catatan dan kutipan belum lengkap

Keywords: tafsir ashabu simal,

Refleksi

Tentang tesis, avicena, ibnu arabi,shadra, syekh isyraq, averoes,

Genealogi pemikiran, lacak asal-usul, tema-tema, biograpi, kontribusi, guru-guru, metoda, mazhab, lingkungan sosial dan politik, ide orisinal dan modifikasi, ide pinjaman, peripaterik, isyrak, iluminatif, atau transcenden, ketersediaan sumber primer dan non primer ?

Blog tafsir

Ayat 41-50

وَأَصْحَابُ الشِّمَالِ مَا أَصْحَابُ الشِّمَالِ

41. Dan (tentang) golongan kiri. Alangkah sengsaranya golongan kiri itu.

فِي سَمُومٍ وَحَمِيمٍ

42. Dalam (siksaan) angin yang amat panas dan air panas yang mendidih.

وَظِلٍّ مِّن يَحْمُومٍ

43. Dan dalam naungan asap yang hitam.

لَّا بَارِدٍ وَلَا كَرِيمٍ

44. Tidak sejuk dan tidak menyenangkan.

Orang-orang yang merugi di dunia ini akan dikumpulkan dan dijerumuskan lantaran berbagai dosa dan kejahatan mereka. Makhluk-makhluk yang tidak berkembang dan tidak mengembangkan diri dalam kehidupan ini akan didaurulang, dibakar, dan disiksa. Mereka akan merasakan angin panas dan air mendidih, yang sangat bertolakbelakang dengan ketenangan, kebahagiaan, kestabilan, dan kenyamanan.

Keputusan Allah adalah keputusan sempurna. Dia Maha Pemaaf. Dia mengetahui bagaimana mencari dan memisahkan orang-orang yang meragukan. Sebagian pencari sejati kebenaran, semisal Mulla Shadra dan Ibn al-'Arabi, seringkali menggambarkan keadaan "alam antara" (Barzakh). Sekalipun "alam antara" ini diawali dalam kehidupan berikutnya, dalam zone nir-waktu, gambarannya dapat dibayangkan sekarang ini, karena alam itu adalah alam lintas-ruang, alam transisi antara kehidupan ini dan akhirat nanti, setelah pemisahan.

Beberapa pencari kebenaran ini berbicara tentang penyucian manusia dengan api. Ibn al-'Arabi membagi api menjadi tujuh jenis. Seseorang bisa dicampakkan ke dalam api neraka agar bisa mengalami dan merasakannya dalam rangka memberinya kesempatan terakhir guna memohon ampunan. Pengetahuan tentang jenis-jenis api mungkin saja bermanfaat, tetapi mungkin juga melahirkan spekulasi yang tidak perlu. Dibesarkan dalam dunia materialistis seperti itu, manusia segera ingin mengkategorikan lebih jauh lagi segala sesuatu, sebagaimana dilakukan oleh para ilmuwan yang berkeliling dunia mengumpulkan burung dan kupu-kupu indah untuk dimasukkan dalam museum biologi. Ini bukanlah cara untuk mencapai pengetahuan batiniah. Caranya bukanlah dengan sekadar mengumpulkan atau menghimpun.

Hadis-hadis meriwayatkan bahwa ada orang-orang yang dinilai jahat oleh manusia, tetapi ia dinilai baik oleh Allah. Kita tidak dapat mengabaikan kejahatan seseorang dalam jalan lahiriah atau syariat; penilaian dalam wilayah kehidupan ini hanya bisa dilakukan sesuai dengan syariat, bukan malah melampauinya. Allah akan menilai segi-segi pelanggaran yang lebih lembut dan tersembunyi, tetapi itu bukanlah pokok bahasan kami.

إِنَّهُمْ كَانُوا قَبْلَ ذَلِكَ مُتْرَفِينَ

45. Sesungguhnya mereka dahulu hidup bermewah-mewahan.

وَكَانُوا يُصِرُّونَ عَلَى الْحِنثِ الْعَظِيمِ

46. Dan mereka terus-menerus mengerjakan dosa besar.

"Sesungguhnya mereka dahulu hidup bermewah-mewahan." Kata mutraf berarti hidup bermewah-mewahan dan sembarangan di dunia ini. Kata ini menyiratkan arti melebihi kebutuhan seseorang. Karena bersikap serampangan dengan kemurahan alam, seseorang menjadi berperilaku menyimpang dan menyalahgunakan nikmat atau anugerah yang diberikan kepadanya. Ibadah penyucian diri dengan memberikan sebagian harta kepada orang lain atau zakat berfungsi sebagai suatu obat alami dalam menangkal keserakahan yang sering merusak diri manusia. Nabi Muhammad saw. ditanya ihwal mengapa zakat sejumlah dua setengah persen. Beliau menjawab bahwa, dalam mengikuti keadilan Allah dan kehendak alam, seseorang menyadari bahwa bagi setiap seribu orang terdapat dua puluh lima orang miskin yang tidak mampu mencukupi diri mereka sendiri dan, karenanya, mereka harus dibantu oleh sebagian lainnya.

Jika Allah mencintai seseorang, maka akan Dia memberinya cobaan untuk membangunkan kesadarannya. Karena cinta kepada tanahnya, seseorang rela bersusah payah membajaknya dan menggarapnya habis-habisan. Urusan hati (qalb') adalah dibolak-balik (maqlub) agar bisa pasrah dan terbebaskan.

Seorang mutraf mencintai dunia dan merasa puas dengannya. Sekalipun sang mutraf ini berinvestasi dan menabung secara salah, ia pun terdorong untuk berbuat salah lagi karena keberhasilan materialnya. Alquran menganjurkan golongan kanan untuk membiarkannya sendiri dan tidak mengganggunya, karena waktunya akan segera berlalu. Ia jauh dari Tuhan Yang Mahabenar dan tidak mampu melihat bahwa kehidupan ini akan berakhir. Ia tidak menabung untuk kehidupan di alam akhirat. Allah mengatakan bahwa jika Dia ingin menghancurkan suatu kebudayaan atau golongan yang melampaui batas, maka Dia akan mengutus kaum mutrafin (jamak dari mutraf). Mereka ini—kaum mutrafin—mengetahui betul bagaimana cara memanipulasi sistem. Mereka adalah parasit kelas wahid. Dengan pelanggaran mereka dalam sistem duniawi, keadilan pun ditegakkan. Ekologi mempunyai suatu mekanisme sempurna untuk memperbarui dirinya. Pelanggaran kaum mutrafin akan menimbulkan reaksi, dan mereka akan dihancurkan berikut berbagai elemen dan hasil pelanggaran mereka. Inilah siklus ekologis dan sibemetis dari penghancuran dan peremajaan-diri, dengan menghancurkan suatu tatanan yang tidak kondusif untuk memperbarui tatanan alam. Manusia tidak dihancurkan oleh makhluk bersayap yang turun dari langit dan menyemburkan api. Mereka akan dihancurkan oleh makhluk yang berasal dari diri rnereka sendiri. Orang-orang yang mampu mengambil langkah meretas keterikatan dan melakukan refleksi bisa melihat kehancuran itu terjadi terus-menerus dalam sejarah manusia, karena tidak ada sesuatu pun yang berubah. Sunnatullâh tidak pernah berubah. Hukum yang mengatur kehidupan ini sangatlah kokoh dan menjadi fondasi pembangunan segala sesuatu.

Sifat permanen hukum-hukum itu merefleksikan sebuah aspek dari rahmat Allah, karena manusia diberi sesuatu untuk dijadikan sebagai pijakan. Hukum-hukum manusia tidak memiliki kasih sayang atau sifat permanen seperti itu. Jika orang-orang yang telah meninggal dunia seratus tahun lalu di Amerika dihidupkan kembali, maka mereka akan dipenjara dalam waktu sehari, lantaran mereka tidak bakal memahami bagaimana caranya mendekati dan berurusan dengan hukum-hukum yang rumit dewasa ini. Hukum-hukum sejati sama sekali tidaklah bembah. Hukum-hukum itu bersumber dari satu-satunya fondasi sejati dan hakiki dari kehidupan di dunia ini dan akhirat nanti.

Kaum mutrafin sering kali berkumpul untuk menentukan nasib jutaan orang di dunia yang hidupnya pas-pasan ini. Orang-orang kaya dan berada mendiskusikan nestapa orang-orang miskin di dunia ini secara akademis dan abstrak. Ketika kebudayaan-kebudayaan berteknologi tinggi mempelajari berbagai cara dan sarana untuk membantu orang-orang miskin, yang demikian itu dilakukan lebih karena kepentingan pribadi, dan bukan karena rasa keadilan dan pemerataan. Mereka menaruh kepedulian pada kemiskinan. Sebab, jika kemiskinan sudah merajalela, maka besar kemungkinan akan teijadi revolusi dan hilangnya pasar potensial. Untuk menstabilkan situasi, mereka memberi bantuan kepada orang-orang miskin di Indonesia, Malaysia, Bangladesh, dan Afrika. Alquran mengatakan, "Dan mereka terus-menerus mengerjakan dosa besar" (QS 56:46). Kaum mutrafin terus-menerus melanggar hukum Allah.

وَكَانُوا يَقُولُونَ أَئِذَا مِتْنَا وَكُنَّا تُرَابًا وَعِظَامًا أَئِنَّالَمَبْعُوثُونَ

47. Dan mereka selalu mengatakan, "Apakah bila kami telah mati dan kami telah menjadi tanah dan tulang-belulang, apakah kami benar-benar akan dibangkitkan kembali?"

أَوَ آبَاؤُنَا الْأَوَّلُونَ

48. Apakah juga bapak-bapak kami terdahulu (akan dibangkit kembali)?

Orang-orang yang mengingkari akhirat mengira bahwa kehidupan ini adalah segala-galanya. Oleh karena itu, mereka ingin meraup segala sesuatu yang berhubungan dengan kesenangan sensual dan inderawi. Ada dua sikap pada akhirat. Sikap pertama meyakini bahwa dunia ini bukanlah akhir, melainkan barulah sebuah awal menuju dunia abadi. Para penghuninya menganut keyakinan ini hingga mereka mengetahuinya secara langsung nanti. Mereka adalah orang-orang mukmin. Seorang manusia yang beriman memandang kehidupan ini sebagai medan latihan untuk memasuki zona nir-waktu. Sikap kedua pada alam akhirat dianut oleh seorang yang tidak beriman. Ia serakah karena hanya kehidupan ini sajalah yang berarti bagi dirinya. Ia menjadi sangat tamak. Ia tidak berusaha memperoleh berbagai kualifikasi atau sifat yang diperlukan untuk masuk surga dengan mengasah kesadarannya, dan meningkatkan kebahagiaan, kepasrahan dan kebebasannya. Ia diprogram untuk meraih kebebasan, tetapi ia mencarinya dalam dunia fisik. Ini adalah sebuah penyimpangan. Menurut watak alaminya, manusia adalah sang pencari. Akan tetapi, jika ia meyakini bahwa kehidupan ini adalah titik akhir, maka motivasi tindakannya hanya mementingkan sebuah dimensi yang menimbulkan kekacauan saja. Inilah perbedaan antara orang beriman dan orang kafir.

Kekafiran manusia pada akhirat pun mengejawantah dalam keserakahan dan sifat agresifnya. Dewasa ini, menjadi agresif dan ambisius sangatlah dikehendaki dan diinginkan. Di masa lalu, jika seseorang memiliki sifat agresif dan ambisius, maka ia akan dicemooh. Sekarang ini, "ambisius" dan "agresif' berarti bahwa ia adalah calon pertama yang akan dipekerjakan.

Dalam diri setiap manusia ada kerinduan untuk hidup abadi selamanya. Akan tetapi, ia tidak merenungkan bahwa kerinduan ini berasal dari Allah yang memancar dalam dirinya dan memberitahunya agar kembali kepada sumbernya. Inilah isyarat terus-menerus dari hati yang mengandung makna keabadian. Kebaikan apa pun yang dilakukan seseorang, ia akan ingin terus mempertahankannya. Seruan dari Allah berasal dari dalam, untuk mengetahui makna keabadian, karena Allah Mahaabadi. Yang ada hanyalah Dia, lâ huwa illâ hû (secara harfiah: tidak ada dia selain Dia). Hanya saja, sayangnya, makna ini terlewatkan, dan pancaran cahaya itu pun meredup.

Dunia memang menarik dan memikat. Begitu Anda menceburkan seujung jari saja ke dalamnya, maka Anda akan terseret ke dalam arusnya dan menjadi terbenam seluruhnya. Dewasa ini, manusia tertelan oleh keadaan di mana mereka berada sekarang. Semuanya terperangkap dalam pabrik-pabrik modern berteknologi tinggi yang tidak berbuat apa pun selain mencampakkan mereka sesudah menghamba kerja seumur hidup, terbuang dan ditolak. Orang terbaik di kalangan mereka, pemimpin mereka, mewujud dalam bentuk nama-nama jalan, stadion, dan alun-alun. Budak-budak itu mengikuti berbagai kebiasaan yang sudah lazim, tetapi sang pencari mendobrak berbagai kebiasaan itu dan terbebas dari sistem perbudakan.

قُلْ إِنَّ الْأَوَّلِينَ وَالْآخِرِينَ

49. Katakanlah, "Sesungguhnya orang-orang terdahulu dan orang-orang terkemudian."

لَمَجْمُوعُونَ إِلَى مِيقَاتِ يَوْمٍ مَّعْلُومٍ

50. Benar-benar akan dikumpulkan di waktu tertentu pada hari yang dikenal.

Makanan Roh

Roh -seperti tubuh-juga dapat berada dalam berbagai keadaan. Imam Ali kw

berkata, 'Sesungguhnya tubuh mengalami enam keadaan; sehat, sakit, mati,

hidup, tidur, dan bangun. Demikian pula roh. Hidupnya adalah ilmunya,

matinya adalah kebodohannya., sakitnya adalah keraguannya, dan sehatnya

adalah keyakinannya, tidurnya adalah kelalaiannya, dan bangunnya ialah

penjagaannya.' (BiharAl-Anwar 61:40)

Seperti tubuh, roh pun memerlukan makanan. Mulla Shadra tidak menyebutnya

makanan. Ia menyebutnya rezeki. Ia berkata, 'Setiap yang hidup perlu

rezeki, dan rezeki arwah adalah cahaya-cahaya ilahiah dan ilmu-ilmu

rabbaniah.' (Mafatih AI-Ghaib 545

Pergeseran Paradigma Filsafat Islam Klasik
Menuju Filsafat Islam Kontemporer
Oleh A.A. Miladi Elbiksi

Prolog

Jauh sebelum Islam tersebar ke seluruh penjuru dunia, telah lahir filsafat Yunani yang berkembang sejak awal abad ke-6 SM, namun sebenarnya orang-orang Yunani berhutang budi kepada orang–orang Sumeria, Mesir, dan Babylonia yang telah mengembangkan ilmu pengetahuan tulis menulis, astronomi, dan matematika ketika orang-orang Yunani merantau ke daerah itu.

Memang, orang-orang Yunani berhasil mengolah berbagai ilmu pengetahuan yang diperoleh dari wilayah Timur menjadi benar-benar rasional-ilmiah yang kemudian melahirkan filsafat. Disamping itu, munculnya filsafat Islam dipengaruhi oleh filsafat Yunani walaupun tidak sepenuhnya, karena adanya ‘pergeseran’ epistema yang ditetapkan oleh para filsuf Muslim. Selain itu, pengaruh penerjemahan karya-karya Plato, Aristoteles, ilmu matematika, ilmu astronomi, dan ilmu eksak lainnya pada masa kepemimpinan al-Ma’mun. Entitas filsafat Muslim sebagaimana sejarah Muslim pada umumnya, telah melewati lima tahap saling berlainan: pertama, berlangsung dari abad ke-1 H/7M hingga jatuhnya Baghdad; kedua, tahap kegoncangan selama setengah abad; ketiga, merentang dari awal abad ke-6H/14M hingga awal abad ke-12H/18M; keempat, tahap paling menyedihkan berlangsung selama satu setengah abad. Inilah zaman kegelapan Islam; kelima, pada pertengahan abad ke-13H/19M yang merupakan periode renesains.

Tulisan ini merupakan eksplorasi yang mendeskripsikan pemetaan tipologi filsuf Islam klasik yang menurut sejarah mampu membangkitkan Islam hingga berpengaruh pada dunia Barat, walaupun, menurut kalangan Barat, filsafat sempat mengalami kemunduran pasca mencuatnya amukan-amukan filosofis al-Ghazali. Kemudian munculnya semangat pembaruan pada zaman modern ditandai dengan munculnya para filsuf kontemporer yang bukan sekedar seorang filsuf, namun seorang pemimpin politik, pembaru sosial, dan eksekutif.

Mengintip Tipologi Pemikiran Filosof Islam Klasik

Secara umum, corak pemikiran filosof Islam klasik lebih cenderung pada pencarian kebenaran kepada Sang Khaliq atau lebih dikenal dengan Filosofis-Teologik, namun secara lebih spesifik, menurut analisa penulis, ada corak pemikiran tersendiri yang bila dipetakan ada empat mazhab pemikiran dalam filsafat Muslim: pertama, mazhab pemikiran Filosofis-Teologik, yaitu aliran pemikiran yang mencari kebenaran secara rasional terhadap keberadaan Sang Khaliq; kedua, mazhab pemikiran Filosofis-Peripatik (masyâiyyah) yaitu aliran pemikiran yang mencari kebenaran secara rasional terhadap suatu objek ilmu pengetahuan; ketiga, mazhab pemikiran Filosofis-Humanistik, yaitu aliran pemikiran yang mencari kebenaran yang concern dalam masalah sejarah dan peradaban manuasia; keempat, mazhab pemikiran Filosofis-Gnostik, yaitu aliran pemikiran sebagai jalan pengetahuan yang dengannya unsur rasa cinta (al-hubb) kepada Tuhan terkait sesuai dengan struktur wahyu Islam. Pemikiran filosof Islam klasik ini sangat mempengaruhi para filosof Islam Kontemporer selanjutnya, bahkan berpengaruh juga terhadap filosof Barat yang sudah banyak menerjemahkan hasil karya para filosof Islam klasik dan menjadikan sebagai pengantar dalam mempelajari filsafat secara umum.

Pemetaan ini bukan untuk membatasi kreativitas berpikir dalam berfilsafat, akan tetapi agar dapat memudahkan dalam memahami karakteristik corak pemikiran secara khusus para filsuf Islam klasik itu sendiri yang menjadi perintis gagasan teori filsafat Islam kontemporer dan masih berpengaruh sampai saat sekarang ini, walaupun ada sedikit pergeseran paradigma.

Pada awal pemikirannya, Abu Yusuf Ya’qub Ibn Ishaq al-Kindi (w. 260 H), pioneer filsafat Islam, lebih cenderung kepada mazhab pemikiran Filosofis-Teologik, karena pada masanya al-Kindi banyak berbaur dengan para tokoh utama Mu’tazilah seperti Abu al-Hudzail al-‘Allaf dan al-Nazham yang telah membangun teologi yang didasarkan pada filsafat Yunani. Pengaruh itu dibenarkan oleh para teolog dan heresigofer Muslim awal, akan tetapi pengaruh ini tetap termarginalkan. Faktanya, tak seorang pun tokoh Mu’tazilah yang mengembangkan sebuah sistem ensklopedis filsafat Yunani dan hanya terhenti sebagai teolog bukan filosof. Fakta ini juga menempatkan al-kindi dalam beberapa hal berseberangan dengan Mu’tazilah.

Didukung oleh bukti tema-tema Mu’tazilah seperti keesaan Tuhan dalam tulisan al-Kindi , ia diyakini merupakan “filosof teolog Mu’tazilah”. Namun , penelitian terakhir membuktikan bahwa pernyataan yang mempertautkan al-Kindi dengan Mu’tazilah tidak dapat dibenarkan. Sejumlah kemiripan Sporadis serta perbedaan-perbedaan filosofis penting antar keduanya perlu dikaji lebih jauh lagi. Mu’tazilah menerima diskontiunitas materi dan meyakini kebenaran adanya ruang hampa yang ditolak Aristoteles, sedangkan al-Kindi meyakini bahwa materi itu berstruktur-kontinu dan abadi, tetapi tidak terbatas.

Pada pemikiran Al-kindi selanjutnya tidak terlihat lagi bersifat Filosofis-Teologik, lebih cenderung kepada mazhab pemikiran Filosofis-Peripatetik terbukti dalam al-Falsafah al-‘Ula-nya banyak mengutip dari metaphysic Aristetoles selain itu al-Kindi juga tertarik pada matematika dan ilmu-ilmu alam.

Penganut mazhab pemikiran Filosofis-Teologik lainnya ialah al-‘Amiri (w. 381H). Ia menganggap dirinya sebagai penerus al-Kindi, jelas bukan pernyataan–pernyataan eksplisitnya sendiri tetapi spektrum dan isi karya-karyanya, yang mengesankan pada al-‘Amiri pandangan-pandangannya tentang akal dan wahyu adalah karya sangat terkenalnya al-I’lam bi Manaqib al-Islam. Dan dia ingin menunjukan bagaimana Filsafat dapat diterapkan pada persoalan–persoalan mengenai sifat dasar teologi.

Berbeda dengan al-Farabi (w. 339 H) yang menganut mazhab pemikiran Filosofis-Peripatetik berdasarkan salah satu teori yang dimilikinya yaitu teori sepuluh kecerdasan, lebih dikenal dengan teori emanasi (pemancaran) yang titik pusatnya adalah hubungan Ilahi dan hubungan kausalnya dengan alam duniawi dan menjadi doktrin dua karya utama neoplatonik juga memberikan fondasi penting bagi al-Farabi. Prinsip Teori ini menerangkan dua dunia; langit dan bumi. Menafsirkan gejala gerakan perubahan yang merupakan dasar fisika dan astronomi. Bidang garapan teori ini adalah pemecahan masalah yang Esa dan yang banyak, sebagai pembanding antara yang berubah dan yang tetap, ia berpendapat bahwa dari yang Esalah memancarkan yang lain berkat kebaikan dan pengetahuan sendiri-Nya. Pemancaran ini merupakan kecerdasan pertama. Dari sinilah al-Farabi memulai langkah pertama dengan pelipatan-pelipatan, dari pemikiran oleh intelegensia pertama Yang Esa, lahirlah intelegensa yang lain. Karena pemikirannya tentang dirinya sendiri bisa terjadi pada dirinya memancarlah materi dan bentuk “langit pertama”, sebab setiap lingkungan mempunyai bentuk tersendiri yang adalah ruhnya, beginilah rantai pemancaran berlangsung hingga melengkapi sepuluh intelegensi sembilan lingkungan dan sembilan ruh mereka. Intelegen kesepuluh atau intelegensi agen adalah yang mengatur dunia fana ini.
Dan dari intelegensi inilah mengalir ruh-ruh manusia dan empat unsur.

Jumlah intelegensi adalah sepuluh, terdiri atas intelegensi pertama dan sembilan intelegensi planet dan lingkungan, karena al-Farabi mempergunakan teori-teori yang sama digunakan ahli astronomi Yunani, terutama Ptomeulus yang berpendapat bahwa kosmos terdiri dari sembilan lingkungan yang semuanya mengelilingi bumi secara tetap, walaupun baru-baru ini para ahli astronomi dunia mengatakan kosmos yang mengelilingi bumi sekarang ini berjumlah delapan, satu kosmos yang diberi nama pluto bentuknya mengecil dan tidak lagi mengelilingi bumi sehingga melemahkan teori Ptomeulus. Aspek astronominya sesuai dengan Aristoteles tentang gerak lingkungan, teori pemancaran diperoleh dari plotunis dan Alexandria, namun secara keseluruhan, ini merupakan suatu teori al-Farabi yang ingin memadukan Plato, Aristoteles, agama ,dan Filsafat.

Akan tetapi, pada akhir hayatnya aliran pemikirannya terlihat cenderung kepada mazhab pemikiran filosofis-gnostik, sesuai tulisannya risalah politik, yang terkenal dengan sebutan “ kota model”, ia menggambarkan kotanya sebagai keseluruhan dari bagian-bagian yang terpadu, serupa dengan organisme tubuh yang ditur pada masing-masing individu siberikan tugasnya, aktivitas yang baik adalah yang diberikan keopada pemimpin karena ia berada dalam jantung kota yang menjadi pusat pengaturan, oleh karenanya seorang pemimpin harus berani, cerdas, pecinta pengetahuan, penegak keadilan dan ia harus naik ke intelegensia agen agar ia memperoleh wahyu dan inspirasi. Sifat-sifat ini mengingatkan kita pada “Republik-nya” Plato, tetapi al-Farabi menambahkan kepadanya berhubungan dengan dunia langit, seolah kota dihuni oleh para wali dan ditur oleh seorang nabi. Berhubungan dengan intelegensi agen melalui dua cara: perenungan dan inspirasi.

Karya-karya al-Farabi berpengaruh besar kepada filsuf-filsuf selanjutnya, pada kenyataannya diakui secara terbuka oleh ibn Sina dalam hal metafisika; Ibn Rusyd dan para filsuf Andalusia sejawatnya meyakini al-Farabi sebagai otoritas kunci, terutama dalam logika, psikologi,dan filsafat politik. Begitu juga diakui oleh Moses Maimonides seorang filsuf Yahudi.

Selain al-Farabi, Muhammad Ibn Zakariyya al-Razi (w. 313 H) adalah salah seorang filusuf yang pemikirannya cenderung bermazhab filosofis-peripatetik terlihat dalam karyanya kitab al-Hawi fi al-Thibb yang merupakan jurnal dan catatan medis pribadinya. Bahkan ia adalah seorang filsuf yang tidak mempercayai wahyu dan kenabian dengan alasan akal sudah memadai untuk membedakan antara yang baik dan yang jahat, dengan akal semata kita dapat mengetahui tuhan yang mengatur kehidupan kita sebaik-sebaiknya.

Selain itu nama Ibn Sina atau Avicenna (w. 429 H) seorang filsuf yang pemikirannya memiliki dua corak pemikiran mazhab pemikiran filosofis-peripatetik (al-Masyaiyyah) yang diperuntukkan bagi publik dan mazhab pemikiran filosofis-gnostik yang diperuntukan untuk kalangan tertentu, sebuah karyanya al-Syifa yang cenderung membahas filsafat pertipatetik juga merupakan karya filosofis Ibn Sina paling detail yang dikelompokkan menjadi empat topik: Logika, Fisika, Matematika, dan Metafisika; Danisyna ma-yi ‘Ala-I merupakan karya filsafat peripatik Islam pertama dalam bahasa Persia, yang mana diperuntukkan seluruh manusia yang ingin mempelajari filsafat dan menegakkan nilai dari filsafat itu. Ibn Sina terus dibaca dan dikaji penuh dengan antusias bukan hanya eksponen fisafat rasional (bahtsi) peripatetik, melainkan juga ahli gnostikus yang diawali dengan studi logika dan diakhiri dengan ketakjuban dalam merenungi misteri-misteri Ilahi.

Perbedaan letak geografis tidak membuat adanya perbedaan corak berpikir seperti halnya Ibn Rusyd atau Avverus seorang filsuf Andalusia yang letaknya dibagian barat Islam, ia termasuk filsuf penganut mazhab filosofis-peripatetik terbukti pada beberapa karyanya yang mengambil bentuk doktrinal yang agresif. Pada waktu itu Ibn Rusyd telah mengadakan perjalanannya ke Marrekesh (574 H) dan selanjutnya menuju Seville sebuah daerah di Maroko, dalam perjalanannya itu dia menghasilkan tiga karyanya yang independen membahas masalah-masalah pengetahuan agama - Fashl Al-Maqal, Kasyf an Manahij Al -‘Adillah, dan Tahafut Al-Tahafut- termasuk karya-karya orisinil, pembahasan tentang akal dengan meninjau dan mengoreksi kembali problematika Ibn Bajjah, ketiga karya ini menyingkap sintesis khas Islam Al-Muwahhidun dan Aristotelianisme.

Keberadaan Tahâfut al-Tahâfut menjabarkan penyanggahan terhadap ocehan-ocehan al-Ghazali, kitab ini lebih lues ketimbang Fashl dalam menegaskan keunggulan agama yang berdasarkan wahyu atas akal yang dikaitkan dengan agama murni rasional. Akan tetapi Tahafut al-Tahâfut setia kepada Fashl, yang melihat diri pada nabi sosok yang menerima akal aktif pada waktu tertentu dan mengubah gambaran-gambaran rasional. Dengan demikian Ibn Rusyd bukan reduksionisme. Seperti halnya paham al-Muahhidûn, ini merupakan keyakinan pada kemungkinan untuk membangun kembali rantai penalaran secara a posteriori.

Lain halnya dengan Ibn khaldun corak pemikirannya cenderung sebagai filosofis-Humanistik faktanya penulis Muqodimmah ini secara eksplisit mengklaim sebagai pendiri ilmu sejarah yang baru dengan “objek khusus sendiri yaitu peradaban manusia dan organisasi sosial”. Perhatian khusus diberikan pada interaksi antara faktor alami dan faktor non-fisik yang mendasari budaya manusia, pada gilirannya, mengandaikan organisasi politik dan sosial yang berpusat pada kekuasaan negara.

Mazhab pemikiran filsuf Islam klasik lainnya yaitu bermazhab filosofis-gnostik (mistisisme) atau diistilahkan oleh Suhrawardi yaitu Iluminasi (al-Isyraq), Hampir semua filsuf Islam Spanyol terkemuka kecuali Ibn Rusyd mempunyai dimensi mistik yang kuat tercermin jelas pada tulisan mereka, kita cukup menyebutkan cinta mistik Ibn Hazm, mistisisme matematis Ibn al-Sid, doktrin kontemplasi intelektual Ibn Bajjah namun pada diri Ibn Sab’in lah kita dapat mengamati gambaran hubungan antara tasawuf dan filsafat yang paling jelas. Ibn Sab’in telah menyusun sintesis besar antara doktrin sufi dan filsafat dalam sejarah pemikiran Islam, kemudian Syihab al-Din Suhrawardî seorang teosof timur Islam dan pendiri mazhab Iluminasi (al-Isyraq) menciptakan prespektif baru yang didasarkan pada pengetahuan melalui iluminasi (pencerahan) dan upaya melatih pikiran rasional dan penyucian jiwa. Filsafat iluminasi lahir sebagai alternatif atas kelemahan–kelemahan yang ada pada filsafat sebelumnya, khususnya paripatetik Aristotelian. Filsafat iluminasi, seperti yang tergambar dalam karya-karya suhrawardî, terdiri tiga tahap. Tahap pertama ditandai dengan persiapan pada diri filosof: ia harus “meninggalkan dunia” agar mudah menerima “pengalaman”. Tahap kedua tahap Iluminasi (pencerahan), ketika filosof mencapai visi (melihat) “cahaya Ilahi” (al-nûr al-ilâhî). Tahap ketiga yaitu pengetahuan Iluminasionis (al-‘ilm al-isyrâqî) itu sendiri. Tahap keempat dan terakhir adalah pendokumentasian atau bentuk pengalaman visioner yang ditulis ulang. Namun, Secara epistemologis ia tidak bisa menggapai realitas wujud.

Pada periode Shafawiyyah, dengan berdirinya mazhab Ishfihan pada abad ke-10, pendiri mazhab ini Mir Damad seorang filsuf rasional yang teguh dan menyusun risalah tentang pengalaman mistis-eksotatik figur mazhab ini adalh Mulla Shadra, menjalani satu periode panjang pembersihan diri yang diikuti dengan studi formal menganggap iluminasi dan wahyu sebagai sumber vital pengetahuan disamping penggunaan rasio. Kecendrungan ini berlanjut hingga abad ke-14 H, banyak filosof Islam terkemuka Persia abad lalu, seperti Mirza Mahdi Asytiyani, Allamah Thabathabai, dan Mahdi Ilahi Qumsyai’ adalah seorang filosof sekaligus mistikus, yang mengikuti jalan spiritual.

Tidak hanya di Persia. Di India, ketika filsafat Islam baru tumbuh, khususnya selama periode Mughal hubungan antara mistisisme dengan filsafat dapat diamati dikalangan figur-figur penting diantaranya Syah Waliyullah dari Delhi. Lebih dari itu, salah satu figur religius terpenting Mesir abad ke-14 ‘Abd Halim Mahmud yang juga Syekh al-Azhar adalah orang sufi sekaligus filosof Islam dan banyak menulis karya penting tentang kedua subyek ini.

Sketsa Filsafat Islam Kontemporer

Sketsa adalah gambaran kasar tentang tren filsafat Islam kontemporer yang akan dibuat, berbeda dengan “peta” yang berkonotasi pasti dan tidak berubah walupun secara lingustik ada kesamaan. Kesulitan terbesar membuat peta pradigma filsafat Islam kontemporer adalah karena karekteristik seorang filsuf itu sendiri yang tidak dapat dikelompokkan secara pasti sebab ke-independensi-an seorang filsuf (istiqlâliyyah fi al-falsafah) berbeda dengan corak paradigma filsafat Islam klasik yang dapat dipetakan karena hasil karyanya yang sudah di bentuk oleh pemikirannya dan tidak adanya perubahan kembali.

Secara garis besar Filsafat Islam kontemporer bila tinjau dari keberadaan filsuf Islam sendiri dapat dibagi menjadi dua kelompok utama; pertama Filsuf Islam Massa (falâsifah al-Islamiyyah jamâhirah) dan kedua Filsuf Islam Elit (falâsifah al-Islamiyyah nukhbah), filsuf Islam massa adalah kajian filsafat yang terlibat langsung dan berinteraksi dengan masyarakat juga mereka milik massa atau dapat disebut filosofis-Humanistik. Sementara filsuf Islam elit adalah kajian filsafat yang terasing dari massa dan hidup dalam dunia intelektual yang ekslusif, walaupun demikian filsafat Islam massa juga adalah filsafat Islam elit dan tidak sebaliknya filsafat Islam masa adalah species (al-annau’) dan filsafat Islam elit adalah genus (al-jins).

