tasawuf dalam peradaban
1
TASAWUF DALAM PERADABAN ISLAM
Apresiasi dan Kritik1
Oleh Kautsar Azhari Noer
]Apabila Islam dipandang sebagai agama tauhid yang memadukan aspek esoterik dan aspek
eksoterik, maka tasawuf sebagai bagian dari peradaban Islam lebih menekankan aspek
esoteriknya. Tasawuf, bagaikan jantung manusia, adalah sumber kehidupan batiniah dan pusat
yang mengatur keseluruhan oranisme keagamaan Islam. Jika Islam diibaratkan sebagai tubuh,
maka tasawuf adalah jantungnya. Itulah sebabnya mengapa para pembela tasawuf mengatakan
bahwa tasawuf adalah “jantung risalah Islam”2 atau “jantung Islam.”3
Beberapa guru sufi tradisional, khususnya guru-guru sufi tarekat Syadziliyah, menggunakan
simbol geometrik sebuah lingkaran untuk menggambarkan hubungan antara dimensi-dimensi
fundamental Islam. Dari titik manapun dalam ruang dapat dibuat sebuah lingkaran dan jari-jari
dalam suatu jumlah yang tak terhingga yang menghubungkan setiap titik bundaran lingkaran
Pusat itu. Bundaran itu adalah syari‘ah yang keseluruhannya membentuk komunitas Muslim.
Setiap Muslim, berdasarkan atas penerimaan Hukum Ilahi, adalah seperti sebuah titik yang ada
pada lingkaran itu. Jari-jari melambangkan thuruq (plural dari tharîqah). Setiap jari-jari adalah
jalan dari bundaran menuju Pusat.
Tuhan sebanyak keturunan Adam. Tharîqah, yang ada dalam banyak bentuk yang berbeda
sesuai dengan watak dan kebutuhan spiritual manusia, adalah jari-jari yang menghubungkan
setiap titik dengan Pusat. Hanya dengan berdiri pada bundaran, yaitu menerima syari‘ah,
manusia dapat menemukan di hadapan dirinya jari-jari menuju Pusat. Hanya dengan mengikuti
syari‘ah kemungkinan pintu kehidupan sipritual terbuka menjadi kenyataan.4
Akhirnya, di Pusat terdapat haqîqah atau Kebenaran yang merupakan sumber tharîqah dan
syari‘ah. Seperti secara geometris titik membentuk jari-jari dan bundaran, begitu pula secara
metafisis haqîqah menciptakan tharîqah dan syari‘ah, bahwa haqîqah atau Pusat ada “di
mana-mana dan tidak di manapun juga.” Hukum dan Jalan diciptakan secara bebas oleh Tuhan
yang merupakan Kebenaran. Keduanya mencerminkan Pusat dengan cara-cara yang berberda.
Menjalani syari‘ah adalah hidup dengan mencerminkan Pusat. Jadi ini adalah sebab yang pasti
dan memadai untuk menjalani seluruh kehidupan dan untuk mencapai keselamatan. Tetapi
selalu ada orang-orang yang keadaan batiniahnya yang membuat mereka tidak puas hidup
hanya dengan mencerminkan Pusat tetapi harus berusaha mencapai-Nya. Islam mereka adalah
menempuh Jalan menuju Pusat. Bagi mereka tharîqah adalah cara untuk mencapai Tujuan
akhir, haqîqah yang merupakan Asal segala sesuatu, yang menjadi sumber tradisi integral yang
terdiri dari Hukum dan Jalan atau bundaran dan jari-jari.5 Dapat pula dikatakan bahwa haqîqah
adalah dimensi batin syari‘ah, sementara syari‘ah adalah dimensi lahir haqîqah. Ketika sampai
kepada tingkat haqîqah, mereka memperoleh ma‘rifah dari Allah. Ma‘rifah adalah tingkatan
spiritual para nabi, rasul, dan wali.
Robert Frager, Syekh sufi dan profesor psikologi pada Institute of Transpersonal Psychology,
California, memaparkan penjelasan Ibn ‘Arabi tentang empat tingkat ini. Pada tingkat syari‘ah
(hukum), “milikmu dan miliku.” Hukum keagamaan menjamin hak individual dan hubungan etis
antara manusia. Pada tingkat tharîqah (jalan sufi), “milikku adalah milikmu, dan milikmu
adalah milikku.”
untuk membuka rumah mereka, hati mereka, dan dompet mereka satu sama lain. Pada tingkat
haqîqah (kebenaran), “tidak ada milikku dan milikmu.”
bahwa segala sesuatu datang dari Tuhan, semuanya hanyalah penjaga amanah dan tidak
memiliki sesuatu pun. Pada tingkat ma‘rifah (gnosis), “tidak ada aku dan kamu.” Individu
menyadari bahwa semuanya adalah Tuhan, dan tidak sesuatu pun dan seorang pun terpisah dari
Tuhan. Inilah tujuan tertinggi tasawuf.6
2
Tasawuf bukanlah penjelasan, bukan pula teori, melainkan pengalaman: pengalaman
menyaksikan diri sejati dan juga menyaksikan Tuhan. Nabi Muhammad bersabda, “Barang siapa
mengenal dirinya, niscaya mengenal Tuhannya.” Tasawuf adalah jalan cinta menuju Tuhan,
yang membuat penempuh jalan itu mengalami Tuhan sebagai Sang Kekasih. Melalui cinta sang
pencari terserap ke dalam Yang Dicintai. Tasawuf adalah jalan untuk kembali ke tempat asal,
ke kampung halaman, ke tanah kelahiran. Tasawuf adalah jalan spiritual yang mengantar kita
kepada kesatuan dengan Asal. Tasawuf adalah jalan yang menyingkap tabir pemisah antara
manusia dan Tuhan. Dengan tasawuf, manusia bisa menghilangkan keterpisahannya dari Tuhan
dan menyempurnakan kesatuannya dengan Yang Tidak Terbatas.
Tasawuf sebagai sebuah disiplin keilmuan Islam tradisional baru muncul pada pada abad ke-2
H/ke-8H, atau paling tidak dalam bentuk lebih jelas pada abad ke-3 H/ke-10 M, tetapi tasawuf
sebagai pengalaman spiritual telah ada sejak adanya manusia. Usianya setua usia kebangkitan
kesadaran manusia. Semua rasul, nabi, dan wali adalah sufi, yang tdak lain dari manusia
sempurna (insân kâmil). Nabi Muhammad adalah sufi terbesar karena beliau adalah manusia
sempurna yang paling sempurna. Tasawuf bersumber dari al-Qur’an dan al-Sunnah. Tasawuf
tidak dapat dipisahkan dari Islam karena tasawuf adalah jantung Islam. Tasawuf dan Islam
sejati adalah satu dan sama: itu-itu juga.
Tasawuf sebagai bagian yang tidak terpisahkan dari peradaban Islam patut mendapat apresiasi
karena ia telah memberikan sumbangan-sumbangan besar yang sangat berharga bagi peradaban
Islam. Namun demikian, tasawuf tidak bisa lepas dari kritik karena ia telah menderita cacatcacat
yang membuat citra dirinya buruk yang merugikan peradaban Islam. Tulisan ini adalah
sebuah upaya untuk memberikan apresiasi dan sekaligus kritik tehadap tasawuf sebagai tradisi
Islam yang telah berusia selama berabad-abad.
Apresiasi: Sumbangan-sumbangan
Apresiasi pantas diberikan terhadap tasawuf karena sumbangan-sumbangannya bagi
pengembangan peradaban Islam yang sangat bernilai dalam berbagai bidang seperti filsafat,
pendidikan, sastra, musik, tarian, psikologi, dan sains modern. Sumbangan tasawuf bagi
peradaban Islam yang patut mendapat apresiasi adalah sumbangannya dalam pengembangan
filsafat Islam, khususnya metafisika, yang mencakup konsep-konsep ontologis, teologis,
kosmologis, dan antropologis. Konsep filosofis kunci sufi yang besar sumbangannya bagi
metafisika adalah adalah wahdat al-wujūd (Kesatuan Wujud). Wahdat al-wujūd7 adalah doktrin
bahwa tidak ada sesuatu pun dalam wujud kecuali Tuhan; hanya ada Satu Wujud Hakiki, yaitu
Tuhan, yang oleh Ibn ‘Arabi sering disebut al-Haqq. Segala sesuatu selain Tuhan tidak ada pada
dirinya sendiri; ia hanya ada sejauh memanifestasikan Wujud Tuhan. Alam adalah lokus
penampakan diri Tuhan. Manusia Sempurna (al-insān al-kāmil) adalah mikrokosmos, yang
merupakan lokus penampakan diri Tuhan yang paling sempurna. Di dalam sistem Ibn ‘Arabi
penampakan diri (tajallī) Tuhan merupakan salah satu ajaran sentral. Alam tidak mempunyai
wujud sendiri kecuali wujud pinjaman, wujud yang berasal, “melimpah” atau “memancar,”
dari Tuhan. Al-Haqq (Tuhan) dan al-khalq (alam) adalah satu tetapi bukan satu, identik tetapi
bukan identik. Doktrin wahdat al-wujūd menekankan tidak hanya sisi tasybīh (similarity,
keserupaan), tetapi juga sisi tanzīh (incomparability, ketidak-dapat-dibandingkan). Dilihat dari
sisi tasybīh, Tuhan adalah identik, atau lebih tepat serupa dan satu, dengan alam – walaupun
keduanya tidak setara – karena Dia, melalui nama-nama-Nya, menampakkan diri-Nya dalam
alam. Tetapi dilihat dari sisi tanzīh, Tuhan sama sekali berbeda dengan alam karena Dia adalah
Zat Mutlak yang tidak terbatas di luar alam nisbi yang terbatas. Tuhan adalah imanen dan
transenden. Ide ini dirumuskan oleh Ibn ‘Arabi dengan ungkapan singkat, huwa lā huwa (“Dia
dan bukan Dia”).
