat oleh al-Quran adalah aktifitas dakwah mereka yang merentang sejak nabi yang pertama sampai nabi yang terakhir Muhammad saw: Sesungguhnya kami mengutusmu dengan kebenaran untuk membawa kabar gembira dan peringatan dan tidak ada satupun umat melainkan di sana telah datang seorang pemberi peringatan (QS. fathir : 24). Allah menjuluki nabi sebagai mubalig syariat dan ia juga memperkenalkan nabinya: “Sesungguhnya kami mengutusmu untuk menjadi pembawa kabar gembira dan pembawa peringatan”.
Dengan demikian, dakwah adalah usaha untuk menyebarkan ajaran Islam kepada manusia, mengajak untuk menuji kepada Dzat yang menghidupan manusia. Ia mengajak kepada yang akan menghidupkan kalian (QS al-Anfal: 24). Dakwah Islam dalam arti lain adalah menghidupkan kebaikan-kebaikan manusia dan memberi petunjuk spiritual.
Dan apakah orang yang sudah mati lalu kami hidupkan dan kami beri dia cahaya yang membuatnya dapat berjalan di tengah-tengah orang banyak, sama dengan orang yang berada dalam kegelapan, sehingga dia tidak dapat keluar dari sana? (QS. al-an’am: 122)
Misi Rasul di antaranya adalah menyelamatkan manusia dari kegelapan menuju cahaya. Memberi petunjuk artinya menghidupkan ruh manusia, karena manusia yang hidup adalah juga dapat menghidupkan masyarakat sekitarnya. Barang siap menghidupkan seorang manusia, berarti ia telah menghidupkan semua manusia (QS al-Maidah: 32).
Jadi dakwah menjadi tugas yang mulia dan kebaikan yang sangat tinggi sebab ia menghidupkan seluruh manusia Siapakah yang memiliki kata-kata yang terbaik dibanding orang yang menyeru kepada Allah dan melakukan amal salih (QS. al-Fushilat :33). Thabarsi menafsirkan ayat tersebut bahwa mengajak manusia kepada agama Allah adalah kewajiban dan ketaatan yang paling utama.[81]
Dakwah yang akan dibicarakan di dalam penelitian ini adalah dakwah dalam pengertian agama Islam. Dakwah Islam adalah menyampaikan pesan-pesan Illahi dengan metode yang mencerahkan sehingga massa menjadi tertarik dan simpati, dan dengan menggunakan media-media yang benar. Ada perbedaan besar antara dakwah dalam Islam dan di luar Islam. Dalam Islam dakwah memiliki motivasi yang sakral. Seorang pembawa pesan harus memiliki sifat amanah, jujur, dan tidak melakukan distorsi atas pesan yang ingin disampaikannya. Islam tidak mengizinkan seorang da’i untuk menggunakan segala cara dan atau metoda-metoda yang tidak benar. Tujuan dan sarana dalam Islam sama pentingnya.
Al-Quran sendiri mengatakan :
Dan tidak sepatutnya orang-orang mukmin itu semuanya pergi ( ke medan perang). Mengapa sebagian dari setiap golongan di antara mereka tidak pergi untuk memperdalam pengetahuan agama mereka dan untuk memberi peringatan kepada kaumnya apabila mereka telah kembali, agar mereka dapat menjaga dirinya (QS. at-Taubah: 122)
Dan hendaklah di antara kamu ada segolongan orang yang menyeru kepada kebajikan, menyuruh (berbuat) makruf, dan mencegah dari yang mungkar (QS Ali Imran : 104).
Imam Khomeini mengatakan:
“Sekarang apa saja yang dikatakan di sini akan segera menyebar di seluruh dunia. Radio akan menyiarkan apa yang terjadi di sini karena itu sekarang hujah bagi kita semakin besar. Dakwah semakin penting karena sekarang anda tidak harus mendidik massa di masjid saja karena radio sekarang bisa menyuarakan suara anda dan sampai ke dunia luar.” [82]
Imam Khomeini di tempat lain mengatakan wali-wali kita harus melawan kaum tiran baik dengan dakwah atau dengan menggunakan senjata. Ketika Imam Khomeini bertamu dengan menteri kebudayaan Islam dan anggota dewan kerjasama mengatakan bahwa senjatanya adalah tabligh.[83]
Dakwah sejak awal islam adalah hal yang sangat ditekankan oleh Islam. Sebagaimana belajar adalah taklif maka dakwah juga lebih wajib belajar adalah mukadimah dalam tablig dan mukadiah untuk memberi nasihat.
Khomeini menjelaskan tugas para ruhaniawan:
“Kita memiliki tugas yang besar kita harus menyampaikan ajaran-ajaran islam sebagaimana apa adanya, seperti yang dijelaskan oleh tuhan, dan seperti yang dijelaskan dalam riwayat-riwayat dan ayat-ayat al-Quran, kita harus menyampaikan ke masyarakat dunia, demikian dan seterusnya demikian. Dan bahkan lebih kuat dari senjata dan tank. Pekerjaan untuk menarik hati orang adalah sebuah seni dan seni ini berasal dari islam.”[84]
Ali Khamenei mengatakan mengomentari tentang aktifitas para misionaris kristen. Ada manusia-manusia yang berasal dari kota-kota yang makmur di Eropa mereka datang ke tempat-tempat yang jauh ribuan kilometer ke Amerika latin, ke Afrika dan bertahun-tahun tinggal di sana. Dan saya juga berulang kali mengatakah kepada para ahli ilmu saya membaca perjuangan pendeta-pendeta yang aktif dan tinggal di wilayah-wilayah koloni yang tidak pernah diinjaki oleh kaki-kaki para penjajah. Mereka membawa salib-salib untukmenyebarkan ajaran-ajaran khurafat kristen di zaman ini. Mereka juga mengkristenkan sebagian orang-orang islam kalau merkea benar-benar bekerja keras di jalan kebatilan mengapa kita tidak mau berbuat apa-apa?[85]
Kalau memang benar, bahwa kemuliaan satu disiplin ilmu karena kemuliaan tujuannya, maka kita harus meyakini bahwa salah satu disiplin ilmu yang mulia adalah dakwah atau menyampaikan ajaran-ajaran agama. Atau yang dikenal di sini sebagai ceramah di atas mimbar karana dakwah adalah menyampaikan menyampaikan ajaran-ajaran agama. Nasihat-nasihat untuk membersihkan manusia (tazkiyatunna nafs), mengajarkan ajaran-ajaran ilahi agar manusia dapat mencapai maqam yang lebih mulia.
Ali Khamenei juga mengatakan, “Jangan kalian bawa-bawa pedang ke negeri-negeri Islam karena pedang tidak bisa meyakinkan iman manusia. Yang dapat meyakinkan mereka adalah nasihat-nasihat dan ajaran-ajaran tuhan!” [86]
Seorang ruhani adalah pembimbing manusia ke arah yang telah ditunjukan al-Quran dan Rasullullah saw. Salah satu wasilahnya adalah dengan memberi peringatan. Perlu disadari bahwa kita sedang menduduki posisi figur ulama-ulama yang ingin mengabdikan dirinya demi memelihara agama. Mereka adalah kelompok yang ingin memberi petunjuk kepada manusia di sepanjang hidup mereka. Mereka adalah manusia-manusia yang ingin mencerahkan hati, mengubah kehidupan dan mensucikan langkah-langkah perjalanan manusia.