Istilah kontemporer (al-‘ashriyyah) adalah kelanjutan dari modernitas (al-hadatsah) atau dapat dikatakan kontemporer terlahir dari era modernitas (al-hadatsah anjbat al-‘ashriyyah) karena keduanya diartikan “kini” mungkin letak perbedaannya, kontemporer adalah kekinian atau kini yang sedang berlangsung ,sementara modern adalah “kini” yang sudah lewat akan tetapi masih mempunyai citra modern.
Menurut analisa penulis, secara umum Filsuf Islam massa ada tiga tren yang mewarnai Filsafat Islam Kontemporer:
a. Tren Transformatik. Tipologi ini mewakili para filsuf Islam yang secara radikal mengajukan proses transformasi corak paradigma filosofis-gnostik yang bersifat murni mistis kepada paradigma filosofis-ilmiah (rasionalistik murni) dan menolak cara pandang agama yang berkecenderungan mistis dan tidak berlandaskan nalar praktis bahkan tidak menganggap agama dan tradisi klasik sudah tidak relevan lagi dengan tuntutan zaman sekarang (dalam ungkapan ekstrim Adonis-Ali Ahmad Sa’id :”kita tidak memerlukan rekonstruksi Filsafat Islam, juga dekontruksi. Yang diperlukan adalah destruksi”) kelompok ini diwakili pertama kali oleh filsuf-filsuf Arab dari kalangan Kristen, seperti Farah Antun dan Salmah Musa. Kini, kelompok ini diteruskan oleh filsuf-filsuf yang kebanyakan beroreintasi pada Marxisme (sosialis) seperti Fuad Zakariyya, M.Amin al-Amin, Adonis, A.Alim Ramadhan.
b. Tren Reformistik. Kelompok ini bidang garapannya adalah reformasi dengan penafsiran-penafsiran baru yang lebih hidup dan cocok dengan tuntunan zaman. Kelompok ini , lebih spesifik lagi dibagi kepada dua kecenderungan:
Pertama, para filsuf yang menggunakan metode pendekatan rekonstruktif-revivalistik, yaitu melihat tradisi dengan presfektif pembangunan kembali. Maksudnya agar sebuah tradisi dapat diterima oleh masa kini dan tetap hidup maka ia harus dibangun kembali secara baru (I’adah bunyah min jadid) dengan kerangka modern dan prasyarat rasional, kelompok ini diwakili oleh para reformere-revivalis seperti, al-Afghani dan ‘Abduh serta para muridnya. Pada era sekarang, kecenderungan tersebut dapat dijumpai pada para reformer-revivalis seperti Muhammad ‘Imarah, Fahmi Huwaydi, Ahmad Khan, Muhammad Iqbal.
Kedua, Para filsuf yang menggunakan metode dekonstruktif-post modernistik yang banyak dipengaruhi oleh gerakan strukturalis Perancis dan beberapa tokoh postmodern lainnya.
Seperti Foucalt, Derrida, dan Gadamer filsuf baris depan kelompok ini adalah Hasan Hanafi, Mohammed Abid Jabiri.
c. Tren Ideal-Totalistik. Ciri utama dari tren ini adalah sikap dan pandangan idealis terhadap ajaran Islam yang bersifat totalistik. Kelompok ini sangat committed dengan aspek religius budaya Islam, Mereka menolak unsur-unsur asing yang dating dari Barat menurut Mereka Islam tidak butuh lagi metode import dari Barat, para filsuf yang berfikir Idel-Totalistik adalah para Filsuf-Ulama yang “Frustasi” dengan metode graduasi yang diterapkan kelompok reformistik dan kebanyakan lahir dari kelompok “Islam Politik” radikal anti-Barat, nama Sayyid Qutub dan Ayman Zahwa Hari, mungkin dikelompokkan kepada tren ini.

Sedangkan Filsuf Islam Elit (falâsifah al-Islam nukhbah) mamberikan sumbangsih yang berharga dari hasil kontemplasinya di”Menara Mulia” mereka adalah landasan epistemiologi dan ontology yang banyak menentukan tren paradigma dunia (world-view) pada filsafat Islam Kontemporer. Kelompok ini dapat dikategorikan menjadi tiga inklinasi:
Pertama, aliran Materialisme (Ittijah Maddi) yang dimotori oleh ,Sybli Shumayl yang mengembangkan teori evolusi Darwin, bahkan mashur dengan gelar Darwinnya Arab, teori Filsafatnya berangkat dari pandangan dunianya tentang alam ,menurutnya alam adalah gabungan dari materi (maddah) dan energi (qudwah) sedangkan materi sendiri merupakan suatu tahapan kondisi energi.
Keyakinan Shumayl mengenai materi mendorongnya untuk mengesampingkan agama. Sebagai gantinya, ia percaya seratus persen akan keabsolutan sains, mungkin karekteristik pemikirannya sama dengan Abu Bakar Ar-razi yang tidak meyakini akan wahyu.
Kedua, aliran Rasionalisme (Ittijah ‘aqli). Atif Iroqi yang concern dengan filsafat rasional Ibn Rusyd mungkin dapat dimasukan kedalam aliran ini, Akan tetapi rasionalis Arab dengan artian filosofis yang sesungguhnya ialah Yusuf Karam. Ia banyak menulis tentang terra-terra rasionalisme filsafat seperti al-Aql wa al-wujud (akal dan wujud) dan al-Thabi’iah wama ba’da thabi’iah (fisika dan metafisika). Dalam dua karyanya ini Karam membuktikan bahwa manusia mempunyai daya rasional yang dapat menangkap makna-makna abstrak, dan dari makna-makna itu tersusun hukum-hukum dan aturan-aturan yang dengan persoalan metafisis dapat dipahami secara sistematis.
Ketiga, aliran Spritualisme (Ittijâh Ruhi) dalam dunia intelektual Muslim klasik, kaum ini dapat disejajarkan dengan kaum teosof Muslim seperti Suhrawardi, Ibn ‘Arabi, dan Rumi, aliran Filsafat ini telah mambangun mazhab Filsafat ; Akkad mendirikan Wijdaniyah, dia berpendapat bahwa hakekat alam semesta tidak mungkin dapat diekspresikan kecuali dengan intuisi (wijdan), intuisi merupakan kesadaran kosmik yang serupa dengan ilham dan lebih tinggi dari persepsi indera dan akal. Usman amin menamakan mazhab Filsafatnya Jawwaniyyah. Istilah ini diambil dari bahasa arab klasik yang kini banyak digunakan bahasa ammiyyah, kata “Jawwa” (didalam) lawn dari kata barra (diluar), Jawwaniyyah dalam konsep Amin berarti esoterisme, yaitu aliran yang memandang kekuatan alam yang sebenarnya adalah kekuatan spirit (al-ruh).

Disamping itu semua ada kelompok Filsafat yang lain yang kebanyakan berafiliasi kepada sistem Filsafat Barat Modern, Yusuf Murad misalnya yang mencoba membangun sistem Filsafat berlandaskan psikologi (psychology) dengan Fisikologi (Physicologi) seperti dikembangkan di Barat. Ia menamakan Filsafatnya dengan aliran al-takammuli (perfectionis). Begitu juga Abdurrahman Badawi (sebelum fase terakhir hidupnya) dikenal sebagai eksistensialisme Arab paling ngetop, tulisan-tulisannya berkisar sekitar etika eksistensialisme, seperti yang dikembangkan oleh Gabriel Marcel dan Sartre. Nama lain yang turut memberikan kontribusi dalam menghidupkan tradisi Filsafat didunia Islam Kontemporer adalah Majid Fakhri, Zaki Najib Mahmud, A.A afifi, Mahmud Qasim, Sulayman Dunya, Muhsin Mahdi.

Pancaran Spirit Reformis

Munculnya pembaruan didunia Islam pada abad ke-19M sangat dipengaruhi oleh seorang filsuf, pemikir,dan pembaru Jamaluddin al-Afghani (w. 1896 H) khususnya di bidang filsafat, pemikirannya banyak mengadopsi dari fisuf-filsuf Islam Persia dan filsuf Barat. Semangat ini berpengaruh bagi filsuf Islam modern selanjutnya, baik di daerah Mesir maupun di India. al-Afghani bukanlah pemikir-pemikir yang teratur atau seorang orator yang fasih bicara, terlihat dalam karyanya yang menentang kaum atheis dan mengusung sebuah filsafat natural (falsafah thabi’iyyah) yang kemudian dianut oleh filsuf India Ahmad Khan (w.1898 M) pada saat al-Afghani mengadakan kunjungan ke India pada tahun 1879 M.

Kaum Atheis ini memegang pendapat Darwin yang mengingkari dengan terang-terangan atau melalui isyarat tentang keberadaan Allah, kemudian al-Afghani membuktikan keberadaan Allah melalui pengaruh agama terhadap manusia atas tiga kebenaran yang agung: karakteristik malaikat pada ruh manusia yang menjadikannya makhluk mulia, keimanan sekelompok agama yang mengungguli sekelompok yang lain, kehidupan manusia didunia ini merupakan persiapan bagi kehidupan yang lain (akhirat).

Ketika kunjungan yang kedua kalinya ke Mesir tahun 1871 M al-Afghani bertemu dengan Muhammad ‘Abduh yang kemudian didaulat menjadi salah satu santrinya. Pemikiran ‘Abduh banyak dipengaruhi oleh gurunya terutama mengenai pembahasan ilmu mantiq, ilmu kalam, ilmu falak, dan masalah-masalah ketuhanan namun pokok-pokok pemikiran ini cenderung bersifat abstraksionisme akan tetapi dia menyarankan untuk menghilangkan pemahaman sufiyyah di kalangan masyarakat, Ia tidak membatasi ungkapan kebebasan kepada murid-muridnya bahkan mempengaruhi kemerdekaan tanah air dan kebebasan berfikir yang tidak bertentangan dengan keberadaan Mesir modern.

Dapat diringkas hasil pembaruan dalam bidang pemahaman agama Islam yang didengung-dengungkan ‘Abduh ada empat corak pencerahan:
Pertama, adanya pembebasan akal dari ketentuan taklid buta. Kedua, pemahaman yang benar terhadap agama yang sesuai pada masa nabi Saw, pra khulafâurrâsyidîn, dan tidak bertolak belakang dengan penjelasan-penjelasan karya-karya fuqaha dan ulama Kalam. Ketiga, otoritas terakhir yang berhubungan dengan aqidah tidak lagi menyebutkan mazhab, golongan atau petingginya akan tetapi dikaitkan dengan al-Qur’an dan al-Sunnah. Keempat, penetapan dalam mempelajari agama atas landasan rasional.

Perkembangan Filsafat Islam kontemporer dipengaruhi pula oleh banyak filsuf Barat yang berkembang pada saat itu salah satunya yaitu Filsafat Positivisme (al-Falsafah al-Wadh’iyyah), pendirinya ialah pemikir berkebangsaan Prancis August Comte (W.1859 M) dia dikenal juga sebagai bapak sosiologi, sebuah hasil pemikirannya yang dikenal dengan sebutan “hukum tiga tingkah laku” (al-Qânûn al-halâh al-tsalâsah), Comte menetapkan bahwasannya manusia melewati tiga tahapan diantaranya: pertama, permanen (al-lahûtiyyah) juga dapat disebut teologik atau mitologik yaitu titik pijakan terpenting dalam memahami manusia (al-Basyariyyah) yang masih percaya pada kekuatan adi kodrati (Tuhan) sebagai penyebab segala peristiwa fenomenal yang kita hadapi; kedua, metafisika, yaitu pemisahan terhadap prilaku ketiga yang akan membentuk pemahaman manusia yang bersifat abstrak seperti misalnya substabsi dan kodrat; ketiga, positivisme (al-Wad’iyyah), yaitu sikap positif, pada tahap ini orang meninggalkan baik kekuatan-kekuatan adi kodrati maupun konsep-konsep metafisik kemudian membatasi diri terhadap fakta yang disungguhkan dan dihadapinya, menurutnya tahap yang ketiga ini merupakan sebagai permulaan di dalam pembentukan Filsafat Saintisme dan barang kali merupakan landasan bagi agama dan akhlak.

Santri al-Afghani lainnya yang memiliki tren Filsuf Reformis-Revivalistik yaitu Sayyid Ahmad Khan Al-bahaduri (w. 1898 M) seorang yang termasuk mujaddid dalam sejarah Islam di India, menurutnya sesungguhnya yang dikatakan kebenaran agama bila dapat dianalogikan terhadap akal murni dan pendapatnya yang lain bahwasannya al-Qur’an dan al-hadits dapat ditafsirkan sesuai akal murni (nature).

Sejalan dengan pemikiran Ahmad Khan adalah Amir ‘Ali (w. 1928 M) mengenai masalah kebebasan berpendapat, dalam karyanya yang berjudul Ringkasan Sejarah Umat Islam (Mukhtashar Târîkh al-Muslimin) terbit pada tahun 1899 M tidak mengabaikan masa-masa kegelapan sejarah Islam akan tetapi membenarkan adanya perbuatan-perbuatan yang merusak dan kemunduran-kemunduran yang harus dihindari oleh segenap masyarakat masa kini, sesuai yang diungkapkan oleh al-Afghani dan ‘Abduh sebelumnya, sudah menjadi tanggung jawab masyarakat Muslim harus menguasai sejarah dan menghindari segala kesalahan-kesalahan yang jauh dari pada kebenaran agama Islam sehingga tercapainya pemikiran progresif yang teratur dalam menghasilkan hukum-hukum khususnya ketika berijtihad.

Selain Amir ‘Ali yang berpegang teguh pada interpretatif Islam dalam pendalam sejarah, Muhammad Iqbal (w. 1938M) seorang pemikir dan sastrawan berkebangsaan Pakistan yang memiliki analisa tajam dan pengetahuan yang luas mengenai Filsafat, ia mengganti landasan sejarah dalam mendeskripsikan pemikiran Islam kepada bentuk deskripsi kontemporer, sesuai pada masa Amir ‘Ali dengan mengutip turâts Filsafat Barat tanpa adanya batasan, dengan alasan bukan menunjukan orisinalitas Barat akan tetapi agar lebih teliti sesuai dengan pemikiran-pemikiran al-Qur’an terhadap ilmu-ilmu alam. Ia mengakui bahwa dia adalah seorang pengagum Johan Wolfgang Goethe (w. 1832 H) dan Hegel dan telah banyak mengajaknya ‘masuk’ kedalam segala sesuatu, dia merasa berhutang kepada keduanya sehingga mengakui bahwa kedua pujangga Jerman ini telah ikut membentuk hidupnya. Selain itu, Iqbal seorang eksistensialis Muslim banyak mengomentari pemikiran Nietzsche terpenting dan tersulit, yaitu ajaran Nietzsche tentang kembalinya segala sesuatu (the eternal recurrences), Inti ajaran ini adalah soal kekekalan dunia dan konsekuensinya bagi manusia untuk menghayati sebuah temporalitas. Nietzsche ditampilkan sebagai seorang pemikir yang pernah membahas masalah imoralitas ego, pemikirannya dapat digolongkan kedalam pandangan bersifat positivistik, berbeda dengan penjelasan Kant yang bersifat moral, dan berbeda pula dengan al-Qur’an yang menurut Iqbal bersifat biologis.

Di mata Iqbal, Nietzsche dalam ajaran tentang kembalinya segala sesuat tampil sebagai seorang yang pasif, seorang fatalis, karena dia membuka kembali ego, dengan kata lain, ego dalam kembalinya segala sesuatu bukanlah ego yang kreatif, melainkan ego yang mengulang-ulang kombinasi energi-energi yang sudah terkombinasi sebelumnya. Singkatnya, ego tersebut merupakan ego yang terpenjara, mengenaskan, dan malang. Kritik Iqbal terhadap Nietzsche pada dasarnya bertolak dari prinsip-prinsip ajaran al-Qur’an mengenai imoralitas ego: (a) secara temporal ego itu mampunyai asal-mula; keyakinan itu tidak harus menolak dunia karena (b) ada kemungkinan bagi manusia untuk kembali ke dunia; dan (c) keterbatasan manusia tidak harus dipandang sebagai kemalangan. Akan tetapi, Iqbal tidak bermaksud menolak pemikiran Nietzsche seluruhnya, pemikiran-pemikiran Iqbal selanjutnya sungguh diwarnai dengan usahnya untuk mensintesakan hipotesa Nietzsche dan ajaran-ajaran al-Qur’an.

Dalam pandangan Iqbal tentang sebuah agama dapat diibaratkan sebagai suatu eksperimen yang kompleks disatu sisi dapat dipandang dari sudut pandang akal dan disisi lain dapat dipandang dari sudut pandang jiwa atau spirit (ruhiyyah), agama bukanlah pemikiran atau filing semata dan bukan pula perbuatan semata akan tetapi sebuah agama dapat membentuk manusia menjadi sempurna maka sebuah agama tidaklah bertentangan dengan Filsafat bahkan menjadi aspek yang penting dari segala segi bagi kebenaran yang mengharuskan dalam Filsafat adanya motif pemeliharaan dan perenungan.

Dr. Bahi mengungkapkan pendapat Iqbal tentang perbaikan pemikiran agama dalam Islam harus memperhatikan perubahan bentuk yang menghubungkan seorang Muslim dengan umat Islam keseluruhan, suatu bentuk kelemahan yang dapat membahayakan bagi kehidupan, suatu bentuk yang tidak menginginkan realita perjuangan hidup, suatu bentuk yang tidak mampu menguasai substansi kehidupan. Adanya penerapan sebuah perjuangan eksistensi yang menggembor-gemborkan kerusakan manusia dalam kebenaran secara mutlak sepertihalnya penggembor-gemboran sikap negatif dalam kehidupan.

Untuk meninjau pengaruhnya terhadap penulis-penulis modern, orang harus memandang Iqbal sebagai teoritis keontentikan yang mencoba membebaskan manusia dari kungkungan tradisi dan kemodernan, dari mistisisme Timur dan penalaran Barat, dari imperialisme Barat dan kejumudan Timur. Dalam “Timur dan Barat” kita baca:
Opium merah mendengar nyanyianku dan melepaskan tudungnya;
Angin sepoi pagi masih mencari sebuah taman.
Penyakit menyerang Ataturk atau Syah Reza.
Jiwa Timur masih mencari sebuah tubuh.
Dunia yang layak saya tinggal.
Hanyalah dunia yang masih mencari tiang gantungan.
Fazlur Rahman menyimpulkan: “Ide utama Iqbal adalah regenerasi kemanusiaan malalui perjuangan individu tanpa henti untuk menyempurnakan realisasi diri.” Iqbal mengajukan suatu teori umum tentang keotentikan.

Selain itu, Iqbal mendasarkan kritik kerasnya pada Timur dan Barat pada argumen-argumen tentang dualisme palsu. Dia mengecam Timur karena meninggalkan pemikiran abad pertangahannya menuju pemikiran induktif (istiqraiyyah), pemikiran yang pada akhirnya membukakan pintu bagi revolusi sains di Barat. Kaum Muslim secara keliru memandang agama sebagai cara pemahaman ekslusif berbeda dengan sains dan filsafat. Sebaliknya , Eropa menolak mentah-mentah religius demi kebenaran yang dianggap obyektif, yakni kebenaran sains. Akan tetapi orang Eropa tidak dapat membuktikan superioritas prefensinya secara lebih meyakinkan ketimbang hujjah kaum Muslim tentang superioritas prefensi mereka terhadap agama.
Iqbal menegaskan kesatuan primordial dari diri:
Adalah Satu
Dan menjadi satu, tak ada dualitas
Atas berkah sinarnya, aku adalah aku, engkau adalah engkau .

Iqbal adalah seorang tokoh yang ikut berperan terhadap kelahiran negara Pakistan. Dia tidak berperan langsung dengan meriam melainkan dengan pena yang guratannya merupakan senjata orang yang berilmu, dia tidak membekali sesama Muslim dengan tentara namun dengan cita-cita. Dia salah seorang tokoh Muslim India yang tidak hanya mencita-citakan terbentuknya sebuah negara Islam yang merdeka, namun juga seorang tokoh yang dapat memberikan arti sebuah cita-cita bagi individu maupun kelompok.

Epilog

Pergeseran sebuah paradigma dalam beberapa corak pemikiran dari alam klasik menuju alam kontemporer selalu terus berkembang, namun tidak terlalu berlebihan ketika penulis mencoba untuk mensketsakannya diatas, sebuah pergeseran yang disebabkan oleh dialog dan interaksi antar sesama filsuf yang mewakili masing-masing corak pemikiran (tren) yang ada.

Para filsuf Islam klasik pada dasarnya menguasai segala corak pemikiran secara umum, akan tetapi ada sedikit kecondongan terhadap salah satu corak pemikiran, terlihat ketika Al-Kindî pada satu sisi adalah seorang yang bersifat filosofis-teologik, di sisi lain dia juga bersifat filosofis-peripatetik, karena pergeseran sebuah paradigma dipengaruhi juga oleh perubahan waktu, keadaan, dan lingkungan.

Kritikan serta penolakan yang dilontarkan ulama klasik sekelas al-Ghazali yang menolak prinsip-prinsip para filosof terdahulu menjadikan sikap anak tiri terhadap ilmu filsafat Islam, apalagi adanya kata-kata pangharaman terhadap filsafat atau ilmu mantiq yang keluar dari ucapan sekaliber Ibn Shalah walupun katanya Ibn Taymiyyah menerima filsafat tapi dengan prasyarat yaitu berdasarkan akal dan berpijak pada kebenaran yang dibawa oleh para Nabi.

Mungkin saja pada masa selanjutnya filsafat Islam akan selalu mengalami pergeseran tidak hanya berhenti pada tren-tren yang ada sesuai latar belakang pendidikan yang menjadi faktor terpenting dalam membentuk pemikiran para filsuf dalam mengartikulasikan gagasan-gagasan pembaruan mereka bahkan akan terlihat sama antara seorang pemikir dan seorang filsuf.

Diluar kategorisasi tern-tren Filsuf Islam Massa yang banyak peduli dengan tema-tema klasik dan modernitas, ada beberapa pemikir atau filsuf yang kepeduliannya lebih pada persoalan-persoalan akademis saja, dilain sisi para filsuf elit (nukhbah) menganggap kegemilangan peradaban Islam adalah pada pancaran ilmiyahnya dan filsafat merupakan inti dari itu semua, karenanya pemusatan terhadap warisan filsafat merupakan kunci utama untuk memasuki kegemilangan tersebut, semoga filsafat Islam lebih membumi dimata masyarakat luas sehingga menjadikan masyarakat lebih bijak dalam bersikap.(Gusti Allah anu langkung uninga)

Renungan 1

Renungan Fisika

kosong tapi isi

isi tapi kosong

apakah bedaNya?

Dia-lah hakikat kosong dan isi

dimitri mahayana, 26 Oktober 1994

1. Tarian Elektron

Dalam kelembutan udara pagi, dapat kita reaspi segenap keindahan mayapada ini. Segar udara mersap ke dalam dada. Lembut sejuk menyentuh udara yang dipenuhi segenap embunnya. Sempurna bias-bias cela’ memerah sang cahaya infra-merah yang menyertai bulatan memerah Surya. Apakah itu semua? Apakah kesegaran? Apakah penglihatan? Dan apakah yang ada di blaik semua yang ada di mayapada yang tampak ini?

Manakala pandangan inderawi mulai mncerap segala peristiwa, mulailah manusia dipaksa untuk mengkonsepsikan bahwa mentari-lah suatu unsur yang penting dalam berbagai peristiwa. Maka fisika memulai pembahasan dalam berbagai hukum-hukum materi. Apaka materi itu? Sesuatu yang memiliki massa dan menempati ruang. Itu definisinya. Kenapa didefinisikan seperti itu? Karena kita dapat mengkonsepsikannya langsung secara mudah dengan indera kita. Ruang hampa tidak memiliki massa walaupun menempati ruang yaitu dirinya sendiri. Dan secara intuitif seolah diyakini bahwa ruang hampa ini tidak berefek atau tidak menimbulkan peristiwa apapun.

Prinsip niscaya rasional, -yaitu hukum sebab akibat-, memaksa ummat manusia untuk melakukan pendakiannya menuju hukum-hukum dan hakikat-hakikat di balik apa yang tampak. Amati seluruh materi yang tampak! Karena secara mudah materi dapat dibagi, maka timbul suatu pertanyaan penting, apakah materi dapat dibagi terus-menerus tanpa batas atau ada batas terkecil di mana materi tidak dapat dibagi lagi. Demokritus dan Dalton menjawab dengan teori atomnya. Ada bagian terkecil dari suatu zat yang tidak bisa dibagi lagi, yaitu atom! Semua zat terbentuk dari beberapa unsur dasar (kira-kira seratus unsur). Tiap unsut murni terdiri dari milyard milyard milyard…atom-atom yang maha kecil, tetapi tidak bisa dibagi lagi. Jika atom-atom dari berbagai unsur murni bergabung, maka terbentuk molekul, yang merupakan zat dengan sifat-difat fisis yang berbeda-beda dari unsur semula.

Teori bahwa atom adalah bagian terkecil suatu benda yang tidak bisa dibagi lagi gagal menjelaskan beberapa hal, terutama ia gagal menjelaskan berbagai efek kelistrikan maupun kemagnetan. Ia gagal pula untuk penjelasan yang memuaskan dalam berbagai sifat kimiawi berbagai unsur dan senyawa. Dari mana datangnya arus listik? Bagaimana menjelaskan penemuan elektron Thomson? Elektron merupakan partikel mikro-mikro yang bermuatan negatif yang bisa muncul misalnya saat kita memanaskan sebuah filamen. Apakah elektron ini juga atom? Kalau elektron ini atom, mengapa ia dapat berasal dari berbagai unsur? Teori atom ini juga gagal menjelaskan dengan baik sifat periodisitas dari berbagai unsur yang telah ditemukan dan disusun oleh Dmitri Mendeleev dan Lothar Meyer.

Rutherford dan Niels Bohr datang dengan tesis utamanya; atom itu terbentuk dari partikel-pertikel yang lebih kecil yaitu inti atom dan elektron. Inti atom bermuatan positif, elektron bermuatan negatif. Elektron mengitari atom dalam orbit-orbit tertentu yang teratur. Jari-jari inti atom Hidrogen diperkirakan berorde seperseratusribu dari jari-jari atomnya. Dan jari-jari elektron jauh lebih kecil dari jari-jari inti atom Hidrogen. Apa yag ada di antara elektron dan inti atom? Ruang Hampa! Ruang Hampa! Sekali lagi Ruang Hampa! Jadi kira-kira 99,99999999999999999 % ruang dalam atom itu Hampa!

Apa artinya? Kalau kita menatap dan melihat bahwa kertas ini utuh dan merupakan suatu materi yang malar, ataupun bangunan kita adalah suatu materi yang tersusun kokoh kuat, atauoun melihat bahwa baja itu suatu materi kontinyu maha-kuat, sebenarnya, semua yang kita lihat itu menurut teori Bohr sederhana 99,999999999999 % Ruang Hampa! Sama sekali bukan materi kontinyu menurut bayangan kita. Jadi yang kita anggap garis lurus batas suatu logam itu nafi! Itu hanya imajinasi. Kenyataan sebenarnya tidak ada garis tersebut, dan meteri itu ada di titik-titik ruang tertentu yang maha-kecil saja. Sebenarnya semua yang kita lihat, ini “kosong” tapi nampak seolah-olah “isi” karena adanya keterbatasan penglihatan kita dalam mencerap kenyataan ini. Seadainya mata kita dpat melihat benda yang ukurannya satu juta-juta kali lebih kecil dari apa yang biasa kita lihat sehari-hari maka ia akan bisa menyaksikan “kekosongan” ini.

Lebih lanjut ternyata ditemukan lagi bahwa inti ataom terdiri atas berbagai pertikel yang lebih kecil, seperti netron dan proton. Netron memiliki massa tapi tak bermuatan. Proton memiliki massa dan bermuatan positif. Menjadi pertanyaan berikutnya, kalau proto-proton bermuatan positif, kenapa mereka tak tolak menolak. Jawabnya? Karena adanya gaya kuat! Dewasa ini Prof. Dr. Abdussalam dan kolegannya telah berhasil membuktikan bahwa gaya kuat ini dihasilkan karena ternyata proton maupun netron terdiri dari berbagai partikel yang lebih kecil lagi….! Sampai kapan penemuan-penemuan partikel yang lebih kecil ini akan ditemukan lagi? Semakin lama semakin kecil. Semakin kecil semakin luas kekosongan…….

Adalah suatu pandangan yang amat logis dan tidan bertentangan dengan kenyataan maupun hukum-hukum fisika yang berlaku kita membayangkan dalam sari-sari terkecil suatu benda apapun, yang ada hanyalah titik-titik tertentu dalam ruang yang membawakan efek bagi lingkungan sekitarnya, dari kekosongan yang berisi. Apa isinya? Medan-medan berbagai efek yang ditimbulkan dengan pusat. Berbagai titik-titik tersebut berkarakterisasi memiliki massa, medannya adalah medan gravitasi. Jika memiliki medannya adalah medan listik, dan seterusnya. Menurut pandangan ini, materi yang kelihatannya menurut mata kita adalah sesuatu yang malar, kontinyu ini tidak lain hanyalah suatu kekosongan ruang yang di dalamnya terdapat berbagai efek meda. Efek medan bukanlah suatu materi yang malar, Ia bukanlah materi arti fisik sesuatu yang menempati ruang dan memiliki massa.

Salah satu yang terpenting sebagai penghasil medan-medan ini adalah elektron. Elektron dapat ktia konsepsikan sebagai suatu titik-titik dalam ruang yang memilki gejala medan tertentu. Ia bergerak terus menerus mengitari inti atom. Gerakan elektron memindahkan titik-titik pusat meda tertentu, mengubah energi yang terkandung dalam medan, di buang ke luar atom dalam bentuk cahaya atau mengubah sifat-sfat mikro atom.

Mekanika kuantum datang memberikan analisis yang jauh lebih akurat dan lebih umum. Persamaan Schrodinger, -yang merupakan suatu persamaan differensial parsial yang amat rumit-, memberikan solusinya untuk berbagai persoalan di alam mikro. Spektrum yang dihasilkan oleh atom Hidrogen dapat dijelaskan dengan baik oleh teori Bohr, tapi persamaan Schrodinger memberikan hasil yang lebih teliti.

Satu aspek terpenting dari mekanika kuantum adalah bahwa gterak dari titik massa dipandang sebagai gerak gelombang? Apa itu gelombang? Bayangkan ketika bunyi datang pada anda tanpa melalui rambatan partikel. Tapi apa yang dikatakan mekanika kuantum? Jiak ada bola datang pada Anda, maka gerak bola ini dipandan sebagai gerak gelombang. Artinya apa? Ada partikel datang pada Anda tanpa melalui adanya partikel yang datang pada Anda. Yang pertama berasal dari kenyataan bahwa ada materi yang datang pada Anda. Yang kedua berasal dari kenyataan bahwa gerak tersebut menurut Mekanika kuantum dapat dipandang sebagai rambatan gelombang. Apa artinya? Terjadi dualisme! Lebih dalam lagi? Teori kontradiksi! Jadi apa kesimpulannya? Pada tahap ini sebenarnya definisi-definisi fisika tradisional yang dikembangkan berdasarkan pengamatan inderawi tidak dapat digunakan lagi.

Perhatikan pengertian materi menurut apa yang telah kita bahas sebelumnya. Pandang materi sebagai suatu ruang di mana di dalamnya terdapat medan-medan. Apa artinya meda? Medan adalah kemampuan untuk menggerakan sesuatu. Artinya medan tiada lain adalah energi. Apa arti medan? Medan adalah usuikan atau gangguan jika dilihat dari keadaan tidak ada medan. Jadi materi dalam pengertian ini langusng identik dengan gelombang itu sendiri. Jadi gerak materi dapat dipandang sebagai gerak gelombang, karena materi dan gelombang itu sama saja.

Jadi inilah salah satu pengertian, “kosong tapi isi, isi tapi kosong” Kosong, tidak ada materi yang malar yang mengisi berbagai ruang seperti yang ada dalam imajinasi kita, bahkan telah menjadi definisi kita! Isi, berisi berbagai medan yang mampu mengubah dan menggerakan berbagai hal lain. pandang tangan Anda. Perluhkan bahwa berbagai tampak luar dari tangan Anda adalah imajinasi, hasil keterbatasan indera kita. Sebenarnya tidak ada materi malar, kosong, Kosong! Yang ada hanyal berbagai interkasi medan atau energi, Isi!

2. Kabut-Kabut Kemungkinan

di balik kabut Semeru

tiada tampak ujud seribu burung yang sedang berkicau nyaring

di balik kabut Sang Maha Meru

tiada tampak….Di Manakah Ia yang sejati, yang senantiasa

bertabir dalam berbagai ia-ia

dimitri mahayana, 29 Oktober 1994

Sebuah aspek penting lain dari mekanika kuantum adalah bahwa gerak suatu partikel mengikuti suatu hukum yang bersifat probabilistik. Terutama jika kita tetap pada keyakinan kita bahwa partikel, -sebutlah misalnya elektron-, merupakan sesuatu yang memiliki massa dan menempati ruang, waktu hanya sati titik. Jika dalam benak kita masih tergambar bahwa elektron misalnya adalah suatu bola mahakecil, maka posisi maupun kecepatan elektron di suatu saat, tertentu bersifat probabilistik.

Persamaan Schrodinger memandang gerak benda sebagai rambatan suatu gelombang. Energi gelombang terkandung pada suatu bagian ruang tertentu berbanding lurus dengan kemungkinan titik partikel terdapat pada bagian ruang tersebut. Tapi ingat hanya kemungkinan. Dan kemungkinan tetap kemungkinan. Jadi perhatikan urutan premis di bawah ini;

1. Jika kita memandang bahwa Persamaan Schrodinger adalah salah satu hukum yang berlaku di alam

2. Dan jika kita memandang partikel pada dasarnya adalah sesuatu yang menempati ruang dan waktu.

Maka;

“Hukum yang mengatur gerak partikel-partikel tidak bersifat deterministik, artinya ia bersifat probabilistik”.