Kesatuan tanzīh dan tasybīh adalah prinsip coincidentia oppositorum (al-jam‘ bayna al-addād)
dalam sistem Ibn ‘Arabi, yang secara paralel terwujud pula dalam kesatuan ontologis antara
Yang Tersembunyi (al-bātin) dan Yang Tampak (al-zāhir), antara Yang Satu (al-wāhid) dan Yang
Banyak (al-katsīr). Dilihat dari segi Zat-Nya, Tuhan adalah transenden, munazzah (tidak dapat
3
dibandingkan [dengan alam]), Yang Tersembunyi dan Yang Satu. Dilihat dari segi nama-nama-
Nya, Tuhan adalah imanen, musyabbah (serupa [dengan alam]), Yang Tampak dan Yang Banyak.
Tuhan sebagai satu-satunya Wujud Hakiki, Zat Mutlak yang munazzah, Yang Tersembunyi dan
Yang Satu, menampakkan diri-Nya (ber-tajallī) melalui nama-nama-Nya dalam banyak bentuk
yang tidak terbatas dalam alam.
Prinsip coincidentia oppositorum (al-jam‘ bayna al-addād) dalam sistem Ibn ‘Arabi ini dapat
dibandingkan dengan “paradoksikalitas” (paradoxicality) dalam panteisme yang didefinisikan
oleh W.T. Stace, seorang filsuf Amerika abad kedua puluh. Stace memandang bahwa
paradoksikalitas adalah salah satu ciri universal semua mistisisme. Paradoksikalitas asasi ini
terefleksi dalam semua filsafat yang merupakan interpretasi tingkat tinggi tentang panteisme.
Karena panteisme – meskipun berbaju luar dengan logika dan rasionalisme seperti pada Spinoza
– selalu berakar dalam mistisisme, maka panteisme adalah paradoksikal. Proposisi bahwa “alam
adalah identik dengan, dan berbeda dengan, Tuhan,” boleh disebut “paradoks panteistik”
(pantheistic paradox). Paradoks panteistik mengandung ide tentang “keidentikan
pertentangan-pertentangan” (the identity of opposites) atau “keidentikn dalam perbedaan”
(the identity in difference).8 Prinsip coincidentia oppositorum (al-jam‘ bayna al-addād) dalam
sistem Ibn ‘Arabi ini dapat pula dibandingkan dengan prinsip hubungan Yin-Yang dalam filsafat
Cina, khususnya Taoisme.
Sumbangan tasawuf bagi pengembangan metafisika Islam dapat ditemukan pada tasawuf
mazhab wahdat al-wujūd yang dianggap didirikan oleh Ibn ‘Arabi. Sekalipun Ibn ‘Arabi adala
seorang Sunni, pandangan-padanagn mistis-filosofisnya telah membuatnya lebih dekat kepada
Syi‘ah. Secara formal ia tidak pernah beralih kepada Syi‘ah, tetapi pandangan-pandangannya
itu diadopsi oleh banyak ulama Syi‘i. Bahkan sampai hari ini, metafisika Ibn ‘Arabi bersama
dengan metafisika Suhrawardi, Guru Iluminasi (Syaikh al-Isyrâq), membentuk dasar pandangan
dunia filsafat gnostik para intelektual Muslim Iran. Misalnya, sumbangan metafisika Ibn ‘Arabi
dapat ditemukan pada pengaruhnya terhadap Mulla Sadra, filsuf terbesar Syi‘i.
Sumbangan tasawuf bagi peradaban Islam dalam bidang pendidikan sangat besar, karena tugas
pokok tasawuf, seperti dikatakan oleh Nasr, adalah mendidik keutuhan pribadi manusia
sehingga ia mencapai realisasi dan kesempurnaan penuh seluruh potensialnya. Partisipasi
langsung banyak sufi seperti Khwajah Nizam al-Mulk, wazir Saljuk, dalam membangun
universitas-universitas atau madrasah-madrasah dan juga peranan pusat-pusat sufi (zawiyah
atau ribath dalam bahasa Arab, atau khaniqah dalam bahasa Persia) dalam administrasi
pendidikan membuat pengaruh tasawuf tidak dapat dipisahkan dari perkembangan pendidikan
dalam Islam. Lagi pula, selama periode-periode tertentu seperti periode pasca-Mongol ketika
sistem pendidikan formal dihancurkan di daerah-daerah tertentu, pusat-pusat sufi itu tetap
merupakan satu-satunya tempat pemeliharaan pengetahuan formal dan akademik dan dasar
yang memunculkan kembali sekolah-sekolah tradisional.9
Banyak syaikh sufi di Indonesia mengelola pesantren-pesantren sebagai lembaga pendidikan
tradisional Islam. Pesantren Suryalaya di Pagerageung, Tasikmalaya, Jawa Barat, misalnya,
adalah sebuah pesantren yang berfungsi sebagai tempat pendidikan dan praktik sufi dari
Tarekat Qadiriyah wa Naqsyanbandiyah. Di bawah pimpinan KHA Shohibulwafa Tadjul Arifin,
yang lebih dikenal dengan panggilan Abah Anom, pesantren ini menjadi terkenal karena
pengobatan yang dilakukannya terhadap para korban narkotik, penderita gangguan kejiwaan
dan macam-macam penyakit lain dengan mengamalkan zikir tarekatnya. Pesantren Darul Ulum
di Rejoso, Jombang, Jawa Timur, adalah pusat lain Tarekat Qadiriyah wa Naqsyabandiyah yang
pernah mempunyai pengaruh sangat besar di Jawa Timur, khususnya pada masa Kiai Musta’in
Romly, seorang syekh sangat kharismatik. Pengaruh Kiai Musta’in memudar karena
keterlibatannya dalam suatu pertikaian politik pada penghujung 1970-an.
Periode abad ke-16 dan ke-17 M menyaksikan pertumbuhan sejumlah besar ribath atau
zawiyah. Pada periode itu di Makkah terdapat lebih dari 50 ribath dan di Madinah terdapat
4
sekitar 30 ribath. Azyumardi Azra mengungkapkan bahwa kebanyakan ribath di dua kota suci
itu, sebagaimana halnya madrasah-madrasah, diwakafkan oleh penguasa-penguasa dan
dermawan-dermawan non-Hijazi. Ribath-ribath di Haramayn pada umumnya dingun untuk lakilaki,
tetapi juga terdapat beberapa ribath, baik di Makkah maupun di Madinah, yang hanya
menampung perempuan. Lebih jauh, terdapat bukti-bukti bahwa sebagian ribath menampung
dan memberi penginapan baik kepada laki-laki maupun kepada perempuan.10 Sebuah ribath
yang dijadikan sebagai pusat sufi biasanya dibangun bedekatan dengan atau di lingkungan
masjid atau madrasah, atau kedua-duanya.
Sumbangan lain tasawuf bagi peradaban Islam adalah seni dan sastra. Di antara para ulama
Islam, para sufi adalah kelompok yang paling menghargai dan paling besar perhatiannya
terhadap seni dan sastra. Cinta, penghargaan dan perhatian para sufi terhadap seni dan sastra
telah mendorong mereka menciptakan karya-karya seni dan sastra yang tidak ternilai harganya.