Menurut Qiraati dakwah atau memberi peringatan adalah bagian dari fitrah:
“Rasulullah saw pernah berdoa meminta agar ilmunya ditambah rabi zidni ilman artinya ilm nabi saja terus berusaha ingin menambah ilmunya apalagi. Memberi peringatan adalah bagian dari fitrah, insting semua makhluk. Kita bisa belajar dari hewan-hewan ketika mereka terancam maka mereka akan memberi tahu hewan-hewan lain, atau ketika mereka mendapat sesuatu yang menarik mereka juga suka memberitahukan yang lain.”[87]
Qiraati mengajarkan tentang pentignya dakwah. Dalam hal in al-Quran juga memberi ilustrasi tentang peristiwa yang tejadi pada tentara Sulaiman ketika melewati sesuatu tempat, seekor semut segera memberi tahu yang lain agar segera menyingkir dan jalan agar tidak diinjak atau begitu pula tengan burung hud-hud yang memberi tahu tentang tradisi kaum saba yang suka menyemba matahari.
Dakwah itu penting kata Qiraati karena yang mengancam manusia atau yang membahayakan manusia tidak absen dari kehidupan manusia. Yang mengancam kehidupan manusia selalu ada dan eksis serta tidak pernah absen maka yang memberi tahu ancaman itu juga selalu akan ada dan siap memberi tahukan kepada manusia. Al-quran mengatakan bahwa di setiap umat selau ada nadzir (Wa in min umatin illa kholla fiha nazirun). Manusia yang pertama kali muncul di muka bumi adalah mubalig dan ayat pertama yang turun kepada nabi juga adalah ayat tabligh.[88]
Tujuan dakwah itu bermacam-macam. Kaum imperialis berdakwah demi melemahkan manusia mereka mengeluarkan anggaran untuk melemahkan yang lain dan menurutinya tapi tujuan tablig para nabi adalah menyelamatkan manusia dari thagut dan hawa nafsu, kebodohan, perpecahan, syirik sekaligus mengajark manusia agar mengimani tuhan.[89] Tujuan tabligh Nabi bisa diringkas dalam satu kalimat ayat al-Quran yaitu ‘ubudullah waj tanibut thagut. Sembahlah Allah dan jauhilah Thagut!”[90]
Imam ali as mengatakan dalam kitab Nahjul Balaghah bahwa nabi-nabi datang untuk menggali akal yang terkubur, menyebarkan syariat tuhan dan melawan kezaliman, menyebarkan keadilan dan menghidupkan ketakwaan, menyempurnakan hujah, irsyad dan ammar makruf nahi munkar.[91]
2. Urgensi Dakwah Perspektif Qiraati
Manusia adalah makhluk yang paling suka memperhatikan dirinya, tak peduli berapa banyak biaya dan waktu yang diperas habis demi dirinya. Karena saking cinta kepada dirinya ia akan berusaha menjaga dirinya sademikian rupa sehingga bisa selamat dari segala bahaya. Anggaran pertahanan, anggaran kesehatan, rumah-rumah anti gempa dibangun, pakaian-pakaian anti pelurus dan kendaraan lapis baja semua untuk menjaga dan menyelamatkan dirinya. Padahal ada musuh besar yang lebih berbahaya bagi dirinya dan musuh itu tidak kelihatan seperti kebodohan, lalai, hawa nafsu, perasaan-perasaan yang kotor, godaan setan baik setan berbentuk manusia atau jin. Orang-orang yang selalu memberi peringatan adalah para nabi.
Marilah sekarang kita pikirkan, ada sebuah perumpamaan misalnya ada 1000 orang yang berangkat ke satu tempat dengan menggunakan kendaraan-kendaraan mereka. Polisi sudah memberi peringatan kepada mereka bahwa mungkin ada bahaya di depan sana dan karena itu mereka harus mempersiapkan diri. Sebagian penumpang membawa alat-alat yang diperlukan untuk berjaga-jaga, sebagian yang lain tidak membawa apa-apa. Seandainya di tengah-tengah jalan tidak terjadi apa-apa maka membawa peralatan itu sama sekali tidak merugikan mereka yang berbahaya adalah kalau terjadi sesuatu dan mereka tidak membawa alat-alat yang diperlukan maka barulah mereka sadar betapa pentingnya sekarang alat-alat tersebut.
Sekarang marilah kita renungkan tentang diri kita, manusia-manusia di dunia ini sedang menempuh sebuah perjalananan menuju Allah Swt memberi peringatan kepada kita melalu para nabi dan rasul-Nya. Bahwa setela mati kita akan dihidupkan lagi, akan ada perhitungan semua amal perbuata akan ada dibalas dengan siksaan atau dibalas dengan pahala. Perjalanan kamu ini sangat berbahaya kalian harus membawa perbekalan jangan membawa barang-barang yang dilarang, Awasi kecepatan kalaian dan dengarkan peringatan para ulama. Masyarakat yang mendengar peringatan ini terbagi menjadi dua bagian. Ada golongan yang mau berhati-hati dengan melaksanakan salat, membayar khumus dan zakat, infak dan sedekah mereka menghindari dosa dan tidak memakan hal-hal yang diharamkan dan membawa bekal ketakwaan tetapi ada kelompok lain yang malah takabur, memperturutkan hawa nafsu, tidak mau beriman tidak melaksanan salat dan membela hak-hak orang miskin dan malah hidup seenaknya. Kemudian kita perhatikan apa yang terjadi di akhir dari kehidupan mereka Kita akan mengatakan kepada golongan yang melawan bahwa kalaupun seandainya hari kiamat itu tidak akan terjadi maka kita lihat- orang-orang yang bertakwa mereka melalukan salat beberapa menit membantu orang-orang fakir, melakukan puasa setahun sekali, dan jika mememiliki kelebihan mereka akan pergi ke haji maka apakah hal-hal itu merugikan? Kelompok ini seperti para pemilik kendaaraan yang membawa ala-alat yang diperlukan tapi kemudian ternyata tidak digunakan.
Namun kalau hari kiamat memang terjadi (yang bisa dibuktikan dengan ribuan dalil) maka orang-orang yang tidak mau mengikuti perintah Allah dan tidak mau mendengarkan peringatan-peringatannya, tidak mau beriman, tidak mau melaksanakan salat, tidak mau mengeluarkan zakat, tidak mau bertakwa dan tidak beramal saleh akan menghadap kepada Allah dengan tangan kosong, lalu apa yang bisa mereka lakukan saat itu?
Akal sehat mengatakan seperti hal nya ketika orang-orang pintar mempersiapkan diri untuk menghadapi musuh-musuh bayangan dengan mempersiapkan senjata dan anggaran-anggaran. Kalaupun perang itu tidak terjadi maka persiapan itu juga tidak ada ruginya, tapi kalau perang terjadi sementara mereka tidak memiliki persiapan maka sungguh kecelakaan bagi mereka.[92]
Salah satu mandat terpenting para nabi adalah memberitahukan sebuah bahaya besar dan di sepanjang masa Allah Swt tidak pernah tidak memberitahukan bahaya ini kepada semua umat. Jadi manusia memang jangan pernah main-main dengan ancaman dari para pengancam yang tidak pernah berdusta ini
Sungguh pasti berlaku perkataan (Hukuman) terhadap kebanyakan mereka, karena mereka tidak beriman.(QS. Yasin :7)
Sungguh kami telah memasang belenggu di leher mereka dan dibelakang mereka (diangkat) ke dagu, karena itu mereka tertengadah.(QS. Yasin : 8)
Menurut Qiraati mandat dan tanggung jawab dakwah sangat berat karena yang memikul pertama kali adalah kelompok nabi,kemudian auliya dan manusia-manusia maksum. Tujuan dakwah tentu sangat bervariasi dan tidak hanya tidak bisa dibatasi oleh tempat tertentu. Seperti Rasulullah yang menyampaikan misi melintas batas-batas geograpi ke seluruh negeri-negeri seperti Yaman, Ethiopia, Iran. Imam Khomeini sendiri juga bahkan menulis surat dakwah kepada pemimpin negara komunis terbesar di dunia saat itu.