Jadi kepada arwah Dr. Eistein dan Dr. Schrodinger, mari kita ungkapkan penafsiran ini. Tuhan tidak bermain dadu. Karena dadunya tidak ada. Karena partikel, -sebagai dadu-, hanyalah konsepsi imajiner. Kalaupun partikel itu bergerak bagai dadu, -bukanlah Tuhan yang memainkannya-, fikiran dan imajinasi kitalah yang memainkannya. Pemikiran kita terbatas, konsepsi kita tentang materi telah mengurung kita dalam penjara-penjara tiada ujung yang menyedihkan. Bukanlah kini saatnya bagi kita untuk menyadari bahwa selama ini kita terpenjara, dan mari bersama-sama melakukan “Escape form thies beloved jail,-Melepaskan diri dari penjara yang kita cintai ini-“. Melepaskan diri dari konsepsi bahwa partikel adalah sesuatu yang memiliki massa dan menempati ruang.

Sebagai sebuah contoh, perhatikan suatu bola tenis yang mengenai tembok baja beton setinggi enam meter. Misalnya bola itu mengenai tembok dengan arah tegak lurus terhadap tembok pada ketinggian satu meter. Mekanika kuantum menyatakan bahwa “ada kemungkinan bola akan bergerak menembus tembok, muncul dan melanjutkan geraknya di balik tembok, tanpa ada bagian tembok yang terlubangi.” Memang kemungkinan itu kecil sekali, amat sangat kecil sekali. Tapi itu tetap mungkin! Dan hal ini benar-benar mustahil dan seolah melanggar prinsip non-kontradiksi jika kita tetap bertahan pada pengertian kita bahwa meteri adalah sesuatu yang memiliki massa dan menempati ruang. Secara eksperimental, gejala ini telah dibuktikan dalam skal atom oleh Dr. Ivan Giaever, salah seorang pemenang Nobel fisika pada tahun 1973. Jadi inilah bagi kita dari pengertian danpemahaman kita atas materi yang telah terlalu mendasari berbagai pemikiran kita.

Materi adalah kabut. Yang menutupi kenyataan. Walaupun di gunung berkabut yang terdengar hanyalan kicau burung, kita yakin bahwa ada burung walaupun tak tampak. Jika kita hanya berfikir tentang kabut, mungki saja mengkonsepsikan bahwa kabut itulah yang berkicau. Betapa naifnya jika kita tergeletak dalam kepekatan kabut materi!

3. Gerak, Ruang dan Waktu: Apakah itu?

Alam adalah gerak. Grak air terjun, gerak udara dalam angin, gerak amuba-amuba dalam air gerak elektron mengitari proton, dll.

Apa itu pasana yang memiliki berbagai derajat? Derajat panas suatu gas tidak lain adalah suatu sifat makroskopik dari gerakan dan tumbukan trilyun trilyun trilyun…molekul-molekul gas. Ditinjau di alam mikronya, dari tiap molekulnya, suhu tidak mempunyai makna. Yang ada hanyalah energi gerak dari molekul-molekul tersebut. Dan ini secara makro dapat dirasakan oleh indera manusia maupun indera dari suatu alat ukur dan disebut suhu.

Apa itu arus listrik dan berbagai gejalan dalam rangkaian elektronik? Adalah gerakan elektron melalui berbagai media.

Apa itu gelombang air? Adalah gerak rambat energi melalui sifat-difat elestisitas dari mediumnya, yaitu air.

Apa itu cahaya? Adalah gerak rambat energi elektromagnet melalui suatu medium ataupun ruang hampa.

Apa itu bunyi? Adalah gerak rambat energi melalui getaran dari partikel-partikel udara. Ketika getaran partikel-partikel itu mengenai telinga, akan dikenali sebagai bunyi.

Apa itu berbagai reaksi kimia? Adalah gerakan perpindahan elektron-elektron dari satu orbit ke orbit lain, sehingga secara makro dikenali dengan berbagai perubahan sifat kimiawi berbagai zat.

Adalah telah menjadi konsepsi umum bahwa sifat “gerak” seolah hanya bisa dinisbatkan kepada materi. Padahal tidak demikia. Dalam fisika tradisional itu sedniri, gerak dibagi menjadi gerak materi dan gerak gelombang. Gelombang bisa merambat tanpa memerlukan perambatan materi. Jadi dasarnya gerak adalah perambatan enegeri. Apa energi itu? Kemampuan melakukan usaha atau gerak. Kemampuan untuk menggerakkan suatu benda dari keadaan diam menjadi bergerak.

Lebih lanjut Teori Relativitas Einstein telah membuktikan ekivalensi massa dan engeri. Massa itu energi itu massa. Jika anda sedang berfikir kemampuan sesuatu untuk mempengaruhi yang lain, berarti Anda sedang memikirkan engeri. Sedang jika Anda sedang berfikir tentang kemampuan sesuatu untuk lebih besar bersifat lebih lembam, -lebih sulit untuk digerakkan oleh yang lain. jadi karena massa ekivalen dengan energi, maka secara lebih umum gerak dapat dinisbatkan kepada “energi” saja. Karena materi adalah energi itu sendiri. Kenapa tidak kita nisbatkan pada “materi”? karena pada pembahasan yang telah lali kita jelaskan bahwa materi adalah merupakan suatu konsepsi subyektif yang telah kehilangan nilai keobyektifannya dalam Mekanika Kuantum. Jika Mekanika Kuantum benar, konspesi tentang gerak harus diubah. Kita tidak bisa menisbatkan suatu gerak pada sesuatu yang tidak ada secara obyektif, yakni materi.

Jadi apa itu engeri? Kemampuan untuk menggerakkan suatu massa. Atau dengan kata lain adalah kemampuan suatu definisi yang tidak tepat secara logika, karena definisi itu mengandung apa yang didefinisikan itu sendiri. Energi adalah kemampuan untuk menggerakkan energi lain. energi lain adalah kemampuan untuk menggerakkan energi lain lagi, dan seterusnya. Ini akan menghasilkan rantai definisi tanpa ujung, sehingga definisi ini kehilangan maknanya.

Dengan menilik definisinya, dengan mudah dapat dibuktikan bahwa gaya dapat dimaknakan sebagai perubahan energi tiap satuan jarak dalam ruang yang ditempuh.

Sehingga dapat diperoleh tiga unsur yang paling mendasar bagi gerak, yaitu: energi, ruang dan waktu. Anggaplah dulu bahwa ketiga unsur ini aksiomatis, tidak dapat didefinisikan lagi. Tapi awas! Teori Relativitas Einstein kembali menyatakan bahwa ruang maupun wakti tidak absolut, tapi relatif. Tidak dapat didefinisikan suatu ruang dan waktu mutlak. Ruang dan waktu memiliki makan yang personal, amat personal. Suatu partikel (sekarang baca: energi!) yang bergerak relatif terhadap partikel lain (sekarang baca: energi lain), masing-masing akan memiliki ruang dan waktu sendiri-sendiri! Jadi seandainya, sekali lagi seandainya, energi dapat dibayangkan sebagai suatu makhluk yang memiliki derajat kehidupan dan kesadaran tertentu, ruang dan waktu bersifat subyektif! Lebih jauh lagi mereka tidak memiliki makna tanpa adanya gerak dari benda tersebut. Mungkin itulah suatu dasar dari ucapan “Ruang dan Waktu? Ilusi, hanyala ilusi!”. Ruang dan Waktu kehilangan makna adanya tanpa adanya gerak dari pertikel (baca: energi!). Lebih lanjut energi adalah kemampuan untuk melakukan gerak itulah energi, itulah materi. Ruang dan Waktu? Adalah ilusi dari gerak. Karena itu benalah khutbah mulia dari Sayyidina Musa bin Husein Al-Habsyi Al-Bangili (r.a): “Tiada lain alam ini adalah gerak dan materi hanyalah potensi untuk melakukan gerak”.

Dalam kekosongan segala

kudapati ruang

dan denyut nafaskupun menyadari roda-roda waktu

Dalam ketiadaan ruang maupun waktu

kudapati Gerak, sumber dari semua citra di mayapada

Apakah Gerak itu? Aku tidak tahu

Yang kutahu, sekiranya Gerak itu satu-satunya yang Ada

maka Gerak tiada akan berGerak

Jadi Ada dan Tiada apakah artinya?

Ada dan Tiada adakah bedanya?

Di balik Ada dan Tiada, hanya kulihat satu Hakikat,

Tuhanku, Tuhan Yang Maha Agung dalam kesendirianNya !


Renungan 2

Renungan Tauhid

langit dan mentari

siang berganti malam

kulit dan jauhari

citra buhulan terang

Hud-Hud Rahmaniyyah

dimitri mahayana, 1993

1. Syarah kalimat “langit dan mentari”

Adapun sumber segala kehidupan adalah langit. Langit artinya bukan bumi. Arti lebih luasnya adalah bukan dunia atau bukan termasuk alam materi. Langit artinya sesuatu yang lebih tinggi dari bumi. Lebih tinggi dalam artian konsepsional. Sebagaimana sebab mendahului akibat. Dapat dikatakan sebab memiliki derajat prioritas lebih tinggi dari akibat.

Adapun sari kehidupan adalah gerak dan perubahan. Dan gerak memerlukan energi. Karena energi-lah melakukan gerak. Perubahan tiada lain adalah efek-efek gerak, ia pun memerlukan energi. Dari mana datangnya energi untuk seluruh kehidupan di bumi? Dari matahari, sang surtya yang senantiasa perkasa menebarkan milyun-milyun-milyun……. fotonnya ke jagat raya. Dan sepercik, -sebagian amat kecil-, dari foton-foton itu sampai ke bumi, menghidupi berjuta tanaman, tanaman menghidupi berjuta hewan, hewan dan tanaman menghidupi brjuta hewan lain maupun manusia. Sumber enegri semua kehidupan di bumi adalah energi matahari.

Adapun mentari dalam sya;ir di atas memiliki tafsiran kias yang lebih luas. Mentari diartikan sebagai Cahaya Wujud Mutlaq, sumber iluminasi semua wujud lain. Mengapa?

Perhatikan sebuah benda. Ia tak akan tampak ada tanpa adanya cahaya. Baik dari segi obyektif maupun subyektif. Dalam kegelapan mutlak, tiada akan tampak wujud apapun, lebih dalam lagi. Perhatikan sebuah benda. Ia adalah materi. Telah diketahui bahwa massa tiada lain adalah energi yang diam terkungkung dalam suatu struktur tertentu. Dengan kondisi tertentu ia dapat berubah menjadi energi. Energi dalam bentuk apa? Cahaya! Inilah yang terjadi pada bom maupun matahari. Jadi dalam relung-relung atomik sati-sari benda tiada lain adalah cahaya.

Karena itu dalam sya’ir ini cahaya digunakan untuk mengkiaskan sesuatu yang lebih umum lagi, yiatu ‘kebendaan’ suatu benda. Sebagaimana kita ketahui bahwa prinsip niscaya rasional dalam diri kita senantiasa menanyakan pada kita mengapa dunia ini ada, mengapa ini ada, mengapa itu ada? Segala sesuati yang maujud membutuhkan Sebab. Dan sebab itu-lah yang memberikan eksistensi padanya. maka dapat kita buat rantai-rantai pertanyaan kenapa ini ada, misalnya jawabnya karena x1 (sesuatu pertama) ada. Selanjutnya dapat kita tanya lagi, kenapa x1 ada (sesuatu kedua) ada, jawabnya karena x2, dan seterusnya. Maka tiada mungkin rantai ini tidak berawal, seandainya ia tidak berawal dari-mana semua mata-rantai lain memperoleh eksistensinya? Jadi pasti harus ada satu ujung sebab yang memiliki eksistensi mandiri, tidak tergantung kepada lain. sebab ini keberadaannya harus dan ketiadaannya mustahil.

Sebab pertama adalah Keberadaan Mutlaq (Al-Wujud Al-Muthlaq). Artinya jawaban dari pertanyaan apa itu sebab pertama, adalah sebab pertama adalah keberadaan itu sendiri. Karena jika sebab pertama itu sesuatu selain keberadaan maka ia harus memiliki sebab lain yang memberinya keberadaan. Dan karena ternyata iru masih memiliki sebab, maka ia bukan sebab pertama. Namun kalau ia tidak memiliki sebab lain, maka ia tidak mungkin memberikan sesuatu yang tidak ia miliki. Yakni keberadaan. Padahal, secara aprior, kita yakini bahwa kita dan hal-hal lain itu ada secara real. Artinya realitas membenarkan adanya keberadaan bukan subyektif atau imajinatif.

Sebab pertama itu tunggal. Kenapa? Seperti yang dijelaskan sebelumnya, sebab pertama adalah keberadaan itu sendiri. Atau wujud qua wujud. Misal ada dua ujung rantai sebab, dengan kata lain ada dua sebab pertama. Dan sebab pertama satu adalah keberadaan itu sendiri. Misal sebab pertama kedua adalah sesuatu selain sebab pertama satu. Maka ia adalah sesuat yang bukan keberadaan itu sendiri dan artinya ia bukan sebab pertama. Jadi jika ada dua ujung rantai sebab, kedua sebab pertama tersebut harus identik. Argumen ini dapat dikembangkan untuk berapapun ujung rantai sebab. Sehingga dapat disimpulkan bahwa, jika ada banyak ujung rantai sebab, maka mereka semua harus identik. Artinya hanya ada satu sebab pertama. Satu yang tidak mempunyai kemungkinan sama sekali untuk dijumlahkan menjadi dua. Argumen ini berdasarkan suatu premis bahwa keberadaan mempunyai makna yang ekivalen pada semua yang maujud, pada Wujud Wajib maupun Wujud Mumkin. (Lihat Carutan Wahdatul-Wujud, Sayyidina Musa Husein Al-Bangili Al-Habsyi dan Syarhe-Mandzhumah, Mulla Hadi Sabzavary). Sebagai sebuah contoh argumen sederhana dari premis ini adalah bahwa ketiadaan A, ketiadaan B dan ketiadaan segala sesuatu memiliki maksa yang identik. Maka karena ketiadaan segala sesuatu memiliki makna yang identik, keberadaan A, keberadaan B, keberadaan segala sesuatu yang masing-masing merupakan negasi dari ketiadaan A, ketiadaan B, keberadaan segala sesuatu yang masing-masing merupakan negasi dari ketiadaan A, ketiadaan B, ketiadaan segala sesuatu memiliki makna yang identik. Dan sesuatu yang secara subyektif identik (satu) pasti secara obyektif satu adanya, sebagaimana bahwa satu bayangan pada cermin tidak mungkin dihasilkan oleh dua obyek di depan cermin.

Sebab pertama itu tidak terbagi. Tidak terbagi dalam arti logis. Artinya tidak mungkin tersusun atas sesuatu-sesuatu lain yang lebih kecil. Kenapa? Kalau ia terbuat dari sesuatu-sesuatu yang lain yang lebih kecil, maka sesuatu-sesuatu yang lain lebih kecil itu apa? Jika salah satu dari sesuatu-sesuatu yang lebih kecil itu adalah keberadaan mutlak maka yang lainnya adalah ketiadaan mutlak. Dan karena yang lain adalah ketiadaan mutlak berarti sesuatu-sesuatu yang lain itu tidak ada. Jadi hanya ada satu sesuatu yang tidak lain adalah keberadaan mutlak itu sendiri. Jika tidak ada diantara sesuatu-sesuatu itu yang merupakan keberadaan, maka darimana mereka memiliki keberadaannya? Tentu memerluka sebab. Lebih lanjut, jika sebabnya adalah gabungan diantara sesuatu-sesuatu tersebut yang telah kita sepakati sebagai sebab pertama, ini akan membuat satu rantai sebab tanpa ujung lagi, dan telah dibuktikan bahwa ini tidak mungkin. Kemungkinan lain adalah bahwa memang ada sebab selain dirinya yang memberikan keberadaan pada sesuatu-sesuatu ini, dan berarti sesuatu-sesuatu ini maupun gabungannya bukanlah merupakan sebab pertama.

Sebab pertam itu tidak bersifat material. Kenapa? Karena materi adalah sesuatu yag terbatas oleh ruang dan waktu. Jika sebab pertama itu materi, maka ia terbatas oleh ruang dan waktu. Ada dua keadaan yang mungkin di sini. Kemungkinan pertama adalah ruang dan waktu adalah sesuatu yang lebih luas dari sebab pertama. Maka ada bagian dari ruang dan waktu yang tidak termasuk sebab pertama. Maka ada bagian dari ruang dan waktu yang tidak termasuk sebab pertama. Karena sebab pertama adalah keberadaan itu sendiri maka sesuatu selain sebab pertama itu tidak ada. Kemungkinan kedua adalah bahwa sebab pertama tersbeut adalah ruang dan waktu itu sendiri. Kalau sebab pertama identik dengan ruang dan waktu, berarti ia terbagi, karena ruang dan waktu dapat dibagi menjadi bagian-bagian ruang dan bagian-bagian waktu yang lebih kecil. Dan ini kontradiksi, karena keberadaan mutlak tidak terbagai.

Jadi dapat dibayangkan bahwa sumber segala yang maujud adalah Matahai Wujud Mutlaq yang memancarkan cahaya wujudnya, memberikan keberadaan dari segala sesuatu yang ada. Mentari ini bukanlah merupakan sesuatu yang material, ia tidak terikat ruang dan waktu, tapi meliputi itu semua, karena Ia lah yang memberikan keberadaan pada wujud-wujud mungkin selain diriNya. Sang Maha Surya perkasa yang ada di ufuk tertinggi langit dari segala sesuatu. Demikianlah maka terucap baris pertama dari sya’ir di atas.

“Langit dan Mentari”

Jadi yang dimaksud dengan kalimat ini adalah, bahwa saat kita melihat semua realitas maka di atas semua realitas tersebut, terda[at Langitnya. Langit dalam artian logis, artinya sesuatu yang memiliki derajat prioritas lebih tinggi dari realitas itu sendiri. Dan di atas langit ada langit, di atas Langit ada Langi, di atasnya lagi ada langit, ……., dan di puncak langi dari segala langit terdapat. Ia sebagai Mentari Wujud Mutlak, yang memberikan Cahaya Wujud kepada segala yang maujud. Semuanya tiada tanpa Ia. Semuanya tiada tanpa Ada. Semuanya tiada tanpa Ia. Sang Wujud Yang Mutlak. Jadi semuanyam baik segenap indera kita, mata kita, perasaan kita maupun semua hal yang ada di lua diri kita tiada tanpa Ia, Sang Wujud Mutlak. Oleh karena itu sebelum kita melihat berbagai fenomena, maka secara subyektif maupu obyektif kita “melihat” dulu “Al-Wujud Al-Muthlaq” yang memberikan keberadaan dan merupakan satu-satunya keberadaan bagi semua yang maujud. Hal itu seolah disyaratkan oleh ucapan “Butalah mereka yang tiada melihatNya di pelupuk matanya”, atau “Aku meliha Tuhanku dengan mata hatiku”, atau “Tiada Ia kecuali Ia”. Ia mendahului seluruh kedipan mata yang melihat, telinga yang mendengarm hidung yang bernafas, hati yang berdetak, pembuluh darah yang berdegup malu, rasa yang mulai bergeletas. Ia menyertai mereka semua setiap saat dan setiap waktu dan di setiap hal yang tiada dapat dibatasi oleh waktu apapun dan ruang apapun.

2. Syarah kalimat “siang berganti malam”

Adapun mengapa terjadi siang dan malam? Panas (“yang”) dan dingin (“im”)? Kebaikan dan keburukan? Tinggi dan rendah? Keindahan dan kejelekan? Nikmat dan sakit? Pahala dan dosa? Tua dan muda? Besar dan kecil? Terang dan gelap?

Kenapa terjadi Dualisme-Dualisme? Mengapa ada kutub-kutub? Dan lebih lanjut dari dualisme-dualisme ini muncul pula berbagai hal yang plural? Apakah hal-hal yang berkutub ganda ataupun hal-hal yang plural ini eksis secara objektif? Ataukah mereka hanya eksis secara subyektif?

Apakah benar terdapat kebaikan dan kejahatan? Kebenaran dan kesesatan?

Prinsip kausalitas menyatakan bahwa suatu Sebab tertentu akan menimbulkan akibat tertentu pula. Tidak mungkin suatu Sebab yang sama menghasilkan berbagai macam akibat. Maka tidak mungkin Sesuatu yang secara obyektif tidak terbagi menjadi Sebab bagi suatu akibat yang secara obyektif terbagi. Karena jika akibat yang ditimbulkannya secara obyektif terbagi pasti membutuhkan sebab lain yang menimbulkan “keduaan” atau “kepluralan” akibat obyektif. Jadi dalam hal Sebab Pertama, tidak mungkin ia menjadi Sebab dari akibat yang terbagi secara obyektif, karena Sebab Pertama tidak terbagi. Karena Semua adalah akibat dari rantai sebab yang berujung pada Sebab Pertama, maka tidak mungkin dua hal yang secara logis kontradiktif kedua-duanya eksis secara obyektif. Jika yang satu eksis secara obyektif maka yang lain pasti tidak eksis secara obyektif.

Jadi jika Kebaikan Ada maka kejahatan tiada. Konsepsi subyektif kita akan ketidakadaan kebaikan dalam sesuatu itulah yang disebut kejahatan. Jadi kejahatan mungkin ada secara subyektif dalam artian negasi dari Kebaikan. Demikian pula dengan Tinggi dan rendah, Besar dan kecil, Panas dan dingin, Muthlaq dan relatif, Terang dan gelap.

Dengan adanya dualisme-dualisme dalam konsepsi subyektif kita, terdapat ruang-ruang pengertian, relung-relung pengertian “dua-dua”. Dan karenanya gabungan subyektif-subyektifitas ini bisa menghasilkan pluralitas. Jadi yang plural (al-katsrah) itu ada secara subyektif, dan tidak ada secara obyektif. Dengan kata lain ia hanya ada dalam alam imajinasi.

Ada sebuah perumpamaan yang amat mengesankan dalam Kuliah YM Ytc. ‘Allamah Sayyid Musa bin Husein Al-Habsyi Al-Bangili, -seorang Ahli Hikmah Besar dari Bangil-, dalam kuliah beliau tentang Wahdatul Wujud di kelompok studi Topika, Bandung yang beranggotakan para aktifis Tarekat ‘Ubudiyyah. Beliau mengumpamakan fikiran manusia sebagai prisma, dan Wujud sebagai cahaya putih. Ketika cahaya putih mengenai prisma, prisma akan menguraikannya menjadi cahaya multi-warna (polikhromatis). Prisma-lah yang memberikan nuansa merah, ungu, hijaui, biru, kuning, dan berjuta warna-warna antara yang tak terhitung jumlahnya pada cahaya putih tersebut. Demikian pula Wujud Fikiran dan pemahaman manusia-lah yang “memberikan” berbagai nuansa pada Wujud Tunggal Maha Mutlak. Tiap pemahaman manusia tentang Wujud adalah selarik cahaya hasil uraian prisma “fikirannya”, sehingga dikatakan bahwa “Maha Suci Ia dari semua apa yang mereka sifatkan”.

Siang berganti malam, menunjukkan adanya gerak dan perubahan. Gerak adalah perpindahan keadaan dari suatu keadaan ke keadaan yang lain. Gerak tidak mungkin terjadi jika pada suatu Ruang yang memang hanya mengandung Satu Titik Mutlak. Karena berarti tidak akan terjadi perubahan apapun. Karena itu minimal harus terdapat dua titik agar terjadi gerak dan itulah makna Siang berganti malam. Siang berganti malam menunjukkan bahwa minimal harus ada satu dualisme agar terjadi gerak. Dari ini menunjukkan bahwa gerak sebagai gerak, -motion as motion-, hanya eksis secara subyektif. Sari dari segenap alam adalah gerak, alam tanpa gerak dan perubahan tidak mempunyai makna. Dalam pengertian yang sederhana, dalam fikiran kita, ada Tuhan sebagai Sang Maha Sebab dan ada alam, yaitu segala sesuatu yang bukan Tuhan. Karena dalam fikiran kita telah ada minimal dua hal yaitu Tuhan dan bukan Tuhan maka dapat terjadi gerak, dan itulah sari dari penciptaan itu sendiri. Namun perlu digaris-bawahi bahwa ruang-ruang dualisme (keduaan) maupun pluralisme (kejamakan) di mana dapat terjadi gerak tersebut, hanya memiliki eksistensi subyektif. Sehingga keduaan dan kejamakan yang “ada” dalam berbagai perubahan hanya ada dalam imajinasi. Dengan kata lain seluruh alam ini hanya “ada dan jamak” dalam imajinasi. Dan sesungguhnya Semua ini “Ada dan Tunggal” secara obyektif.

Maha Suci Ia yang menciptakan Siang dan malam sebagai tanda, Yang menciptakan semua selain Ia dalam imajinasi, Yang membiaskan berbagai peristiwa dalam prisma-prisma pemahaman hamba-Nya. Maha Suci Ia Yang senantiasa menegaskan bahwa tiada selain Ia, tiadalah semua yang tiada. Cahaya Wujud Yang Maha Tunggal memancar dan “dalam” imajinasi seolah tampak keberadaan “ketiadaan”. Pancaran inilah sumber alam dan semua yang ada. Tapi, sekali lagi, Tiada selain Wujud Tunggal ini, Tiada apapun selain Dia. Dia dan tiada apapun selain Dia! Dia!

3. Syarah kalimat “kulit dan jauhari”

Adapun “kulit” adala sesuatu yang langsung terlihat. Dan jauhari adalah sesuatu yang ada di balik “kulit”. Dilihat dengan mata, sebuah jambu memiliki kulit jambu. Jika di balik kulit jambu ini tidak terdapat zat jambu maka tidaklah dikatakan bahwa sesuatu itu jambu. Tapi jika terdapat sebuah jambu yang telah mengelupas kulitnya maka ia tetap disebut jambu. Itulah jauhar jambu.

Sesuatu di kenali tidak dengan kulitnya tapi dengan jauharnya. Penampakan luar yang terlihat tidaklah menunjikkan sesuatu tersebut. Dengan kata lain “ada” sesuatu yang menunjukkan “kesesuatuan” dari sesuatu. Inilah yang kita sebut jauhari dari sesuatu.

Jika kita memandang sesuatu sebagai sesuatu tersebut, maka jauharnyalah yang penting bukan kulitnya. Sebagaimana jika kita memakan buah pisang, buanglah kulitnya dan makanlah zat pisang yang ada di dalamnya. Karena itu hal-hal yang bersifat “luar” ataupun lebih tegas lagi bersifat “inderawai” tidaklah penting selama hal itu tidak mempunyai relasi dengan “kesesuatuaan” dari sesuatu yang sedang kita perhatikan. Jika anda melihat sesuatu rudal janganlah melihat dari segi “bentuknya secara estetis indah atau tidak”, “catnya berwana apa”, tapi pandanglah dari segi “keefektifan penembakan, pengejaran sasaran dan peledakan” yang berhubungan langsung dari “kesesuatuaan” suatu rudal.

Dan adalah suatu pertanyaan maha penting sebagai berikut. Pandanglah Segala Sesuatu sebagai Sesuatu. “Apakah Jauhari dari Segala Sesuatu ini?”. Atau dengan kata lain. “Apakah hakikat dari Segala Sesuatu ini?”.

4. Syarah kalimat “citra buhulan Terang”

Citra artinya bayangan atau imajinasi sesungguhnya imajinasi tiada lain adalah satu jenis bayangan yang dihasilkan oleh cermin fikiran. Segala sesuatu yang tampak selain Ia adalah citra. Adalah bayangan. Hanya eksis secara subyektif. Semua kulit-kulit yang kita lihat selain Ia adalah citra, adalah khayalan. Dimitri sebagai “dimitri” dengan keapaan atau batasan-batasannya sebagai “dimitri” yang Anda lihat saat ini adalah khayalan. Artinya dilihat dari Obyektifitas yang Maha Obyektif “dimitri” adalah suatu khayalan atau citra yang subyektif. Dan bukan berarti bahwa secara “obyektif praktis”, “dimitri” tidak ada. Karena sebenarnya alam “obyektif-praktis’ yang kita rasakan sehari-hari ini suatu alam subyektif yang memiliki “derajat obyektifitas” tertentu.

Pandang Segala Sesuatu sebagai Sesuatu, maka hakikatnya bukan lain adalah Wujud Maha Gemilang Yang Maha Mutlak. Kenapa? Telah dibuktikan bahwa Hanya Ia yang Ada secara Obyektif, dan selain Ia tiada secara Obyektif. Jika hakikat, dari segala sesuatu bukanlah Keberadaan itu sendiri (wujud qua wujud atau wujudun bima huwa wujudun), maka dari mana Segala Sesuatu tersebut memiliki keberadaan? Dan jika Segala Sesuatu tersebut tidak memiliki keberadaan maka ia tidak ada dan ini tidak mungkin.

Jadi segala sesuatu yang tampak di mata ataupun tersirat di hati ataupun terdengar di telinga ataupun terasa di pembuluh dara, ataupun segala sesuatu yang ada di alam obyektif-praktis ini tiada lain hanyalah Citra buhulan Terang. Citra buhulan pancaran Cahaya Wujud Mutlak yang terpancara dari Wujud Tunggal ke alam ketiadaan mutlak (Al-;adam Al-muthlaw, -atau nothingness). Cahaya tersebut terpancar dalam imajinasi, memunculkan berbagai “keberadaan” wujud-wujud yang mungkin, dan berbagai wujud-wujud yang mungkin tersebut lebih lanjut menjadi cermin dan prisma yang membiaskan –Cahaya tersebut menjadi Lautan Gemilang Cahaya. Di antara Cahaya-Cahaya tersebut jika terbuhul (terikat) dengan suatu struktur-struktur tertentu muncullah citra-citra. Citra-Citra muncul seperti buih yang muncul di lautan. Citra-Citra adalah buih-buih dalam lautan Wujud Cerlang Gemilang.

Jadi jauhar dari Segala Sesuatu adalah Dzat Tuhan Yang Maha Agung, -Sang Wujud Mutlak Yang Maha Tunggal Yang Tiada Terbagi oleh berbagai penyifatan-, Tapi tidak ada satu bagian apapun yang tampak oleh indera maupun fikiran kita dari alam ini yang dapat diidentikkan dengan Tuhan. Segala Sesuatu adalah Tuhan, tapi tidak ada sesuatu apapun yang masih mungkin dicerap oleh indera maupun fikiran kita yang identik dengan Tuhan. Inilah yang mungkin sering disebutkan dengan istilah “Huwa/Laa Huwa,- Dia dan tidak Dia-“. Segala Sesuatu adalah Ia, tapi tidak ada sesuatu apapun yang ada dalam kejamakan ataupun keduaan ini yang identik dengan Ia. Tidak suatu konsepsi subyektif siapapun yang mampu mencerap pengertian yang sempurna tentang Ia, Wujud Yang Maha Sempurna dalam KeTunggalan dan KeTakterbagiannya. Mungkin inilah yang dimaksudkan dengan kalimat “Ma arrafnaka bihaqqi ma’rifatik, -Tidak-lah kami kenali diriMu dengan pengenalan yang sebenarnya-“ atau dengan kalimat “Duhai Yang senantiasa kurindukan tanpa pernah kubayangkan”.

Jadi kesimpulannya? Seluruh apapun yang dituliskan dalam makalah ini tentang Ia pasti tidak bisa menggambarkanNya sebagaimana adaNya! dan apa artinya, anggap saja seluruh isi makalah ini adalah hiburan lepasa senja yang tidak mengandung Kebenaran sama sekali! Sebagaimana yang telah dikatakan oleh Guruku tct, Maulana Rumi, “Sesungguhnya para filosof itu berdiri di atas kaki kayu”. Bagaimana mungkin “melihatnya” dengan cara apapun kecuali dengan “PenglihatanNya” ? “Yaa man laa ya’lamu ma huwa wa laa KAIFA huwa wa laa aina huwa wa laa HAITSU huwa illa huwa”.

Dan kepadaNyalah aku berlindung dari keburukan segenap kebodohan kami, dan Semoga keberkahan Sholawat kepada Nabi dan Ahlul Baitnya yang suci senantiasa bagi kita semua.

Renungan 3

Renungan Cinta

menatap Muhammad buhulan rindu

tiada lidah yang tak kelu

tiada zarrah yang tak lebur

tiada alam yang tak lenyap

tiada mentari yang tak malu

tiada bintang-bintang yang tak bergetar-getar menahan segenap kelipnya

merintih akulah geletar cahaya Muhammad

aaakulahh geletar cahaya Muhammad

aaakulahh geletar cahaya Muhammad

dan tiada pula awan yang tak berarak-arak menanti pertemuan dengan Mu,

duhai Muhammad …

Sajak Maulid Nabi, dimitri mahayana, 1994

Wajah Asmara

dalam Nuansa

Nyala di dada

Buhulan Cinta !

dimitri mahayana, 1 November 1994

Wajah Asmara, Dia adalah puncak kesempurnaan yang mengatasi seluruh batas-batas terjauh alam imajinasi. Dia adalah puncak keagungan yang melampaui seluruh kebesaran rajanya raja di raja, dalam dunia, alam dan jutaan dan milyaran bahkan trilyun….. alam-alam yang ada (al-‘alamiin). Dia adalah puncak keindahan yang melampaui seluruh keindahan bidadari pencabut sukma. Di adalah Sang Maha Anggrek yang terselubung dalam hari Guruku YM Sayyid Musa yang keindahannya semoga senantiasa dipancakan-Nya ke maya pada. Sebatang Anggrek yang terkulai jika tiada dikenali. Anggrek dengan sejuta wangi kesturi. Dia-lah Sang Maha Gravitasi dengan segenap Keindahannya, KeagunganNya , KeCantikannya, Kewangiannya. Maulana Rumi Guruku tercintan mengatakan tentang Ia, ohh betapa pedih lengkingan sebatang seruling. Mengapa duhai seruling yang tak tahu darimana aku harus menyandarkan punggung-punggungku kalau aku lelah. Aku rindu Bambu tempat asal muasal aku mengada. Suaraku adalah geletar lara keterpisahan. Dimanakah Ia, duhai Bambu? Dimanakah Ia, duhai Sari-Sari Pusaran Cintaku? Dimanakah Ia, Wahai Sang Maha Rupawan?