Kreativitas mereka itu telah menempatkan tasawuf sebagai unsur yang memperkaya peradaban
Islam dalam bidang seni dan sastra. Dalam bidang sastra yang dikembangkan para sastrawan
sufi, khususnya para penyair sufi, sebagai ekspresi pengalaman spiritual dan sekaligus sebagai
media untuk menyampaikan pesan moral sufi, syair adalah bentuk yang lebih menonjol dan
karena itu lebih terkenal daripada prosa. Carl W. Ernst, seorang pakar studi-studi keislamam
dan pernah menjadi Guru Besar pada Departemen Studi Keagamaan, University of North
Carolina, Chapel Hill, Amerika Serikat, mengatakan bahwa dari semua produk sufi, sejauh ini
yang paling terkenal dan dianggap paling bernilai adalah warisan syair sufi, serta musik dan
tarian yang biasanya dipertunjukkan bersamanya selama beratus-ratus tahun. Ketika para
sarjana Eropa “menemukan” tasawuf pada akhir abad ke-18 M, pada dasarnya syair sufi-lah
yang menarik dan membuat mereka yakin bahwa mereka telah menemukan sesuatu yang luar
biasa dalam budaya Timur.11
Syair sufi telah digubah dalam berbagai bahasa. Pada mulanya, pada abad ke-9 M bahasa Arab
telah digunakan sebagai media untuk menyampaikan ekspresi mistis dalam syair, yang diikuti
oleh bahasa Persia sejak abad ke-11 M. Kemudian para sufi mulai menggubah syair dalam
bahasa Turki dan India kuno pada abad ke-13 M. Begitu pelbagai bahasa di Afrika dan Asia
digunakan oleh para sufi sebagai media untuk mengarang syair secara terus-menerus hingga
saat ini.12
Rabi‘a al-‘Adawiyah adalah sufi perempuan yang menuangkan rasa cintanya yang begitu
bergelora kepada Tuhan sebagai satu-satunya Kekasihnya. Bait-bait syairnya sering dikutip oleh
para pengagumnya sampai hari ini. Di antara bait-bait itu adalah sebagai berikut:
Ya Allah, jika aku menyembah-Mu,
karena takut pada neraka, bakarlah aku di dalamnya
Dan jika aku menyembah-Mu,
karena mengharap surga, campakkanlah aku darinya
Tetapi, jika aku menyembah-Mu,
demi Engkau semata, janganlah Engkau enggan
memperlihatkan keindahan wajah-Mu
yang abadi padaku
Rabi‘ah tidak hanya unggul dalam syair, tetapi juga dalam doa-doa prosadik. Karena
penyesalannya akan kehidupan sebelumnya yang penuh dosa, ia tetap terbakar dalam api Cinta
Ilahi hingga kematiannya pada usia 87 tahun.
Syair-syair al-Hallaj yang cerdas dan penuh gairah sangat terkenal karena daya pesonanya yang
luar biasa. Beberapa syairnya memaknai cinta sebagai penyatuan diri dengan Tuhan, seperti
ucapanya:
Aku adalah Dia yang kucintai, dan Dia yang kucintai adalah aku,
5
kami adalah dua roh yang bertempat dalam satu tubuh
Jika engkau melihat aku, engkau melihat-Nya,
Jika engkau melihat-Nya, engkau melihat kami
Sebagian besar karya al-Hallaj telah hilang, kecuali Dîwân dan Kitâb al-Thawâsîn yang tetap
bertahan sebagai kesaksian atas ketrampilan puitisnya yang luar biasa.
Bagaimanapun, nama Jalaluddin Rumi tidak boleh dilupakan karena ia adalah penyair sufi
Persia terbesar. Ia adalah penulis korpus syair lirik terbesar dalam sastra Persia, Dîwân-i
Syams-i Tabriz, dan epik mistis, Matsnawî. Karya Rumi yang paling terkenal, Matsnawî, yang
disbut oleh Jami sebagai “Al-Qur’an dalam bahasa Persia,” telah menginspirasi banyak karya
dalam bahasa-bahasa Turki sampai Sindhi, bahkan seluruh sekolah-sekolah musik menyanyikan
bait-baitnya yang menghipnotis. Reynold A. Nicholson, yang menghabiskan seluruh hidupnya
untuk menerjemahkan seluruh karya Rumi dalam bahasa Inggris, menyebut Rumi sebagai
penyair sufi terbesar yang pernah hidup.13
Bait-bait awal pembukaan untuk Matsnawî mengungkapkan tema karya terbesanya itu dalam
bahasa simbolik.
Dengarlah nyanyi Seruling Bambu
Mendesah selalu, sejak direnggut
Dari rumpunnya yang dulu, alunan
Lagu pedih dan cinta membara.
“Rahasia nyanyianku, meski dekat,
Tak seorang pun bisa mendengar dan melihat
Oh, andai ada teman tahu isyarat
Mendekap segenap jiwanya dengan jiwaku!
Ini nyala Cinta yang membakarku,
Ini anggur Cinta mengilhamiku.
Sudilah pahami betapa para pencinta terluka,
Dengar, dengarkanlah rintihan Seruling!”
“Nyanyian” seruling yang berasal dari peraduannya adalah kerinduan jiwa manusia yang
terpisah dari Sumbernya. Bait-bait ini membimbing jiwa untuk kembali ke Tempat Asal, tempat
yang selalu ia rindukan dan kepadanyalah pada akhirnya ia akan kembali. Nada seruling yang
juga menjadi ciri khas musik tarekat Maulawiyah memjunculkan kenangan akan kampung
halaman asal, sebuah kenangan paling dalam yang dirasakan oleh orang-orang yang didorong
oleh daya tarik surga dalam kehidupan ini dan orang-orang yang tetap mendapat bimbingan
utama Rumi.14
Sumbangan lain tasawuf bagi peradaban Islam yang patut mendapat apresiasi adalah musik dan
tarian. Konser musik spiritual yang disertai pembacaan syair, pujian, atau doa disebut samâ‘
(yang secara harfiah berarti “pendengaran”). Pada akhir abad ke-9 M, samâ‘ telah menjadi
praktik yang dilakukan oleh sebagian para sufi, dan secara tipikal disertai oleh tarian. Sebagian
besar ahli fikih dan sebagian para sufi memandang musik dan tarian sebagai praktik yang
diharamkan oleh hukum syariat. Sebaliknya, para sufi yang mempraktikkan samâ‘ memberikan
berbagai argumen syariat untuk membuktikan keabsahahannya. Tetapi alasan dasar keabsahan
praktik samâ‘ bagi para sufi adalah “membangkitkan zikir kepada Allah dalam hati.” Ada
sesuatu dalam musik, menurut mereka, yang bisa membawa manusia ke dalam alam yang tidak
dapat dilihat, kepada asal mereka sendiri dalam “ketiadaan,” ke dalam alam tempat Allah
masih mengatakan kata azali-Nya kepada mereka.15
6
Tujuan samâ‘ adalah memperkuat zikir kepada Allah dan mengobarkan nyala api yang
membakar habis segala sesuatu kecuali Sang Kekasih. Bagi anggota perkumpulan samâ‘ musik
adalah bahasa rahasia tanda-tanda Tuhan bersinar yang dapat didengar. Ketika mendengar
bahasa rahasia itu, jiwa manusia mengingat tempat kediaman asalnya pada hari Alastu ketika
kedekatan kepada Tuhan adalah rumah alaminya. Jiwa mengingat Perjanjian Alastu ketika
Tuhan mengadakan perjanjian dengan Adam dan keturunannya, dengan mengatakan,
“Bukankah Aku (Alastu) Tuhanmu?,” yang dijawab oleh mereka dengan jawaban, “Ya! Kami
bersaksi.” (Q 7:1172).16 Musik bagi para sufi bukanlah tujuan, tetapi adalah cara untuk
membangkitkan gairah kalbu untuk mengingat Tuhan.
Di banyak wilayah dunia Islam para sufi mengembangkan musik dengan warna masing-masing
yang berbeda, yang dipengaruhi oleh warna-warna musik dari berbagai wilayah dan lokal. Jean-
Louis Michon, seorang sarkjana Perancis yang yang memiliki keahlian tentang Islam di Afrika
Utara, seni Islam, dan tasawuf, mengungkapkan bahwa di Turki, misalnya, musik spiritual dari
jenis musik klasik mewarisi tidak hanya mode-mode melodi Arab, Byzantium, dan Persia, tetapi
juga mengambil suara-suara dan ritme-ritme yang berasal dari padang-padang rumput Asia dan
selama berabad-abad banyak menyerap hal-hal yang berhubungan dengan dunia mistikal. Di
Turki, lebih dari kawasan-kawasan Islam lain, tarekat-tarekat besar Maulawiyah, Bektasyiyah,
dan Khalwatiyah banyak memakai musik dalam upacara-upacara mereka. Generasi pertama
tarekat-tarekat itu secara khusus melatih sejumlah besar penyanyi dan ahli instrumentalia yang
meskipun tetap bergabung dalam tarekat juga menjadi ahli musik istana para sultan, seperti
Dede (Darwis) Ismail, salah seorang guru besar musik klasik, sangat terkenal pada masa Selim III
(1203-1222/1789-1807). Sekitar 150 komposisi yang berasal darinya sampai kepada kita.17
Musik sufi yang paling terkenal di Turki, dan mungkin juga di seluruh dunia Islam, adalah musik
dari tarekat Maulawiyah dalam upacara samâ‘ yang telah menjadikan para anggotanya
dinamakan “Para Darwis yang Berpusing,” “Para Darwis yang Berputar-putar” (Whirling
Dervishes). Upacara ini telah dipraktikkan sejak masa Rumi meskipun pada masanya upacara
samâ‘ belum merupakan pertunjukan yang terstruktur. Ketika tarekat ini berkembang, suatu
struktur pertunjukan yang formal mulai terbentuk, yang di dalamnya syair-syair Persia Rumi
dinyanyikan dengan iringan musik bersama syair-syair yang berisi pujian-pujian kepada Nabi
saw, dan ayat-ayat al-Qur’an.