Qira’ati berkata:
“Beberapa tahun kemudian saya menemukan satu jawaban bahwasanya al-Quran selalu memperhatikan dimensi psikologis pembaca atau pendengar dalam tehnik penyampaia pesan yang dikandung oleh ayat-ayatnya sebagaimana lazimnya harus dikuasai oleh para dia ketika menyampaikan pesan-pesan dakwanya. Al-Quran juga memiliki daya pikat yang efektif dan kuat dalam menari hati para pembacanya. Kedua rahasia kehebatan al-quran itu tersembunyi di balik kata-kata yang dipakainya”.[93]
Ulama besar indo-Pakistan, Khursid ahmad mengatakan, “Keunikan islam itu terletak pada kenyataan, bahwa agama ini mendasarkan diri pada sebuah kitab, yaitu al-quran. Demikian pula halnya dengan umat (al-ummah). Al-Quran adalah sumber yang kaya dan inspirati tetapi untuk membaca cara berpikrinya memang tidak mudah tidak setiap orang memikiki kesempatan dan kemampuan seperti itu.
Al-Quran adalah sumber yang kaya dan inspirasif tetapi untuk membaca cara berpikirnya memang tidak setiap orang memikiki kesempatan dan kemampuan seperti itu. Dalam hal ini Qiraati dengan latar belakang sebagai ahli tafsir al-quran memiliki kemampuan untuk menggali atau memahami logika berpikir al-quran yang khas, Ini adalah kemampuan dari hasil dialektika antara teks dan realita, sehingg menghasilkan tafsiran yang hidup, mudah, mengena, kreatif dan enak didengar.
Hubungan manusia dengan kitab suci haruslah kekal dan dalam semua aspek, kata Qiraati Jadi kita harus berusaha sebisa-bisanya untuk memberikan perhatian kepada Al-Qur’an suci dan menjadikannya sebagai landasan ilmiah dan praktis kita dalam semua dimensi kehidupan.
Meninggalkan praktek membaca Al-Qur’an, lebih mengutamakan buku-buku lain daripada Al-Qur’an suci, tidak menjadikannya sebagai poros, tidak merenungkan isinya, tidak mengajarkannya kepada orang lain, dan tidak menerapkannya dalam praktek, merupakan perluasan dari arti ‘mengabaikan Al-Qur’an.’ Bahkan orang yang mempelajari Al-Qur’an tetapi tidak memberikan perhatian kepadanya dan tidak merasa bertanggungjawab terhadapnya, berarti telah melalaikan Al-Qur’an.
Mulla Sadra dalam hal ini mengatakan dalam pendahuluan untuk Surat Al-Waqi’ah:
Aku membaca buku-buku dari banyak filsuf sehingga aku mengira bahwa aku mengetahui semua hal dan aku telah menjadi orang yang penting. Tetapi ketika aku mulai meninjau sedikit dari situasi-situasi yang sebenarnya, aku menemukan bahwa aku tidak memiliki pengetahuan yang sebenarnya. Pada akhir masa hidupku, aku mulai merenungkan isi Al-Qur’an Suci dan riwayat-riwayat dari Nabi Saaw dan keluarganya. Aku menjadi yakin bahwa apa yang telah kulakukan hingga saat itu tidaklah berdasar. Sebab selama aku hanya berdiri di bawah bayang-bayang saja dan bukannya dalam sinaran cahaya. Aku menjadi betul-betul sedih, dan kemudian anugerah Ilahi dilimpahkan kepadaku dan aku menjadi akrab dengan rahasia-rahasia Al-Qur’an Suci dan aku mulai menafsirkan dan merenungkan Al-Qur’an. Aku mengetuk pintu wahyu sampai tabir-tabir diangkat dan pintu-pintu dibuka dan aku melihat malaikat-malaikat berkata kepadaku: “... Semoga kedamaian dilimpahkan kepadamu! Kamu adalah manusia yang baik. Karena itu masuklah ke dalamnya untuk berdiam di dalamnya (selama-lamanya).[94]
Fayz al-Kasyani (semoga ruhnya disucikan) dalam hal ini berkata:
Aku menulis buku-buku dan risalah-risalah serta melakukan penelitian. Tetapi tak satupun dari karya-karyaku itu yang bisa mengobati rasa sakitku, dan aku tidak menemukan air untuk memuaskan dahagaku. Aku menjadi khawatir tentang diriku, dan aku berpaling kepada Allah dan bertaubat sehingga Allah membimbingku melalui perenungan terhadap Al-Qur’an dan hadis-hadis.3
Imam Khumayni mengatakan bahwa beliau menyesal tidak menghabiskan seluruh hidupnya untuk Al-Qur’an suci, dan beliau menasehatkan siswa-siswa di pesantren-pesantren agar menjadikan Al-Qur’an dan berbagai dimensinya sebagai tujuan ultimat dalam semua pelajaran, agar di akhir hidup mereka, mereka tidak menyesali masa muda mereka.4
3. Relasi Tafsir dengan Dakwah Perspektif Qira’ati
Seorang mukmin sejati seperti yang dijelaskan oleh ayat memiliki hati yang mudah tergetar begitu telinganya disapa ayat-ayat al-Quran. Sesungguh orang mukmin itu apabila dibacakan ayat-ayat al-Quran maka bergetarlah hatinya dan bertambahlah keimananya dan hanya takut kepada tuhan-nya. (QS al-Anfal : 9).
Ayat ini menggambarkan kedashyatan pengaruh al-Quran terhadap jiwa manusia dan merupakan argument bayani bahwa ayat-ayat al-quran bukan ayat-ayat biasa untuk orang-orang yang beriman dan juga bahkan kepada orang yang tidak beriman sekalipun, Sejarah juga membuktikan bahwa orang-orang musyrik yang membenci nabi Muhammad sekalai saja mau menyimak ayat-ayatnya mereka menjadi terpesona.
Tentu saja mendengar saja tidak cukup seseorang akan lebih tertarik lagi bila benar-benar menghayatinya dengan sepenuh hati. Ayat-ayat al-quran adalah bukti kecintaan Tuhan kepada manusia. Ia adalah surat-surat dari sang kekasih. Ayat-ayat al-Quran bisa anggap memiliki dua kategori; pertama ayat-ayat yang bersifat maulawi dan kedua ayat-ayat yang bersifat irssyadi. Ayat-ayat maulawi adalah ayat-ayat yang harus kita patuhi dan take for granted, karena ia adalah dari seorang maula (pemilik otoritas hukum) seperti ayat-ayat tentang salat, zakat dan sebagainya. Ada juga ayat-ayat irsyadi yaitu ayat-ayat yang mendukung dan memberi dorongan kepada perbuatan atau pada keyakinan yang sebelumnya sudah difahami secara rasional.