Wajah Asmara adalah permukaan luar dari Kekasih Abadi yang senantiasa rapat tertutup dalam tabir-tabir kegelapan ataupun tabir-tabir cahaya. Wajah Asmara adalah tujuan tajalliyyat (penampakan Keindahan dan Kesempurnaan Tuhan) yang menerpa para pecintaNya. Hujan tajalliyyat ini begitu deras menerpa, sehingga remuklah talang-talang hati, hancurlah saluran-saluran beton “ego”, hancurlah semua bangunan kokoh yang ada di hati. Hujan tajalliyyat yang mahaderas terus-menerus menerpa sehingga lenyaplah semua yang ada di hati, imajinasi maupun konsepsi tersapu oleh airbah mahadahsyat. Airbah yang tiap percik zarrahnya adalah Gambar-Gambar Wjaha Kekasih. Airbah yang tiap-tiap buihnya adalah Luapan Kerinduan Kekasih. Airbah yang kedahsyatannya adalah Kehendak Yang Maha Agung. “Tiada apapun di hati kecuali Ia, Tiada Yang Maujud kecuali Ia.”

Telah berkata Guruku YM. Mir Budi Trisakti tentang hadirnya Sang Wajah Asmara. “Manakala seorang raja besar datang memasuki suatu negeri dihancurkannya segala yang ada sehingga hanya ialah yang duduk di singgasana agung dan mengatur seagalanya dengan kebijaksanaannya.” Manakala Ia telah hadir di hati maka tiada lagi selain Ia, karena Ia telah menghancurkan semua yang ada di hati dan duduk di singgasana kerajaan MahaAgung di hati kita. Jadi betapa mudah melihat apakah Ia Ada di hati atau tidak? Sekiranya dalam detak-degup jantung kita masih terukir hasrat untuk memperoleh kekayaan sekian-sekian, atau kedudukan yang cukup atau wanita cantik, pasti Ia tiada di hati! Sekiranya dalam detak-detak kekhawatiran masing terungkap cemas-cemas akan nasib anak dan istri sekiranya jiwa ini dipanggilNya, pasti Ia tiada di hati! Sekiranya dalam lubuk hati masih terbersit harapan-harapan pujian orang tua, handai taulan ataupun masyarakat luas, pasti Ia tiada di hati! Sekiranya dalam lubuk hati masih terbesit rasa takut kalau daging dan tulang kita dijadikan bahan bakar neraka, pasti Ia tiada di hati, karena dalam hati tertancap dalam sesembahan selain Ia yaitu “aku” yang mahabusuk dan pangkal semua kebusukan. Sekiranya dalam lubuk hati tersimpan hasrat yang amat kuat untuk beribadah agar memperoleh bidadari-bidadari surga, pasti Ia tiada di hati, betapa kotornya memanjangkan hasrat-hasrat birahi kita ke Alam Suci!

Wajah Asmara artinya semua adalah wajah-Nya. Bila kita mencintai Rasul, Ahlul Bait, orangtua, istri, anak seperti kita bayangkan menikmati cahaya lilin yang telah dipantulkan melalui berbagai cermin atau prisma, itulah kekasihNya yang sejati! Selain Ia hanyalah bayangan. Selain Ia hanyalah citra. Selain Ia memperoleh keindahan, keagungan, kenikmatan, keanggunan, kebaikan dariNya. Ia-lah yang ada di balik segenap keindahan, di balik semua keagungan, di balik semua kenikmatan, di balik semua keanggunan, dn dibalik semua kebaikan dan kasih sayang. Ia-lah Semua Kesempurnaan dan Keindahan, dan tiada kesempurnaan dan keindahan apapun selain Ia. Saat hangat cahaya mentari menerpa, bukan cahaya itu memberikan hangatnya tapi Mentari. Semua keindahan adalah tahapan-tahapan pancaran emanasi Sang Maha Surya. Tapalah Sang Maha Surya, maka gelaplah segala yang ada, dan hanya Dia-lah Yang Ada. Sebagaimana yang telah diajarka oleh guruku Husein bin Mansur Al-hallaj melalui berbagai Mursyid mulia (semoga senantiasa dirahmatiNya). “Manakala engkau pandangi tinta, huruf akan menghilang. Makala engaki pandangi huruf, tinta akan menghilang.” Tanpa tinta hutuf itu tiada, tanpa tinta hanyala tergeletak seelai kertas putih kosong. Maka tataplah Rasul dan Ahlul Baitnya yang suci di pusat-pusat. Cahaya Sang Maha Surya, ibu-bapak di salah satu pusat-pusat. KeindahanNya yang langsung terpancar kepada jasad maupun ruh, surga sebagai sepercik pelangi di atas pelangi di alam mayapada yang terbias dari HasrtatNya untuk memberi karunia yang kekal pada selainnya, neraka sebagai perckan meteor Surya yang akan melimatkan semua keburukan. Neraka adalah kasih-Nya yang sejati sebagaimana surga adalah karunia-Nya yang abadi…, maka terucaplah untaian kata suci. “Sekiranya Engkau kuatkan aku untuk menahan AzabMu maka betapa mungkin aku kuat untuk berpisah denganMu, sekiranya Engkai tegarkan aku untuk menahan panasnya nerakaMu maka betapa mungkin aku mampu untuk tiada melihat KeagunganMu …..”. itulah rintihan PecintaNya yang paling sejati dan murni, Murid Agung dari Baginda Rasulullah (SAWW), Imam Ali bin Abi Thalib (kw).

Dalam Nuansa, Nuansa adalah udara-udara beserta segala cakrawala angkasa yang senantiasa menemani tanah lempung tiada arti ini. Membiru keindahan ufuknya, meluas kelapangan tatapannya. Sungguh hayat kehidupan kita tergantung pada elemen-elemen udara tak tampak ini. Tiada nafas tanpa udara. Walau tidak terlihat. Sebagimana disebutkan dalam sebuah lagu seorag Sufi besar Fariduddin Attar Naishapuri, yang kuburnya senantiasa mewangi,

“ Dar hawayat

Mi parayam

Mi parayam

Ruze syab.”

“ Dalam udaraMu

aku terbang

aku terbang

di suatu malam.”

Udara tidak nampak. Tapi kehidupan seluruh tubuh material kita tergantung padanya. dan tidak mungkin kita melepaskan diri darinya. Seandainya di sekeliling tidak ada udara, maka pasti tubuh-tubuh material ini kan segera kehilangan hari-hari kehidupannya.

Seperti itu pula-lah keadaan-Nya. Ia ghaib dari pandangan lahir. Tapi Ia melingkupi semua sebagaimana udara melingkupi tubuh ini. Ia meliputi malaikat setiap Wujud dan kehidupan (baca: keberadaan) setiap yang maujud tergantung pada keberadaan-Nya. Subhaanalladzii biyadihi malakutu kulli syai’in wa ilaihi turja’uun. Ketergantungan kehidupan (baca: keberadaan) setiap yang maujud terhadap keberadaanNya jauh lebih dari ketergantungan kehidupan tubuh material ini terhadap oksigen pada udara. Jauh sekali. Tidak bisa dibandingkan.

Dalam Nuansa. Hijau, kuning, ungu dan merah maupun berbagai warna-warna tajalliyyat, yang ada di hati, itulah sumber segala kesan. Tuhan, Tuhan, Tuhan dan Tuhan maupun Tuhan yang tercermin-cermin melalui berbagai mustika alam tujuh mengesankan kesejukan nan cerlang di nuansa-nuansa hati, Yaa, nuansa hati. Nuansa hati tiada lain sumber segala kesan dan geletar hati. Dalam juataan nuansa hati, hanya Ia yang Ada dan tiada selain Ia. Maha Suci Ia yang menggolakkan hati dalam nuansa Nama-Nama-Nya. Mukmin tergolak di antara Nama-Nama positif dan mukmin memandang nama negatif sebagai negatif. Sedang kafir tergolek dalam Nama-Nama negatif dan memandangnya sebagai positif.

Nyala di dada. Bagaikan lensa-lensa dan cermin-cermin, akal dari perenung menangkap berbagai bayangan Wajah Asmara, yang tampak dalam segala nuansa. Kemana saja engkau menghadap, di situlah Wajah Allah. Bayangan terang, Bukan bayangan gelap. Bayangan maya, bukan bayangan nyata. Wajah Kekasih teramat cantik. Wajah Kekasih teramat lembut. Wajah Kekasih teramat terang. Benderang Sorot beribu, berjuta Cahaya Wajah Asmara terbias ke dalam loh-loh (lembar-lembar) hati nan bagaikan kertas ingin menangkap Seluruh Kesempurnaan Wajah itu. Namun seribu Wajah tergambarkan, sejuta Wajah pun datang menyorotkan seinarnya. Sejuta Wajah tercitrakan, milyard-milyard Wajah pun makin menyemarakkan citra-citra di hati. Ohh…, Ohh…, Ohh…, maka cahaya cahaya cahaya cahaya cahaya cahaya … tersebut menyalalah. Menyala terang menggambarkan himpunan citra-citra Wajah Kekasih yang bercampur dan bergolak dalam berbagai bentuk dan intensitasnya. Terbakarlah loh-loh lembara hati tiada mampu menahan hujan cahaya tajalliyyat tiada tara, sehingga lenyaplah satu demi satu ia ia yang lain selain Kekasih yang termaktub di hati. Api menyala degan terang. Dan Api nya pun merintih lirih

Aku akan membakar

Aku akan membakar

Aku akan membakar

Atau sirna……

Itulah watak nyala api yang ada di hati. Ia adalah Buhulan Cinta. Cinta pada satu Wajah Kekasih ditambah dengan Cinta pada Wajah Kekasih yang lain ditambah dengan Cinta pada Wajah Kekasih yang lain ………. Tiada terbayang intensitas Cahaya Wajah demi Wajah cahaya yang terkumpul pada Buhulan Cinta. Sampai di sini, sampailah sang salik pada satu maqam perjalanan ruhani yang disebut maqam al-mahabbah yang dilewati setelah semua selain ia melebur dengan sempurna karena terbakar oleh nyala api cinta yang ada di hati.

Hati yang dipenuhi dengan nyala cinta akan melihat berbagai bentuk (surah) Wajah-Wajah Kekasih yang semakin lama semakin menambah gairah cintahnya. Semakin lama semakin tindu. Semakin lama semakin dipenuhi oleh perihnya rindu. Semakin lama semakin Indah dan Cantik Wajah Kekasih. Semakin lama semakin jauh salik melangkah mendekati-Nya, semakin salik tiada tahu kapankah Ia akan sampai kepada Sang Kekasih Sejati?

Cinta menyuarakan gending-gending dan seruling

faqir merintih rindu sembari berkeliling

Cinta meniup lembut lembar-lembar mahkota bunga

faqir menjeritkan harapan ‘tuk bersua

Cinta menjanjikan kekasih yang dirindukan

faqir nanar menangis … menangis … dan menangis

Wahai Kekasih… Wahai Pupur dan Bedak Kesturi

Wahai Seribu Wajah Asmara!

Laksana semut, fawir merayapi gunung-gunung…

di kala angin musim dingin menerpa salju-salju

O…Ratih…kaki fawir membiru, kaku, tiada mampu bergerak

O…Ratih…di manakah dikau harus kucari

O…Ratih…telah kulewati Fuji nun jauh di timur dan ratusan selat-selat berakitkan bambu

O…Ratih…kau tiadalah ada di satu kota-kota cinta

O…Ratih…hanyalah aroma wewangian asli yang kudapat ataulah gambar-gambar berpigura di pasar-pasar burung

Labuan hatiku yang tersembunyi…Latifah Ratih

Harapan rasaku yang tiada terjangkau…’Aliyyah Ratih

Pujaan nurani yang maha agung…’Azhiimah Ratih

Piala-piala anggur cinta…Waduudah Ratih

Kecantikan tiada tara tiada terbayang…Jamiilah Ratih

Raup-raup kesempurnaan kasih mesra…Rahiimah Ratih

Rahmat tiada terbatas bagai samudra…Rahmaniyyah Ratih

Puja dan puji yang sempurna….

Dimitri Mahayana, Hud-Hud Rahmaniyyah, Syair ke-16

Maka dikatakan, orang-orang mukmin amat sangat Cintanya kepada Allah. Cinta yang sejati dan murni Jauh dari seluruh khayal-khayal syahwati. Cinta yang sangat. Yang bertambah sangat dari hari ke hari. Seperti yang dikatakan di sebuah lagu

Tomorrow, I ‘ll love You twice more

Segera setelah balik mencapai maqam al-mahabbah, Wajah demi Wajah Kekasih yang telah bergolak dalam nyala menariknya ke dalam pusaran gravitasi Cinta Ilahi…, sehingga menghasilkan kerinduan mahadahsyat pada Yang Tunggal Tiada Tara. Salik akan memasuki suatu “Domain of Attraction”, daerah di mana dirinya akan menjadi butiran-butiran mazhar (manifestasi) yang melingkar-lingkar mendekat dan semakin mendekat pada Sang Maha Tunggal Tiada Banding. Tak mungkin lagi salik menatapkan wajahnya selain padaNya. Suatu kesetiaan tauhid tiada banding! Bukankah Imam ‘Ali Zainal ‘Abidin As-Sajjad (a.s) telah bermunajat dalam Munajat Al-Muhibbiin;

“Ilaahi

mandzalladzii dzaaqa halaawata mahabbatik

faraama minka badalaa

waman dzalladzii anisa biqurbik

fabtaghaa ‘anka hiwalaa.”

“Ilaahi,

Apakah orang yang t’lah mencicipi manisnya cinta-Mu

akan menginginkan pengganti selain-Mu

Apakah orang yang t’lah bersanding di samping-Mu

akan mencari penukar selain-Mu.”

Dalam perjumpaan pertama Shamsuddin dari Tabriz dengan Maulana Rumi, Sang Matahari dari Tabriz menjelaskan, “Cinta adalah suatu penyakit, yang orang dihingapinya tidak pernah ingin disembuhkan.” Ya, Cinta kepada Tuhan itu perih, Kenapa? Perih karena rindu yang selalu menyayat, sedang Kekasih Sejati tiada terjangkau. Rindu yang makin menyayat. Karena semakin dekat sang pecinta tertarik mendekati Kekasih Sejati, semkain sadar sang pecinta ketakterjangkauan Kekasih dari haribannya. Maka ‘Arif besar abad ini, Ayatullah Al-‘Uzhma Sayyid Ruhullah Al-Musawi Khomeini telah bersyair;

“Asyiwam, Asyiqam

Marizh tu am

Ze in maraz

Ma dawa nami khoham.”

“Kasihku, duhai Kasihku

Aku sakit, karena-Mu

Dan akan sakitku ini,

ku tak ingin sembuh.”

Satu lagi pertanda agung dari maqam al-mahabbah ini adalah kemabukan. Betapa tidak? Nyala api Cinta nan terus bergolak menggambarkan Milyunan Kecantikan demi Kecantikan Yang Maha Cantik. Mulut terbelalak. Mata terpana. Syaraf-syaraf keindahan dan lokus-lokus wadah yang memahami keindahan dalam hati tiada mampu menyaksikan ini semua. Syaraf-syaraf pun rusak, Air Bah Kecantikan Wajah-Wajah Kekasih tertumpah dari wadah-wadah penerima keindahan, meyerang segenap syaraf. Kecantikan Wajah-Nya menyerbu seluruh indera-indera lahir dan batin. Maha Salik pun mabuk, terhuyung-huyung tak tahu arah tak tahu mata angin. Tak tahu di mana, ke mana, dan mau ke mana. Doyong kekiri tubuhnya dalam pelukan-Nya. Doyong ke kanan tubuhnya menggapai Bedak-Nya. Bukankah YM. Guruku tercinta Maulana Rumi telah merintihkan rintihan ini?

Pernah kaulihat pecinta yang demikian kepayang akan birahi ini? Pernah kaulihat ikan yang demikian mabuk pada lautan ini?

Pernah kaulihat wayang yang minggat dari pengukirnya? Pernah kaulihat. Wamiz bertobat pada Adhra?

Waktu berpisah, pecinta bagai nama tanpa makna; namun sebuah makna seperti kekasih tak perlu nama lagi.

Kau luat, aku ikannya-genggam aku menurut maumu; beri aku tujuan, tunjukkan wibawa raja tanpa kau aku akan terlunta-lunta.

Raja perkasa, apa yang kurang dari penunjuk jalan ini? Karena kau tiada, api menjulang tinggi.

Jika api melihatmu, ia pasti menyingkir; karena itu siapa saja yang memetik mawar dari unggun api, api akan memberi mawar yang indah mempesona.

Tanpa kau dunia adalah siksaan bagiku, mungkin ia akan sirna bila ku tiada; demi hidup kumohon ini, tanpa kau hidup adalah aniaya dan derita bagiku.

Bayang-bayangmu bagaikan seorang sultan yang sedang tamasya dalam hatiku, malahan bagaikan Sulaiman ketika berjalan menuju mesjid Al-Aqsa di Yerusalem.

Ribuan lentera menyala, tabir segala mesjid tersingkap; surga dan Telaga Kautsar dikelilingi Ridwan dan bidadari-bidadari.

Terpujilah Tuhan, Terpujilah Tuhan! Di Surga ribuan bulan bersinar terang. Rumah suci ini pun di huni malaikat dan bidadari-bidadari, hanya mereka tersembuyi dari mata si buta.

Burung molek dan bahagia itulah yang bersemayam dalam cinta! Siapa bisa mencapai puncak gunung Qaf kecuali burung ‘Anqa?

Molek si ‘Anqa mulia, maharaja Shamsi Tabriz! Ialah Matahari yang tak berasal dari Barat ataupun Timur, tak dari mana pun.

Nyala api Cinta Ilahi bergolak, membiaskan berbagai Wajah demi Wajah keindahan. Salik menatap Keindahan demi Keindahan Kekasih. Salik menatap Keanggunan dan Haibah Tuhan. Tiap saat dan tiap waktu. Hati salik-pun menangkap realitas segala peristiwa. Hati salik-pun memahami Makna Keindahan di balik segala peristiwa. Semua makna yang ada di hati salik sebelum mencapai maqam al-mahabbah akan dimaknakan ulang setelahnya. Tiada lagi kesedihan kecuali menjadi kebahagiaan. Tiada lagi kesulitan kecuali menjadi kenikmatan. Semua hal berubah substansi-nya, dengan sebenar-benar perubahan. Sebagaimana dilantukan oleh Maulana Rumi;

Karena cinta pahit berubah menjadi manis,

karena cinta tembaga berubah menjadi emas.

Karena cinta ampas berubah jadi sari murni,

karena cinta pedih menjadi obat.

Karena cinta kematian berubah jadi kehidupan,

karena cinta raja berubah menjadi hamba.

Jalaluddin Rumi

Lenyaplah berbagai dualisme-dualisme di hadapan sang salik. Tiada lagi pahit dan manis, semuanya manis. Tiada lagi tembaga dan emas, semuanya emas. Tiada lagi pedih melainkan ia adalah obat. Hilangnya dualisme-dualisme ini memasukkan salik kedalam alam monisme, alam kesatuan, alam ketunggalan, yang merupakan negasi dari alam al-katsrah atau alam kejamakan. Salik mulai akan masuk ke dalam daerah ketertarikan (domain of attraction) dari Tuhan Yang Tunggal Tiada Tara, yang di dalam daerah ini, salik akan memulai perjalanan barunya kembali menuju maqam-maqam berikutnya yang tiada terhitung banyaknya. Jauh, jauh sekali. Betapa sedikitnya bekal dan betapa jauhnya perjalanan. O..betapa jauhnya perjalanan dalam alam para muhibbiin ini...

Dan segala puji hanyalah bagi-Nya,

aku berlindung pada-Nya dari semua ke-iblisan diriku,

tiada daya upaya kecuali hanya dari-Nya selalu,

Wallahu a’alm bish-showab

Renungan 4

Renungan Fithrah Manusia

Puji kepada-Nya selalu. Sumber Segala Yang Wujud di milyunan alam. Alam material maupun immaterial. Lahiriah maupun ruhaniah.

Puji kepada-Nya selalu. Sumber segenap Cahaya Rahmat dan Kesempurnaan. Yang Rahmat-Nya meliputi segala sesuatu. Dari keseluruhannya, dari sebagiannya maupun dari zarrah-zarrah terkecilnya maupun yang ada di balik itu semua.

Puji kepada-Nya selalu. Yang kekuatan-Nya mengaliri Segala. Sehingga tampak langit-langit material tanpa tiang, dan adakah pula tiang yang terlihat bagi langit-langit Ruhaniah.

Puji kepada-Nya selalu. Yang memancarkan dari Wujud-Nya yang Kekal Mewangi, Ruh ke dalam tubuh-tubuh mahalemah dari tanah dan air yang nista ini. Sehingga segala yang ada di tujuh lapisan langit keberadaan ini senantiasa menyampaikan Shawalat dan Salam kepada Junjungan Kita, Insan-Kamil, Manusia Sempurna, Muhammad (SAWW), dan betapa para malaikat harus bersujud kepada Kakek Kita YM, Nabi Adam (a.s).

Puji kepada-Nya selalu. Yang memuliakan Bani Adam dengan Amanah Suci. Yang tidak mampu ditanggung oleh langit dan bumi…Yang menunjukkan jalan-Nya kepada Bani Adam untuk melaksanakan amanah ini dengan Nabi dan Risalah Yang Terang, dan dengan hati yang bagaikan cermin jernih menangkap Cahaya dari para Nabi dan Wali-Wali-Nya.

Maha Suci Nama-Mu, Duhai Tuhan Pujaan hati-ku. Duhai Tuhan Sari Cinta-ku. Duhai Tuhan segala ruang dan segala waktu. Duhai Tuhan segala imajinasi dan yang nyata.

Maha Suci Nama-Mu, dari apa yang aku sifatkan. Karena sungguh seluruh keterbatasan diriku yang mahalemah ini niscaya mensifatkan sesuatu yang terbatas, dan Maha Suci Engkau. Engkau-lah Wujud Sempurna Tiada Berbatas. Lautan Agung Kesempurnaan Tiada Tara Yang Tunggal dalam KesendirianMu Yang Abadi.

Pena Penciptaan menorehkan satu tujuan yang jelas bagi pencipataan jin dan manusia. Beribadah kepada-Nya. Beribadah kepada Yang Maha Agung. Beribadah dengan sepenuh hakikat diri kita kepada-Nya. Tuhan telah menciptakan jin dan manusia kita untuk beribadah kepada-Nya.

Maka dalam diri manusia ada sesuatu hasrat abadi untuk mengagungkan sesuatu dan menuhankannya. Memuliakan sesuatu dan memujinya tiada berbatas. Menalikan dirinya pada sesuatu yang kokoh dan menggantungkan nasibnya pada sesuatu ini. Ini adalah beberapa dari unsur-unsur yang substansial dalam ibadah. Beribadah kepada Tuhan adalah substansial dan essensial dalam diri manusia. Tidak aksidental dan additional. Beribadah kepada Tuhan adalah keniscayaan penciptaan suatu kemestian yang dilakukan manusia bukan keharusan.

Karena itu jika hati manusia di suatu saat tidak mengakui Tuhan Allah (SWT), Tuhan Yang Sebenarnya, maka pasti hatinya tertaut pada tuhan-tuhan selain Allah. Atau manakala hati sedang melupakan Tuhan, pasti ada tuhan-tuhan lain yang diingat selain Allah. Apakah itu harga. Apakah itu kedudukan. Apakah itu anak. Apakah itu istri. Apakah itu hasil karya. Apakah itu partai. Apakah itu mobil. Apakah itu keinginan-keinginan nafsunya yang lain.

Bayangkan ada seorang Romeo yang tengah merindukan Julietnya yang tak kunjung tiba. Lentik alis dan kecantikan Juliet yang tiada banding tentu membayanginya setiap saat setiap waktu. Mengganggu hati yang tentram. Menggundahkan sukma. Mencairkan wadah-wadah airmata hati.

Betapa mungkin seorang beriman melupakan TuhanNya, sedang ia menyaksikan kebesaran TuhanNya setiap saat dan setiap waktu di seluruh ufuk dan cakrawala alam maupun jiwa. Dan ia tahu dengan sebenar-benarnya pengetahuan bahwa Tuhan-lah sumber seluruh kecantikan wanita yang tercantik maupun bidadari surgawi, sumber keindahan semua keindahan, sumbe kasih semua yang mengasihi. Ia tahu bahwa Ia lah yang Maha Indah, MahaAgung, MahaCantik (Al-Jamiil), MahaKasih,….Betapa mungkin seorang berimana menegasikan satu interval pendek waktu hidupnya dengan hati yang lupa kepadaNya?

Yaa, sungguh hanya dengan berdzikir pada Allah-lah, hati menjadi tentram. Sebagaimana bayi dicipta untuk merintih kehausan, maka tatkala ia menemukan tetek ibunya kembalilah ia dalam ketentraman. Begitu pula fitrah manusia senantiasa merindukan Nama-Nama Allah.

Marilah kita akhiri acara ini dengan doa bersama;

Yaa Allah, sungguh kami adalah hambamu yang dhoif, hina dan terhina, yang fakir dan miskin dihadapanMu.

Yaa Allah, duhai Tuanku, duhai Kecintaanku, dan DambaanKu

Sungguh hati kami telah bertabir

Dan jiwa kami berkekurangan

dan Akal kami tertipu

dan hawa nafsu kami telah menipu

dan ketaatanku kepadaMu sedikit

dan kemaksiatanku banyak

dan kini lisanku mengakui semua dosaku ini

Maka bagaimanakah dengan seluruh keadaanku ini,

Duhai Yang Menutupi Semua Keburukan

Dan Duhai Yang Mengetahui Semua Yang Ghaib

Dan Duhai Yang Menyingkapkan Semua Kesulitan

Ampunilah dosa-dosa ku Seluruhnya

Dengan kehormatan Muhammad dan Keluarga Muhammad

Wahai Yang Maha Pengampun-

Wahai Yang Maha Pengampun-

Wahai Yang Maha Pengampun-

Dengan rahmatMu, Duhai Yang Paling Pengasih dari semua yang pengasih.

Allahumma sholli ‘ala Muhammadin, wa aali Muhammad.

Renungan 5

Renungan Masa Depan Dunia dan Agama

Wahai Yang menunjukkan DzatNya dengan DzatNya

dan jauh dari segala keserupaan dengan Makhluq-Nya

(Imam Ali bin Abi Thalib a.s)

1. Akar Problema

Dari kotak itu, muncul gambar Madonna sedang di shoot dalam keadaan over-sensual, atau yaa katakanlah, maaf-maaf, lengkap melambangkan syahwat raja kuda yang paling perkasa. Maka runtuhlah akal-akal orang yang melihatnya. Jelas, karena menurut Aristoteles, manusia adalah hewan yang berfikir, runtuhlah akal-akal orang yang melihatnya. Jelas, karena menurut Aristoteles, manusia hewan yang berfikir, runtuhnya keberfikiran membuatnya mengalami transformasi menjadi hewan.

Dari kotak itu pula, pada acara Dunia dalam Berita, tersungkur Muslimin yang mazhlum di Bosnia maupun di Cehnya, dengan segenap darah dan raut-raut wajahnya. Ia membuat hati demi hati, -yang masih memiliki cahaya walau amat redup-, menyala bak mata naga, ataupun besi yang dipanaskan hingga meleleh, mata naga kemarahan. Besi memerah yang hancur karena diremukkan oleh “rasa satu tubuh-rasa satu hati”, persaudaraan Muslimin yang tumbuh subur di hati tiap Mukmin.

Telekomunikasi mutakhir membuat cross-cultural transformation, cross problematical transformation, cross-political transformation merambah dan tumbuh berkembang pesat. Jelas globalisasi mengarah pada pembentukan satu “bangsa global, -qoum global-“. Dunia. Minimal secara kultural. Tidak menutup kemungkinan secara politis. Mohon maaf, sesuai dengan tema, al-faqir tidak akan mendiskusikan globalisasi politis karena ini memerlukan suatu analisis kekuatan, analisisi perkembangan historis, maupun mungkin analisis-analisis lain yang perlu.

Syahid Murtadha Mutahhari dalam Masyarakat dan Sejarah-nya maupun Syahid Muhammad Baqir Sadr membuktikan bahwa masyarakat, -dapat dipandang suatu Individu. Sebagaimana individu mempunyai dosa dan pahala, masyarakat mempunyai dosa dan pahal. Sebagaimana individu mempunyai agama dan keyakinan, masyarakat pun mau tidak mau mesti (niscaya) mempunyai Agama dan Keyakinan. Individu mempunyai aspek material maupun spiritual, demikian pula masyarakat. Jelas terdapat hubungan antara aspek material maupun spiritual individu maupun masyarakat. Sebagai contoh sederhana, OKB (Orang Kaya Baru) mengalami perubahan aspek material drastis, -dan betapa sulit menjadi OKB tanpa mengalami degradasi spiritual. Kemajuan drastis aspek material masyarakat yang disebabkan penerapan Saintek membuat masyarakat dunia menjadi MKB (Masyarakat Kaya Baru). Degradasi spiritual MKN nampak jelas dengan maraknya prostitusi dan tempat-tempat maksiyat di kota-kota industri yang kaya. Ini pula yang mungkin membuat Ulama Madura “kurang sreg” dengan industrialisasi masyarakat Madura?

Ada dua analisis peran yang saya imajinasikan tentang Globalisasi. Ini sehubungan dengan peran Agama dalam “Rekayasa Transformasi Budaya Global Mutual Multilateral Multikultural Multipolitikal Multiekonomikal Multisosial dalam konteks apakah itu akan ditransendensikan ataukah akan dimaterialisasikan, dan apakah itu akan diregulasikan secara global ataukah dideregulasikan secara global…” (Sorry, ini sedikit guyon ngawur).

Lebih tepat lagi adalah dua analisis peran orang-orang yang beragama dalam menentukan Agama Dunia-Pasca Globalisasi. Silogismenya sederhana. Karena masyarakat mesti punya Agama, sedangkan kenyataan terdapat banyak agama, maka ada beberapa kemungkinan. Masyarakat akan memilih salah satu agama yang ada sebagai Agamanya. Atau, masyarakat akan melakukan sinkretisasi beberapa agama yang ada dan memilihnya sebagai Agamanya. Atau, masyarakat akan menghasilkan “agama baru” yang dipilih secara sadar sebagai Agamanya. Sebelumnya saya mohon maaf, dalam makalah ini saya menggunakan pengertian agama dalam arti luas (sebagai terjemahan dari ad-diin), sehingga bagi semua pihak yang menggunakan pengertian agama dalam arti sempit, harus ada re-definisi dan re-konvensi makna-makna semantik sebelum melanjutkan diskusi kita. Dalam pengetian ini komunis, -atheis pun beragama, agamanya tidak lain adalah atheisme itu sendiri.

2. Buih-Buih di Lautan

Dalam model ini, masyarakat global dimodelkan sebagai lautan, transformasi budaya global dimodelkan sebagai gelombang lautan, dan orang-orang yang beragama dimodelkan sebagai buih-buih di lautan. Gerak pertumbuhan dan perkembangan masyarakat global ditentukan oleh gelombang globalisasi itu sendiri. Saintek jelas berubah-waktu, maka Agama masyarakat pun berubah waktu. Dan teriakan-teriakan pada Ahli Dakwah hanyala seperti tetes-tetes zat warna yang diteteskan ke dalam lautan.

Dalam model ini, agama hanyalah aksiden, dan tidak bisa menjadi substansi. Misalnya pun kita bayangkan bermunculan milyaran ahli dakwah. Sebagaimana halnya bisa kita bayangkan jika seluruh permukaan laut dipenuhi buih. Buih tetap buih. Secara fisik ia tidak mempuntai potensi untuk mengubah gerak laut. Segera saja gelombang demi gelombang akan menelannya. Keberadaan buih niscaya diikuti oleh ketiadaannya ditelan gelombang lautan. Hari ini X mendengar ceramah Jum’at. Sebelumnya tadi pagi X melihat aurat-aurat “megal-megol” dalam Senam Healthy Suplerhealthy Superstar Supersexy Supermodern Superuptodate…..Aerobic, pulang mampir nonton film semi-porno super-vulgar dan pulang nonton memperkosa dan membunuh cewek? Anak TK sudah bisa berzina? Ceramah subuh? Ceramah Tarwih? Pengajian? Bagai buih di lautan. Sekali buih tetap buhi. Analisis filosofisnya amat sederhana. Buih hanyalah aksiden temporal lautan. Aksiden bukanlah substansi. Sifat temporal ekstrim menyebabkan buih tak akan menyebabkan perubahan substansi lautan sampai kapanpun.

3. Pusaran Cahaya Rahmat

Analisis peran kedua ini memodelkan kebenaran dan Kebahagiaan Puncak sebagai satu cahaya lilin yang exist, dan unique. Sedang puak-puak bangsa dan ummat manusia adalah seperti laron yang mencari kebahagiaan. Sedang orang-orang yang beragama, -atau lebih tepatnya orang-orang yang beragama dengan benar-, adalah bagai kupu-kupu yang telah menyatu dengan Kebenaran dan Kebahagaiaan Puncak ini. Sehingga tanggallah ke-laronannya dan berpendarlah cahaya lilin kebahagiaan dalam dirinya. Mereka menjadi imitasi-imitasi cahaya lilin kebahagiaan. Sehingga laron-laron pencari kebahadiaan berkitar-kitar mengorbit dengan indah dan harmonis terdapat pusatnya yang tunggal. Mengorbit secara eksistensial bukan secara fisik. Pusatnya yang tunggal adalah Kebenaran dan Kebahagiaan Puncak, Tuhan Yang Maha Rahman. Sehingga laron, kupu dan Tuhan jadilah satu, jadilah suatu Masyarakat Global Ilahi. Satu masyarakat yang harmonis yang mengikuti jalan-jalan (tao) yang mendatangkan rahmat.