Di India bagian utara, unsur Hindu dan unsur Islam telah menjadi suatu sintesis penting dalam
seni musik yang dimulai sejak perkembangan Islam di India pada abad ke-12 dan ke-13 M. Para
ahli pertama yang berperan dalam sintesis ini adalah para guru dan pengikut tarekat Chistiyah.
Dengan mempraktikkan samâ‘ sebagai metode penyadaran spiritual, para sufi itu berjasa dalam
memperkenalkan banyak unsur Islam ke dalam musik klasik India, dan secara luas memakai
melodi dan irama lagu-lagu India yang kaya.18 Istana-istana para sultan, termasuk Istana Sultan
Delhi ‘Ala al-Din Khilji, tempat penyair sufi, musikus, dan komposer yang berasal dari Turki,
Amir Khusraw, mementaskan suatu gaya lagu “imajinatif bernada tinggi (khayâl) dan
memopulerkan syair cinta Persia (ghazal). Sejak masa Amir Kusraw, banyak dari para guru
musik India Utara yang paling terkemuka adalah Muslim, dan ini masih berlangsung sampai
sekarang. Perkembangan-perkembangan tertentu dalam musik India berkaitan langsung dengan
teori dan pariktik tasawuf, dan banyak guru Muslim untuk musik India terikat dengan tarekattarekat
di anak benua itu.
Tradisi musik sufi India dan Pakistan yang paling terkenal adalah musik tarekat Chistiyah. Musik
tarekat ini lebih dikenal dengan sebutan qawwâlî (dari kata Arab qawwâl yang berarti “yang
banyak berkata”). Ernst melaporkan bahwa biasanya penampilan qawwâlî merupakan ritual
yang sangat terstruktur, yang dilaksanakan di ribath-ribath sufi pada peringatan wafatnya para
wali terkenal atau pada perayaan besar hari keagamaan lain. Kamis sore biasanya adalah saat
yang baik untuk mengunjungi ribath-ribath Chisti jika para pengunjung ingin melihat
penampilan qawwâlî. Para pemusik, yang memang professional, akhir-akhir ini memainkan alatalat
musik modern, misalnya harmonium, suatu alat musik semacam organ bertenaga angin
7
yang berasal dari Eropa, dan terkadang klarinet, dan untuk perkusi mereka menggunakan
gendang India dan tepuk tangan. Qawwâlî yang jenis musiknya keras disebut band samâ‘, yang
hanya diiringi oleh permainan gendang, yang dimainkan hanya pada kesempatan-kesemapatan
istimewa di Gulbarga. Kebanyakan lagu qawwâlî menggunakan bahasa-bahasa India, seperti
bahasa Hindi, bahasa Punjab, bahasa Siraiki, dan ada juga syair-syair berbahasa Urdu yang
dilantunkan dalam pagelaran konser; selain itu ada juga syair-syair dalam bahasa Persia dan
bahasa Arab. Beberapa penyanyi qawwâlî terlatih dalam gaya musik India klasik yang dulunya
dihubungan dengan istana-istana kerajaan, sedangkan para penyanyi lain lebih terbiasa dengan
gaya lokal-regional yang dikembangkan di ribath-rubath sufi.19
Masih banyak contoh musik sufi yang patut mendapat apreasi, tetapi tidak pada tempatnya
untuk membicarakan semuanya karena memang kesempatan ini bukan untuk itu tujuannya.
Sumbangan tasawuf bagi peradaban Islam yang tidak kalah penting adalah sumbangannya bagi
perkembangan psikologi, yang dapat disebut psikologi sufi atau psikologi spiritual. Tasawuf
dapat dipandang sebagai penyucian jiwa atau hati untuk mendekatkan diri kepada Tuhan. Ini
berarti bahwa tasawuf berkaitan langsung dengan jiwa atau hati. Berbeda dengan psikologi
yang biasa kita kenal, psikologi sufi berkaitan tidak hanya jiwa (nafs, psyche) atau persoalanpersoalan
kejiwaan tetapi juga berkaitan dengan roh (rûh, spirit) atau persoalan-persoalan
kerohanian. Karena itu, lebih tepat jika psikologi sufi disebut “psikologi spiritual” atau
“spiritologi.” Ia lebih merupakan “spiritologi,” atau “ruhologi,” ketimbang “psikologi,” atau
“nafsiologi.”
Psikologi sufi membicarakan semua daya yang dimiliki manusia yaitu roh, jiwa, dan hati.
Masing-masing daya ini memiliki beberapa aspek atau dimensi. Tasawuf adalah jalan
pendidikan spiritual yang bertujuan agar semua daya itu dan juga semua aspek yang dimiliki
oleh masing-masing daya itu terintegrasi, seimbang, dan selaras. Rober Frager mengatakan
bahwa banyak sistem psikologis dan spiritual menekankan hanya satu atau dua tingkat
keberfungsian masing-masing daya itu. Di dalam tasawuf, kesehatan emosional dan hubunganhubungan
yang menyehatkan dan menumbuhkan sama pentingnya dengan kesehatan spiritual
dan psikis. Yang ideal adalah hidup sepenuhnya di dunia tanpa terikat padanya atau melupakan
tabiat spiritual dan tujuan-tujuan spiritual kita.20
Tasawuf memberikan sebuah pendekatan yang benar-benar holistik terhadap psikologi spiritual
yang membuat roh menghindari bahaya-bahaya linear dan hirarkis yang banyak ditemukan
dalam banyak sistem spiritual, model-model yang telah digunakan untuk membenarkan
penindasan terhadap para perempuan dan para minoritas. Di dalam tasawuf, secara mutlak
tidak ada pembedaan-pembedaan spiritual antara para laki-laki dan para perempuan, atau
antara ras-ras atau kebangsaan-kebangsaan yang berbeda.21
Model sufi ini memadukan aspek-aspek fisik, psikologis, dan spiritual. Aspek fisik kehidupan kita
ditopang oleh kearifan roh-roh mineral, nabati, hewani sejak dahulu kala. Keberfungsian
psikologis kita berakar pada roh personal, yang terletak pada otak dan merupakan tempat
kediaman ego dan kecerdasan. Natur spiritual kita adalah lompatan kualitatif melampaui naturnatur
fisik dan psikis (yang kedua-duanya berakar pada tubuh fisik dan eksistensi material kita).
Roh insani, roh rahasia, dan roh rahasia dari rahasia terdapat dalam hati spiritual nonmaterial.
Roh insani adalah tempat kediaman kasih saying dan kreativitas. Roh rahasia adalah tempat
zikir kepada Tuhan, dan roh rahasia dari rahasia adalah yang tidak terbatas, percikan ilahi di
dalam diri kita.22
Tasawuf, sejak zaman klasik Islam, telah mengembangkan psikologi yang berkaitan dengan
aspek-aspek spiritual, yang dapat disebut psikologi sufi atau psikologi spiritual. Sufi-sufi seperti
Abu Nashr al-Sarraj, Abu Thalib al-Makki, Abu al-Qasim al-Qusyairi, Abu Hamid al-Ghazali, Ibn
‘Arabi, dan Jalal al-Din Rumi adalah pskolog sufi atau psikolog spiritual. Akhir-akhir ini psikologi
sufi dikembangkan oleh guru-guru sufi yang juga menguasai secara ilmiah psikologi Barat
8
tradisional. Di antara mereka yang mengembangkan psikolofi model ini adalah Robert Frager,
Lynn Wilcox, Soraya Susan Behbehani, Kabir Heminski, dan Llewllyn Vaughan-Lee.
Semua guru sufi adalah psikiater spiritual, dokter yang mengobat penyakit spiritual. Apabila
praktik tasawuf adalah obat, maka guru sufi adalah dokternya. Lalu, pasien siapa? Pasien
adalah para darwis yang melakukan praktik tasawuf di bawah bimbingan guru. Sebenarnya
siapa pun menderita penyakit spiritual sejauh ia tidak hidup sesuai dengan potensialpotensialnya
sebagai manusia. Sayangnya, kebanyakan orang tidak sadar bahwa mereka
menderita penyakit spiritual, dan, karena itu, mereka merasa tidak membutuhkan obat untuk
menyembuhkan diri mereka dari penyakit itu. Manusia yang sehat secara spiritual adalah
manusia yang hidup sesuai dengan potensial-potensialnya sebagai manusia. Manusia yang sehat
secara spiritual adalah manusia yang selalu mengingat Tuhan dalam semua keadaan, di mana
saja dan kapan saja. Dengan kata lain, manusia yang sehat secara spiritual adalah manusia yang
hidup senantiasa dalam kehadiran Tuhan. Akar penyakit spiritual adalah keterpisahan dari Asal
segala sesuatu.