Seandainya ayat-ayat ini tidak dicantumkan akal masih tetap meniscayakannya keyakinan atau perbuatan tertentu seperti mengimani kepada Allah, perlunya pengenalam kepada Allah atau isu-isu tentang keimanan atau prinsip-prinsip dalam akidah islamiyah. Ayat-ayat al-Quran adalah irsyadi dari Allah swt yang akan menyambungkan hubungan spiritual antara manusia dengan Allah swt. Tentu saja ayat-ayat Allah tidak hanya terbatas dalam ayat-ayat al-Quran saja tapi juga ayat-ayat kauniyah dan di alam ayat-ayat kauniyah ini menurut Huseni Nashr kita bisa menemukan Vestigia Dei (Jejak-jejak Ilahi). Maka ayat-ayat al-Quran adalah jalan untuk menemukan wisdom, kekayaan spiritual, khazanah keilmuan dan makrifat dan juga bimbingan-bimbingan kehidupan tentang kemahamelimpahan al-Quran. Ali bin Abi Thalib as berkata, di dalam kitab Nahjul Balaghah bahwa al-Quran tidak pernah pernah habis keajaiban-keajaibannya. Ia adalah lautan yang sangat dalam sekali dan tidak memiliki dasar.[95]
Qiraati tidak hanya berhenti pada lafaz-lafaz ayat-ayat lahiriyah, ia menggali lebih dalam lagi cara berpikir al-Quran yang ternyata memang luar biasa. Qiraati berusaha untuk memahami cara berpikir al-Quran dan ini tampaknya kurang dimiliki oleh sebagian besar mubalig. Kreatifitas inilah yang membuat dirina subur dengan terobosan-terobosan baru dalam menyampaikan ceramah-ceramahnya.
Belakangan ini pembahasan tentang kratifitas semakin meluas. Kreatifitas dipandang sebagia satu-satunya karakteristik unik ‘manusia’.. kreatifitas adalah wilayah yang tidak bias dijangkau mikroelektronik. Dalam tulisan-tulsain awal Barat tentang kreatifitas, faktor yang konstan muncul adalah kebaruan (novelty). Dengan semakin banyak riset yang dilakukan terhadap topik tersebut,unsur-unsur lain juga diperhatikan seperti relevansi, efektifitas. [96]
Terlalu banyak aspek kreatifitas yang dimiliki yang dikembangkan oleh Qiraati, salah satu aspek kreatifitas nya adalah pemahaman cara atau ekplorasi dalam menggali cara berpikir al-Quran, tentunya selain gaya komunikasi juga penguasan pskologi komunikasi yang dimilikinya juga turut andil dalam membentuk ciri khas dakwahnya.
Ada dua jenis manusia berpikir atau menarik kesimpulan yang pertama berpikir autistic dan berpikir realistis. Yang pertama adalah melamun, mengkhayal, wishful thinking, dengan berpikir autistic orang melarikan diri dari kenyataan dan melihat hidup sebagai gambar-gambar fantastis. Ini adalah tipe mubalig yang ingin memaksakan doktrin dan dogma sebagai salah satu tafsiran atau tafsiran terbaik atas kenyataan tapi ada juga yag berpikir realistik sebagaimana Qiraati yang melihat yang berpikir dalam rangka menyesuaikan diri dengan dunia.[97] Maka Qiraati bisa kita masukan sebagai alim yang berpikir evaluatif yaitu berpikir kritis. Mubalig yang tidak berupaya mendekatkan teks dengan kenyataan akan sulit menjadi mubalig yang kreatif.
Sementara James C.Coleman dan Coustance L.Hammen mendefinisikan berpikir kreatif sebagai: Thinking which produces new methods, new concept, new understanding,new invention,new work art.[98]
Ada Ciri konsep kreatifitas Islam,yaitu
Kreatifitas bersifat multidimensi,menggabungkan unsur fisik, mental, spiritual dan teologis
Karena kreatifitas terkait erat dengan peran kekhalifahan manusia maka ia mesti bersatu dengan konsep tanggungjawab, akuntabilitas, takwa,kerendahan hati dan syukur
Disamping bersifat praktis dan terkait dengan perbuatan penemuan dan kreatif juga harus mencerminkan dimensi spiritualitas manusia dan tidak memiliki fungsi utilitarian kaku
Tidak boleh jadi urusan individualistik
Terkait dengan pahala[99]
Dalam analisa Qiraati ayat-ayat al-Quran itu dapat membaca pikiran manusia secara luar biasa (extraordinary). Al-Quran misalnya sangat mengerti bahwa mengajarkan bahwa manusia secara sejati yang menghajatkan aturan-aturan (syariat) dan bukan sebaliknya. Kebutuhan manusia kepada salat dan sabar misalnya sangatlah inheren dan esensil karena itu mengapa manusia disuruh meminta bantuan kepada salat dan sabar. Al-Quran tahu bawha manusia tidak akan sangggup menyelesaikan hidupnya tanpa kecerdasan spiritual dan salat itu mengajarkan kecerdasan spiritual demikian juga dengan sabar.
Latar belakang sebagai alim dan juga mufasir membantu dirinya untuk membaca gaya berpikir al-quran sedemikian dalam dan menggugah kesadaran. Al-quran juga sering menyampaikan fakta tentang kehancuran sebuah perabadan besar, suatu bangsa yang pernah menjadi besar dalam lintasan sejarah tetapi kemudian menjadi hancur berantakan karena itu.
Kebesaran adalah keagungan akhlak dan karakter dalam hal ini Qiraati menyampaikan pelejaran berharga dari kisah bani Israil yang pernah dicatat oleh al-Quran. Allah Swt di dalam Quran mengatakan kepada bani Israil……Kami telah melebihkanmu dari seluruh alam (QS.al-Baqarah :47), tapi di ayat lain Allah Swt mengatakan ..Dan mereka (kembali) mendapat kemurkaan dari Allah. (QS.Al-Baqarah :61). Timbul pertanyaan bagaimana mungkin satu umat yang diistimewakan menjadi umat yang mendapat kemurkaan?
Jawabannya : Allah Swt menjelaskan bahwa kemurkaan itu karena mereka telah melakukan pelanggaran, diantaranya :
1. Mereka kafir kepada terhadap ayat-ayat Allah Swt.
2. Mereka membunuh para nabi
3. Mereka jago dalam berbuat dosa
4. Para ulama dan orang-orang pintarnya mengubah hukum-hukum tuhan dan menyelewengkannya.
5. Para pedagangnya melakukan perbuatan riba
6. Masyarakat yahudi kehilangan sifat pemberani dan menjadi pengecut, mereka juga mengabaikan perintah nabi
Memang pantas umat yang menggantikan iman dengan kekafiran, membunuhi para nabi, malas berjuang untuk menegakan keadilan, malahan menginjak-injaknya keadilan dan lebih banyak menuruti kesenangan pribadi daripada taat kepada hukum-hukum Allah, meninggalkan perdagangan dan asyik dengan riba, pengecut kehilangan keberanian, akan dihinaakan oleh Allah Swt.