Rahmat tersebar di mana-mana. Seolah langit terbuka dan menyiramkan badai rahmat sampai orang tidak dapat melihat apa-apa lagi kecuali Rahmat ada di dalam, di luar dan menyertainya baldatun thoyyibatun wa rabbun ghafuur. Keadilan Tuhan tegak di muka bumi. Satu kesatuan global budaya (NB; mungkinkah juga politik?) dunia. Dunia yang ilahiah. Bukti bahwa Tuhan tidak menciptakan manusia dan alam ini dengan sia-sia. Mustahil Ia melakukan sesuatu yang sia-sia. Maha Suci Ia dari seluruh apa yang disangkakan makhluqnya yang bodoh/

Saintek, -terutama dengan teknologi komunikasi dan transformasinya-, merupakan infrastruktur material yang men-support penyebaran rahmat kupu-kupu cahaya agama ke seluruh bagian dari dunia, pandangan yang lebih ekstrim lagi mengatakannya, itu syarat perlu (necessary condition) bukan lagi sekadar support. Globalisasi material dispiritualisasi sempurna. Atau lebih optimis lagi, di Islamisasi sempurna? Apakah itu yang disebut dengan abad Mahdi?

Karena itu, sebutlah analisis peran ini sebagai satu cabang yang mungkin dari Mahdism Futurology. Dalam futurologi ini, agama memiliki peran yang substansil dalam globalisasi. Tidak aksidental. Tidak pula temporal ekstrim. Tapi ia bisa disebut temporal dalam artian bahwa semua yang ada di dunia ini pastilah akan lenyap. Sehingga karena itu, jika kita bisa menempatkan peran kita dengan pertolonganNya dan petunjukNya sebagaimana model masa depan ini, Islam akan menjadi Substansi Masyarakat Global Dunia. Bagaimana cara kita menempatkan peran kita? Mari kita bertanya pada para Ulama kita YM. Dan aku berlindung dari semua kedhoifan ucapan yang muncul dari fikiran yang lemah dan bathil ini, dan sungguh-sungguh Segala Puji hanyalah bagiNya selalu. Kuakhiri tulisan ini dengan mengharap keberkahan Sholawat Nabi YM.

Renungan 6

Surya, Rembulan dan Lilin Kecil

telah berkata Guruku YM, Maulana Rumi;

“Karena cinta pahit berubah menjadi manis,

karena cinta tembaga berubah jadi emas.

Karena cinta ampas berubah jadi sari murni,

karena cinta pedih menjadi obat

Karena cinta kematian berubah jadi kehidupan,

karena cinta raja berubah jadi hamba”

Yaa, Cinta merupakan kekuatan mahadahsyat yang siap meremukkan segala sesuatu selain Kekasih. Ia adalah sari segala gerak dan harmoni semesta. Semesta yang berputar-putar dalam tarikan pusaran Sang MahaGravitasi, Pusat-Pusat Cinta segenap makhluk. Cinta adalah salah satu rahasia-rahasia dari Dzat-Nya. Apakah Cinta itu? Tiada kata, tiada pena, tiada ungkapan, tiada lirik apapun yang bisa menggambarkan Apakah Cinta. Hanyalah seperti asap-asap yang terbang menghilang dalam taufan, kata hanyalah mampu mengungkapkan satu sisi-sisi kecil dari keagungannya.

Tentang Cinta Ilahi, Sang Maha Surya, telah berkata Guruku YM Sayyid Musa Al-Kadzim Al-Habsyi bahwa telah bersyair Imam Khomeini,

“Asyiwam, Asyiqam

maridh tu am

ze in maraz

ma dawa nami khoham.”

“Kasihku, duhai Kasihku

Aku Sakit, karena-Mu

Dan akan Sakitku ini,

ku tak ingin sembuh.”

Cinta adalah Sakit dan Perih. Tapi PeCinta tak ingin sembuh dari Sakitnya. Sakit karena Rindu akan Kekasih nan tak kunjung tiba. Sakit karena Api Hasrat akan perjumpaan dan pertemuan dengan Kekasih. Sakit karena Kekasih demikian Mulia, Agung, Suci, Tinggi, Maharani, Mahaanggun, Maha …., tiadalah pantar al-faqir menyentuh batas-batas terluar yang paling jauh dari Hadhirat Kekasih.

Tentang Cinta kepada Nabi Muhammad, Rembulan Asmara, Cermin Kesempurnaan Tuha, Makhluq Yang Paling Smepurna, al-faqir yang dhoif ini bersyair;

menatap Muhammad buhulan rindu

tiada lidah yang tak kelu

tiada zarrah yang tak lebur

tiada alam yang tak lenyap

tiada mentari yang tak malu

tiada bintang-bintang yang tak bergetar-getar menahan segenap kelipnya

merintih akulah geletar cahaya Muhammad

aaakulahh geletar cahaya Muhammad

aaakulahh geletar cahaya Muhammad

dan tiada pula awan yang tak berarak-arak menanti pertemuan dengan Mu,

duhai Muhammad …

Cinta kepada Nabi Muhammad (SAWW) adalah identik dengan Cinta kepada Tuhan. Karena Muhammad (SAWW) adalah Kekasih Tuhan. Apa yang dicintai Muhammad (SAWW) dicintai oleh Tuhan. Apa yang dimurkai Muhammad (SAWW), dimurkai oleh oleh Tuhan. Nabi berakhlaq sempurna, berjiwa amat mulia, berwajah paling indah dan tampan. Tiada-lah satu percik zarrah apa pun dalam lahir dan batin Nabi, maupun dalam tujuh lapisan alam dalam semesta Nabi melainkan dipenuhi dengan segenap Keindahan, Keagungan dan Ridho Tuhan. Mukmin adalah orang yang mencintai Nabi lebih dari mencintai dirinya sendiri, dan mencintai Keluarga Nabi lebih dari mencintai keluarganya sendiri. Sholawat sejahtera atasNya selalu.

Di dunia ini, tiada mungkin kita bertemu dengan Kekasih Sejati, Sang Maha Surya, Tuhan Yang Maha Agung. Tiada pula mungkin kita bertemu dengan Rembulan Asmara, buhulan cinta para Wali dan hamba yang taat, Muhammad (SAWW). Tapi bagi hamba yang dikaruniai penglihatan indah, tiada lain segenap zarrah di semesta adalah biasan-biasan Rahmat dan Sentuhan Kekasih Yang Maha Agung. Di antara zarrah-zarrah tersebut, ada lokus-lokus Cinta yang paling terang, adalah Kasih Orang Tua dan Cinta maupun Birahi antara Laki-Laki dan Wanita. Al-faqir menyebut lokus-lokus ini sebagai Lilin-Lilin Kecil. Manakala aku menatapi lilin-lilin kecil ini aku teringat akan Cahaya Sang Maha Surya, Manakala aku menikmati keindahannya, aku teringat akan biasan-biasan Cahaya Sang Maha Surya. Suami/Istri adalah ladang-ladang kasih, ladang-ladang asmara, tempat al-faqir menanam benih-benih Cinta, dan melatih untuk merasakan pedih sekitnya Cinta. Ladang-ladang kenikmatan maupun pengorbanan, pertemuan maupun kerinduan.

sepercik terang lilin dalam kelam,

saat tiada Surya maupun Rembulan

melepas setitik rindu dan dahaga

akan Kekasih Sang Maha Agung, Sang Maha Surya

dan Rembulan MahaCantik, MahaIndah, Muhammad

Menatap lilin-lilin kecil adalah Kehangatan. Mengurangi Silau-Silau jika kita langsung menatap Surya. Menatap lilin-lilin kecil adalah Kenangan. Mengenang Kekasih Mahacantik Mahaanggun Mahamesra, Alla ‘Azza wa Jalla dan Cerminannya Yang Azali, Muhammad (SAWW).

Aku pun mabuk dalam hangat cahaya lilin-lilin kecil

merah kekuningan nan bergoyang lamban bak taburan manik-manik asmara

menggerakkan jutaan nuansa bayangan dan bintang-bintang pemabuk

Tiada sadar, tiada keluh, tiada kesah, tiada desah,

tiada detak-detak hati,

tiada pula awan beranak mendung

Jernih, Bening kutatap nuansa yang bergoyang dalam Lautan Tajalli

Aku pun mabuk dalam nuansa tarian lilin-lilin Tajalli,

Lilin-Lilin merasuk bak Anggur

Lilin-Lilin Yang Indah bak Lailah

Lilin-Lilin menari bak Zakiyah

Lilin-Lilin menangis gembira

Lilin-Lilin melengking merdu

Lilin-Lilin Asmara

Puncak Kemabukan Orang-Orang Tuhan

Lilin-Lilin nan tiada membuat dahaga

tapi membakar kerongkongan Perindu Tuhan

tetes demi tetes Cairan Putih Suci terbakar dalam Api Cinta

Cairan Yang memabukkan, itu lah aku

aku demi aku yang kepayang

menetes lenyap dalam kegelapan malam

lebur dalam keindahan Api, Gincu-Gincu Kekasih nan merona merah

aku demi aku keram dalam ketiadaan

menatapi Tajalli demi Tajalli,

Keindahan Api lilin nan merona merah kekuningan, Rona-Rona Kekasih bertahtakan manik munri keemasan,

Ooo, aku telah mabuk dan Terbakar

Ooo, aku telah mabuk dan Terbakar,

Sirna dalam Fana

Ooo, Sang Mahafana, mahafana, mahafana,…

dengan AsmaNya Yang Maha Tinggi

Dia memandang, aku tersipu

Aku memandang, Ia pun tersipu

memalu dengan pipiNya Yang Memerah Jambu

O…, Duhai Ia Yang Mahamalu dalam Puncak Keanggunannya

Kusentuh lentik bulumataNya,

Ia belai rambutku terberai,

Airmata dalam senyuman

Dengan sejuta makna dan cita

Citra itu memancaran Hujan pelangi di alam mimpi,

dalam alunan “bulan madu di atas awan”

dan jutaan zarrah langit nan senantiasa membiru,

dalam kelapangannya aku bercumbu dengan mesra,

Sedang Kekasih Nan MahaCantik memamerkan merah

rona pipiNya, dengan Wangi-Wangi azali yang,

meleburkan segenap zarrah dan mengguncang

Aku pun duduk bertelekan Awan-Awan putih nan menyelimuti ku dari segenap tatapan dunia

maupun menyembuyikan aku dari khayalan hasrat-hasrat yang tertidur di alam mimpi,

Segelas Anggur nan kuteguk, Anggur tetes airmata kerinduan Kekasih,

Arak Kesturi tiada banding,

Kureguk cukup satu tegukan, dan Mabukpun menjalar ke segala bagian-bagian terlembut dari jiwaku,

Bak keledai lupa akan kepalanya aku terjerembab dalam lorong-lorong pusaran Cinta mahadahsyat,

Di tiap relung kutemui Berjuta Wajah Kekasih Rupawan,

menyanyikan lagu cinta dan dahaga,

dan dahaga,

Dalam setiap tetes kedahagaannya terdapat Samudera,

Yang menyegarkan jutaan kedahagaan baru…

Ohh, Ohh, Ohh, jangan begitu Duhai Kekasih, …

Ohh, Ohh, Ohh, janganlah malu Duhai Kekasih, …

Seiring serunai jagung menyiulkan lara keterpisahan, …

Serentak aku memasuki jutaan persatuan, yang masing-masingnya menyantikan ribuan nyanyi perpisahan baru, …

Sejengkal saja dari mata tapi ada jutaan, milyaran, trilyunan, trilyun-trilyun…, tak hingga titik yang harus dilalui, Dan tiap titiknya mengandung rahasia-rahasia Wajah Kekasih nan rupawan,…

Ohh, Ohh, Ohh, Nur melesat kembali ke asal tempat segala bermuara,

Ohh, Ohh, Ohh, kutatapi Ceralng Wajah Muhammad buhulan Asmara, melalui NurNya, Nut itu, Nur itu, Nur itu,

Betapa mungkin ini kutuliskan, Tanpa Pancungan KekasihKu, Yang Maha Agung…?

Duhai nuansa, awan dan segala dahaga yang tersimpan dalam hujan-hujan Tajalli …

Duhai hati, rasa dan segenap Cinta yang tersembunyi rapat dalam tiap cinta-cinta …

Duhai kekasih, dan segala WajahMu yang Engkau sembunyikan dalam tarabir tarabir tiada terhingga ……..

Darah pun tertumpah

Dari percik-percik darah Al-hallaj,

Melarik ke awan dan langit yang biru

Laa ilaaha Illa Allah,

yang asli tanpa cela, tanpa ragu, terang benderang dalam naungan bendera Asmara,

Mengguncang sungai

Laa ilaaha Illa Allah,

yang mengalirkan semua air dari hulu ke muara,

yang mengalirkan Semua dalam Jalan, Tao, yang benar

Mengguncang segala,

Laa ilaaha Illa Allah

yang senantiasa memancar dalam iluminasi segala,

Iluminasi wujud azali, tiap saat, tiap waktu, tiap percik, tiap ruang, dan tiap segala yang tak bisa diungkapkan dalam waktu ataupun ruang ……

Diam dalam Ketunggaln Tiada Taranya,

Laa ilaaha Illa Allah

nan hanya diketahui olehNya dalam tahap pertama setelah kegaibanNya terhadap diriNya sendiri, Akal Segala, Akal Mahasempurna, Muhammadar Rasulullah,

Syahadat sempurna………

Tertuliskan dengan Laa merah muncrat dari hati,

Dan bertahtakan lengkap syahadar memerah sukma,

Darahpun menetes menuliskan Saksi demi saksi KetunggalanNya……, Syahid Husein bi Mansur Al-Hallaj,…..,

Renungan 7

Imaginasi Teofanik : Imajinasi Penciptaan

menatap Kekasih buhulan rindu

lidah tertetak menjadi kelu

orok merah berari membiru

labuan bunda kaku membatu

Hud-Hud Rahmaniyah, syair ke-dua

O. Prolog

Apakah di surga itu ada warna dan bunyi sebagaimana di dunia ini? Demikian, kami sibuk berbincang saat bis malam Bandung-Surabaya yang saya tumpangi beserta Sayyid Musa menyusun silogisme-silogisme menghadapi tikungan-tikungan Sumedang yang amat tajam tersebut. Setajam itu pula, terulur kilauan-kilauan berlian argumentasi dari akal Sayyid Musa, -pancaran hikmah-, yang mengiris-iris semua kegelapan sehingga terang teofani mengatasi segala yang ada!

“Pertama, warna dan bunyi, ditinjau dari sebab-sebab materialnya jelas tidak ada di surga. Mengapa? Karena warna dan bunyi di alam fisik ini ditimbulkan oleh gelombang-gelombang dengan besar amplitudo tertentu, yang pasti-pasti terbatasi oleh ruang dan waktu. Artinya mereka bersifat material. Sedang surga pasti-pasti adalah suatu yang bersifat spiritual (immaterial),” begitu ujar Beliau.

“Tapi Paduka,

apatah nan hendak kuucapkan tentang

pelangi-pelangi nan dengannya Ia kecup bibir-bibir hatiku

atau dengan simfoni yang kemarin dinyanyikanNya?

hijau biru Kubah Raja nan senantiasa nanar kutatapi?”

demikian aku menjawab pada Beliau.

“Oh…, budakku yang setia, pemilik ukuran yang mahafakir,…, warna dan bunyi, sekiranya kita pandang secara hakiki adalah sesuatu yang tidak mengharuskan adanya sebab-sebab material. Artinya sebab-sebab material timbulnya warna dan bunyi, -seperti panjang gelombang, frekuensi gelombang, kecepatan gelombang, mata, syaraf dan lain-lain-, hanyalah merupakan bagian dari syarat cukup (sufficient conditon) timbulnya warna dan bunyi. Dan sekali-kali bukanlah merupakan syarat cukup itu sendiri, apalagi syarat perlunya. Apa buktinya? Dalam mimpimu yang kauceritakan itu, engkau jelas-jelas menatap warna dan bunyi. Engkau menatap keindahan Istana Kekasih di balik awan, dan Ia pun menyanyi untukmu dengan teramat merdu. Bukankah dikatakan Nabi Daud merupakan peniup seruling di surga?”

“Selain itu, oh…, budakku yang penuh semangat dalam memerangi kebodohannya, …, sekiranya engkau memerlukan bukti yang lebih akurat secara filosofis, apakah warna itu secara obyektif ada pada cahaya ataukah merupakan suatu hal yang hanya ada secara subyektif? Demikian pula apakah bunyi itu obyektif atau subyektif pada gelombang suara? Jelas-jelas ia bersifat subyektif, -tidak obyektif. Kenapa? Bagi seorang buta atau tuli, keberadaan obyektif gelombang cahaya atau suara tidak mengharuskan keberadaan obyektif warna dan bunyi.”

“Jadi warna dan bunyi itu subyektif. Ia memiliki suatu keberadaan obyektif dalam alam subyektif orang yang melihat dan mendengarnya. Jadi cahaya dan gelombang suara di alam fisik ini tidaklah merupakan sumber satu-satunya tampaknya warna maupun terdengarnya bunyi,” demikian Sayyid menjelaskan panjang lebar.

“Jadi, Paduka

apakah itu hijau dan biru yang kunikmati sejuknya dalam mimpiku,

ataupun “The Ancient Melody” yang kudengar sampai aku menggeletar dalam puncak kerinduan dalam mimpiku itu, duhai Sayyid – ku YM.”

Tanyaku sembari mengagumi bekas-bekas cahaya sujud dan tafakkurnya yang menjulang Langit.

Beliau pun menjawab sebagaimana bersya’ir lirih;

“Itulah tempat hamba mungkin menyentuh Maha Rani,

tempat Muhsin terkapar penuh lara, dalam buaian pelangi di atas awan,

Itulah tempat aku senantiasa bertemu dengan Kakekku YM, Ali (a.s, k.w)

dan menciumi hikmah-hikmahnya.

Itulah Imajinasi Teofani. !”

1. Imajinasi Teofani : Imajinasi Kreatif

Sebagaimana kausalitas menunjukkan, -sejelas mentari di siang bolong-, alam-alam yang lebih tinggi itu pula hasrat ilahiyah dalam diri manusia menembus dan menyaksikan alam-alam itu. Secara filosofis alam-alam itu adalah alam-alam yang memiliki derajat prioritas lebih tinggi dari alam material kasat indera ini. Lebih tinggi dalam artian suatu sebab yang mendahului akibat. Secara fitrah-akliah-qolbiah alam-alam itu lebih menarik jiwa manusia dari pada dunia fana ini.

Keteraturan bumi dan planet-planet mengitari matahari membuat para ahli fisika menembus dan menyaksikan eksistensi hukum gravitasi yang menjadi sebab dari keteraturan itu. Sebuah lukisan indah membuat orang-orang yang dapat mengapresiasinya ingin berjumpa dan mengenal lebih lanjut pribadi pelukisnya. Amat sulit di sini memisahkan antara hasrat rasional yang selalu dituntun oleh kausalitas dan prinsip non-kontradiksi logis dan hasrat irasional yang selalu dituntun oleh gerakan mekar wangi bunga-bunga hati yang semerbak rancak dan senantiasa mewangi.

Kini, ketika abdigakir ini sedang berusaha merasionalisasi kumpulan-kumpulan pengalaman ini, dalam imajinasi saya ada seorang penari wanita bergelayutan mesra di cabang-cabang mawar dan membuat saya mabuk … mabuk dan mabuk … Saya tak tahu apakah saya saat ini berfikir atau bermain simfoni. Saya tak tahu apakah saya saat ini sadar ataupun mabuk.

Kemabukan spiritual karena terang dan lembutnya selarik kecil dari Cinta Tuhan yang dikaruniakan kepada kita, mengangkat kita ke suatu alam-alam lain. Pada alam-alam tersebut ada pandangan, sebagaimana kita dapat memandang di dunia. Pada ruang-ruang tersebut ada pendengaran, sebagaimana kita mendengar di dunia. Cinta Tuhan menarik manusia, baik lahir maupun batinnya, dan segenap indera dan persepsinya, ke alam-alam yang lebih tinggi… Alam yang kurang obyektif jika dilihat dari obyektifitas alam material, tapi sebenarnya adalah alam yang lebih obyektif jika dilihat dari Obyektifitas Mutlak, Kebenaran Yang Maha Tunggal.

Kemabukan ruhaniah yang membawa manusia ke dalam sari kecanduan Cinta Ilahi ini di saru sisi melenyapkan kesadarannya dalam dunia ini, tapi di sisi lain memberinya kesadaran yang hakiki tentang hakikat dunia dan segala yang ada ini.

Sentuhan putik benih-benih berseri

Keceriaan pemabuk dalam tarian bintang perumpamaan

Ia belah ujung-ujung kelipnya dan dirajutnya

menjadi manikan murni keriangan

menjadi jantung, darah dan airmata

menjadi lentera gemilang bak pelangi dalam tetes-tetes embun

atau mentari yang sejuk

O…Syaki, pemilik anggur-anggur yang mematikan

elang-elangmupun telah membunuh

jiwa-jiwa yang bagaikan ayam mengais-gais tanah

maka kupinta racunmu dengan segera

agar rindu tiada lagi menyayat

Cincin cendana tanda kematianpun kau berika

Senyum bahagia sang peminum racun

Hari-hari yang cerah telah tiba

Apa itu teofani? Teofani adalah tajalli

Wujud Yang Maha Mutlak tiada tertara tiada berbanding tiada berbatas apapun walau hanya Nama-Nama. Nama tiada membatasi wujud, ia hanyalah satu penyebutan Wujud itu sendiri. Tiada selain Wujud Yang Maha Mutlak ini. Selain Wujud Yang Maha Mutlak ini hanyalah ketiadaan mutlak (al-‘adam al-muthlaq, atau nothingness). Hakikat Zat-Nya tiada lain adalah WujudNya yang tiada lain adalah wujud itu sendiri. Tunggal, tiada terhitung luas, tiada berbatas. Besar, tiada tersifati dengan sifat apapun. Tunggal, tiada terhitung karena dua-nya tidak pernah ada, dan tidak ada dua, tiga,… yang mendampinginya dalam apapun. Tunggal tiada tara dalam KesepianNya yang azali. Inni usyhiduka wakafaa bika syahiida, … Aku bersaksi tentangMu dan cukuplah Engkau sebagai saksi. Cukuplah Wujud sebagai saksi atas Wujud. Karena selain wujud adalah ketiadaan muthlaq. Cukuplah keberadaan sebagai saksi atas keberadaan. Karena apa yang bisa memperjelas keberadaan? Saksi atas keberadaan diriNya (existence in-itself), saksi atas ketunggal diriNya (ahadiyyul ma’na), saksi atas kesempurnaan diriNya (yang Wajib sedang segala selain Ia mungkin, atau dengan kata lain, yang Ada sedang segala selain Ia tidak ada).

Creatio ex nihilo, penciptaan segala yang ada dari nothingness (ketiadaan muthlaq), adalah mustahil. Karena jika ini mungkin, maka ada Penciptaan (Khaliq), dan “ada” nothingness (ketiadaan muthlaq) dan adan makhluq yang diciptakan oleh Khaliq dari nothingness (ketiadaan muthlaq). Sedang ketiadaan muthlaq itu benar-benar tiada ada sehingga tidak memiliki efek apapun. Jadi makhluq apapun diciptakan Khaliq tidak membawakan efek apapun dari nothingness. Artinya “tidak ada” nothingness yang merupakan unsur penciptaan atau mudahnya ketiadaan itu benar-benar tidak ada apa-apa. Kalau “ada” ketiadaan muthlaq yang merupakan unsur penciptaan berarti ada bisa identik dengan tiada, dan ini merupakan kontradiksi.

Tajalli bukan creatio et nihilo. Kesedihan Tuhan Yang Maha Wujud dan tidak ada yang wujud kecuali Wujud ini digambarkan dalam frasa berikut : “Aku adalah Perbendaharaan yang tersembunyi. Aku ingin dikenali. Karena itulah Aku mencipta, agar Aku dikenali”. Frasa ini merupakan kesedihan dari Nama-Nama Tuhan yang ada dalam peti-peti ketidaktahuan. Ketidaktahuan karena tidak ada yang menamakan Nama-Nama tersebut. Tidak ada yang mengenali Nama-Nama tersebut. Tidak ada yang menyebut Nama-Nama tersebut. Kesedihan ini terwujud dalam bentuk Nafas Ilahian (tanaffus) yang tidak lain adalah Kasih (Rahmah) dan eksistensial (ijad), dan yang dalam dunia misteri adalah kasih Wujud Tuhan dengan dan untuk DiriNya sendiri, yaitu, untuk Nama-Nama-Nya sendiri.

Nama adalah pandangan kepada Wujud dari satu sudut pandang tertentu. Wujud adalah Ar-Rahman. Wujud adalah Ar-Rahim. Wujud adalah Al-Lathiif. Wujud adalah Al-’Azhiim. Wujud adalah Al-Aliyyu. Ar-Rahman adalah Ar-Rahiim adalah Al-Lathiif adalah Al-‘Azhiim adalah Al-‘Aliyyu. Dan Dialah Wujud Al-Muthlaq . dzat Tuhan tidak bisa dibatasi oleh apapun dan tiada terbatas. Sebagai suatu contoh mudah, karena keterbatasan mata kita, maka tidak mungkin kita memandang seluruh aspek sebuah rumah dari segala sudut pandang pada saat yang bersamaan. Jika kita memandang dari atas kita sedang memandang rumah. Jika kita memandang dari samping kita sedang memandang rumah. Jika kita memandang dari penjuru atas kita sedang memandang rumah. Maka ada yang disebut tampak atas, tampak samping, dan lain-lain. seperti itualh Nama. Segala sesuatu selain Tuhan terbatas, minimal oleh kekuasaan Tuhan yang menciptanya. Keterbatasa itu esensial. Hakiki. Hakiki dalam artian yang paling dalam dan tidak berubah dan tidak pernah akan berubah. Keterbatasan esensial segala sealin Zat Tuhan membatasi secara esensial pandangan dari segala keapda Zat Tuhan melewati Nama-Nama. Nama-Nama inilah yang masih mungkin di “pandang” oleh segala selain Zat Tuhan. Hanya Nama, sekali lagi hanya Nama. Bukan Zat Tuhan itu sendiri.

Betapa tidak sedang Kekasih Allah. Makhluq Allah Yang Paling Sempurna di sekalian alam Rasulullah (S.A.W.W) yang mulia telah bersabda :

Kami tidak mengetahui Engkau sebagaimana seharusnya Engkau diketahui. Kami tidak menyembah-Mu, sebagaimana Engkau seharusnya disembah.”

(40 Hadist, Imam Khomeini, Buku Pertama, Mizan, Cetakan Kedua, 1993, hal 70)

Tajalli adalah penampakan/manifestasi Nama-Nama Tuhan. Seluruh makhluq yang tercipta tiada lain adalah manifestasi Nama-Nama Tuhan. Wujud Mutlak bagaikan Mentari yang memancarkan Cahaya Keberadaan kepada berbabagai Nama-Nama. Nama-Nama tidaklah memiliki Wujud secara obyektif, mereka hanyalah memiliki wujud secara subyektif atau imajinatif. Ya, bagi Wujud Yang Maha Mutlak Nama tidak mungkin mempunyai keberadaan secara obyektif, kecuali Nama tersebut identik dengan Wujud Yang Maha Mutlak. Jika Nama mungkin mempunyai keberadaan secara obyektif walaupun ia tidak identik dengan Wujud Yang Maha Mutlak, maka ini melanggar prinsip non-kontradiksi.

Nama-Nama Tuhan yang terkena cahaya Wujud akan berpendar dan mereka akan memancarkan Cahaya Wujud sesuai dengan sudut pandang masing-masing. Antara Cahaya yang terpancar dari satu Nama dengan Cahaya yang dipancarkan dari Nama lain dapat terjadi berbagai hubungan. Berbagai hubungan tersebut bisa merupakan unifikasi, negasi, interseksi, dan lain-lain. Berbagai hubungan antar Nama kembali memendarkan berbagai Nama-Nama baru yang merupakan manifestasi dari berbagai Nama-Nama yang lebih dulu memperoleh Cahaya Wujud. Ini terjadi terus menerus di berbagai arah sehingga “terciptalah” alam ini sebagai manifestasi dari Nama-Nama Allah. Atau dengan kata lain, seluruh alam ini tidak lain adalah Nama Allah dalam sebuah ceramah Imam Sayyid Ruhullah Al-Musawi Al-Khomeini dijelaskan bahwa;

“The whole world is a name of Allah, because the name of thing is its sign or symbol and as all the things existing are the signs of Allah, it may be said the the whole world is His Name. At the most it can be said that very few people fully understand how the existing things are the signs of Allah. Most people know only this much that nothing can come into existence automatically.

…….

This much can be easily understood by all that exizting things are a sign and a name of Allah. We can say that the whole world is Allah’s name. But the case of this name is diffent from that of the names given to ordinary things. For example if we want to indicate a lamp, or a motor car to someone, we mention its name. The same thing we do in the case of man or Zayd. But evidently that is not possible in the case of the Being possessing infinite sublime qualities.” (Light Within Me, Islamic Seminary Publication, Pakistan, First Edition 1991, pp. 123-124)

Yang terjemahan bebasnya kira-kira sebagai berikut;

“Seluruh alam adalah Nama Allah, karena nama dari sesuatu adalah tanda atau simbol dan karena seluruh yang ada adalah tanda-tanda Allah, dapat dikatakan bahwa seluruh alam adalah NamaNya. Sungguh dapat dikatakan bahwa sangat sedikit orang yang mengetahui secara penuh bagaimana seluruh yang ada adalah tanda-tanda Allah. Kebanyakan orang tahu tentang hal ini, hanya tentang bahwa tidak ada sesuatu apapun yang dapat meng-ada secara otomatis.

…….

Ini dapat dimengerti lebih muda oleh semuanya bahwa segala sesuatu adalah tanda dan nama Allah, kita katakan bahwa seluruh alam adalah nama Allah. Tapi nama di sini berbeda dengan nama-nama yang diberikan ke hal-hal yang umum. Sebagai contoh, jika ingin menunjukkan lampu atau sepeda motos kepada seseorang, kita menyebutkan namanya. Hal yang sama kita lakukan dalam kasus manusia atau Zayd. Tapi, terbukti bahwa ini tidaklah mungkin dalam konteks Wujud yang memiliki sifat-sifat yang mahatinggi tiada terhingga.”

Nama memberikan berbagai esensi yang berbada kepada Wujud Yang MahaTunggal. Nama memberikan berbagai makna konsepsional yang berbeda kepada Wujud Yang MahaTunggal. Nama memberikan berbagai gradasi yang berbeda kepada Wujud Yang MahaTunggal. Esensi, makna konsepsional maupun gradasi diberikan dalam alam yang imajinatif atau subyektif. Imajinatif jika dipandang relatif terhadap Wujud Yang Maha Mutlak. Kenapa? Karena telah dibuktikan bahwa jika keberadaan dari Wujud Yang Maha Mutlak obyektif, maka tidak mungkin semua selain dirinya mempunyai keberadaan yang obyektif kecuali identik dengan Wujud Yang Maha Mutlak itu sendiri. Karena jelas bahwa Wujud Yang Maha Mutlak keberadaanya benar-benar obyektif, maka segala sesuatu yang nampak “ghair” atau “Wujud Yang Maha Mutlak ini hanya “ada” secara subyektif saja, bukan secara obyektif. Artinya penciptaan semua di alam plural ini terjadi dalam alam imajinasi, bukan alam nyata. Maha Suci Ia Yang Maha Nyata dan tidak ada suatu apa pun yang Nyata kecuali Ia.

Qur’an mengatakan : Allah adalah Cahaya Langit dan Bumi …(QS. An-Nur 33). Tidak dikatakan bahwa langit dan bumi diberi iluminasi oleh cahaya. Alasannya adalah bahwa langit dan bumi adalah non-entitas (bukan sesuatu). Tidak ada apapun dalam dunia kita yang mempunyai eksistensi independen. Tidak ada yang maujud kecuali Allah, (Paragraf ini dicuplik dari penjelasan Imam Khomeini dalam buku Light Within Me, hal 126-127)…

Dengan rahmatNya, dan petunjukNya serta berkah Nabi-Nya Muhammad (S.A.W.W) dan para Imam Suci (a.s), penulis mengajak seluruh pembaca sekalian untuk merenungi makna kata imajinasi yang digunakan di sini. Imajinasi di sini bukanlah fantasi. Imajinasi di sini adalah pemahaman. Seperti yang telah dikutip oleh Prof. Henry Corbin dari Syaikh Al-Akbar ‘Ibnu ‘Arabi;

“This the world is pure representation (mutawahham), there is no substantial existence; that is the meaning of Imagination… Understand then who you are, understand what your selfhood is, what your relation is with the Divine Being; understand whereby you are He and whereby you are other than He, That is, the world, or Whatever you may choose to call it. For it is in proportion to this knowledge that the degrees of preeminence among Sages are determined. “(Creative Imagination in the Sufism of Ibn ‘Arabi, Henry Corbin, Princeton University Press, Princeton, N.J., 1969, pp. 192).

Yang terjemahan bebasnya adalah sebagai berikut;

“Jadi alam ini adalah representasi murni (mutawahham), tidak ada keberadaan yang substansial; itulah makna Imajinasi….. Pahamilah kemudian siapa Anda, pahamilah apa kedirian Anda, apa hubungan Anda dengan Wujud Tuhan; pahami bahwa Anda adalah Dia dan bahwa Anda adalah selain Dia. Itulah, alam, atau apapun yang Anda pilih untuk menyebutnya. Karena derajat keutamaan di antara orang-orang yang selamat, sebanding dengan pengetahuan ini.”