Sumbangan lain tasawuf yang sangat mengagumkan, jika bukan mengangetkan, bagi peradaban
Islam, adalah sumbangannya untuk menjawab persoalan-persoalan yang terkait dengan sains
modern, khususnya fisika. Fritjof Capra, seorang ahli fisika yang telah melakukan penelitian
dalam fisika enegi-tinggi di beberapa universitas Eropa dan Amerika, melalui karyanya The Tao
of Physics dapat membantu kita menjelaskan kesamaan-kesamaan antara tasawuf dan fisika
modern. Karya Fritjof Capra The Tao of Physics sering dijadikan rujukan dan sekaligus contoh
yang sangat bagus oleh para sarjana dan pemikir untuk menunjukkan kesamamaan-kesamaan
antara sains modern dan mistisisme Timur.23 Karya ini memperlihatkan kesamaan-kesamaan
antara fisika modern dan mistisisme Timur yang diwakili oleh Hinduisme, Buddhisme, dan
Taoisme. Karya ini dapat mendorong dan membantu pemikir-pemikir Muslim untuk mencari
kesamaan-kesamaan antara fisika modern dan tasawuf karena kesamaan-kesamaan antara
tasawuf dan mistisisme Timur. Karya Toshihiko Izutsu Sufism and Taoisme24 adalah contoh yang
sangat bagus dari suatu kajian perbandingan yang menunjukkan kesamaan-kesamaan antara
konsep-konsep filosofis kunci dalam tasawuf yang diwakili oleh Ibn ‘Arabi, pada satu pihak, dan
konsep-konsep filosofis kunci dalam Taoisme yang diwakili oleh Lao-tzu dan Chuang-tzu, pada
pihak lain. Jika benar tasawuf dan Taoisme memiliki kesamaan-kesamaan dalam konsep-konsep
filosofis kunci, tasawuf dan fisika modern juga memiliki kesamaan-kesamaan sebagaimana
kesamaan-kesamaan yang dimiliki bersama oleh fisika modern dan Taoisme.
Untuk mencari kesejajaran-kesejajaran antara fisika modern dan mistisisme Timur Fritjof
Capra berangkat dari kesejajaran epistemologis. Menurut Capra, ada dua jenis pengetahuan
atau kesadaran manusia: pengetahuan rasional dan pengetahuan intuitif. Pengetahuan rasional
diperoleh melalui berpikir rasional, sedangkan pengetahuan intuitif diperoleh melalui berpikir
imaginal. Meskipun fisika menekankan pengertahuan rasional dan mistisism Timur menekankan
pengetahuan intuitif, kedua tipe pengetahuan ini terdapat dalam kedua bidang ini sekaligus. Ini
berarti bahwa dalam fisika pengetahuan intuitif pun digunakan dan dalam mistisisme
pengetahuan rasional pun ditemukan. Unsur rasional dari riset sebenarnya tidak akan berguna
bila tidak dilengkapi oleh intuisi yang memberi para ilmuwan pemahaman-pemahaman baru
dan membuat mereka kreatif. Pemahaman-pemahaman intuitif, bagaimanapun, tidak akan
berguna bagi fisika kecuali bila pemahaman-pemahaman itu dapat dirumuskan dalam kerangka
matematis yang konsisten, yang dilengkapi oleh suatu interpretasi dengan bahasa yang jelas.25
Fritjof Capra mengatakan bahwa para mistikus Timur mengungkapkan pengetahuan mereka
dengan kata-kata dengan bantuan mitos-mitos, simbol-simbol, gambaran-gambaran puitis atau
pernyataan-pernyataan paradoksikal, sedangkan para fisikawan modern mengungkapkan
pengetahuan mereka dengan model-model dan teori-teori verbal. Model-model dan teori-teori
verbal mesti tidak akurat. Model-model dan teori-teori itu adalah imbangan mitos-mitos,
simbol-simbol, gambaran-gambaran puitis Timur. Baik para mistikus Timur maupun para
fisikawan modern menyadari benar keterbatasan bahasa dan berpikir “linear.”26 Pikiran
9
mempunyai peranan yang amat penting dalam mengonstruksi realitas. Capra mengatakan
bahwa teori kuantum menunjukkan bahwa “struktur-struktur dan fenomena-fenomena yang
kita amati di alam tidak lain daripada ciptaan pikiran kita yang mengukur dan
mengategorisasikan.”27 Teori kuantum menjelaskan bahwa fenomena-fenomena hanya dapat
dipahami sebagai hubungan-hubungan dalam suatu rantai proses, yang berujung pada
kesadaran pengamat. Capra mengutip kata-kata Eugene Wigner, “Tidaklah mungkin
merumuskan hukum-hukum [teori kuantum] dalam suatu cara yang sepenuhnya konsisten tanpa
merujuk pada kesadaran.”28
Karakteristk epistemologis fisika modern dan mistisisme Timur ini memiliki kesamaan dengan
karakteristik epistemologis tasawuf bahwa apa yang diketahui diwarnai oleh siapa yang
mengetahui. Dengan mengutip kata-kata al-Junaid, seorang sufi besar dari Baghdad, Ibn ‘Arabi
berkata; “Warna air adalah warna bejana yang ditempatinya” (Lawn al-mâ’ lawn inâ’ihi).
Menurut Capra, karakteristik terpenting pandangan dunia Timur adalah kesadaran tentang
kesatuan dan interrelasi timbal-balik segala sesuatu dan peristiwa, pengalaman akan semua
fenomena di dunia sebagai manifestasi-manifestasi dari suatu kesatuan dasar. Segala sesuatu
dilihat sebagai bagian-bagian keseluruhan kosmik yang saling tergantung dan tidak dapat
dipisahkan, sebagai manifestasi-manifestasi dari realitas terakhir yang sama. Realitas terakhir
ini, yang menampakkan dirinya dalam segala sesuatu, disebut Brahman dalam Hinduisme,
Dharmakaya dalam Buddhisme, dan Tao dalam Taoisme.29 Capra memandang bahwa kesatuan
dasar alam semesta bukan hanya karakteristik sentral pengalaman mistis, tetapi juga adalah
salah satu penyingkapan (rahasia) terpenting fisika modern. Kesatuan dasar itu menjadi jelas
pada tingkat atomik dan semakin memanifestasikan dirinya ketika seseorang semakin masuk
lebih dalam ke dalam materi, turun ke dalam wilayah partikel-partikel subatomik. Berbagai
model fisika subatomik mengungkapkan pengetahuan yang sama: bahwa unsur-unsur pokok
materi dan fenomena-fenomena dasar yang meliputi unsur-unsur pokok itu semuanya saling
terkait, saling terhubung, dan saling tergantung; bahwa semuanya tidak bisa dipahami sebagai
entitas-entitas yang terpisah, tetapi sebagai bagian-bagian keseluruhan yang terintegrasi.30
Konsep kesatuan dasar segala sesuatu dalam mistisisme Timur, pada intinya, sama dengan
konsep kesatuan wujud (wahdat al-wujûd) dalam tasawuf Ibn ‘Arabi dan mazhabnya.
Sebagaimana mistisisme Timur, tasawuf mengajarkan bahwa tidak ada sesuatu pun dalam
wujud kecuali Tuhan; hanya ada Satu Wujud Hakiki, yaitu Tuhan. Segala sesuatu selain Tuhan
tidak ada pada dirinya sendiri; segala sesuatu itu hanya ada sejauh memanifestasikan Wujud
Tuhan. Alam adalah lokus penampakan diri Tuhan. Kesamaan kesatuan dasar segala sesuatu
dalam mistisisme Timur dan wahdat al-wujûd dalam tasawuf dengan mudah dapat mendorong
para pengkaji untuk mengambil kesimpulan bahwa wahdat al-wujûd memiliki kesamaan dengan
kesatuan alam semesta sebagai penyingkapan fisika modern.