Tetapi yang luar bisa kemudian Qiraati menggiring kita untuk merefleksikan tentang nasib umat Islam di dunia ini. Kaum muslimin di masa-masa awal Islam, dari Madinah, dari sebuah masjid yang disangga dengan 10 tiang dari pohon kurma, sukses melakukan ekspedisi sampai ke jantungnya Eropa. Tapi gerangan apa yang terjadi dengan hari ini? Dengan penduduk milyaran, dengan cadangan minyak dan aset alam yang tidak ternilai, terperosok dalam lubang ketidak berdayaan? Karena mereka tidak punya kekuatan dan tidak punya pemimpin yang kuat. !![100]
Dari contoh-contoh penafsiran yang dilakukan oleh Qira’ati di atas, hal itu memberikan gambaran yang jelas mengenai kontribusinya terhadap perkembangan ilmu dakwah, yaitu bahwasanya beliau memiliki jasa besar dalam mengembangkan metode tafsir yang khusus, yaitu penggabungan antara metode tahlily dengan ijmaly sebagaimana telah dikemukakan di atas. Hal itu memberikan kontribusi terhadap perkembangan ilmu dakwah terletak pada upaya membangun fondasi pemahaman terhadap al-Qur’an sebagai sumber utama ajaran Islam, yang juga tidak bisa dilepaskan dari aktivitas dakwah.
Dakwah dengan tafsir adalah dua hal yang saling mendukung. Di satu sisi, dakwah tidak bisa terlepas dari tafsir (cara pemahaman terhadap al-Qur’an), dan di sisi lain al-Qur’an pun memerintahkan untuk berdakwah Dengan demikian, metode yang digunakan dalam pemahaman terhadap al-Qur’an (tafsir) akan memberikan kontribusi juga terhadap cara pandangnya terhadap realitas yang ada, yang pada gilirannya, memberikan pengaruh juga terhadap apa yang disampaikannya terhadap orang lain dalam proses dakwah.
BAB V
KESIMPULAN DAN SARAN
A. Kesimpulan
Dalam bab ini penulis bermaksud menyimpulkan pembahasan yang telah diuraikan pada bab-bab sebelumnya ke dalam beberapa poin sesuai dengan perumusan masalah yang ada dan hasil penelitian yang ditemukan:
1. Metode tafsir yang dikembangkan oleh Qira’ati merupakan penggabungan metode tahlily dan metode ijmali. Dikatakan metode tahlily karena Qira’ati menafsirkan ayat al-Qur’an berdasarkan urutan ayat-ayatnya lalu dijelaskan makna-makna yang terkandung di dalamnya; dan dikatakan metode ijmaly dikarenakan berusaha menafsirkan al-Qur'an secara singkat dan global, dengan menjelaskan makna yang dimaksud tiap kalimat dengan bahasa yang ringkas sehingga mudah dipahami.
Metode tafsir tahlily ini banyak mendapat kritik, yang dinilai tidak menyelesaikan satu pokok bahasan, karena seringkali satu pokok bahasan diuraikan sisinya atau kelanjutannya pada ayat lain, dan lebih bersifat subyektif. Namun, meskipun terdapat kelemahan, tafsir Qira’ati berhasil memberikan kontribusi pada corak pembahasannya yang lugas, sederhana sehingga mudah dipahami bahkan oleh remaja sekalipun, sehingga jiwa al-Qur’an sebagai sumber dari ajaran Islam yang bersifat rahmatan lil ‘alamin dengan sendirinya tercapai, yaitu dapat menjangkau seluruh lapiran
2. Perkembangan ilmu dakwah salah satunya dipengaruhi oleh perkembangan pada ilmu pengetahui Islam, khususnya epistemologi. Epistemologi dakwah yang berkembang saat ini merupakan gabungan dari dua epistemologi, yaitu epistemologi bayâni dan burhâni. Epistemologi bayâni bersumber pada teks, sedangkan burhani bersifat rasional dan demonstratif. Burhâni merupakan kesadaran ontologis terhadap realitas alam, sosial dan manusia. Kesadaran terhadap alam melahirkan ilmu kealaman atau fisika dan astronomi; kesadaran terhadap makhluk hidup melahirkan biologi; kesadaran terhadap realitas sosial melahirkan ilmu-ilmu sosial dan humaniora, sedangkan kesadaran historis melahirkan ilmu sejarah. Dalam konteks ini, epistemologi burhâni inilah yang kemudian dikembangkan sehingga melahirkan kesadaran baru dalam bidang dakwah yang melahirkan teori-teori baru dalam ilmu dakwah.
Pergeseran juga terjadi bukan hanya dari segi teori-teori baru dan epistemologi yang membangunnya, bahkan pada pengertian dakwah, pendekatan dakwah, dan metode dakwah. Ketiganya mengalami perubahan cakupan sesuai dengan kondisi zaman, ilmu pengetahuan, serta kebutuhan umat terhadap dakwah.
3. Dari hasil analisis, menghasilkan kesimpulan mengenai kontribusi Qira’ati terhadap perkembangan ilmu dakwah, yaitu bahwasanya beliau memiliki jasa besar dalam mengembangkan metode tafsir yang khas, yaitu penggabungan antara metode tahlily dengan ijmaly. Hal itu memberikan kontribusi terhadap perkembangan ilmu dakwah terletak pada upaya membangun fondasi pemahaman terhadap al-Qur’an sebagai sumber utama ajaran Islam, yang juga tidak bisa dilepaskan dari aktivitas dakwah. Metode yang digunakan dalam pemahaman terhadap al-Qur’an (tafsir) akan memberikan kontribusi juga terhadap cara pandang seseorang terhadap realitas yang ada, yang pada gilirannya, memberikan pengaruh juga terhadap apa yang disampaikannya terhadap orang lain dalam proses dakwah, sehingga efektivitas dakwah bisa tercapai.
B. Saran-saran
Di bawah ini adalah saran-saran yang dapat penulis kemukakan sehubungan dengan hasil penelitian:
1. Dikarenakan metode tafsir dan dakwah saling berkaitan maka diperlukan penelitian lebih lanjut untuk menguatkan atau mendukung penelitian ini, sehingga dihasilkan kesimpulan penelitian yang lebih komprehensif.
2. Qira’ati merupakan mufassir abad kontemporer, sehingga perlu terus digali pemikiran-pemikirannya. Posisi utama Qira’ati adalah dalam penyampaian makna-makna dari al-Qur’an yang sangat luas biasa mudah dipahami sehingga proses dakwah yang diartikan sebagai penyampaian nilai-nilai Islam akan mudah tercapai.
3. Selain itu, diperlukan penelitian lebih lanjut juga mengenai empat metode tafsir: ma’tsur, tahlily, mawdhu’i, dan ijmaly, serta analisis metode apa yang harus dikembangkan dalam mendukung dakwah.
DAFTAR PUSTAKA
Adz-Dzahabiy, Muhammad Husain. At-Tafsir wa Al-Mufassirun, Kairo: Dar Al-Kutub Al-Haditsah, 1961.
Afzalur Rahman, Al-Quran sumber ilmu pengetahuan Jakarta : Rineka Cipta
Alawiyyah AS, Tutty. Paradigma Baru Dakwah Islam, Dokumen Pidato penganugerahan Doctor Honoris Causa Bidang Dakwah, IAIN Syarif Hidayatullah, Jakarta, 17 Februari 2001.
Ali Iyazi, Sayid Muhammad. Al-Mufasirûn Hayâtuhum wa Manhaju-hum, Teheran: Muasassah al-Thibah wa al-Nasyr, Wizarah al-Tsaqafah wa Al-Irsyad al-Islami, 1414 H.