Dalam Doa Kumayl Ibnu Ziyad, Imam Ali bin Abi Thalib (a.s) merintih kepada Allah;

“Aturooka mu’adzidzibi binaarika ba’da tauhiidika

waba’da man thowaa ‘alaihi qolbii min ma’rifatika

walahijaabihhi lisaani min dzikrika

wa’taqadahuu dhomiiri min hubbik

wa ba’da shidqi’tiroofi wadu’aaii khoodi’an li rubuubiyyatik

Haihaata …

Anta akromu min an tudhoyyi an man robbaitah”

Yang terjemahan bebasnya kira-kira adalah sebagai berikut:

“Apakah Engkau akan menyiksaku dengan neraka-Mu,

setelah aku mentauhidkan-Mu

setelah hatiku tenggelam dalam makrifat-Mu

setelah lidahku bergetar menyebut-Mu

setelah jantungku terikat dengan cinta-Mu

setelah segala ketulusan pengakuan dan permohonanku

seraya tunduk bersimpuh pada rububiyah-Mu?

Tidak………,

Engkau terlalu mulia untuk mencampakkan orang yang Engkau ayomi,”

Syaikhul Akbar Ibn ‘Arabi bersyair;

Engendered being is only imagination,

yet in truth it is the Real.

He who has understood this point

has grasped the mysteries of the Path

(Fusuus 159, Ibn ‘Arabi, diambil dari The Sufi Path of Knowledge,

William C. Chittick, State University of New York Press, Albany,

1989, pp. 143)

Terjemahan bebasnya kira-kira adalah sebagai berikut;

Bermacam-macam wujud hanyalah imajinasi,

tapi sebenarnya itu adalah Yang Nyata.

Ia yang telah mengetahui hal ini

telah memahami rahasia dari Jalan

Imajinasi di sini adalah Imajinasi Aktif, -yang tidak lain merupakan suatu organ tajalli yang esensial karena ia adalah organ penciptaan dan karena penciptaan tidak lain adalah tajalli. Wujud Yang Maha Mutlak adalah Penciptaan karena Ia ingin mengenal dirinya sendiri dalam wujud-wujud yang mengenal-Nya. Jadi Imajinasi Aktif tidak dapat disifati sebagai ilusif, karena ia adalah organ dan substansi penampakan yang mesti dan spontan ini. Wujud manifestasi kita adalah Imajinasi uhan; dan Imajinasi kita sendiri adalah Imajinasi dalam Imajinasi-Nya. (Paragraf ini disadur juga dari Creative Imagination in the Sufism of Ibn ‘Arabi, Henry Corbin, Princeton University Press, princeton, N.J, 1969, pp. 190)

Imajinasi teofani mempunyai dua fungsi; sebagai Imajinasi penciptaan yang mengimajinasikan Penciptaan dan Imajinasi Makhluk yang mengimajinasikan Penciptaan. Hati (al-qalb) merupakan suatu “organ lembut” dalam diri manusia yang mempunyai kemampuan menangkap visi-visi teofanik. Visi-visi teofanik adalah pandangan-pandangan kepada berbagai tajalli Tuhan yang ada dalam alam Imajinasi teofani.

Eksisitensi alam terbentang luas dalam alam Imajinasi. Untuk memperjelas hal ini mari kita renungi sejenak tentang imajinasi kita. Sifat-sifat imajinasi kita sama dengan sifat-sifat eksistensi alam ini. Imajinasi kita, -seperti yang kita alami di alam mimpi-, merupakan barzakh antara ruh dan jasad, sedang eksistensi alam ini merupakan barzakh antara Wujud Mutlak dengan ketiadaan Mutlak. Seperti alam yang kita lihat dalam mimpi adalah spiritual dan material, bermakna dan berbentuk, demikian pula alam yang dilihat oleh Tuhan dalam “mimpi”-Nya terbentuk dari Wujud dan ketiadaan. Ketika kita angun tidak dan ingin memahami mimpi kita, kita berusaha menginterpretasikan mimpi tersebut atau pergi ke ahli tafsir mimpi untuk melakukannya bagi kita. Demikian juga, ketika kita mati dan “bangun” ke mimpi kosmik Tuhan, kita akan memperoleh interpretasi atau tafsir mimpi kita. (walaupun kebangunan itu sendiri adalah tahap lain dalam mimpi kosmik).

Alam ini adalah Dia sekaligus bukan Dia (Huwa/Laa Huwa). Argumentasi filosofisnya amat simpel, kalau alam ini bukan Dia berarti ada sesuatu selain Dia. Padahal Dia adalah Keberadaan Mutlak, sehingga selain Dia pasti adalah ketiadaan mutlak. Sebaliknya kalau alam ini Dia, maka karena alam ini tersusun atas beberapa entitas yang lebih kecil. Dia-pun tersusun (murakkab). Dan Keberadaan Mutlak jelas tidak tersusun atas bagian-bagian yang lebih kecil (Baca kemabli Renungan Kedua di buku ini Renungan Tauhid). Renungan mendalam tentang eksistensi alam ini menyadarkan kita akan adanya sifat dasar eksistensi yang mendua (ambigu) ini.

Mungkin tidak ada frasa yang dapat demikian gamblang dan simpel yang menjelaskan hal ini lebih dari Sabdar Amirul Mukminim Imam ‘Ali bin Abi Thalib (a.s) dalam Nahjul-Balaghah;

“Dia (Allah) maujud bukan karena suatu ciptaan. Bukan pula muncul dari ketiadaan. Dia “ada” bersama dengan segala sesuatu namun tidak dengan suatu kesertaan. Bukan pula Dia lain dari segala sesuatu disebabkan keterpisahan darinya. Dia adalah Pelaku, namun tanpa (menggunakan) gerak ataupun alat. Maha Melihat, meskipun sebelum adanya suatu makhluk apa pun. Sendiri, disebabkan tak adanya sesuatu yang dengannya Ia merasa terikat ataupun gelisah bila ia terpisah dari-Nya.” (Mutiara Nahjul Balaghah, Sayyid Muhammad Al-Baqir, Mizan, Bandung, 1990, hal. 22).

Atau juga seperti Sabda Beliau yang lain dalam Nahjul-Balaghah;

“Tiada Ia “mendiami” sesuatu sehingga dapat disebut. Ia “ada” di sana. Dan tiada Ia berpisah dari sesuatu sehingga dapat disebut. Ia “tidak ada” di sana.” (Mutiara Nahjul Balaghah, Sayyid Muhammad Al-Baqir, Mizan, Bandung, 1990, hal. 24).

Mengenai ketidak tersusunan (ketakterpilah-pilahan)-Nya, ini dapat diketahui dengan merenungi Sabda Beliau berikut ini:

“Maka barangsiapa meletakkan suatu sifat kepada-Nya, sama saja dengan seseorang yang menyertakan sesuatu dengan-Nya. Dan barang siapa menyertakan sesuatu dengan-Nya, maka ia telah menduakan-Nya. Dan barang siapa menduaka-Nya, maka ia telah memilah-milahkan (Zat)-Nya. Dan barang siapa memilah-milahkan-Nya, maka ia sesungguhnya tidak mengenal-Nya. Dan barang siapa tidak mengenal-Nya, akan melakukan penunjukan kepada-Nya, maka ia telah membuat batasan tentang-Nya. Dan barang siapa berkata : “Di manakah Dia? , maka sesungguhnya ia telah menganggap-Nya terkandung dalam sesuatu. Dan barang siapa berkata: “Di atas apakah Dia?”, maka sesungguhnya ia telah mengosongkan sesuatu dari (kehadiran)-Nya.” (Mutiara Nahjul Balaghah, Sayyid Muhammad Al-Baqir, Mizan, Bandung, 1990, hal. 22).

Syaikh Al-Akbar Ibn ‘Arabi mengutip ayat Qur’an yang menunjukkan kepada realitas Huwa/Laa Huwa dari alam ini Qur’an mengatakan. “Bukan engkau yang melepar ketika engkau melempar, tapi Tuhan yang melempar.” (QS 8 : 17). Ayat tersebut menegaskan realitas individu dari Nabi, kemudian menegaskan dengan mengatakan bahwa sebenarnya Tuhan-lah yang berada di balik permunculan tersebut. Syaikh Al-Akbar melanjutkan,

“But the clear formulation of this question is terribly difficult. Verbal expression (‘ibaara) falls short of it and conceptualization (tasawwur) cannot define it, because it quickly escapes and its properties are contradictory. It is like His wordf, “You did not throw, “so He negated “whwn you threw,” so He affirmed, “but God threw, “so He negated the engendered existence (kwan) of Muhammad and affirmed Himself as identical (‘ain) with Muhammad, since He appointed for him the name “God”. (II 216.12) (The Sufi Path of knowledge, William C. Chitick, State University of New York Press, Albany. 1989, pp. 115)

Terjemahan bebasnya kira-kira adalah sebagai berikut;

“Tapi formulasi yang jelas mengenai pertanyaan ini amat sulit. Ekspresi verbal (‘ibaara) tak bisa mengungkapkannya dan konseptualisasi (tasawwur) tidak dapat mendefinisikannya, karena ini akan lepas dengan segera dan sifat-sifatnya kontradiktif. Ini adalah seperti firmanNya, “bukan engkau yang melempar, “maka Ia menegasikan, “ketika engkau melempar”, maka Ia menegaskan, “tapi Tuhan yang melempar, “maka Ia menegaskan eksistensi (kawn) Muhammad dan menegaskan Diri-Nya identik (‘ain) dengan Muhammad, karena Ia menunjuk baginya nama “Tuhan.”

Kembali menurut Syaikh Al-Akbar Ibn ‘Arabi, realitas Huwa/Laa Huwa menemukan ekspresinya yang terjelas dalam kosmos melalu imajinasi (khayaal).Dalam mimpi, sebagai contoh, yang merupakan sebuah fungsi imajinasi, seorang manusia melihat benda-benda material yang tidak merupakan benda material. Obyek-obyek yang dilihatnya mempunyai bentuk material, tapi mereka tidak ada di dunia benda-benda material, tapi dalam alam imajinasi/jiwa. Imajinasi dapat menangkap sebuah makna (ma’na) tanpa bentuk luar apapun dan memberikannya kepada sebuah bentuk sensorik tertentu.

Perlu penulis tekankan di sini bahwa kemenduaan (ambiguitas) alam ini tidak melanggar prinsip non-kontradiksi logis. Alam sekaligus sebagai Huwa/Laa Huwa tidak kontradiktid. Kenapa? Karena alam adalah Huwa di lihat dari satu sudut pandang, dan alam adalah Laa Huwa ditinjau dari sudut pandang lain. Ditinjau dari eksistensinya alam adalah Huwa. Sedang ditinjau dari esensinya yang membuat alam ini nampak plural-, alam adalah Laa Huwa. Di sini penulis kurang setuju dengan pendapat. Mahaguru penulis YM. Syaik Al-Akbar Ibn ‘Arabi yang dikutip oleh William C. Chittick sebagai berikut;

“God posseses stregth because of the inaccessibility (‘izza) of some, -or all- of the possible things, that is, the fact that they do not accept opposites. One of the effects of strength is the creation of the World of Imagination in order to make manifest within it the fact that it bring together all opposites (al-jam’bayn al-addad). It is impossible for snse perception or the rational faculty to bring together opposites, but it is not impossible for imagination.” (The Sufi Path of Knowledge, William C. Chittick, State University of New York Press, Albany, 1989, pp. 115).

Terjemahan bebasnya kira-kira adalah sebagai berikut;

“Tuhan mempunyai kekuatan karena ketaktercapaian (‘izza) beberapa, -atau semua-, hal-hal yang mungkin, yaitu bahwa mereka tidak menerima hal-hal yang berlawanan. Satu dari efek kekuatan adalah penciptaan Dunia Imajinasi untuk membuat manifestasi di dalamnya kenyataan bahwa ia membawa bersama seluruh hal-hal yang berlawanan (al-jam’byan al-addaad). Adalah tidak mungkin bagi persepsi inderawi ataupun fakultas rasional untuk membawa bersama hal-hal yang berlawanan, tapi ini mungkin untuk imajinasi.”

Perlu penulis sedikit garis bawahi di sini bahwa Syaikh Al-Akbar berpendapat bahwa “penciptaan” telah menghasilkan watak ambigu eksistensi alam. Selanjutnya, Beliau YM. Menafsirkan ambiguitas eksistensi alam ini sebagai kontradiksi rasional, sehingga fakultas rasional tidak akan bisa menerimanya. Sedang kami, penulis yang mahanista dan mahadho’if ini sedikit ingin mengungkapkan pendapat kami yang sedikit berbeda, yaitu; ambiguitas eksistensi alam ini bukan kontradiksi rasional, sehingga fakultas rasional bisa menerimanya. Tapi, penulis sepakat bahwa hal ini bisa dimengerti oleh imajinasi, dan penulis sepakat pula dengan implikasi praktisnya bahwa hal ini bisa dimengerti oleh imajinasi, dan penulis sepakat pula dengan implikasi praktisnya bahwa dalam memahami alam ini diperlukan pada penggunaan yang optimal fakultas imajinasi. Alih-alih mengatakan penciptaan ini tidak rasional atau tidak logis penulis mengatakan bahwa penciptaan ini rasional dan logis walaupun penjelasan secara mendetail tentang penciptaan secara rasional murni sulit. Penulis yakin bahwa penjelasan yang benar dari fakultas imajinatif tentang penciptaan tidak pernah dan tidak akan pernah melanggar prinsip non-kontradiksi logis. Tapi, penulis pun yakin bahwa kalau pun kelihatannya ada sedikit perbedaan antara pendapat Syaikh Al-Akbar dengan pendapat ini, perbedaan itu hanyalah karena masalah pengungkapannya saja, dan tidak hakiki.

Meminjam istilah Imannuel Kant, memahami kosmologi penciptaan dalam dan dengan Imajinasi Teofani adalah termasuk dalam hal-hal yang supra-logis, yang jika dicoba dianalisis secara rasional tapi kurang matang akan menjerumuskan kita pada hal-hal yang nampaknya kontradiktif (biasanya disebut sebagai paralogisme). Seperti halnya apakah bijak berusaha memahami secara logis alunan “Air on G-String” dari komponis besar Johann Sebastian Bach? Tentu tidak tepat. Makna yang disampaikan oleh “Air on G-String” harus dipahami dengan rasa seni, tidak dengan logika. Tapi ini bukan berarti bahwa “Air on G-String” itu tidak logis. Karena tidak melanggar hukum logika manapun. Pernyataan yang lebih tepat adalah “Air on G-String” semestinya tidak dipahami dengan logika. Demikian pula hakikat pesan yang hendak disampaikan oleh Syaikh Al-Akbar, pahamilah penciptaan dengan Imajinasi Aktif, dengan Imajinasi Teofani. Hanya Imajinasi dalam Imajinasi-Nya lah yang paling tepat untuk memahami keseluruhan hakikat alam yang imajinatif ini. Mari kita renungi sebuah cuplikan dari doa Ash-Shobah Imam ‘Ali bin Abi Thalib (a.s) berikut ini;

“Yaa man qorba min khothorootizh-zhunuun

wa ba’uda al-lahazhootil ‘uyuun”

yang terjemahan bebasnya kira-kira adalah sebagai berikut;

“Wahai yang dekat dengan khatharaati azh-zhunuun (pikiran yang melintas) dan jauh dari pandangan mata.”

Bagaimana kita bisa naik ke alam-alam kesadaran yang lebih tinggi bangun dari satu impian masuk ke dalam impian lain yang lebih nyata dan memperoleh pengetahuan-pengetahuan yang lebih tinggi? Doa dan zikir baik yang nampak maupun yang khofiy, disertai dengan tafakkur terus menerus tentang Tuhan mungkin merupakan satu cara. Betapa rindunya kita akan suatu maqam yang lebih di miliki oleh Pemimpin Para Wali Yang Mulia Amirul Mukminim Imamul Muthadin ‘Ali bin Abi Thalib (a.s) yang diisyaratkan dalam Sabda Beliau berikut ini;

Seorang laki-laki bernama Dzi’lib Al-Yamani bertanya: “Dapatkah Anda melihat Tuhanmu, wahai Amir Al-Mukmini?” Jawab Imam Ali a.s : “Akankah aku menyembah sesuatu yang tidak kulihat?!” “Bagaimana Anda melihat-Nya?” tanya orang itu lagi. Maka beliau memberikan penjelasannya: “Dia (Allah) takkan tercapai oleh penglihatan mata, tapi oleh mata-hati yang penuh dengan hakikat keimanan. Ia dekat dari segalanya tanpa sentuhan. Jauh tanpa jarak. Berbicara tanpa harus berpikir. Berkehendak tanpa perlu berencana. Berbuat tanpa memerlukan tangan. Lembut tetapi tidak tersembunyi. Besar tapi tidak teraih. Melihat tapi tidak bersifat inderawi. Maha Penyayang tapi tidak bersifat lunak.

Wajah-Wajah merunduk di hadapan keagungan-Nya. Jiwa-jiwa bergetas karena ketakutan terhadap-Nya. (Mutiara Nahjul Balaghah, Sayyid Muhammad Al-Baqir, Mizan, Bandung, 1990, hal. 25).

Wallohu a’lam bish-showab. Walhamdulilahirobbil’alamin. Washolallohu ‘ala sayyidun Muhammadin wa aalihith-thoohiriin. Wa la haula walaa quwwata illa billahil ‘aliyyil ‘azhiim.

Renungan 8

Bersatu dalam Melodi Cinta

Dan Majnun pun terhenyak, tak kuasa ia menutup matanya barang sekejap. Betapa sempurnanya lentik matanya, lesung pipit yang senantiasa menghiasi senyum lembutnya. Semampai sempurna tubuhnya, senantiasa tertunduk malu wajahnya. Dan mengapa nafasnya dan desahnya seolah selalu tersipu? Ungu kehijauan alami menghiasi bawah kelompak matanya. O…., kesempurnaan keindahan yang mahacantik! O…, Laila! O,…Laila!

Tapi, geram permusuhan kesukuan ayah Laila mencampakkan seluruh harapan dan getaran rasa. Gigi-gigi ayah Laila senantiasa beradu menahan dengan mahadahsyat terhadap semua orang dari Suku Majnun. Beliau menyaksikan dan mendnegar apa yang telah dikatakan orang banyak “Majnun, -orang termulia dalam ilmu maupun hartanya diantara seluruh pemuda kita-, telah jatuh cinta pada Laila. Majnun telah gila oleh cintanya. Tak dilihatnya lagi dendam turun temurun antara sukunya dan suku Laila. Majnun telah benar-benar mencintai Laila. Siang dan malam, “Laila” saja yang terucap pada siapapun. Kecantikannya. Keanggunannya. Kesuciannnya. Ke…..nya, Ke….nya dan Ke…nya”. Ayah Laila bertindak tegas, Laila dikurung dalam rumah, tak boleh keluar dari pekarangan rumah, agar tiada satu pun Majnun dapat melihat bahkan mendengar langkah Laila.

Ooo, rembulan telah tiga surya kulewati tanpa menatap wajah Laila. Betapa gundah hati nan dipenuhi dengan gejolak asmara ini. Betapa pilu relung-relung rindu nurani nan dibanjiri dengan airmata cinta ini. Betapa mungkin kulewati dirimu dan surya tanpa lentik matanya. Dan apatah arti Sang Waktu dan Hayat yang ada di dalamnya tanpa tunduk malu Laila?

Dalam terang-reamangnya cahaya rembulan, pelahan ada satu bintik keputih-putihan dari kandang domba di pekarangan Laila mendekat dan mendekat. Semakin dekat semakin jelas. Sang penggembala domba keluarga Laila pulang setelah usai tugasnya. Duhai Majnun, apa gerangan yang engkau sedihkan ? Laila-kah? Sungguh ia senantiasa menatapi domba-dombaku ketika masuk kandan dari jendela kamarnya. Ia pun tampak berduka dan sayu. Tampaknya cintanya padamu telha membakar sari-sari hasratnya.

Terima kasih duhai gembala budiman. Esok hari kan kubeli pakaian domba, dan akupun akan datang padamu dengan bulu domba, kepala domba dan tanduk domba. Aku akan menjadi domba mu. Aku rela menjadi domba mu. Dan, saat itulah yang kuinginkan! Saat dimana Laila menatap ku dan aku pun makin menyadari lentik sempurna bulu matanya, dan percik kemilau air matanya. Aku lah domba Laila. Namaku Majnin. Namaku Majnun domba Laila. (Musyawarah Brung, Fariduddin Attar Naishapur)

Demikian hembat Cinta telah mengubah Majnun, -idola kesuksesan para pemuda di masanya-, menjadi seekor domba Laila. Ia melewatkan malam-malamnya di kandang kumuh domba. Meninggalkan kasur empuk dan aroma-aroma parfum wangi di rumah megahnya. Demikian hebat Cinta telah mengubah Majnun, -pemuda yang dikejar beribu wanita cantik-, sehingga Ia rela hidup beserta binatang-binatang kotor yang kandangnya selalu dihiasai denan bau tahi-tahi yang telah membusuk. Tiada lagi rasa mual, tiada lagi rasa jijik, tiada lagi rasa segan, tiada lagi harga diri, tiada lagi penghalang bagi Majnun untuk menatap sekilas kilau wajah kekasihnya, Laila. Inilah Cinta!

Perlu dicatat kata-kata Cinta yang digunakan disin tidak identik dengan Cinta Syahwat antara dua orang yang berlawanan jenis kelaminnya. Tidak pula dengan Cinta akan hal-hal yang bersifat fisikal saja. Kata Cinta dalam makalah ini diartikan sebagai Cinta dalam arti luas, seperti Cinta seorang Ibu terhadap anaknya, Cinta seorang anak terhadap kucingnya, Cinta seorang petualang terhadap pemandangan, Cinta seorang dermawan terhadap pengemis, Cinta manusia terhadap sesama dan lain-lain. Cinta dalam arti luas lebih suci, bersih dari pamrih-pamrih material. Tidak ada pamrin dalam Cinta kecuali pedihnya Cinta itu sendiri. Mengapa sedih? Karena jika ada Cinta pasti ada kerinduan dan ujung dari rindu adalah si Pecinta telah identik dengan yang dicintainya, dan ini secara umum tidak mungkin. Jadi pedihnya Cinta itu tiada ujung. Perhatikan seorang Ibu yang menikmati kekhawatirannya saat anaknya terlambat pulang dari sekolah.

Cinta dapat membuat semua yang tidak mungkin menjadi mungkin. Kekuatan Cinta tersembunyi di relung-relung rahasia semesta. Kekuatan ini muncul di berbagai zaman dengan berbagai peristiwa pengorbanan besar dalam sejarah. Kekuatan ini muncul di berbagai peristiwa dengan kejadian-kejadian mu’zizati. Mari kita renungi kembali sajak Jalaluddin Rumi yang dikutip di awal makalah ini.

Cinta adalah rahasia keharmonisan alam. Sesuatu yang mencintai suatu obyek tertentu, akan menjadikan obyek itu ekstensi drai eksistensinya sendiri. Sesuatu yang mencintai suatu obyek tertentu, akan berusaha melakukan segala sesuatu yang mendekatkan dirinya pada obyek tersebut betapapun sulitnya. Sesuatu yang mencintai suatu obyek tertentu, akab berusaha melakukan segala sesuatu yang baik dan berguna bagi obyek yang dicintainya. Jika dua obyek saling mencintai, maka maisng-masing akan berusaha melakukan segala sesuatu yang baik bagi yang lainnya. Inilah harmoni. Harmoni adalah kumpulan simetri-simetri beberapa hal. Simetri itu indah. Simetri itu menunjukkan bahwa suatu obyek identik dengan obyek lain, ditinjau dari suatu sudut pandang tertentu. Cinta dengan segenap geraknya menuju suatu harmoni pada puncaknya akan menghasilkan penyatuan substansi antara pecinta dengan yang dicintainya. Gerakan substansial antara pecinta dan yang dicintainya ini telah dibuktikan secara filosofis oleh Filosof Besar asal Iran Mulla Shadra, dan telah dibuktikan oleh beberapa eksperimen psikologi mutakhir. Evolusi foto sebelum menikah sampai hari tua dari banyak pasangan suami-istri menampakkan suatu fenomena umum bahwa bentuk wajah mereka menjadi semakin mirip dengan bertambahnya usia mereka. Ini salah satu bukti eksperimental yang sederhana tapu jelas tentang gejala penyatuan antara pecinta dengan yang dicintainya tersebut.

Para pecinta Tuhan, terserap ke dalam keagungan Tuhan setiap saat. Maka ada suatu pertanyaan yang amat penting. Apakah mungkin suatu saat ia benar-benar bersatu menjadi Tuhan, ataukah ia tidak mungkin dan tidak pernah akan mungkin bersatu dengan Tuhan? Menjawab pertanyaan ini ada dua golongan besar ‘arif sebagaimana yang disebutkan oleh Syaikh Ibrahim Gazur I-Ilahi;

“…kaum Sufi seperti Syaikh Syihabuddin Suhrawardi mempertahankan bahwa dalam Fana, yang terbatas (Banda) menjadi k’anahu hu (seperti Dia) dan buku Huu Huu (Dia, Dia), seperti besi dalam api yang menjadi serupa api dan bukanlah api itu sendiri; realitas besi adalah sama sekali berbeda dari api. Dalam Nafhatu’l Una, 300 Wali adalah pengikut aliran ini, dan 300 lainnya adalah pengikut Syaikh-i-Akbar, yang mempertahankan bahwa Banda menjadi Huu Huu.” (Ana Al-Haqq, Syaikh Ibrahim Gazur I-Ilahi, terjemahan, Rajawali Pers, 1986, hal. 21).

Husein bin Manzhur Al-Hallaj adalah contoh pecinta Tuhan yang bermazhabkan Huu Huu. Al-Hallaj terkenal dengan perkataannya “Ana Ak-Haqq” (Akulah Al-Haqq/Akulah Tuhan). Ia di eksekusi di Baghdad pada 26 Maret 922. Al-Hallaj menjadi simbol bagi pecinta Tuhan yang menderita, dan bagi orang-orang yang percaya tentang kesatuan pecinta dengan Tuhan, karena mabuk Cinta Ilahi.

Penulis tidak ingin menganalisis lebih lanjut mana yang benar di antara kedua mazhab ini. Ini benar-benar di luar jangkauan penulis, tapi marilah kita renungi ungkapan doa dari Imam ‘Ali Zainal ‘Abidin yang akurat menggambarkan beberapa hal tentang Cinta Ilahi ini;

Untuk-Mu saja tercurah himmah (keinginan, hasrat, tekad, semangat)-ku

kepada-Mu jua terpusat hasratku

Engkaulah hanya tempat kedambaanku-tidak yang lain

Karena-Mu saja aku tegak terjaga-tidak karena yang lain

Perjumpaan dengan-Mu kesejukan hatiku

Pertemuan dengan-Mu kecintaan diriku

Kepada-Mu kedambaanku

Pada cinta-Mu tumpuanku

Pada kasih-Mu gelora rinduku

Ridha-Mu tujuanku

Melihat-Mu keperluanku

Mengampingi-Mu keinginanku

Mendekati-Mu puncak permohonanmu

Menyeru-Mu damai dan tenteramku

Di sisi-Mu penawar deritaku

penyembah lukaku

penyejuk dukaku

penghilang sengsaraku

Birohmatika Yaa Arhamar-rohimiin

Washolalloohu ‘ala Muhammadin wa aalihith-thoohiriin.

Renungan 9

Kemiskinan Ruhaniah

Dalam salah satu magnum opusnya, “The Art of Loving”, Eric Fromn menjelaskan tentang dua buah keadaan jiwa manusia, being dan becoming. Terjemahan secara tepat kedua istilah ini ke dalam peristilahan Indonesia secara akurat amat sulit.

Modus being merupakan suatu keadaan dimana seseorang telah merasa menjadi sesuatu. Misalnya, saya telah menjadi suami dari Nur, saya telah menjadi pemilik mobil BMW, saya telah menjadi orang shalih, saya telah menjadi orang dengan status sosial cukup, dan lain-lain. Dengan pengertian lain yang telah primodrial, modus being merupakana suatu keadaan dimana seseorang telah merasa memiliki sesuatu. Misalnya, saya telah memiliki Nur sebagai istriku, saya telah memiliki mobil BMW, saya telah menjadi orang shalih, saya telah memiliki kedudukan sosial yang cukup, dan lain-lain.

Modus being and becoming dapat diartikan secara ringkas sebagai memiliki dan menjadi.

Jika seseorang berada dalam modus being, maka terhadap sesuatu yang telah merasa dimilikinya akan timbul suatu perasaan hambar dan bosan. Sedang jika ia berada dalam modus becoming, maka terhadap suatu yang belum dimilikinya dan ingin memilikinya, akan timbul suatu gairah yang berbanding lurus dengan kuatnya keinginannya untuk memiliki hal itu. Sebagai contoh, betapa besar dan indahnya perasaan seorang laki-laki yang sedang jatuh cinta kepada seorang wanita. Manakala wanita itu masih belum benar-benar menjadi istrinya, gairahnya menyala-yala, sikapnya demikian lembut dan penuh kasih sayang. Segalanya menjadi indah di mata laki-laki. Bahkan semua cacat-cacat kecilnya pun bisa tampak dengan hiasan. Ini merupakan modus becoming dari proses hubungan antara laki-laki dan wanita. Namun begitu wanita tersebut menjadi istrinya, dan laki-laki itu merasa memiliki istrinya secara penuh, sering terjadi bahwa lambat laun sikap maupun gairahnya terhadap istrinya turun, dan seperti yang kita lihat begitu banyak pasangan seolah-olah pada modus becoming-nya amat ideal dan serasi, ternyata sering kandas pada modus being-nya.

Modus becoming adalah memberikan dinamika dan kemajuan terus tiada henti. Hal ini karena subyek pelaku modus ini selalu merasa kurang, merasa miskin terhadap apa yang hendak dicapainya. Dalam artian positifnya, ini akan menghasilkan suatu ihtiar tiada henti yang menghasilkan begitu banyak intuisi, kreatifitas dan berbagai kemampuan lain. Dalam istilah keagamaan, dihadapan kesempurnaan Yang Maha Agung, manusia harus merasa dirinya mahamiskin, mahafakir, tiada memiliki kekuatan dan kemampuan apapun yang perlu dibanggakan. Ini adalah pengejawantahan sifat rendah-hati sejati.

Modus being adalah kemujudan, kemandegan atau stagnasi. Hal ini karena pelaku modus ini sudah merasa memiliki sesuatu, merasa punya, merasa mempunyai kualitas-kualitas unggul tertentu yang tidak dimiliki orang lain. Ini akan menghasilkan suatu keadaan mandeg tanpa ihtiar untuk memperbaiki diri, dan merupakan gunung hambatan yang amat dahsyat yang menghalangi perkembangan seluruh potensi kemanusiaan kita. Dalam istilah keagamaan, ini mencerminkan suatu sifat sombong dan takabur, yang merupakan sifat-sifat yang dimurkai Yang Maha Agung.

Karena itu pula dikatakan bahwa, “Kemiskinan ruhaniah (al-faqr) merupakan awal dari kearifan.” Jika seseorang merasa miskin amal, miskin ‘ilmu, miskin secara ruhaniah, dipenuhi dengan dosa dan keburukan, pastilah ini akan merendah serendah-rendahnya dihadapan Allah Yang Maha Agung. Ini seperti yang dirintihkan oleh Imam ‘Ali bin Abi Thalib (a.s) dalam doa Kumayl Ibnu Ziyad;

Wa ana’abdukadh-dho’ifudz-dzaliilul-haqiirul-miskiinul mustakiin.

Padahal aku hamba-Mu yang lemah, rendah, hina, malang dan papa.

Semakin seorang hamba mengenal Allah, semakin sadar ia akan kerendahan dirinya dan Keagungan Allah, semakin cepat pula Allah menariknya mendekati diri-Nya. Semakin dekat hamba tersebut pada Allah semakin ia merasa miskin, miskin sekali, tak punya satu kualitas kebaikan apa-pun, sehingga pada puncaknya sang hamba akan lenyap dalam keagungan Tuha. Seperti yang dikatakan oleh Imam ‘Ali bin Abi Thalib (a.s) dalam doa Ash-Shobah.

Yaa man tawahhada bil ‘izzi wal baqaa

Waqoharo ‘ibaadahu bil mauti wal fanaa

Wahai yang Tunggal dalam Keagungan dan Baqa (kekekalan)

Dan menaklukkan hambanya dengan kematian dan Fana (kelenyapan)

Washolallohu ‘ala Muhammadin wa aalihith-thoohiriin

Walhamdulillah

Wallohu a’lam bishshowab

Renungan 10

Renungan Dalang

Bismillah. Alhamdulillah. Dengan Nama Allah, Segala Puji Bagi Allah, Alam-alam ini semua adalah Nama Allah. Dan seluruh hal dalam ribuan dunia dan akhirat ini senantiasa memuji Allah.

Alkisah, Pak Dalang datang ke kenduri memainkan wayang Petruk, wayang Semar dan wayang Bagong, wayang kulit-wayang kulit. Mati tapi hidup. Kulit-kulit berukir yang memiliki karakter. Pak Dalang memberi kehidupan pada wayang Petruk, Pak Dalang memberik karakter pada Petruk, Kalau Semar lagi mendem, yang mendem adalah Pak Dalang, Kalau Semar lagi prihatin, Pak Dalang lagi prihatin, Kalau dunia perwayangan lagi wingit, yang wingit yaa Pak Dalang.