Capra mengatakan bahwa eksplorasi dunia subatomik pada abad keduapuluh telah
menyingkapkan natur dinamis materi. Eksplorasi itu telah menunjukkan bahwa unsur-unsur
pokok dari atom-atom, partikel-partikel subatomik, adalah pola-pola dinamis yang tidak ada
sebagai entitas-entitas yang terisolasi, tetapi sebagai bagian-bagian integral dari jaringan
interaksi-interaksi yang tidak dapat dipisahkan. Interaksi-interaksi ini meliputi suatu aliran
terus-menerus dari energi yang memanifestasikan dirinya sebagai pertukaran partikel-partikel;
suatu keadaan saling mempengaruhi yang dinamis yang di dalamnya partikel-partikel diciptakan
dan dihancurkan tanpa akhir dan suatu variasi berkelanjutan dari pola-pola energi. Interaksiinteraksi
partikel menimbulkan struktur-struktur yang stabil yang membangun dunia material,
yang tidak lagi tetap statis, tetapi berputar dalam gerakan-gerakan ritmis. Keseluruhan alam
semesta terikat dalam gerak dan aktivitas yang tidak pernah berhenti; dalam sebuah tarian
kosmik energi yang terus-menerus.31
Para mistikus Timur memiliki suatu pandangan dinamis tentang alam semesta yang serupa
dengan pandangan fisika modern, dan akibatnya tidak mengejutkan bahwa mereka juga
10
menggunakan gambaran tarian untuk memberitahukan intuisi mereka tentang alam.32 Tarian
kosmik ini disimbolkan dengan sangat indah dalam Hinduisme dengan tarian Shiva. “Menurut
kepercayaan Hindu, semua kehidupan adalah bagian dari suatu proses ritmis besar dari
penciptaan dan penghancuran, dari kematian dan kelahiran kembali, dan tarian Shiva
menyimbolkan ritme kehidupan-kematian abadi ini yang berlangsung dalam siklus yang tidak
pernah berakhir.”33
Fisika modern telah menunjukkan bahwa ritme penciptaan dan penghancuran bukan hanya
manifestasi dalam perputaran musim-musim dan dalam kematian dan kelahiran seluruh
makhluk hidup, tetapi juga adalah esensi materi inorganik. Menurut teori medan kuantum,
semua interaksi antara unsur-unsur pokok materi berlangsung melalui pemancaran dan
penyerapan partikel-partikel yang sesungguhnya. Lebih dari itu, tarian penciptaan dan
penghancuran adalah dasar eksistensi materi itu sendiri, karena semua partikel material
“menginteraksikan-diri” dengan memancarakan dan menyerap partikel-partikel yang
sesungguhnya. Fisika modern telah menyingkapkan bahwa setiap partikel subatomik tidak
hanya melakukan suatu tarian energi, tetapi juga adalah suatu tarian energi; suatu proses yang
bergetar dari penciptaan dan penghancuran.34
Bagi fisikawan modern, tarian Shiva adalah tarian materi subatomik. Seperti dalam mitologi
Hindu, tarian itu adalah tarian terus-menerus penciptaan dan penghancuran yang meliputi
keseluruhan kosmos; ia adalah dasar keseluruhan eksistensi dan keseluruhan fenomena
alamiah.35
Teori para mistikus Timur dan para fisikawan modern bahwa alam bergerak dan berubah terusmenerus,
menjadi dan hancur berulang-ulang tanpa berhenti, serupa dengan teori para sufi
bahwa alam sebagai penampakan diri (tajallî) Tuhan diciptakan terus-menerus. Penciptaan
alam, atau proses penciptaan alam, identik dengan tajallî. Karena tajallî terjadi secara terusmenerus
tanpa awal dan tanpa akhir, “yang selama-lamanya ada dan akan selalu ada,”36 maka
penciptaan alam juga terjadi terus-menerus. Tuhan ber-tajallî dalam bentuk-bentuk yang tidak
terbatas jumlahnya. Bentuk-bentuk itu tidak ada yang sama dan tidak pernah dan tidak akan
terulang secara persis sama. Semuanya terjadi dalam perubahan terus-menerus tanpa berhenti.
Ibn ‘Arabi mengatakan bahwa apa yang terdapat dalam alam berubah dari suatu keadaan
kepada keadaan lain. Alam temporal berubah setiap kejap. Alam nafas berubah pada setiap
nafas dan alam tajallî berubah pada setiap tajallî. Allah swt berfirman: “Setiap waktu Dia
dalam kesibukan” (Q 55:29). Ibn ‘Arabi mengutip kata-kata Abu Thalib dan Rijâl Allah:
“Sesungguhnya Allah swt selama-lamanya tidak melakukan tajallî dalam satu bentuk bagi dua
individu atau pribadi, dan tidak pula dalam satu bentuk dua kali.”37
Teori penciptaan yang tak pernah berhenti ini disebut “penciptaan baru” (khalq jadîd).
“Penciptaan baru” mengandung arti bahwa setiap ciptaan Tuhan adalah baru setiap kejap
karena alam, seperti dalam konsep tarian kosmik, menjadi dan hancur, datang dan hilang,
setiap kejap secara terus-menerus tanpa berhenti. Ibn ‘Arabi menagatakan bahwa “setiap
tajallî memberikan ciptaan baru dan melenyapkan ciptaan [lain yang mendahuluinya].
Kelenyapan identik dengan kemusnahan (ketiadaan) pada tajallî [baru] dan kelanjutan [bagi
ciptaan lain] yang diberikan oleh tajallî lain berikutnya.”38 Ibn ‘Arabi melukiskan hubungan
antara Tuhan dan alam seperti hubungan matahari dan cahayanya. Cahaya matahari adalah
seperti nyala lilin yang seolah-olah tetap ada ketika menyala. Mata kita melihat api tetap ada.
Tetapi sebenarnya mata kita tertipu. Sebenarnya nyala api muncul dan lenyap. Setiap kali
muncul nyala api baru, yang kemudian hilang, disusul oleh nyala api yang lain, yang kemudian
juga hilang, dan kemudian disusul oleh nyala api yang lain pula, dan begitu seterusnya.
Kritik: Cacat-cacat
Tasawuf dalam perjalanan sejarahnya yang panjang tidak bebas dari kritik karena cacat-cacat
yang dideritanya sebagai kekeliruan-kekeliruan ajaran dan praktik tasawuf atas nama tasawuf.
Cacat terbesar tasawuf atas nama tasawuf adalah ketidakpahaman sebagian para pendukung
11
tasawuf tentang pengalaman spiritual pada tingkat ma‘rifah dalam arti sebenarnya. Pada
tingkat ma‘rifah dalam arti ini, kata Robert Frager, “tidak ada aku dan kamu.” Individu
menyadari bahwa semuanya adalah Tuhan, bahwa tidak sesuatu pun dan seorang pun terpisah
dari Tuhan. Inilah tujuan tertinggi tasawuf. Ma‘rifah dalam arti ini adalah ma‘rifah yang
dicapai para ahli makrifat (‘ârifûn) yang, sebagaimana dikatakan al-Ghazali, telah menyaksikan
dengan mata batinnya bahwa “tidak ada dalam wujud kecuali Allah” dan “segala sesuatu
adalah binasa kecuali wajah-Nya (Q 28:88), bukan dalam arti bahwa segala sesuatu selain Allah
adalah “binasa pada suatu waktu tertentu, tetapi adalah binasa secara azali dan abadi.” Segala
sesuatu selain Allah, bila dipandang dari dirinya sendiri, adalah ketiadaan belaka (‘adam
mahdh), dan bila dipandang dari arah datangnya wujud, dari Sumber Pertama, adalah ada
(mawjûd), bukan dalam arti ada dengan sendirinya, tetapi ada sejauh berasal dari Allah. Maka
yang ada hanyalah wajah Allah.39
Ma‘rifah dalam arti ini mencapai puncaknya pada tasawuf mazhab wahdat al-wujûd (Kesatuan
Wujud). Javad Nurbakhsh, Syaikh Tarekat Ni‘matullahi, mengatakan, “bagiku tasawuf adalah
dan selalu terutama merupakan sebuah mazhab praktis dan eksperiensial.” Tasawuf baginya
adalah “pada prinsipnya sebuah mazhab Kesatuan Wujuad (wahdat al-wujûd). Ajaran dasar
mazhab ini dapat diringkaskan dengan cara berikut: Hanya ada Satu Wujud dan apa pun yang
ada adalah manifestasi atau realisasi dari Wujud itu. Jika kita mengakui tasawuf sebagai
mazhab wahdat al-wujûd, mazhab apapun yang secara esensial tidak menganut atau tidak
sejalan doktrin wahdat al-wujûd bukanlah tasawuf, atau, paling tidak, bukanlah tasawuf yang
mencapai tingkat spiritual tertinggi. Doktrin wahdat al-wujûd adalah manifestasi tauhid
tertinggi, yang mengakui hanya ada Satu Wujud Hakiki, bukan dua wujud, Tuhan dan alam.
Doktrin ini tidak dapat dipisahkan dari teori-teori al-insân al-kâmil (Manusia Sempurna, Manusia
Universal), nûr Muhammad (Nur Muhammad), dan tajallî (penampakan nama-nama dan sifatsifat
Tuhan).
Atas nama tasawuf banyak di antara para ulama, yang pada umumnya adalah para ulama Sunni
(Ahli Sunnah dan Jama‘ah, Ahl al-Sunnah wa al-Jamâ‘ah), menolak dan, bahkan, mencaci-maki
doktrin wahdat al-wujûd dan pencapaian-pencapaian pengalaman spiritual yang sejalan dengan
doktrin ini seperti al-ittihâd dan al-hulûl karena tidak memahaminya. Para ulama yang
mengaku membela tasawuf itu menunuh tasawuf yang mengajarkan ajaran wahdat al-wujûd
dan ajaran-ajaran yang sejalan dengannya sebagai tasawuf yang menyimpang dari Islam.
Mereka membagi tasawuf menjadi dua tipe: “tasawuf Sunni” dan “tasawuf falsafi.” Tasawuf
tipe pertama adalah tasawuf yang mereka anggap berpegang teguh pada al-Qur’an dan al-
Sunnah. Tasawuf tipe ini, yang sering juga mereka sebut “tasawuf akhlaki” atau “tasawuf
amali,” memagari dirinya dengan al-Qur’an dan al-Sunnah dan menjauhi penyimpanganpenyimpangan
yang menuju kepada kesesatan dan kekafiran. Tasawuf tipe kedua adalah
tasawuf yang mereka anggap tidak berpegang pada al-Qur’an dan al-Sunnah. Tasawuf tipe ini
memasukkan ke dalam ajaran-ajarannya unsur-unsur filosofis dari luar Islam, seperti dari
Yunani, Persia, India, dan Kristen, dan mengungkapkan ajaran-ajarannya dengan memakai
istilah-istilah filosofis dan symbol-simbol khusus yang sulit dipahami oleh orang banyak.