Al-Mursyid, Ali bin Shalih. Mustazalmat ad-Da'wah fi al-Ashr Al-Hadhir. Jeddah: Maktabah Layyinah, 1989.
Amin al-Syanqithi, Muhammad. Adhwa’ al-Bayan fi Iydhahi al-Qur’an bi al-Qur’an, Kairo: Maktabah Ibn Taymiyyah, Jilid 1, 1988.
Arikunto, Suharsimi. Prosedur Penelitian: Suatu Pendekatan Praktik, Jakarta: Rineka Cipta, 2006.
Asy-Syathibiy, Al-Muwafaqat, Beirut: Dar Al-Marifah, tt.
Baqir Shadr, Muhammad. dalam bukunya Al-Madrasah al-Qur’aniyyah, al-Darsu al-Tsani, Beirut.
Denzin, Norman K. and Lincoln, Yvonna S. “Introduction : Entering the Field of Qualitative Research”’, dalam Norman K. Denzin and Yvonna S. Lincoln (eds), Handbook of Qualitative Research (Sage Publications, London, 1994
Gholwusy, Ahmad. Ad-Dakwah al-Islamiyah, Kairo: Dar al-Kitab al-Mishr, 1987.
Hanafi, Hasan. Al-Yamin wa Al Yasar Fi Al-Fikr Al-Diniy, Mesir: Madbuliy, 1989.
http://id.wikipedia.org/wiki/Tafsir_al_qur'an, diakses tanggal 30 Maret 2008.
Hunter, Shireen T. (ed.), The Politics of Islamic Revivalism, Bloomington: Indiana University Press, 1988.
Husayni, Murtadha. Akhlak Tabligh dar Sirah Rasulullah.
Husein Thaba’thabai, Muhammad. Memahami Esensi Al-Qur’an. Jakarta: Lentera, 2001.
Husein Thaba’thbai, Muhammad. Al-Mizan, jilid 1, Muassassah al-Nasyr al-Islami, Jamiah al-Mudarrisin, Qum, 1414 H.
Ibn Abdurrahman al-Magrawi, Muhammad. Al-Mufassirûn baina al-Ta’wil wa al-Itsbat fi Ayat al-Shifat, Jil. I, Riyad: Dar al-Thaibah, 1405 H.
J.J G. Jansen. Diskursus tafsir al-Quran. Jakarta : Tiara Wacana
Jalaluddin Rakhmat, Metode Penelitian Komunikasi, Bandung: Rosdakarya, 2005.
Jurnal Ulumul Qur’an, I/1993.
Kuntowijoyo, Muslim tanpa Mesjid: Esai-esai Agama,Budaya dan Politik dalam Bingkai Strukturalisme Transendental. Bandung: Mizan, 2001.
Madjid, Nurcholish. Masyarakat Religius: Membumikan Nilai-nilai Islam dalam Kehidupan Masyarakat, Jakarta: Paramadina, 2004.
Mahmud, Ali Abdul Halim. Dakwah Fardiyah, terj. As'ad Yasin. Jakarta: Gema Insani Press, 1995.
Moleong, Lexy J. Metodologi Penelitian Kualitatif, Bandung: Remaja Rosdakarya, 2000.
Mubarok, Ahmad. Psikologi Dakwah, Jakarta: Pustaka Firdaus, 1999.
Muhammad Bagir Shadr. Sejarah dalam perpektif al-Quran. Bandung Pustaka Hidayah
Muhammad Salim, Athiyyah. dalam Muhammad Amin al-Syanqithi, Muqaddimah Adhwa’ al-Bayan fi Iydhahi al-Qur’an bi al-Qur’an, Kairo: Maktabah Ibn Taymiyyah, Jilid I, 1988.
Muhyiddin, Asep dan Safei, A.A. Metode Pengembangan Dakwah, Bandung: Pustaka Setia, 2002.
Murtada Muthahhari. Tafsir surah-surah pilihan. Bandung :Pustaka hidayah
Muslim, Musthofa. Dirasat fi al-Tafsir al-Maudhui li al-Qishosh.
Muthahhari, Murtadha. Asynaai Baa Qur’an. Teheran: Intisyarat Shadra, 1995.
Natsir, Mohammad. Fiqhud Dakwah. Jakarta: Yayasan Capita Selecta, 1996.
Qira’ati, Muhsin. Seri Tafsir untuk Remaja, terjemahan oleh Nano Warno, Jakarta: Al-Huda, 2006.
Qira’ati, Muhsin. Tafsir Surat Al-Ankabut, Terjemahan oleh Nano Warno, Jakarta: Alhuda, 2006.
Qira’ati, Muhsin. Tafsir Surat Yasin, terjemahan Nano Warno. Jakarta: Al-Huda, 2006.
Qira’ati, Muhsin. Tafsir Surat Yusuf untuk Remaja, terjemahan oleh Nano Warno. Jakarta: Al-Huda, 2006.
Rahardjo, Dawam. “Krisis Peradaban Islam”, dalam Abdul Hakim dan Yudi Latif (ed.), Bayang-bayang Fanatisisme, Jakarta: PSIK Paramadina, 2007.
Rahman, Fazlur. Metode dan Alternatif Neo-Modernisme Islam, Bandung: Mizan, 1998.
Rahmat Taufik Hidayah. Khazanah Istilah Al-Quran Bandung Mizan
Rakhmat, Jalaluddin. Psikologi Kebahagiaan, Bandung: Rosdakarya, 2004.
Rakhmat, Jalaluddin. Psikologi Komunikasi, Bandung: Remaja Rosda Karya, 1998.
Sarwono, Jonathan. Metodologi Penelitian Kualitatif & Kuantitatif, Yogyakarta: Graha Ilmu, 2006.
Shadr, Muhammad Baqir. At-Tafsir Al-Maudhu'iy wa Al-Tafsir Al-Tajzi'iy fi Al-Qur'an Al-Karim, Beirut: Dar Al-Tatuf lil Mathbu'at, 1980.
Shihab, Quraish. Membumikan Al-Qur’an. Bandung: Mizan, 1996.
Sugiyono, Statistika untuk Penelitian, Bandung: Alfabeta, 2006.
Suryanegara, A. Mansyur. "Dakwah Bagi Para Politisi" dalam bagian bukunya Menemukan Sejarah, Bandung: Mizan, 1995.
Thaba’thabai, Muhammad Husein. Memahami Esensi Al-Qur’an. Jakarta: Lentera, 2001.
Thabarsi, Majma al-Bayan fi tafsir al-Quran, juz 9, Beirut: Dar al-Ma’arif, 1988.
Thabathaba’i, Muhammad Husein. Al-Mizan, jilid 1, Qum: Muassassah al-Nasyr al-Islami, Jamiah al-Mudarrisin, 1414 H.
Wahid, Fathul. E-Dakwah: Dakwah Melalui Internet, Yogyakarta: Gaya media, 2004.
Watt, Montgomery. Politik Islam dalam Lintasan Sejarah, Jakarta: P3M, 1988.
WWW. QIRAATI. NET
Zed, Mestika “Metode Penelitian Kepustakaan”, http://history2001.multiply.com/journal/item/44, diakses tanggal 30 Maret 2008, pkl.20.05.
Zendegi Nameh Qiraati (risalah biografi Qiraati).