Wayang itu artinya bayangan, bahasa arab-nya al-ziil. Yang ditonton bayangannya bukan kulitnya. Bayangan Yudistira, raja kaum haq, bergerak-gerak dan berceramah. Aku itu punya jimat. Jimat Pandawa yang tak terkalahkan. Jimat kalimusada (kalimat syahadat). Pandawa manifestasi utama pesan Dalang tenang. Karena jimat ini konon tak terkalahkan. Dan karena Pandawa sudah ma’rifat, kalau jimat yang konon tak terkalahkan itu sebenarnya bukan konon tak terkalahkan. Tapi pandawa sampun makrifat kalau jimat ini mesti (niscaya) tak terkalahkan. Pandawa sudah tapabrata mengenai ke-bayangananya (kewayangannya) selama diasingkan di hutan. Sehingga Bima lebih sreg nyedot karakter-karakter keperkasaan Dalang (al-qowiyyu) maupun kegagahannya (al-qohhaaru). Arjuna lebih sreg diberi karakter-karakter kinasih (ar-ro’uf), kecantikan (al-jamiil), kekesatriaan (futuhaaf) dan batin-batin Sirr kosmis. Yudistira lambang kearifan puncak. Manusia yang telah tercerahkan dan mengetahui hakikat-hakikat, tapi juga turut serta dengan aktfi memimpin negara, menyerap asma al-‘aruffu, al-hakimu, al-‘azizu, al-khobiiru dan asma apa sak srege pak Dalang, Nakula, Sadewa disimpan khusus pak Dalang keutamannya sebagai lambang-lambang yang tidak mudah dipahami manfaat jelasnya dalam dunia “nyata” perwayangan.

Wayang-wayang yang belum dipegang Pak Dalang tergelaetak. Tersimpan tapi. Dan wayang tersebut tidak bisa muncul dan tidak pernah akan muncul di layar tancap. Wayang-wayang gletakan (tergeletak) seperti bakat-bakat yang berpotensi (a’yaanuts-tsabiita) yang belum diberik keberadaan. Petruk, yoo bakate dadi. Nek moro-moro dadi. Bimo yoo ora iso. Namung Petruk bisa berbuat baik dan bisa berbuat salah dalam kePetrukannya. Dan Petruk tidak pernah dikneal di dunia perwayangan sekiranya Pak Dalang tidak mengangkatnya dan memainkannya. Petruk tidak ada dan tidak pernah ada dalam dunia wayang jika tidak diangkat Padak Dalang dan dimasukkannya ke dalam pentas. Tapi sopo sih sing sajkane pentas? (Siapa yang sebenarnya pentas?) Bukan Petruk kan? Tapi Pak Dalang. Sopo sih sing sak jane urip? (Siapa yang sebenarnya hidup?) Yoo pak Dalang. Petruk tidak hidup di dunia wayang dan sekaligus hidup dunia wayang. Petruk itu pak Dalang tapi bukan pak Dalang. Karena pak Dalang bisa jadi Semar dan bukan Petruk. Karena juga petruk yang ada di layar itu sebenarnya pak Dalang yang bicara, pak Dalang yang bergerak dan hanya pak Dalang yang hidup. Jadi Petruk itu pak Dalang sekaligus bukan pak Dalang.

Sifat Semar itu sifat pak Dalang. Wayang kulit Semar. Wayangnya mati. Tidak mempunyai kehidupan. Apalagi mempunyai sifat. Kan sifat hanya dipunyai oleh sesuatu yang hidup. Padahal wayang kulit semar mati, yang hidup hanya bayangannya di layar. Yang hidup sebenarnya Pak Dalang. Jadi sifatnya Semar sebenarnya sifat Pak Dalang. Dan juga laku (af’al) Semar itu juga laku pak Dalang. Tapi sekaligus sifat dan laku Semar bukan sifat dan laku pak Dalang. Kenapa? Karena pak Dalang itu juga Petruk, pak Dalang itu juga Bagong. Sifat pak Dalang itu juga sifat Petruk dan sifat pak Dalang dan lakunya itu juga sifa dan lakunnya Bagong.

Pak Dalang memang berjiwa besar. Terlalu besar untuk ditampung satu wayang. Maka ada banyak wayang. Wayang-wayang hidup sebagai bayangan di layar. Hanya bayangan. Dunia perwayangan itu imajinasi/takhayyul. Yang sebenarnya ditonton hanya Pak Dalang. Yang hidup sebenarnya hanya pak Dalang. Tapi Pak Dalang berjiwa besar dan sempurna (kamal). Jadi Pak Dalang membuat dunia perwayangan sebagai bayangan dari dirinya sendiri. Di balik layar, Wayang-Wayang tampak hidup. Wayang–wayang tampak bergerak. Wayang-wayang berbicara. Wayang-wayang berkomunikasi. Wayang-wayang ada yang jahat, ada yang baik, wayang-wayang ada yang diganjari surga dan neraka. Tapi wayang-wayang semuanya bayangan. Bayangan pak Dalang. Sesudah semuanya mati Pak Dalang nggrememeng, “Apik tenan wayang iki, opo maneh si Yudistiro”.

Ya itu hakikat sholawat, Tuhan memuji dirinya sendiri lewat bayangannya (Muhammad) di layar imajinasi. Yang dipuji sebenarnya yaa Tuhan yaa Muhammad. Karena Seluruh alasan penciptaan adalah Muhammad. Sifat-sifat Muhammad. Laku-laku Muhamamd. Nama-nama Muhammad. Orang-orang yang disekeliling Muhammad diciptakan untuk mengejawantahkan percikan-percikan sifat, nama dan laku Muhammad yang terlalu besar untuk dikandung dalam diri seorang baysar. Karena itu dibuat selain Muhammad. Yaitu ‘Ali. Setelah itu Fathimah. Setelah itu turunan-turunan suci Muhammad. Setealh itu para Nabi, para malaikat al-muqorrobiin dan para wali. Setelah itu yang lain. Setelah itu para Malaikat. Karena Ya itu hakikat penciptaan tajalliyat perwayangan. Takhayyul. Dunia nyata ini takhayyul. Khayalan. Ngimpi. Sebagaimana dikatakan oleh YM. Rasulullah SAWW, “Manusia itu tidur, ketika mati ia terbangun.”

Renungan 11

Kethek Ogleng (kera gila)

Disaat berkaca kok tiba-tiba seperti terselip sebutir kacang dan kulit pisang dalam mulut-mulut rahasia ke-dimitrian-ku. Lho. Apa ini. Ada kacang goreng sisa kemarin yang kumakan kenapa ada di hatiku dan kulit pisang itu lho kenapa kepelihara dalam pikiranku apa sih kulit pisang?

Kata orang sih kalau mau makan pisang buang kulitnya dan makan isinya jangan kulitnya ikut ditelen. Ntar keseretan nolak bisa nafas dan mati di kalangan para kera. Dimitri juga mengetahui logika itu, tapi sayangnya dimitri itu kera idiot yang tidak tahu timur barat, tidak tahu pula kulit dan isi jadi dua-dua nya ditelan saja.

Jadi alih-alih dapat mengenal mengecap enaknya rasa pisang, si kera gila ini tidak pernah merasakan enaknya zat yang namanya pisang, tapi hanya sepet-sepet kulitnya saja wah, kasihan yaa.

yaa, dimitri memang seekor kera gila, betapa tidak, tiap hari diberi Tuhan rahmat-rahmat pisang-pisang spiritual, tapi hanya sibuk dalam dunia perkulitan perpisangan, sholat yang semestinya mikraj tapi dimitri hnayk tekuk badan dan baca-baca bacaan alif bak yang pelo, makhrojnya tidak bener, alih-alih khusyu memikirkan tuhan dimitri hanya khusyu’ memikirkan butiran-butiran kacang yang akan dicerna organ yang namanya perut yang besarnya na’udzubillah ini, alih-alih menikmati manisnya pisang-pisang ilhai yang ada 17 biji sehari atau lebih itu malah dimitri sibuk membersihkan kulit-kulitnya dan sembari mengulih diirnya sendiri dasar kera gendheng, kera tidak punya otak, kera idiot.

yaa, dimitri memang seekor kethek ogleng, tubuhnya selalu ogleng/miring-miring tidak seimbang, miring ke kanan ke para ahli nujum, miring ke kiri ke pada tukang ramal, miring ke depan ke para filosof, miring ke belakang ke mas wawan sufi, tapi kethek ogleng sulit jalan, karena miring-miring terus kethek ogleng sulit maji karena bingung terus, berputar-putar terus dalam berbagai argumentasi ngeri kera, berspekulasi terus dengan bintang-bintang astrologi bercinta terus dengan nafsu padahan mas wawan sufi bercinta dengan tuhan, seperti gasing yang berputar-putar pada tempatnya di awalnya nampak gagah dan kuat, lama-lama sekrup-sekrup umurnya mulai menua, dan gasing pun berdoyong-doyong perlahan-lahan sampai di tanah, nggeletak –tergeletak-.

kera gila menghabiskan usia dalam alam kebingunan dan kebodohan, yaa habis idiot sih, dimitri tidak mengeluh pada tuhan, karena tuhan tidak menciptakan kegilaannya, habis pikir punya pikir, seperti halnya bangsa manusia, dimitri juga punya akal, kalau tidak salah dulu juga dimitri diciptakan sebagai manusia, walaupun sekarang sudah jadi kera gila, rasa-rasanya dimitri juga punya pikiran sebagaimana meriam belina, atau dimitri juga punya ketakutan sebagaimana ketakutan mas wawan sufi kepada tuhan, hanya pikiran dimitri sudah dibanting pecah, pecah dan hancur sekarang tinggal ditempel-tempel seperti kista-kista jamur atau seperti benggolan-benggolan benalu atau jerawat yang tidak sedap dipandang mata, juga rasa takut dimitri tidka diarahkan pada tuhan, tapi pada hantu-hantu dan setan-setan yang banyak terdapat di air, kata orang tua jaman doeloe setan itu banyak di air, juga kata pak sanusi, tapi setan dari golongan manusia itu banyak, ada di sumber-sumber penghidupan manusia seperti di duit-duit dan lain-lain, kalau preman-preman kera dan gorilla pasti ada di dekat pohon pisang, hanya kera gila lebih suka kulit puisang, dan kepada tuhan, kegilaan ini memang pantas dan masih teramat bagus disifatkan pada individu kerdil pencinta kacang-kacang emas seperti saya.

bener ini lho, tapi awas sekarang kera gila pun termasuk binatang langka coba saja kalau nggak percaya, walt disney kan ngarang kartun kota bebek mungkin mereka mikir jaman sekarang orang lebih banyak berkarakter bebek, amit-amit, dimitri yang kera gila ini nggak mau jadi bebek habis kan haru mbebek terus, terus walt disney juga ngarang lion king, cerita tentang kerajaan binatang yang dipersonifikasikan, mungkin merak berfikir sekarang ini secara maknawai mirip dengan dunia binatang, entah dalam hal apanya, tapi kalau dimitri sih cuek, yang penting ada kulit pisang dan kacang, beres. kan yang penting itu saja yaa?

tapi sekali lagi awas mumpung roda-roda usia belum ditamatkan riwayatnya, kata para wali, ada orang yang kepalanya binatang, na’udzubillah, aduh gimana yaa, kalau dimitri sih seneng sekiranya dimitri ini kera gila, masih mending-mending, bagaimana kalau jadi buaya darat yang menjijikan itu, senengnya mandi di air kotor, air limbah, manusia buaya suka uang haram, apakah dari barang haram atau dari korupsi atau dari apa saja, manusia buaya, demi Allah, selalu makan kotoran-kotoran manusia dan bangkai-bangkai kadal yang menjijikan, padahal dipandangan mereka mungkin itu adalah sandwich burger, pizza, sop sarang burung hoeekkkk, kera gila mau mutah-mutah, wahai manusia, awas dengan barang harama, awas dengan dunia yang busuk-busuk.... lebih enak kulit pisang dan kacang sederhana tapi persih, dan indah selalu.

busuk-busuknya dunia menjijikan kera gila, jijik, juga jijik dengan diri sendiri yang terkotori dengan busuk-busuknya dunia, menjadi hasud ini, sombong dan setan-setan cakil yang menakutkan, oh, kera gila takut berubah jadi seta, jangan yaa Allah, sumpah jangan yaa Allah, kera masih lebih baik dari setan, sumpah, jangan yaa Allah, tutuplah karirku di dunia perkeraan atau per-apapuan dengan tangis airmata kasihmu yang abadi..... “. oooo kera yang malang”, maghrifohmu saja yang kuharapkan dengan berkah nabimu yang mulia saww.

Irfân (mistisisme) secara etimologis berarti sejenis pengetahuan (makrifat), konsepsi (tashawwur), dan pengetahuan yang dalam (bashîrah). Sementara itu, secara terminologis, ‘irfân dapat dikatakan sebagai sejenis pengetahuan langsung yang berada di luar indera dan akal. Tidak mudah mencapai pengetahuan itu, kecuali bagi orang yang secara amaliah bersungguh-sungguh menghilangkan berbagai rintangan dan tabir-tabir hati melalui sejenis perjalanan spiritual (sulûk) atau tarikan Ilahi (jadzb). Dengan cara itu, seorang arif dapat mencapai batin, kegaiban, dan kesatuan sejati yang tersembunyi di balik hal-hal yang tampak dan kemajemukan (katsrah). Dalam sulûk ini terdapat perjalanan ruh yang mendatangkan kesempurnaan jiwa serta diperoleh pengenalan diri dan pencerahan batin.

Untuk menjelaskan makna ‘irfân secara lebih dalam dan penjelasan berbagai dimensi dan aspeknya, kita harus membagi bangunan ‘irfân ini ke dalam beberapa bagian. Bagian-bagian itu sebagai berikut.

1. Irfân bisa berarti idrâk (persepsi), yakni makrifat langsung tanpa melalui perantaraan dari akar ilmu hudhûrî (ilmu pemberian Ilahi) dan yang dimasuki seorang arif ketika berhadapan langsung dengan jiwa hakiki dan ilmu kesatuan (wahdah). Demikian pula batin atau kegaiban alam.

2. Irfân bisa berarti sejenis pandangan (nazhrah) atau penglihatan (ru’yah). Berdasarkan hal ini, ‘irfân membahas bentuk kajian yang diformulasi dan batiniah yang didasarkan pada penakwilan terhadap nash-nash agama atau pengaruh-pengaruh etika di dalam tema al-qirâ’ah al-‘irfâniyyah (kajian mistisisme). Ketika itu, ‘irfân dapat digunakan dalam berbagai kajian lain, seperti kajian-kajian filsafat, fiqih, dan kalam.

3. ‘Irfân bisa berarti uslûb (metode). Dalam hal ini, ‘irfân terbatas dalam lingkup alamiah, yang berarti sejenis sulûk dan jalan kehidupan yang membawa satu individu cenderung untuk keluar dari kemapanan secara ilmiah, amaliah, dan etis. Tindakan itu berbeda dengan kebiasaan sehari-hari, keinginan hawa nafsu, dan kecenderungan diri karena keinginan untuk sampai pada hakikat kegaiban yang tersembunyi di balik tabir-tabir lahiriah.

4. ‘Irfân bisa berarti kumpulan berbagai ajaran yang termuat di dalam buku-buku dan ucapan-ucapan khusus para arif (dalam dimensi teoretis dan praktisnya), karena tujuannya adalah menjelaskan jalan sulûk.

5. ‘Irfân bisa berarti institusi sejarah. Eksistensi dan manifestasi eksternal dan sosial kelompok ini dalam Islam direpresentasikan dalam kelompok sufi yang memiliki banyak hubungan dan interaksi dengan kelompok-kelompok sosial dan keagamaan yang lain.

Dari aspek sejarah, istilah ‘irfân sudah dikenal sejak permulaan dalam kata yang lain, seperti ahli makrifat dan ahli tasawuf yang berporos pada makna ketiga (yang telah disebutkan di atas). Setelah itu, kata tersebut mengambil makna kedua, keempat, dan kelima, lalu kembali pada makna pertama. Adapun yang dijadikan sandaran buku kami ini adalah dimensi teoretis dari makna keempat, yakni ‘irfân dalam arti kumpulan berbagai ajaran. Kajiannya telah dilakukan berdasarkan asumsi bahwa hal itu merupakan warisan ruhaniah dari kebudayaan Islam dengan nama khusus yaitu ‘irfân nazharî (mistisisme teoretis) menurut berbagai pandangan dan didasarkan pada seni prosa dan puisi dalam cakupan istilah-istilah seni atau kata-kata dan makna-makna simbolik.

Prinsip-prinsip Kolektif Metode Mistisisme

Setelah mendalami mistisisme dan berbagai dimensinya, untuk memahami makrifat atau cabangnya dalam bentuk mistis harus didasarkan pada beberapa pilar berikut.

1. Keyakinan terhadap adanya tingkatan-tingkatan alam eksistensi. Para peneliti mistisisme mengatakan bahwa mereka telah melewati aspek-aspek lahiriah, penglihatan biasa terhadap alam ini, dan masuk ke dalam aspek-aspek batiniah.

2. Keyakinan terhadap adanya tingkatan-tingkatan persepsi dan pemahaman seseorang, padahal tidak mungkin menganggap pengetahuan inderawi lahiriah, bahkan pengetahuan rasional, sebagai pengetahuan mistisisme. Tetapi pengetahuan itu termasuk sejumlah pengetahuan superfisial (disebabkan ketidakmampuan akal untuk mengetahui berbagai hakikat tertinggi dari alam ini). Jalan satu-satunya untuk mencapai hakikat-hakikat teologis dari alam ini adalah ilmu hudhûrî dan syuhûdî, dan yang terdiri dari berbagai tingkatan dan fase.

3. Keyakinan terhadap adanya tingkatan-tingkatan manusia, karena biasanya seorang arif mempercayai adanya persamaan antara manusia dan alam ini, dan kaitan pengetahuan manusia dengan alam sebagai perantaraan di antara kedua unsur tersebut. Berdasarkan hal ini, seseorang juga dapat memiliki tingkatan-tingkatan yang terdapat di alam ini, dimana ia dapat naik dan berkembang melalui perjalanannya di jalan mistis, di samping mencapai pengetahuan-pengetahuan mistis berkenaan dengan keutamaan dan tingkatan karakter mistis (maqâmât).

4. Tingkatan-tingkatan, keadaan-keadaan, dan pengetahuan-pengetahuan itu seluruhnya faktual, dimana tindakan-tindakan mulia dari semua kelompok mistis dianggap sebagai penegasan dan perincian tentang hakikat alam, bukan semata-mata simbol-simbol intelektual atau hal-hal yang bersifat imajinatif, di samping adanya prinsip-prinsip yang telah disebutkan di atas pada kelompok-kelompok mistis (baik yang bersifat keagamaan maupun yang tidak bersifat keagamaan). Namun, ada prinsip lain yang dapat ditemukan dalam mistisisme agama, misalnya:

5. Kesakralan dan kesucian pemikiran. Sebab, tingkatan-tingkatan dan keadaan-keadaan mistis berarti hubungannya dengan Allah Swt. (karena hal itu dianggap sebagai sesuatu yang berkaitan dengan makrifat, cinta [mahabbah], takut [khauf], dan harapan [rajâ’]). Bisa juga ditambahkan dua prinsip ke dalam prinsip-prinsip tersebut dalam mistisisme Islam. Kedua prinsip itu adalah:

6. Penyandaran pada ilmu tentang nama-nama sebagai landasan. Setelah ini, akan kami kemukakan permulaan dan perkembangan mistisisme Islam yang didasarkan pada nama-nama Ilahi, baik yang berkaitan dengan ontologi (‘ilm al-wujûd) atau epistemologi (‘ilm al-ma‘rifah) maupun yang berkaitan dengan aspek praktis (dalam hal khusus pada aspek peniruan akhlak Allah Swt.).

7. Penyandaran pada tingkatan-tingkatan Al-Quran. Sebab, dapat dikatakan bahwa mistisisme Islam merepresentasikan makna-makna batiniah ayat-ayat Al-Quran dan tingkatan-tingkatan internalnya. Untuk mengetahui makna-makna batiniah itu diharuskan menempuh tingkatan-tingkatan eksistensi dan manusia yang analog dengan batiniah Al-Quran.

Tidak diragukan, bahwa kesamaan tingkatan-tingkatan kitab tadwînî (Al-Quran) dengan kitab takwînî (alam eksistensi), dan juga dengan kitab anfusî (eksistensi) manusia merupakan bagian dari kesitimewaan-keistimewaan mistisisme Islam.

Jalan menuju mistisisme Islam yang di dalamnya terkandung perjalanan menempuh tingkatan-tingkatan tersebut dan kesampaian ke tingkatan-tingkatan (maqâmât) dan setasiun-setasiun (manâzil) mistis yang tinggi dinamakan wilâyah yang—melalui kendaraan mahabbah dan ‘isyq atau riyâdhah dan penguasan nafsu—di dalamnya terkandung perjalanan-perjalanan seorang arif (wali) dalam nama-nama Ilahi dan kefanaannya di dalam nama-nama Allah terindah (al-asmâ’ al-husnâ). Selanjutnya, adalah hubungan dan keabadiannya dalam hakikat-hakikat nama-nama tersebut.

Mistisisme Teoretis dan Praktis

Istilah mistisisme teoretis (‘irfân nazharî) digunakan untuk menyebut sekumpulan pemikiran mistis yang objek-objeknya berporos di seputar Esensi (Dzât) Al-Haqq Swt. dan semua manifestasinya—yakni nama-nama, sifat-sifat dan aktivitas-aktivitas-Nya. Dengan kata lain, Dzât sebagai salah satu determinasi (ta‘yyun).

Sementara itu, Al-Qaishari mendefisikan mistisisme (‘irfân)—teoretis dan praktis—dengan menganggapnya sebagai ilmu yang mengandung suatu objek, masalah, dan faedah, dengan definisi berikut:

“Pengetahuan tentang Allah Swt. berkenaan dengan nama-nama, sifat-sifat, aktivitas-aktivitas, dan manifestasi-manifestasi-Nya, keadaan-keadaan mabda’ (tempat bermula) dan ma‘âd (tempat kembali), hakikat-hakikat alam semesta dan metode kembalinya ke satu hakikat yakni Esensi Ketunggalan (Dzât Ahadiyyah), serta mengetahui sulûk dan mujâhadah untuk membebaskan diri dari belenggu parsial dan hubungannya dengan tempat bermulanya serta memiliki sifat kemutlakan dan keuniversalan.”

Berdasarkan asas ini, kita dapat mendeskripsikan masalah-masalah mistisisme sebagai berikut.

1. Sifat keberadaan kemajemukan (katsrah) (hubungan alam semesta ini dengan Al-Haqq dan perjalanan turunnya).

2. Penjelasan manifestasi nama-nama dan sifat-sifat.

3. Penjelasan metode kembalinya kemajemukan (katsrah) ke kesatuan (wahdah) (perjalanan naik alam semesta).

4. Metode kembali (sulûk), dimana yang terakhir ini berkaitan dengan mistisisme praktis (‘irfân amalî).

Atas dasar hal ini, “masalah-masalah” tersebut berarti manifestasi-manifestasi dan hukum-hukum khusus bagi Al-Haqq Swt. dan juga nama-nama, sifat-sifat, dan aktivitas-aktivitas-Nya. Dengan kata lain, yang terpenting dari dua masalah yang dikemukakan dalam mistisisme adalah:

1. Apakah tauhid itu? (Kajian-kajian tentang kesatuan eksistensi dan turunan-turunannya).

2. Siapakah yang diesakan itu? (Meliputi kajian-kajian tentang manusia paripurna atau insan kamil dan hal-hal yang berkaitan dengannya).

Bagian pertama mencakup dua kajian; (1) penegasan keesaan (wahdah) dan (2) penjelasan tentang kemajemukan (katsrah). Tujuannya adalah mengetahui Al-Haqq dan menyandarkan metodenya pada penyingkapan-batin oleh para arif (urafa), teks-teks wahyu Ilahi, dan hadis-hadis dari orang-orang maksum, di samping dalil-dalil akal untuk membuktikan kesimpulan-kesimpulan yang diperoleh melalui pengetahuan yang muncul dalam hati (wijdâniyyah) dan penyingkapan-batin (kasyfiyyah). Kemudian, penjelasan tentang pandangan mistis yang komprehensif dan jawaban terhadap hal-hal yang meragukan yang berkaitan dengannya.

Objek-objek mistisisme teoretis atau pandangan mistis yang komprehensif dan masalah-malahnya bisa meliputi lima bagian pokok, yaitu sebagai berikut.

1. teori pengetahuan mistis (kajian-kajian pendahuluan).

2. ilmu tentang eksistensi mistis.

3. ilmu tentang pengetahuan mistis tentang Allah.

4. ilmu tentang pengetahuan mistis tentang alam.

5. ilmu tentang pengetahuan mistis tentang manusia.

Adapun mistisisme praktis adalah perjalanan melewati fase-fase kesempurnaan manusia yang sesuai dengan metode khusus dengan harapan untuk mendapatkan kedekatan dengan Allah Swt. dan mencapai makrifat Ilahi, lalu tingkatan kewalian (wilâyah) tertinggi (tingkatan haqq al-yaqîn dan kesatuan dari kesatuan [jam‘ al-jam‘]).

Mistisisme Islam pada dua abad permulaan kemunculan Islam terbatas pada mistisisme teoretis dan jalan-jalan kehidupan mistis (dan hal itu melalui dua cara, yaitu kezuhudan dan cinta [hubb] atau ‘isyq). Kemudian—setelah menggabungkan antara tindakan-tindakan mulia para arif dalam makrifat dalam lingkup sekumpulan pemikiran mereka yang tertulis dan buku-buku mereka—dapat tersebar.

Pada saat urafa pengamal (‘amaliyyûn)—jika boleh dikatakan begitu—hanya memiliki hati yang bersih dan niat yang tulus dalam amal-amal mereka yang memulai dua unsur asasi ini merupakan modal satu-satunya bagi mereka selama mereka menempuh fase-fase spiritual. Sebab, bangunan mistisisme teoretis berkenaan dengan pengajaran dan pembelajaran, berdiri di atas sejumlah ilmu; mulanya adalah logika (manthiq), filsafat, dan teologi (kalâm), dan selanjutnya adalah keakraban dengan ucapan-ucapan para arif, penyingkapan-batin mereka, dan tindakan mulia mereka. Berdasarkan hal ini, mistisisme teoretis menyerupai filsafat pertama, walaupun ada perbedaan esensial di antara keduanya. Betapa indah apa yang dikatakan oleh Muthahhari dalam masalah ini:

’Irfân dengan sifatnya ini menyerupai filsafat Ilahi, karena melakukan penafsiran dan penjelasan tentang eksistensi (wujûd). Namun, sementara argumentasi filsafat didasarkan pada prinsip-prinsip akal semata, maka argumentasi ‘irfân didasarkan pada prinsip-prinsip penyingkapan-batin (kasyf)—seperti yang dikatakan—dan setelah itu dijelaskan dengan bahasa akal; sementara argumentasi akal dalam filsafat adalah dalam bentuk objek-objek yang ditulis dengan suatu bahasa dan dikaji dengan bahasa yang sama, maka argumentasi ‘irfân adalah dalam bentuk objek-objek yang diterjemahkan dari bahasa lain, dalam arti seorang arif—setidaknya, menurut pengakuannya—menjelaskan apa yang disaksikan dengan hati dan kesempurnaan eksistensinya dengan bahasa akal.”

Adapun mengenai perbedaan antara mistisisme teoretis dan ilmu-ilmu humaniora yang lain dapat dikemukakan sebagai berikut.

“Menurut temanya, yaitu membahas tentang falsafah hakikat eksistensi: tema teologi (kalâm) adakah prinsip-prinsip akidah, sedangkan temak ‘irfân adalah Esensi Al-Haqq di smaping salah satu determinasi (ta‘ayyun).

Menurut metodenya, yaitu mengikuti metode filsafat akal, metode teologi adalah metode akal (‘aqlî) dan syariat (naqlî), dan kadang-kadang juga didasarkan pada metode lain, sedangkan metode ‘irfân adalah metode akal dan penyingkapan-batin, dan kadang-kadang didasarkan pada dalil syariat (naqlî).

Menurut tujuannya, tujuan filsafat adalah mengetahui hukum-hukum eksistensi, turunan-turunannya, dan macam-macamnya; tujuan teologi adalah penegasan prinsip-prinsip akidah; sedangkan tujuan ‘irfân adalah mengenal nama-nama dan sifat-sifat Al-Haqq, serta aspek-aspek batin dan gaib dari alam ini.

Dalam menegaskan pandangan Mulla ‘Abdurrazzaq Al-Lahiji, Haji Mulla Hadi Al-Sabziwari membagi para pencari pengetahuan hakikat segala sesuatu pada empat kelompok, sebagai berikut.

Kelompok pertama, mereka dalah kaum teolog (mutakallim), dan pada umumnya bekerja dengan menyelaraskan pandangan-pandangan mereka dengan lahiriah syariat.

Kelompok kedua, mereka adalah kaum sufi, dan mereka tidak menyelesaraskan pandangan-pandangan mereka dengan syariat, tetapi mereka membatasi diri pada kesungguhan melawan nafsu dan menyucikan batin.

Kelompok ketiga, mereka adalah kaum peripatetik (masysyâ’ûn) yang kegiatan mereka terbatas pada pemikiran, penjelasan dan dalil akal semata.

Kelompok keempat, kaum illuminis (isyrâqiyyûn) yang menggabungkan kedua metode ini.

Al-Sabziwari memandang bahwa kelompok terakhir adalah yang diliputi pertolongan Al-Haqq, yang mendorongnya untuk mengklasifikasikan Mulla Shadra, penulis buku Al-Hikmah Al-Muta‘âliyyah, dan metodenya ke dalam kaum illuminis.

Adapun hal yang berkaitan dengan sebab dan motif yang mendorong penulisan mistisisme teoretis (‘irfân nazharî) pada abad ke-3 H dan sesudahnya, dan yang semangatnya sampai pada abad ke-7 di tangan Muhyiyuddin bin ‘Arabi, maka dapat kami tunjukkan melalui beberapa butir berikut.

1. Motif pengetahuan (makrifat), dimana seseorang merasakan kebutuhan untuk menyelaraskan antara berbagai dimensi eksistensi dan persepsinya—yakni hati, akal, dan pengalaman—yang mendorongnya untuk menulis tafsir yang komprehensif-rasional dan sedapat mungkin mengharmoniskan pengetahuan-pengetahuan yang diperoleh melalui cita-rasa ruhaniah (ma‘ârif dzauqiyyah) dan hakikat-hakikat yang diperoleh melalui penyaksian-batin (haqâ’iq syuhûdiyyah)-nya.

2. Menghindarkan kontradiksi. Seperti kita ketahui, perbedaan dalam pengungkapan oleh para arif, dan yang kadang-kadang menyebabkan pertentangan secara lahiriah, disebabkan oleh perbedaan tingkatan (manzilah), pengalaman spiritual, dan kapasitas eksistensial mereka. Inilah di antaranya yang memberikan kesan mereka di mata orang lain bahwa mereka saling bertentangan di antara mereka sendiri dan bahwa ucapan mereka tidak berdasar.

3. Tuduhan terhadap pemikiran. Beberapa hal, baik ungkapan maupun ucapan ekstatik (syathahât), disebabkan oleh kekurangan dalam pengalaman atau dalam menerjemahkan ilmu hudhûrî ke dalam ilmu hushûlî secara keliru, dan yang menyebabkan pertentangan dengan lahiriah syariat. Keadaan-keadaan itu disebabkan oleh pemahaman yang buruk terhadap hal-hal yang disyariatkan.

4. Kekhawatiran akan kehilangan makna. Sebab, keasingan dalam pengalaman mistis, dan selanjutnya adalah kesulitan dalam mengambil pemahaman-pemahaman yang sesuai dengan pengetahuan yang muncul dalam hati (wijdâniyyah), dan akhirnya adalah ketidakmampuan kata-kata dan ungkapan untuk menjelaskan hakikat-hakikat yang diperoleh melalui penyaksian (haqâ’iq syuhûdiyyah), semua itu menyebabkan keraguan akan kehilangan makna dari pengetahuan yang diperoleh dari penyaksian-batin dan kekhawatiran akan kebutuhan pengetahuan yang diperoleh oleh para arif pada makna yang dimaksud. Perlu ditunjukkan bahwa sebagian besar keraguan ini muncul dari sebagian filosof dan mutakallim atau ahli hadis.

Dalam menjelaskan alasan keperluan pada ilmu mistis (‘irfân) dan mengapa dia menulis risalah yang terkenal tentang masalah tersebut, Al-Qaishari berkata:

“Walaupun asas dan pilar ilmu ini adalah cita-rasa spiritual (dzauq), dan siapa pun tidak mampu menggunakannya selain orang-orang yang memiliki wajd (ekstase) dan ahli syuhûd, tetapi saya menemukan bahwa ahli ilmu-ilmu lahiriah mengira bahwa ilmu ini tidak memiliki landasan yang kokoh serta kesimpulan yang bijaksana dan baik, dan bahwa hal itu adalah khayalan semata-mata yang tidak memiliki dalil dan bukti, atau hanya pengakuan adanya penyingkapan-batin (mukâsyafah) dan makrifat yang dibuat-buat dimana orang yang mengaku memilikinya juga tidak bisa memahaminya. Oleh karena itu, saya ingin menjelaskan subjek ilmu ini serta berbagai masalah, prinsip-prinsip dan ajaran-ajarannya, lalu menuliskannya dalam risalah ini.”

Kemudian, Al-Qushairi menambahkan:

“Dalam risalah ini saya tidak menyebutkan burhan atau dalil apapun kecuali untuk menjadi pegangan mereka (yakni ahli ilmu-ilmu lahiriah) dan dengan perantaraan ilmu-ilmu mereka sendiri. Hal itu karena penyingkapan-batin ahli syuhûd tidak dipandang sebagai hujjah apapun bagi mereka. Oleh karena itu, mereka cenderung untuk menakwilkan lahiriah ayat-ayat dan hadis-hadis yang juga menunjukkan kandungan-kandungan mistis.”