Tasawuf Sunni, sebagaimana biasanya diakui oleh banyak sarjana, mencapai puncak
kesempurnaanya pada al-Ghazali. Tokoh ini dianggap sebagai pahlawan yang berjasa
membangun dan merumuskan tasawuf Sunni. Ia dianggap berhasil mendamaikan tasawuf dan
ortodoksi, atau antara tasawuf dan syariat, sehingga tasawuf dapat diterima oleh ahli syariat.
Penilaian bahwa al-Ghazali adalah pendukung tasawuf Sunni dan bukan pendukung tasawuf
falsafi adalah tidak benar. Al-Ghazali secara pribadi menganut pandangan-pandangan esoterik
dan filosofis yang sangat radikal seperti diungkapkannya dalam Misykât al-Anwâr, yang
diperuntukkan hanya bagi kalangan terbatas murid-muridnya. Tasawuf yang dianutnya secara
pribadi adalah tasawuf falsafi, atau lehih tepat disebut “tasawuf teosofis.” Tidak
mengherankan jika ada orang yang menuduh al-Ghazali bermuka dua: kepada orang banyak ia
mengajarkan tasawuf moderat yang dipandang sebagai tasawuf Sunni, sementara untuk dirinya
sendiri, ia menganut tasawuf falsafi.
12
Klasifikasi tasawuf kepada dua tipe ini, tasawuf Sunni dan tasawuf falsafi, perlu diberi catatan
kritis. Klasifikasi ini menghakimi bahwa tasawuf yang bersumber dari al-Qur’an dan al-Sunnah
dan, dengan demikian, yang benar-benar Islami adalah tasawuf Sunni. Menurut klasifikasi ini,
tasawuf falsafi, yang dianggap mencapai puncak kesempurnaannya pada Ibn ‘Arabi, adalah
tasawuf yang menyimpang dari al-Qur’an dan al-Sunnah dan membawa bid’ah dan ajaranajaran
sesat dan, karena itu, tidak sesuai dengan Islam. Tentu saja para pendukung tasawuf
falsafi menolak tuduhan bahwa tasawuf mereka menyimpang dari al-Qur’an dan al-Sunnah.
Mereka memandang bahwa tasawuf mereka, yang oleh lawan-lawan mereka disebut tasawuf
falsafi, tetap berpegang teguh kepada al-Qur’an dan al-Sunnah. Tuduhan bahwa tasawuf falsafi
adalah tasawuf yang menyimpang dari al-Qur’an dan al-Sunnah adalah tuduhan yang muncul
karena kesalahpahaman atau ketidakmampuan pemahaman tentang tasawuf tipe ini, yang
justru senantiasa berpegang teguh pada al-Qur’an dan al-Sunnah. William C. Chittick dan
Michel Chodkiewicz, secara jujur menilai bahwa semua karya Ibn ‘Arabi, sebenarnya, tidak lain
dari tafsir al-Qur’an. Ibn ‘Arabi menyebut para wali Allah yang tertinggi “Ahli al-Qur’an” (ahl
al-qur’ân) dan juga “Ahli al-Haqq” (ahl al-haqq).
Klasifikadi ini sekaligus adalah cermin ketidaksukaan ulama-ulama Sunni kepada filsafat atau
segala sesuatu yang berbau filosofis. Ketidaksukaan itu telah mematikan, atau paling tidak,
menghalangi perkembangan filsafat di dunia Sunni. Sedangkan di dunia Syi’i, filsafat tidak
pernah kehabisan tenaga untuk tetap berkembang dengan subur dan kaya.
Kata “Sunni” dalam ungkapan “tasawuf Sunni” bukan tanpa maksud. Kata “Sunni” di sini
menunjukkan paling sedikit tiga maksud. Pertama, kata “Sunni” menunjukkan bahwa tasawuf
Sunni adalah tasawuf yang diterima dan dianut oleh orang-orang Sunni (orang-orang yang
menganut aliran Ahli Sunnah wal Jama’ah), yang mayoritas adalah para penganut aliran
Asy’ariyyah. Kedua, kata “Sunni” menunjukkan bahwa tasawuf Sunni adalah tasawuf yang
sesuai dengan al-Sunnah, yang tentu saja sesuai dengan al-Qur’an. Ketiga, kata “Sunni”
menunjukkan bahwa tasawuf Sunni, karena sesuai dengan al-Qur’an dan al-Sunnah, adalah
tasawuf yang benar.
Dalam kaitan dengan kontroversi doktrin wahdat al-wujûd Ibn ‘Arabi, beberapa catatatan
penting perlu dikemukanan di sini. Pertama, kecaman dan permusuhan terhadap Ibn ‘Arabi
biasanya timbul di dunia Sunni, bukan di dunia Syi‘i. Sekalipun Ibn ‘Arabi adala seorang Sunni,
pandangan-padanagn mistis-filosofisnya telah membuatnya lebih dekat kepada Syi‘ah. Secara
formal ia tidak pernah beralih kepada Syi‘ah, tetapi pandangan-pandangannya itu diadopsi oleh
banyak ulama Syi‘i. Bahkan sampai hari ini, metafisika Ibn ‘Arabi bersama dengan metafisika
Suhrawardi, Guru Iluminasi (Syaikh al-Isyrâq), membentuk dasar pandangan dunia filsafat
gnostik para intelektual Muslim Iran. Kedua, pada satu pihak, ketika kebencian terhadap Ibn
‘Arabi di dunia Sunni beberapa dasawarsa terakhir tetap menguat, termasuk larangan
penerbitan dan peredaran karya-karya Ibn ‘Arabi yang dikeluarkan oleh DPR Mesir pada 1970-
an, sedangkan, pada pihak lain, sekelompok peminat Ibn ‘Arabi dan sarjana Barat malah makin
tertarik pada pemikiran Ibn ‘Arabi. Pada 1970-an mereka mendirikan dua organisasi: Beshara
School dan Muhyiddin Ibn ‘Arabi Society. Beshara School, yang betempat di dekat Hawick,
Skotlandia, adalah organisasi yang menyelenggrakan pendidikan esoterik yang mengadopsi
terutama ajaran-ajaran Ibn ‘Arabi. Ibn ‘Arabi Society, yang berpusat di Oxford, Inggris, adalah
orgasasi yang bertujuan untuk meningkatkan pemahaman yang lebih baik tentang pemikiran Ibn
‘Arabi. Ketiga, para sarjana yang ahli tentang Ibn ‘Arabi dan tekun mengkajinya yang berasal
dari Barat jauh lebih besar jumlah mereka dari para sarjana yang ahli tentang Ibn ‘Arabi yang
berasal dari dunia Islam. Karena itu, sekarang dan mungkin juga pada masa mendatang,
penyebaran ajaran-ajaran sufi Ibn ‘Arabi di Barat jauh lebih luas daripada di dunia Islam.Tidak
keliru ikatakan bahwa jika hari ini kita ingin mengkaji Ibn ‘Arabi, maka tempatnya sekarang
lebih baik di Barat daripada di dunia Islam.
13
Cacat lain tasawuf yang telah merusak pesan dan citranya sebagai jalan yang seharusnya untuk
membangun akhlak mulia adalah fakta bahwa sejumlah guru tarekat terseret oleh kepentingan
politik yang tujuannya adalah kekuasaan. Para pemimpin pertama gerakan sufi Safawiyah yang
didirikan oleh Syaikh Safi‘ al-Din (1252-1334) telah terseret ke dalam kancah politik sehingga
gerakan itu lama-kelamaan secara pasti berubah menjadi gerakan politik terutama sejak Syah
Ismail I (berkuasa 1501-1524) berhasil menancapkan kekuasaannya dengan menaklukkan
dinasti-dinasti lain dan menguasai seluruh tanah Persia. Dengan demikian Syah Ismail
menegakkan Kerajaan Safawiyah. Meskipun raja ini berperan pula sebagai pemimpin sufi, sikap
ramah, sejuk, dan toleran yang diajarkan oleh tasawuf jauh dari tindakannya yang kejam
terhadap para ulama Sunni. Syah Ismail menjadikan Syi‘ah sebagai mazhab resmi yang dianut
negara. Raja ini memaksa rakyatnya untuk menganut Syi‘ah. Kebijakan politik yang tidak
nyaman bagi para penganut mazhab Ahli Sunnah itu membuat para ulama Sunni terpaksa
melarikan diri untuk mencari keselamatan dari pembunuhan.