[1] Kuntowijoyo, Muslim tanpa Mesjid: Esai-esai Agama,Budaya dan Politik dalam Bingkai Strukturalisme Transendental. (Bandung: Mizan, 2001), hal.19.
[2] Lihat Jalaluddin Rakhmat, Psikologi Kebahagiaan, (Bandung: Rosdakarya, 2004), hal.22-23.
[3] Tokoh teosofi Muslim terkenal adalah Mulla Shadra (979 H / 1571 M).
[4] Istilah Dakwah profetik dapat ditemui dalam Buku Kuntowijoyo, Op.Cit. Yaitu gerakan dakwah yang lebih memiliki nilai-nilai dalam membangun peradaban sebagaimana yang dilakukan oleh Rasulullah Saw yang mendirikan madinah dengan nilai-nilai Islam yang damai.
[5] Teori E-Dakwah dikembangkan akhir-akhir ini seiring dengan perkembangan dunia internet. Dakwah tidak lagi tersekat di masjid-masjid dan majlis ta’lim, tetapi juga di dunia maya, yaitu internet. Lihat Fathul Wahid, E-Dakwah: Dakwah Melalui Internet, (Yogyakarta: Gaya media, 2004), hal.1.
[6] Teori dakwah kultural hampir sama pengertiannya dengan dakwah kultural, yaitu menyebarkan nilai-nilai Islam dengan pendekatan budaya dan peradaban yang lebih damai. Lihat Nurcholish Madjid, Masyarakat Religius: Membumikan Nilai-nilai Islam dalam Kehidupan Masyarakat, (Jakarta: Paramadina, 2004).
[7] Lihat analisis Montgomery Watt, Politik Islam dalam Lintasan Sejarah, (Jakarta: P3M, 1988), hal.94, yang mengulas akar-akar sejarah dan politik Islam sehingga memunculkan gerakan-gerakan politik yang bermacam-macam di dunia Islam, salah satunya adalah Islam Fundamentalisme, sebagai akar dari gerakan teroris dewasa ini.
[8] Tutty Alawiyyah AS, Paradigma Baru Dakwah Islam, Dokumen Pidato penganugerahan Doctor Honoris Causa Bidang Dakwah, IAIN Syarif Hidayatullah, Jakarta, 17 Februari 2001.
[9] Fazlur Rahman, Metode dan Alternatif Neo-Modernisme Islam, (Bandung: Mizan, 1998), h. 66 .
[10] Lihat QS, Al-Baqarah [2] ayat 2.
[11] Lihat Muhammad Husein Thabathaba’i, Al-Mizan, jilid 1, (Qum: Muassassah al-Nasyr al-Islami, Jamiah al-Mudarrisin, 1414 H), hlm. 4: “Tafsir adalah penjelasan tentang makna ayat-ayat al-Qur’an dan menyingkap maksud dan dilalahnya”.
(التفسير: هو بيان معانى الأيات القرآنية والكشف عن مقاصدها ومداليلها).
[12] Thaba’thbai, Ibid., hlm. 6-8.
[13] Thaba’thabai, Memahami Esensi Al-Qur’an. (Jakarta: Lentera, 2001), hlm. 8.
[14] Lihat QS An-Nahl [16] ayat 125.
[15] Dawam Rahardjo, “Krisis Peradaban Islam”, dalam Abdul Hakim dan Yudi Latif (ed.), Bayang-bayang Fanatisisme, (Jakarta: PSIK Paramadina, 2007), hal.35.
[16] Istilah Dakwah profetik dapat ditemui dalam Buku Kuntowijoyo, Op.Cit. Yaitu gerakan dakwah yang lebih memiliki nilai-nilai dalam membangun peradaban sebagaimana yang dilakukan oleh Rasulullah Saw yang mendirikan madinah dengan nilai-nilai Islam yang damai.
[17] Teori E-Dakwah dikembangkan akhir-akhir ini seiring dengan perkembangan dunia internet. Dakwah tidak lagi tersekat di masjid-masjid dan majlis ta’lim, tetapi juga di dunia maya, yaitu internet. Lihat Fathul Wahid, E-Dakwah: Dakwah Melalui Internet, (Yogyakarta: Gaya media, 2004), hal.1.
[18] Teori dakwah kultural hampir sama pengertiannya dengan dakwah kultural, yaitu menyebarkan nilai-nilai Islam dengan pendekatan budaya dan peradaban yang lebih damai. Lihat Nurcholish Madjid, Masyarakat Religius: Membumikan Nilai-nilai Islam dalam Kehidupan Masyarakat, (Jakarta: Paramadina, 2004).
[19] Tutty Alawiyyah AS, Paradigma Baru Dakwah Islam, Dokumen Pidato penganugerahan Doctor Honoris Causa Bidang Dakwah, IAIN Syarif Hidayatullah, Jakarta, 17 Februari 2001.
[20] Fazlur Rahman, Metode dan Alternatif Neo-Modernisme Islam, (Bandung: Mizan, 1998), h. 66 .
[21] Ahmad Mubarok, Psikologi Dakwah, (Jakarta: Pustaka Firdaus, 1999), h. 2.
[22] Ahmad Mubarok, Ibid, h.3.
[23] Dapat dilihat dari pernyataan-pernyataan al-Qur'an, antara lain dalam QS. Ali Imran ayat 104, 110 QS an-Nahl ayat 125, dan dalam QS. Fushilat ayat 33.
[24] Asep Muhyiddin & A.A. Safei, Metode Pengembangan Dakwah, (Bandung: Pustaka Setia, 2002), h.27.
[25] A. Mansyur Suryanegara, "Dakwah Bagi Para Politisi" dalam bagian bukunya Menemukan Sejarah, (Bandung: Mizan, 1995), h. 165.
[26] Ali Abdul Halim Mahmud, Dakwah Fardiyah, terj. As'ad Yasin. (Jakarta: Gema Insani Press, 1995), h. 17.
[27] Ahmad Gholwusy, Ad-Dakwah al-Islamiyah, (Kairo: Dar al-Kitab al-Mishr, 1987), h.10-11.
[28] Sayyid Mutawakil dalam Ali bin Shalih al-Mursyid, Mustazalmat ad-Da'wah fi al-Ashr Al-Hadhir. (Jeddah: Maktabah Layyinah, 1989), h. 21.
[29] Ibn Taymiyyah yang dikutip Asep Muhyiddin, Pengembangan Metode Dakwah, Op.Cit., h.33.
[30] Zakaria dalam Mohammad Natsir, Fiqhud Dakwah. (Jakarta: Yayasan Capita Selecta, 1996), h. 8.
[31] Jalaluddin Rakhmat, Psikologi Komunikasi, (Bandung: Remaja Rosda Karya, 1998), h.16.
[32] A.A. Safei, Metode Pengembangan Dakwah, (Bandung: Pustaka Setia, 2002), h. 34.
[33] Ahmad Mubarok, Psikologi Dakwah, Op.Cit., hlm. 132-146.
[34] Quraish Shihab, Membumikan Al-Qur’an (Bandung: Mizan, 1996), hal.3.
[35] Muhammad Husain Adz-Dzahabiy, At-Tafsir wa Al-Mufassirun, (Kairo: Dar Al-Kutub Al-Haditsah, 1961), Jilid 1, hal. 10.
[36] Husain Thabathaba’i, Al-Mizan, jilid 1, (Qum: Muassassah al-Nasyr al-Islami, Jamiah al-Mudarrisin, 1414 H), hlm. 4.
[37] Quraish Shihab, Op.Cit., hal.10.
[38] Ibid., hal.12.
[39] Lihat makalah Martin van Bruinessen, "Mohammed Arkoun tentang Al-Quran," disampaikan dalam diskusi Yayasan Empati. Pada h. 2. ia mengutip Mohammed Arkoun, "Algeria," dalam Shireen T. Hunter (ed.), The Politics of Islamic Revivalism, (Bloomington: Indiana University Press, 1988), hal. 182-183.
[40] Ibid.
[41] Hasan Hanafi, Al-Yamin wa Al Yasar Fi Al-Fikr Al-Diniy, (Mesir: Madbuliy, 1989), hal. 77.
[42] Lihat Al-Syathibiy, Al-Muwafaqat, (Beirut: Dar Al-Marifah, tt)., Jilid II, h. 18.
[43] Muhammad Husain Adz-Dzahabiy, Op.Cit, h. 142
[44] Quraish Shihab, Op.Cit., hal.42.
[45] Ibid.
[46] Muhammad Baqir Al-Shadr, At-Tafsir Al-Maudhu'iy wa Al-Tafsir Al-Tajzi'iy fi Al-Qur'an Al-Karim, (Beirut: Dar Al-Tatuf lil Mathbu'at, 1980), hal. 10
[47] Quraish Shihab, Op.Cit., hal.45.
[48] Ibid.
[49] Muhammad Baqir Al-Shadr, Op.Cit., hal.12.
[50]Di beberapa negara Islam selain Mesir, para pakarnya juga melakukan upaya-upaya penafsiran Al-Quran dengan menggunakan metode ini. Di Irak, misalnya, Muhammad Baqir Al-Shadr menulis uraian menyangkut tafsir tentang hukum-hukum sejarah dalam Al-Quran dengan menggunakan metode yang mirip dengan metode ini, dan menamakannya dengan metode tawhidiy (kesatuan). Lihat Quraish Shihab, Ibid., hal.20.
[51] Ibid.
[52] http://id.wikipedia.org/wiki/Tafsir_al_qur'an, diakses tanggal 30 Maret 2008, pkl.19.00
[53] Jonathan Sarwono, Metodologi Penelitian Kualitatif & Kuantitatif, ( Yogyakarta: Graha Ilmu), 2006, hal. 257.
[54] Ibid, hal. 257.
[55] Ibid, hal.259.
[56] Sugiyono, Statistika untuk Penelitian, (Bandung: Alfabeta, 2006), hal.77.
[57] Jalaluddin Rakhmat, Metode Penelitian Komunikasi, (Bandung: Rosdakarya, 2005), hal.24.
[58] Ibid., hal.25.
[59] Norman K. Denzin and Yvonna S. Lincoln, “Introduction : Entering the Field of Qualitative Research”’, dalam Norman K. Denzin and Yvonna S. Lincoln (eds), Handbook of Qualitative Research (Sage Publications, London, 1994), hlm.69-72.
[60] Ibid..
[61] Ibid.
[62] Suharsimi Arikunto, Prosedur Penelitian: Suatu Pendekatan Praktik, (Jakarta: Rineka Cipta, 2006), hal.10. Lihat jug artikel yang ditulis oleh Mestika Zed, “Metode Penelitian Kepustakaan”, http://history2001.multiply.com/journal/item/44, diakses tanggal 30 Maret 2008, pkl.20.05.
[63] Ibid.
[64] Sugiyono, Op.Cit, hal.182.
[65] Lexy J. Moleong, Metodologi Penelitian Kualitatif, (Bandung: Remaja Rosdakarya, 2000), hal.103.
[66] Suharsimi Arikunto, Op,Cit., hal.10.
[67] Muhsin Qiraati Zendegi Nameh Qiraati (risalah biografi Qiraati), Qum : tanpa nama penerbit dan tanpa tahun.
[68] Ceramah Qira’ati di ICC Jakarta, 21 April 2007.
[69] Ibid.
[70] Risalah biografi Ayatullah Mohsen Qiraati.
[71] Ceramah Qira’ati di ICC Jakarta, 21 April 2007.
[72] Lihat Muhsin Qira’ati, Seri Tafsir untuk Remaja, terjemahan oleh Nano Warno, (Jakarta: Al-Huda, 2006).
[73] Muhsin Qira’ati, Tafsir Surat Yusuf untuk Remaja, terjemahan oleh Nano Warno (Jakarta: Al-Huda, 2006), dalam kata pengantar.
[74] Muhsin Qira’ati, Tafsir Surat Yasin, terjemahan Nano Warno (Jakarta: Al-Huda, 2006), hal.3.
[75] Ibid.
[76] Ibid.
[77] Muhsin Qira’ati, Tafsir Surat Al-Ankabut, Terjemahan oleh Nano Warno, (Jakarta: Alhuda, 2006), hal.5.
[78] Muhammad Baqir Al-Shadr, At-Tafsir Al-Maudhu'iy wa Al-Tafsir Al-Tajzi'iy fi Al-Qur'an Al-Karim, (Beirut: Dar Al-Tatuf lil Mathbu'at, 1980), hal. 11.
[79] Muhammad Baqir Al-Shadr, Op.Cit., hal.12.
[80] Quraish Shihab, Membumikan Al-Qur’an, (Bandung: Mizan, 1996), hal.34.
[81] Thabarsi, Majma al-Bayan fi tafsir al-Quran, juz 9 (Beirut: Dar al-Ma’arif, 1988), hal.19
[82] Murtadha Husayni, Akhlak Tabligh dar Sirah Rasulullah, Qum : Intisyarat , 1990, hal 3-6
[83] Ibid.
[84] Ibid.
[85] Ibid
[86] Ibid
[87] Mohsen Qiraati, Tablig dar Quran, Qum : Intisyarat, 2006, hal.4
[88] Ibid., hal 5
[89] Ibid. 24
[90] Mohsen Qira’ati, Tafsir an-Nur, Jakarta : al-Huda 2006 jilid 4,hal 34
[91] Ibid.
[92] Muhsin Qira’ati, Tafsir Surah Yusuf, Terjemahan oleh Nano Warno (Jakarta: Al-Huda, 2006), hal 56.
[93] Al-quarn bukan kitab sejarah Muhammad A. Khalafullah : 12
[94] Surat Az-Zumar (No. 39) ayat 73. Pengantar untuk tafsir Surat Al-Waqi’ah
3 Faez Kasyani, Risalatul Inshaf, Qum : Markaze Intisyarat, 1998, hal, 7.
4 Imam Khomeini, Sahifah Nur, Jil. 20, hal. 20.
[95] Husen Nasr, Ed. Al-Quran dan hadis sebagai sumber inspirasi Filsafat Islam (dari buku Ensiklopedia Tematis Filsafat Islam, 2003.
[96] Jamil , Islami creative thinking, Jakarta : Mizania, 2005, hal 45
[97] Jalaluddin Rakhmat, Psikologi Komunikasi, (Bandung: Rosdakarya, 1998), hal.34.
[98] Ibid., hal 67
[99] Islamic Creative thinking, Op,Cit.,hal 34
[100] Muhsin Qira’ati, Tafsir ayat-ayat pilihan, Jakarta : Al-Huda, 2004, hal. 45
[u1]Ini kecil atau besar, ??? hal 13.
[u2]Ini redaksi bahasa kurang enak?
Komentar