Keterlibatan Kiai Musta‘in Romly, yang terpilih menjadi Ketua Jam‘iyah Ahl al-Thariqah al-
Mu‘tabarah pada 1975, dalam kancah politik telah memudarkan pengaruhnya dan merusak
citranya sebagai ulama sufi di kalangan masyarakat. Pada waktu terpilih sebagai Ketua
Jam‘iyah ia adalah syaikh yang paling kharismatik di Jawa Timur, dan pesantrennya Darul Ulum
di Rejoso, Jombang, merupakan pusat tarekat yang paling terkenal pada tingkat nasional. Kiai
Musta‘in memiliki ribuan murid. Kedudukannya sebagai Ketua Jam‘iyah menambah besar
pengaruhnya. Menjelang pemilihan umum pada 1977, ia menyatakan dukungannya kepada
Golkar, yang merupakan organisasi politik pemerintah, sebagai lawan partai Islam PPP, wadah
yang dianggap mewakili Nahdhatul Ulama ketika itu. Ia mendapat penghargaan berupa sebidang
tanah dan bantuan keuangan yang memungkinkannya memabangun sebuah universitas swasta di
Jombang. “Kemurtadan’-nya itu menimbulkan kemarahan banyak kiai, yang menganggapnya
telah menyalahgunakan kedudukannya dan mengkhianati NU hanya demu uang. Maka dibuatlah
keputusan untuk mencopot Kiai Musta‘in dari kedudukannya sebagai Ketua Jam‘iyah.40
Keterlibatan dalam dunia politik memang tidak selalu membawa akibat negatif bagi gerakan
sufi sejauh tidak bertujuan untuk mendapatkan kekuasaan. Citra buruk tidak selalu menodai
gerakan sufi apabila kekuasaan hanya sebagai alat untuk menegakkan keadilan dan moral,
bukan untuk mencapai keuntungan duniawi. Banyak para guru sufi melawan para penjajah dan
para penguasa untuk membebaskan diri dari kezaliman. Tetapi “setan” politik untuk merebut
dan mempertahankan kekuasaan pada umumnya berhasil menjebol benteng iman dan takwa
kebanyak orang, termasuk para guru sufi.
Cacat lain tasawuf yang tidak kalah buruknya adalah kecenderungan komersialisasi
penyelenggaraan kajian-kajian dan praktik-praktik tasawuf. Apabila dulu tasawuf dikecam
karena tasawuf dianggap mengabaikan kehidupan duniawi dan kesenangan material, maka
sekarang tasawuf dikecam karena tasawuf disalahgunakan untuk mencari keuntungan bisnisekonomis.
Dulu tasawuf yang dikecam adalah tasawuf asketis, sedangkan sekarang tasawuf
yang dikecam adalah tasawuf bisnis. Sesungguhnya tasawuf tidak mengharamkan bisnis bagi
orang yang mempraktikkan tasawuf. Bahkan bisnis adalah pekerjaan terhormat untuk mencari
nafkah. Banyak di antara para sufi dan anggota tarekat melakukan kegiatan bisnis. Jelas sekali
bahwa tasawuf bisnis tidak sama dengan bisnis para sufi dan para anggota tarekat sufi. Tasawuf
bisnis adalah tasawuf yang dikomersialisasikan dan karena itu tercela, bukan hanya di mata
Tuhan, tetapi juga di mata masyarakat. Bisnis para sufi dan para anggota tarekat adalah
perbuatan terhormat sejauh dilakukan sesuai dengan syariat dan diniatkan untuk ibadah dan
peningkatan kualitas spiritual.
Wa’l-Lâh-u a‘lam-u bi’l-shawâb.
14
CATATAN
1
Disampaikan pada Seminar “Kritik dan Kontekstualisasi Peradaban Islam” pada Perayaan “Ulang Tahun
Paramadina Ke-20,” yang diselenggarakan oleh Pusat Studi Islam dan Kenegaraan (PSIK) Universitas
Paramadina, pada Rabu, 22 November 2006, di Auditorium Universitas Paramadina, Jakarta.
2Seyyed Hossein Nasr, Ideals and Realities of Islam (London: Unwin Paperbacks, 1979), h. 121.
3Shaykh Fadhlalla Haeri, The Elements of Sufism (Shaftesbury, Dorset: Element, 1990), h. vii; Syekh
Khaled Bentounès, Tasawuf Jantung Islam: Nilai-nilai Universal Tasawuf, diterjemahkan oleh Andityas P.
(Yogyakarta: Pustaka Sufi, 2003), h. 21.
4Nasr, Ideals and Realities of Islam, h. 121-22.
5Nasr, Ideals and Realities of Islam, h. 122.
6Robert Frager, Heart, Self, & Soul: The Sufi Psychology of Growth, Balance, and Harmony (Wheaton,
Ilinois: Theosophical Publishing House, 1999), h. xi.
7Penjelasan tentang wahdat al-wujûd Ibn ‘Arabi dapat ditemukan dalam karya saya Ibn al-‘Arabi: Wahdat
al-Wujûd dalam Perdebatan (Jakarta: Paramadina, 1995).
8W.T. Stace, Mysticism and Philosophy (Philadelphia & New York: J.B. Lippincott Company, 1960), h. 212.
9Seyyed Hossein Nasr, Living Sufism (London: Unwin Paperbacks, 1980), h. 9.
10Azyumardi Azra, Jaringan Ulama Timur Tengah dan Kepulauan Nusantara Abad XVII dan XVIII: Melacak
Akar-akar Pembaruan Pemikiran Islam di Indonesia (Bandung: Mizan, 1994), h. 66.
11Carl W. Ernst, Ajaran dan Amaliah Tasawuf: Sebuah Pengantar, diterjemahkan oleh Arif Anwar
(Jogjakarta: Pustaka Sufi, 2003), h. 187.
12Ernst, Ajaran dan Amaliah Tasawuf, h. 189-90.
13Seyyed Hossein Nasr dan Jalal Matini, “Sastra Persia,” dalam Seyyed Hossein Nasr, ed., Ensiklopedi
Tematis Spiritualitas Islam: Manifesytasi, diterjemahkan oleh Tim Penerjemah Mizan (M. Solihin Arianto,
Ruslani, M.S. Nasrullaoh, Dodi Salman, Kamarudin S.F.) (Bandung: Mizan, 2003), h. 434.
14Nasr dan Matini, “Sastra Persia,” h. 436.
15William C. Chittick, Sufism: A Short Introduction (Oxford: Oneworld, 2000), h. 78.
16Chittick, Sufism, h. 80, 89.
17Jean-Louis Michon, “Musik dan Tarian Suci dalam Islam,” dalam Nasr, ed., Ensiklopedi Tematis
Spiritualitas Islam: Manifestasi, h. 636.
18Michon, “Musik dan Tarian Suci,” h. 637.
19Ernst, Ajaran dan Amaliah Tasawuf, h. 240-41.
20Frager, Heart, Self, & Soul, h. 4.
21Frager, Heart, Self, & Soul, h. 4.
22Frager, Heart, Self, & Soul, h. 4.
23William Johnston, Mystical Theology: The Science of Love (London: Harper Collins Religious, 1995); Jusuf
Sutanto, Bhinneka Tunggal Ika dalam Cahaya Falsafah Ying-Yang,” dalam Daoed Joesoef dan Jusuf
Sutanto, Dua Renungan tentang Manusia, Masyarakat dan Alam Semesta (Jakarta: CSIS, 1990), h. 74-107;
Bede Griffiths, A New Vision of Reality: Western Science, Eastern Mysticisme and Christian Faith
(Springdfield, Illinois: Templegate Publishers, 1989).
24Toshihiko Izutsu, Sufism and Taoism: A Comaparative Study of Key Philosophical Concepts (Los Angeles:
University of California Press, 1983).
25Fritjof Capra, The Tao of Physics (Boston: New Science Library, 1983), h. 31.
26Capra, The Tao of Physics, h. 44.
27Capra, The Tao of Physics, h. 277.
28Capra, The Tao of Physics, h. 300.
29Capra, The Tao of Physics, h. 130-131.
30Capra, The Tao of Physics, h. 131.
31Capra, The Tao of Physics, h. 225.
32Capra, The Tao of Physics, h. 241.
33Capra, The Tao of Physics, h. 242.
34Capra, The Tao of Physics, h. 244.
35Capra, The Tao of Physics, h. 245.
36Ibn al-‘Arabi, Fusûs al-Hikam, 1:49.
37Ibn al-‘Arabi, al-Futûhât al-Makkiyyah, 4 vol. (Beirut: Dar al-Fikr, t,th.), 1:266.
38Ibn al-‘Arabi, Fusûs al-Hikam, diedid dan diberi pendahuluan dan komentaroleh Abu al-‘Ala’ ‘Afifi, 2
bagian (Beirut: Dar al-Kitab al-‘Arabi, 1980), 1:126.
39Abu Hamid al-Ghazali, Misykât al-Anwâr, diedit dan diberi pengantar oleh Abu al-‘Ala’ ‘Afifi (Kairo: al-
Dar al-Qawmiyyah, 1964), h. 55-56.
40Martin van Bruinessen, Tarekat Naqsyabandiyah di Indonesia: Survei Historis, Geografis, dan Sosiologis
(Bandung: Mizan, 1992), h. 95-96, 171-172.
Komentar