5. Kepentingan pengajaran. Artinya, keharusan membimbing para penuntut ilmu dan memberitahukan kepada mereka apa yang akan mereka dapatkan dari bimbingan itu, serta apa yang akan mereka peroleh melalui penyingkapan-batin (mukâsyafah), manifestasi (tajalliyyât), dan penyaksian-batin (musyâhadât). Kemudian, penting dijelaskan akidah-akidah dan pengetahuan tentangnya untuk menghindari mereka dari salah menggunakan ungkapan-ungkapan yang dimaksud dan penakwilan-penakwilan yang tidak dikehendaki. Semua itu merupakan faktor lain di samping faktor-faktor yang karenanya diputuskan untuk menuliskan mistisisme teoretis (‘irfân nazharî) ini. Berkenaan dengan hal yang berkaitan dengan faedah-faedah ilmu teoretis untuk mendapatkan makrifat dan tidak bertentangan dengan usaha untuk mendapatkan pengetahuan dan karakter kognitif (al-malakât al-idrâkiyyah) dengan mengosongkan hati dari segala sesuatu, Sha’inuddin berkata, “Tidak ada keraguan sedikit pun terhadap ucapan ini. Tetapi keraguan terletak pada anggapan mereka bahwa ilmu-ilmu teoretis (al-‘ulûm al-nazhariyyah) dapat mengantarkan pada tujuan atau menilainya sebagai sesuatu yang harus dimiliki dalam perjalanan spiritual (sulûk) dan kebutuhan sulûk terhadapnya. Sementara itu, jika mereka tidak menganggap bahwa hal itu bukan suatu halangan atau hanya memandangnya sebagai suatu alat bantu, maka dalam hal ini, ilmu-ilmu tersebut dapat digunakan. Mereka benar, yaitu apa yang dikatakan oleh penulis Tamhîd Al-Qawâ‘id, ‘Sesungguhnya menyiapkan tempat yang sakral dengan gerakan-gerakan pemikiran yang dilandasi kerinduan bukanlah suatu halangan, bahkan berguna dalam menyingkap pengetahuan-pengetahuan dan himah-hikmah yang tersembunyi ketika kekuatan kudus mengalahkan kekuatan-kekuatan jasmani dan penguasaannya yang terus-menerus terhadap kekuatan keraguan (wahm) dan kekuatan imajinasi (mutakhayyilah)…’”

Sebagian orang yang memberikan komentar (syarah) terhadap buku Tamhîd Al-Qawâ‘id menganggap bahwa mencari dan mempelajari ilmu-ilmu seperti itu merupakan suatu hal yang diperlukan. Mereka berkata, “Karena jalan sulûk itu sulit, maka pesuluk (penempuh jalan spiritual) harus mempelajari kaidah-kaidah akal yang dapat membedakan mana yang benar dan mana yang salah dan memisahkan antara setasiun spiritual (manzil) dan jalan spiritual (tharîq) sebelum dia bertekad untuk masuk ke jalan ini agar terhindar dari kejatuhan ke dalam jurang keraguan. Itu artinya, jalan yang ditempuh memerlukan metode pembuktian (burhân).”

Demikianlah, faktor-faktor yang telah disebutkan itu, di samping pencarian dengan bahasa umum atau dengan bahasa yang sesuai dengan tingkat pemahaman mereka, membantu dalam memunculkan dan menuliskan mistisisme teoretis.

Penting disebutkan di sini bahwa mistisisme teoretis tidak memiliki metode khusus hingga kemunculan Ibn ‘Arabi, dan ketika itu hanya terbatas pada ucapan-ucapan para syaikh, perkataan ringkas mereka, dan ucapan ekstatik mereka yang tertuang di dalam puisi dan prosa, atau penakwilan-penakwilan yang diambil dari ayat-ayat Al-Quran dan hadis-hadis Nabi Saw. Itulah yang kita saksikan menjadi kekhususan dalam ucapan para arif, seperti Al-Hallaj, Khwajah ‘Abdullah Al-Anshari, Ibn Junaid, Sahl Al-Tustari, Abu Thalib Al-Makki, Al-Tirmidzi, Ahmad Al-Ghazali, ‘Ain Al-Qudah, ‘Aththar, dan Najmuddin Kubra. Namun, setelah kemunculan Muhyiyuddin bin ‘Arabi (wafat 638 H/1240 M), prinsip-prinsip pemikiran yang tersebar itu menjadi tersusun, harmonis, dan koheren, serta berada dalam bentuk pandangan komprehensif dan metode pemikiran yang harmonis dalam memahami hakikat-hakikat alam semesta dan mendalami pengetahuan-pengetahuan Islam dengan menganggapnya sebagai pengganti atau penyempurna terhadap pemikiran-pemikiran filsafat dan kalam (teologi). Demikianlah, setelah Muhyiyuddin bin ‘Arabi, mistisisme teoretis dapat membubuhkan stempelnya pada kebanyakan arif, mazhab, aliran, dan jalan para sufi, di samping bagi para hukama dan para filosof, bahkan para mutakallim dan mufasir. Istilah-istilahnya, kaidah-kaidah komprehensifnya, metode penakwilannya terhadap teks-teks agama, dan pengalaman-pengalaman mistisnya dapat mempengaruhi mereka semua sedemikian rupa bersama buku Al-Hikmah Al-Muta‘âliyah karya Shadr Al-Muta’allihin Al-Sirazi (wafat 1050 H/1640 M)—seperti dikatakan, merupakan hasil gabungan antara burhan, mistisisme dan Al-Quran, dapat menjadikan buku itu satu-satunya metode filsafat yang paling sempurna di dunia Islam. Dalam buku Al-Hikmah Al-Muta‘âliyah sendiri, penulisnya sangat terpengaruh oleh pandangan-pandangan dan keyakinan-keyakinan Ibn ‘Arabi setelah berlalu empat abad dari wafatnya sang sufi agung itu. Bahkan, Shadr Al-Muta’allihin bersungguh-sungguh untuk memberikan penjelasan yang rasional terhadap bagian-bagian yang tidak mampu ditemukan pembenaran rasionalnya oleh Ibn ‘Arabi yang dianggapnya sebagai perkara mustahil. Dengan demikian, mistisisme teoretis—terutama yang disebutkan dalam buku-buku karya Ibn ‘Arabi dan orang-orang yang mengikuti jejaknya, seperti Al-Qunawi, ‘Abdurrazzaq Al-Kasyani, Al-Qushairi, Ibn Finari, Ibn Turkah, Jami, Al-Syabastari, Al-Lahiji, dan Sayid Haidar Al-Amuli—masih menjadi referensi utama dan satu-satunya untuk menjelaskan pandangan mistis yang universal dalam metode klasik, pengajaran mistisisme teoretis, dan kajian-kajian yang khusus berkatian dengannya.

Berikutnya adalah kajian seputar universalitas tersebut, yaitu yang menjadi hasil dari kerja keras penulis. Metode yang digunakan dalam kajian-kajian tersebut—menurut apa yang telah dikemukakan sebelum ini—terdiri dari lima bagian. Kami akan membahas bagian-bagian tersebut yang berkaitan dengan mazhab mistisisme teoretis. Lima bagian itu adalah sebagai berikut.

1. prinsip ilmu makrifat.

2. prinsip-prinsip ontologi (‘ilm al-wujûd).

3. prinsip-prinsip makrifat tentang Allah Swt.

4. prinsip-prinsip pengetahuan tentang alam semesta.

5. prinsip-prinsip pengetahuan tentang manusia.

Asal dan Perkembangan Mistisisme Teoretis dalam Islam

Meskipun sebagian orientalis menganggap pengaruh agama-agama Timur dan ajaran-ajarannya yang ada di India atau mistisisme Neo-Platonisme merupakan faktor terpenting dari awal kemunculan tasawuf, tetapi pertanyaan berikutnya yang muncul adalah: dengan adanya sumber-sumber tersebut (yakni Al-Quran, Sunnah, dan doa-doa dalam Islam), apakah kita dibenarkan untuk mengkaji sumber-sumber lain dari luar selain sumber-sumber tersebut? Atau, seperti dikatakan oleh George Jordack, bukankah mengherankan tempat kita menemukan seseorang yang sedang duduk di tepi sungai atau di tepi pantai, lalu kita berkata, “Dari kolam yang mana orang ini akan mengisi embernya?” sambil berpura-pura tidak tahu bahwa sungai atau lautan di sana.

Demikian pula dengan masalah yang kita bahas ini. Sebab, terlebih dahulu kita harus memastikan tempat adanya kolam. Inilah yang diklaim oleh ahli makrifat, bahwa pengetahuan mereka hanyalah refleksi dari Al-Quran, makna-makna lahiriah dan batiniah Al-Quran dan riwayat-riwayat yang dikutip dari sumber-sumber yang maksum (para imam as.), dan pengalaman-pengalaman mistis mereka yang bernilai. Jika memang ada faktor-faktor lain seperti universalitas, rasionalitas, dan alamiah dalam semua agama, seperti Kristen, Brahma, Yahudi, dan Islam, hal itu karena mistisisme berlandaskan pada asas-asas yang kekuatannya bersumber dari ilham Ilahi di samping adanya faktor kolektif di antara agama-agama tersebut yang muncul dalam sumber limpahan anugerah Ilahi yang menjadi sandarannya. Bagaimanapun keadaannya, para arif Muslim memandang Al-Quran dan Sunnah sebagai dua faktor penting bagi pengetahuan mistis, bahkan merupakan pendukung dan dalil terhadap pandangan universalitas dan metode kehidupan dan sulûk mereka, di samping pengalaman-pengalaman mistis yang khusus bagi mereka.

  1. Al-Quran

Sebagai contoh, dapat kami sebutkan beberapa ayat berikut:

    1. Ayat-ayat yang berisi tentang sifat-sifat Allah Swt., seperti Mahaawal (Al-Awwal), Mahaakhir (Al-Akhîr), Mahalahir (Al-Zhâhir), dan Mahabatin (Al-Bâthin), serta seluruhnya menunjukkan keesaan Tuhan yang mutlak.
    2. Ayat-ayat yang menyebut Allah sebagai Cahaya (Nûr) dan berbicara tentang manifestasi-Nya.
    3. Ayat-ayat yang menunjukkan kedekatan Al-Haqq Swt. dan menegaskan kesertaan-Nya.
    4. Ayat-ayat yang menunjukkan kebinasaan dan kepunahan segala sesuatu, dan Zat Allah Swt. tidak membutuhkan sesuatu apapun, sedangkan segala maujud selalu berhajat kepada-Nya.
    5. Ayat-ayat yang menunjukkan pengetahuan Allah Swt. terhadap segala sesuatu.
    6. Ayat-ayat yang dengan satu bentuk dan bentuk lain menunjukkan gabungan antara tanzîh dan tasybîh.
    7. Ayat-ayat yang berbicara tentang pandangan hati, pertemuan dengan Allah, dan melihat alam malakut.
    8. Ayat-ayat yang menunjukkan keutamaan Adam as. (manusia) dan ketinggian martabatnya dibandingkan dengan malaikat karena telah diajari nama-nama yang terindah (al-asmâ’ al-husnâ).
    9. Ayat-ayat yang menjelaskan tentang tauhid aktivitas-aktivitas Ilahi.
    10. Ayat-ayat yang menunjukkan bahwa akhirat adalah batin yang menyertai kehidupan di dunia yang merupakan lahir saja, dan juga menunjukkan kepentingan ilmu yakin (‘ilm al-yaqîn).
    11. Ayat-ayat yang menunjukkan ilmu ladunni.
    12. Ayat-ayat yang menjelaskan benih-benih ketakwaan dalam usaha mencari ilmu dan makrifat.
    13. Ayat-ayat yang membahas tentang berbagai derajat lahiriah dan batiniah bagi orang-orang yang beriman.
  1. Sunnah

Mencakup hadis-hadis yang menunjukkan beberapa tema berikut.

    1. Eksistensi hanya terbatas pada Allah Swt. saja.
    2. Pandangan hati terhadap Al-Haqq Swt.
    3. Perbedaan tingkatan para sahabat, para wali dan kaum Mukmin.
    4. Pendekatan diri kepada Allah dengan ibadah-ibadah sunnah.
    5. Sebagian Mukmin dapat melihat Barzakh dan Malakut.
    6. Ilmu disebut cahaya Ilahi yang dimunculkan di dalam hati.
    7. Penyingkapan tabir-tabir bagi para maksum dan sahabat-sahabat mereka.
    8. Orang maksum disebut insan kami (manusia paripurna) dan bahwa dia menjadi perantara datangnya limpahan anugerah (tangan Allah – wajah Allah).
    9. Makna-makna lahiriah dan batiniah Al-Quran dan jumlah batiniah Kitab Allah itu.
    10. Jalinan yang erat antara pengenalan diri dan pengenalan Tuhan.
    11. Pengaruh keikhlasan terhadap pengetahuan hikmah dan alirannya pada lidah manusia.
    12. Hadis-hadis qudsi, seperti hadis tentang kanz khafî (pusaka terpendam) dan penciptaan Adam dalam rupa Al-Haqq, di samping banyak tema yang dideduksi dari buku-buku ahli makrifat tentang masalah ini dan argumentasinya.
    13. Doa-doa ma’tsûr dan khusus seputar tema al-asmâ’ al-husnâ yang dianggap sebagai pilar yang berpengaruh terhadap semua alam.
    14. Meskipun masih bisa diperdebatkan tentang penafsiran dan penakwilan ayat-ayat Al-Quran atau perdebatan tentang sanad suatu riwayat atau penjelasan-penjelasannya, tetapi yang penting bagi kita di sini adalah sandaran para arif pada Al-Quran dan Sunnah bukan menjadikannya sebagai hakim. Adapun hal yang berkaitan dengan sahih dan cacatnya penyandaran ini, sebagaimana ditunjukkan oleh para muhaqqiq, adalah karena karakter dan ruh yang menguasai mistisisme dan tasawuf Islam adalah karakter dan ruh Islam. Inilah yang membedakannya dari mistisisme yang dikenal di Timur dan Barat. Perbedaan itu juga terletak pada bahasa, konsep, istilah dan kandungannya. Bahkan, kadang-kadang perbedaan itu terletak pada prinsipnya. Di sini, kami harus menunjukkan bahwa bisa saja hal itu dibahas dan didiskusikan secara tersendiri.

Hubungan Antara Agama dan Mistisisme

Tanpa melihat asal mistisisme dan pertumbuhan tasawuf Islam, akan muncul dalam pikiran kita suatu pertanyaan: apa hubungan yang sebenarnya antara agama dan mistisisme yang berkaitan dengannya atau yang menjadi turunannya? Dapatkah hubungan di antara keduanya dianggap sebagai hubungan yang bertolak belakang dan terpisah? Atau, apakah hubungan itu merupakan pertentangan dan kontradiksi, hubungan harmonis atau hubungan saling menyempurnakan, ataukah ada hubungan lain selain yang telah disebutkan?

Dalam buku ini, kami akan terfokus pada landasan hubungan yang ada antara Islam dan mistisisme Islam melalui pembahasan yang universal tentang bab ini, serta menjelaskan berbagai aspeknya.

Tidak diragukan bahwa untuk mencermati suatu pertanyaan, terlebih dahulu kita harus memastikan bahwa pertanyaan itu jelas. Jika pertanyaan itu tidak jelas, maka kita akan menghadapi berbagai pertanyaan lain (sebagai akibat perbandingan antara tiga bagian agama dan lima bagian mistisisme). Jika kita memisahkan ketiga makna agama—yakni, validitas (tsubût), konfirmasi (itsbât) dan verifikasi historis atau disebut juga agama pada tingkatan pertama (nash-nash agama), agama pada tingkatan kedua (berbagai konsensus ulama tentang agama), dan agama pada tingkatan ketiga (verifikasi historis agama dalam masyarakat serta sejarah dan institusi-institusinya)—sebagiannya dari sebagian yang lain dan mengambil mistisisme dengan lima bagiannya yang telah disebutkan sebelum ini.

Agar kita terhindar dari pembahasan yang bertele-tele, kami akan membahas subjek pertanyaan itu dalam lima bagian berikut.

1. Hubungan wahyu dengan penyaksian-batin (syuhûd)—dari aspek persepsi mistisisme

Hal ini karena sebagian arif menganggap wahyu dan penyaksian (syuhûd) berasal dari asal yang sama, dan mereka mengklasifikasikan keduanya ke dalam jenis ilmu hudhûrî, walaupun kadang-ladang mereka menunjukkan adanya beberapa perbedaan di antara keduanya dalam hal tingkatan, jenis hubungan, dan beberapa syaratnya. Sementara itu, sebagian yang lain menegaskan bahwa hakikat wahyu masih merupakan misteri dan tidak mungkin diketahui. Mereka menganggap bahwa hubungan kedua unsur ini merupakan hubungan kontradiksi, atau setidaknya tidak diketahui.

2. Hakikat agama dan mistisisme—dari aspek edukasi

Dalam hal ini, hubungan atau jalinan antara ajaran-ajaran agama dan ajaran-ajaran mistisisme berasal dari akar hubungan yang umum dan khusus. Hal itu karena agama, di samping pengetahuan-pengetahuan batiniah dan hakikat-hakikat mistis, meliputi dimensi-dimensi lain termasuk dimensi fiqih, hukum-hukum lahiriah, masalah-masalah sosial, moral, dan prinsip-prinsip akidah yang umum.

3. Agama dan kajian-kajian mistis

Karena banyak sudut pandang terhadap sumber-sumber agama, yakni Al-Quran dan Sunnah, dan selanjutnya adalah penafsirannya sesuai dengan berbagai kajian, maka wajarlah bila dimensi kedua mistisisme (pandangan mistis) menjadi bagian dari kajian-kajian tersebut. Selanjutnya, hal itu dipandang sebagai kajian terhadap agama secara umum. Sebagaimana hal tersebut merupakan hubungan alamiah yang mengikat orientasi-orientasi kalam-filsafat, demikian pula hal itu mengikat bentuk fenomenal pada kaum Salafiyyah, Hanbali, Zhahiriyyah, dan ahli hadis dengan agama.

4. Kehidupan beragama dan mistisisme

Para arif memandang bagian ketiga dari mistisisme (yang disebut tharîqah atau mistisisme praktis) sebagai salah satu jalan yang mendorong pada keberagamaan. Namun, mereka tidak memandangnya sebagai jalan satu-satunya, sebagaimana mereka juga yakin bahwa kezuhudan, riyâdhah, takut (khauf), harapan (rajâ’), cinta (mahabbah), dan makrifat semuanya merupakan jalan yang mengantarkan pada keberagamaan. Mereka percaya bahwa penamaan khusus dengan kehidupan mistis direpresentasikan dalam gabungan antara syariat, tarekat (tharîqah), dan hakikat (haqîqah). Artinya, mencapai hakikat adalah dengan berpegang pada substansi agama dan hukum-hukumnya dengan memelihara lahiriah syariat, dan melalui jalan yang sama. Tentu saja, kehidupan mistis memiliki beberapa aspek dan ragam, dan di antaranya adalah mistisisme yang didasarkan pada asas cinta (mahabbah), riyâdhah, atau takut (khauf). Ada juga mistisisme munajat, mistisisme anggur (mudâm), bar (hânât) dan pembuat hukum (mutasyarri‘ah), mistisisme kebijaksanaan (hashâfah), mistisisme para darwisy, dan mistisisme para pezuhud. Demikian pula, mistisisme yang didasarkan pada tarikan Ilahi (jadzbah) atau sulûk, dan sebagainya.

5. Institusi agama dan institusi-institusi historis mistisisme

Kadang-kadang terjadi beberapa perbedaan di antara bagian kelima dari mistisisme—yakni silsilah-silsilah dan kelompok-kelompok sufi, shawâmi‘, khanqâh, kebiasaan-kebiasaan, dan tradisi-tradisi sufi—di satu sisi, dan agama, masjid-masjid, fukaha, hakim syariat, dan muhtasib yang muncul sepanjang sejarah. Kisah-kisah tentang tuduhan kafir dan fasik, berbagai penyiksaan berkaitan dengan hal-hal tersebut. Sebagian besar perdebatan dan polemik teologis kadang-kadang bermula dari kesalahpahaman atau karena hal-hal yang tidak esensial dari pihak orang-orang yang berpegang pada syariat, dan kadang-kadang juga disebabkan oleh ucapan-ucapan ekstatik (syathahât) dari kaum sufi yang dinilai tidak pantas, atau penyimpangan sebagian kelompok dari postulat-postulat syariat.

Dari uraian di atas, kita dapat menyimpulkan bahwa jika kita ingin menjelaskan karakter hubungan antara agama dan mistisisme, maka ketika itu kita harus memisahkan berbagai aspek dari masing-masing agar bisa mendapatkan jawaban-jawaban yang jelas dan tepat. Tetapi pada umumnya, kita dapat menyimpulkan bahwa tidak ada keraguan tentang adanya ikatan khusus mistisisme dengan agama, seperti mistisisme Islam—setidaknya menurut beberapa dimensi yang telah disebutkan tadi.

Perhatian penulis terfokus pada definisi mistisisme (‘irfân) Islam yang diyakini oleh para arif (urafa) bahwa asas dan perkembangannya didasarkan pada ajaran-ajaran Al-Quran dan hadis-hadis dari para maksum. Namun pada pasal-pasal pendahuluan dalam pembahasan ini, kami akan membicarakannya dari sisi yang umum. Hal itu untuk menjelaskan prinsip-prinsip dan pengetahuan ‘irfân, lalu kami mengkhususkan pembahasan tersebut pada mistisisme Islam.

Syarafuddin Mahmud Al-Qaishari, Rasâ’il Al-Qaisharî, Risâlah Al-Tauhîd wa Al-Nubuwwah dan Al-Wilâyah, hal. 7.

Murtadha Muthahhari, Kuliyyât ‘Ulûm Islâmî, hal. 76-77.

‘Abdurrazzaq Lahiji, Gauhar Murâd, hal. 14-16.

Al-Mula Hadi Al-Sabziwari, Syarh Al-Asmâ’ Al-Husnâ, hal. 76.

Berdasarkan penjelasan yang dikemukakan oleh Muhammad Iqbal dalam bukunya, Sair Al-Falsafah fî Irâm, hal. 100 dan seterusnya, Al-Suhrawardi, penulis buku Hikmah Al-Isyrâq wa Falsafah Al-Nûr, dapat dianggap termasuk ke dalam kelompok sufi hikmah (al-hikmah al-shûfiyyah). Bahkan, Al-Suhrawardi, dalam bukunya tersebut hal. 9-10, memandang bahwa hikmahnya hanyalah usaha untuk menuliskan mistisisme teoretis dan menjelaskan pemahaman-pemahaman tentang hal-hal yang dihasilkan dari ilmu hudhûrî. Namun, ushanya itu—sebagaimana akan kita ketahui setelah ini—masih belum sempurna dan belum tuntas akibat kekeliruan dalam membedakan antara ilmu makrifat ‘irfani (yang di dalamnya nûr, isyrâq dan syuhûd menempati kedudukan sebagai sentral) dan dimensi ontologi (‘ilm al-wujûd) (dimana eksistensi [wujûd] dan kesatuan [wahdah] menjadi poros dan sentral), di samping perpindahan dari otentisitas eksistensi ke otentisitas esensi (dan terutama yang berkaitan dengan masalah kesampaian [wushûl] ke wahdah al-wujûd dan penjelasannya)

Rasâ’il Al-Qushairiyyah, Risâlah Al-Tauhîd wa Al-Nubuwwah wa Al-Wilâyah, hal. 7.

Rasâ’il Al-Qushairiyyah, Risâlah Al-Tauhîd wa Al-Nubuwwah wa Al-Wilâyah, hal. 7.

Sha’inuddin bin Turkah, Tamhîd Al-Qawâ‘id, koreksi: Ustad Asytiyani, hal. 262.

‘Abdullah Jawadi Amuli, Tahrîr Tamhîd Al-Qawâ‘id, hal. 687.

Muhammad bin Ahmad bin Al-Junaid Abu ‘Ali, penulis Al-Iskâfî. Beliau adalah seorang syaikh dalam mazhab Imamiyyah, dan penulis yang handal, seperti yang dikatakan oleh Al-‘Allamah. Al-Najasyi berkata, “Dia adalah orang yang tepercaya di antara sahabat-sahabat kami. Saya mendengar dari para syaikh kami bahwa dia pernah mempraktikkan qiyas. Oleh karena itu, saya enggan membaca buku-bukunya dan tidak mempercayai isinya. Al-‘Allamah juga menilainya tsiqah, dan semua orang mengutip hadis darinya. (Penerj.)

Fariduddin ‘Aththar (wafat 1230 M), salah seorang penyair sufi Persia terkemuka. Ia tumbuh dewasa di Mayhad. Di antara buku-buku karyanya adalah Manthiq Al-Thair dan Tadzkirah Al-Auliyâ’ tentang biografi para arif dan sufi. (Penerj.)

Shadruddin Al-Rumi (wafat 673 H/1275 M), seorang sufi terkemuka dalam mazhab Al-Syafi‘i, dilahirkan dan wafat di Quniyah. Ia pernah belajar kepada Ibn ‘Arabi yang menjadi ayah tirinya. Ia sempat melakukan korespondensi dengan Nashiruddin Al-Thusi dalam masalah-masalah filsafat. Di antara karya-karyanya adalah I‘jâz Al-Bayân fî Tafsîr Umm Al-Qur’ân, yakni tafsir Surah Al-Fâtihah. (Penerj.)

Surah Al-Hadîd [57] ayat 3: Dialah Yang Awal dan Yang Akhir, Yang Zahir dan Yang Batin; dan Dia Maha Mengetahui segala sesuatu.

Surah Al-Nûr [24]: 35: Allah Cahaya langit dan bumi…

Surah Al-A‘râf [7]: 143: Dan tatkala Musa datang untuk [munajat dengan Kami] pada waktu yang telah Kami tentukan dan Tuhan telah berfirman [langsung] kepadanya, berkatalah Musa, “Ya Tuhanku, tampakkanlah [diri-Mu] kepadaku agar aku dapat melihat-Mu.” Tuhan berfirman, “Kamu sekali-kali tidak sanggup melihat-Ku, tetapi lihatlah ke bukit itu, maka jika ia tetap di tempatnya (seperti sediakala) niscaya kamu dapat melihat-Ku.” Tatkala Tuhannya menampakkan diri kepada gunung itu, dijadikannya gunung itu hancur luluh dan Musa pun jatuh pingsan.

Surah Al-Hadîd [57]: 4: Dan Dia bersama kamu di mana saja kamu berada. Dan Allah Maha Melihat apa yang kamu kerjakan.

Surah Al-Rahmân [55]: 25: Semua yang ada di bumi itu akan binasa.

Surah Al-Rahmân [55]: 29: Semua yang ada di langit dan di bumi selalu meminta kepada-Nya.

Surah Fâthir [35]: 15: Hai manusia, kamulah yang berhajat kepada Allah; dan Allah Dia-lah Yang Mahakaya (tidak memerlukan sesuatu) dan Maha Terpuji.

Surah Al-Baqarah [2]: 115: Dan kepunyaan Allah-lah timur dan barat, maka ke manapun kamu menghadap di situlah wajah Allah.

Surah Al-Syûrâ [42]: 11: Tidak ada sesuatu pun yang serupa dengan Dia, dan Dia-lah Yang Maha Mendengar dan Maha Melihat.

Surah Al-Najm [53]: 11: Hatinya tidak mendustakan apa yang telah dilihatnya.

Surah Al-Kahfi [18]: 110: Barangsiapa mengharap perjumpaan dengan Tuhannya, hendaklah ia mengerjakan amal yang saleh.

Surah Al-An‘âm [6]: 75: Dan demikianlah Kami perlihatkan kepada Ibrahim tanda-tanda keagungan (Kami yang terdapat) di langit dan bumi.

Surah Al-Baqarah [2]: 31: Dan Dia mengajarkan kepada Adam nama-nama (benda-benda) seluruhnya.

Surah Al-Anfâl [8]: 17: dan bukan kamu yang melempar ketika kamu melempar, tetapi Allah-lah yang melempar.

Surah Al-Rûm [30]: 7: Mereka hanya mengetahui yang lahir (saja) dari kehidupan dunia; sedang mereka tentang (kehidupan) akhirat adalah lalai.

Surah Al-Takâtsur [102]: 5-6: Janganlah begitu, jika kamu mengetahui dengan pengetahuan yang yakin, niscaya kamu benar-benar akan melihat neraka Jahim.

Surah Al-Kahfi [18]: 65: Lalu mereka bertemu dengan seorang hamba di antara hamba-hamba Kami, yang telah Kami berikan kepadanya rahmat dari sisi Kami, dan yang telah Kami ajarkan kepadanya ilmu dari sisi Kami.

Surah Al-Baqarah [2]: 282: Dan bertakwalah kepada Allah; Allah mengajarmu.

Surah Ali ‘Imrân [3]: 163: (Kedudukan) mereka itu bertingkat-tingkat di sisi Allah, dan Allah Maha Melihat apa yang mereka kerjakan.

Yaitu yang ditunjukkan oleh Jalaluddin Al-Rumi dalam buku Al-Matsnawî, bab ke-4, bait 1851 dan 1852. Untuk lebih jelasnya, silakan lihat pasal pertama dalam pembahasan Wahyu dan Pengalaman Mistis.

Kaidah Basithatul Haqiqah [14]

Bagian Pertama

Pendahuluan

Kaidah bashît al-hakîkah (non-composite, simple reality) merupakan kaidah yang paling urgen di antara kaidah-kaidah dalam filsafat Hikmah al-Mut'aliyah. Mulla Shadra beranggapan bahwa argumentasi dengan kaidah ini adalah kekhususan dari filsafatnya dan orang-orang yang mendapatkan ilmu dan hikmah dari sisi Tuhan. Ia berkata, "Di antara tingkatan-tingkatan yang dilewati oleh para pesuluk menuju Tuhan dan juga malaikat-malikat-Nya… sesungguhnya mereka itu melihat seluruh maujud berada pada titik yang satu dan kami telah jelaskan bahwa bashît al-hakîkah adalah seluruh "asyyâ" (jamak dari syai atau sesuatu)…."[1]

Menurut kami, kunci untuk memahami kandungan kaidah bashît al-hakîkah adalah pengetahuan terhadap makna bashît al-hakîkah; akan tetapi sebelum membahasnya, harus diketahui terlebih dahulu makna dari basîth (non-komposisi, tak berangkap) dan murakkab (komposisi, berangkap, atau berampur) itu sendiri, sebagai dua istilah filsafat dengan makna yang saling berhadapan.

Bashîth (tak berangkap) adalah tidak mempunyai bagian dan di dalam dzatnya tidak terdapat komposisi. Sedangkan komposisi adalah dzat yang memiliki bagian dan dapat menerima pembagian menjadi bagian-bagian[2]. Dua istilah ini mempunyai makna yang beragam, hal ini muncul dari kenyataan bahwa bagian-bagian itu mempunyai penggolongan yang bermacam-macam atau makna yang menjadi tinjauan terhadap bagian itu adalah berbeda. Dengan kata lain, komposisi dari dimensi bahwa ia tersusun dari jenis bagian-bagian apa dan juga basîth yang terlepas dari jenis bagian-bagian yang mana, ini mempunyai pengertian yang beragam.

Hal lain yang perlu diperhatikan adalah bahwa berkumpulnya komposisi dan basîth, pada satu tinjauan, dalam satu subyek adalah mustahil; sebab keduanya saling bertentangan, dan pertentangan keduanya merupakan pertentangan jenis afirmasi dan negasi, dan mungkin juga jenis pertentangan tadhâyuf (mutual correlation). Kendatipun terdapat pertentangan di antara keduanya, namun mungkin terdapat satu obyek luar (mishdâq) dua komprehensi ini, tapi tidak pada tinjauan yang sama.

Komposisi dan Bagian-Bagiannya

Bagian-bagian dari suatu komposisi adalah bagian-bagian yang terwujud di luar dalam bentuk satu wujud atau dalam bentuk wujud-wujud yang jamak. Pada kondisi pertama, bagian-bagian itu diposisikan di pikiran dalam bentuk tak bersyarat sama sekali (lâ bisyarth,non-conditioned), bagian-bagian ini disebut bagian-bagian predikasi atau bagian-bagian batasan, seperti genus dan diferensia. Atau diposisikan di pikiran dalam bentuk bersyarat tapi bukan dengan sesuatu tertentu (bisyarth lâ, negatively-conditioned), bagian-bagian itu disebut bagian-bagian pikiran atau bagian-bagian rasional, seperti bentuk-bentuk yang ada dalam pikiran (wujud mental). Sementara pada kondisi kedua, adalah bertentangan, seperti bagian-bagian kuantitas yang mesti dalam bentuk benda. Atau tidak bertentangan, dimana mereka itu disebut bagian-bagian eksternal, yakni materi dan bentuk (forma).[3]

Dengan demikian, bagian-bagian tersebut terbagi ke dalam empat bagian: batasan, rasional, kuantitas dan eksternal. Dengan ungkapan lain, bagian-bagian dalam suatu komposisi yang maujud secara potensial disebut bagian-bagian kuantitas yang mesti berbentuk benda, atau yang maujud secara aktual. Bagian-bagian yang aktual ini, bisa dalam bentuk wujud luar, seperti materi dan bentuk (forma), dimana dikhususkan untuk benda-benda. Mungkin juga bagian-bagian aktual ini dalam bentuk kuiditas pikiran, seperti genus-genus dan diferensia-diferensia yang ditinjau dari sesuatu yang tak bersyarat sama sekali (lâ bisyarth,non-conditioned) dan bisa juga seperti materi-materi dan forma-forma rasional bila ditinjau dari bisyarth lâ (negatively-conditioned).

Perlu dijelaskan bahwa genus dan diferensia pada dasarnya adalah materi dan forma luar itu sendiri bila ditinjau secara lâ bisyarth. Materi yang berada di alam luar itu jika berada dalam pikiran disebut genus, begitu pula forma yang terwujud di alam eksternal itu bila berada di alam pikiran dikatakan diferensia.

Apabila suatu maujud luar diasumsikan memiliki kuiditas yang basîth dan secara esensial tidak sama dengan kuiditas lainnya, maka komposisi kuiditas yang berada di alam pikiran tidak dapat dikonsepsi; tetapi akal bisa mengurai maujud itu menjadi kuiditas dan wujud, dengan syarat bahwa maujud tersebut adalah mumkinul wujud (wujud kontingen, makhluk), karena setiap mumkinul wujud terangkap dari wujud dan kuiditas.[4]

Berdasarkan uraian di atas, bagian-bagian yang membentuk komposis terbagi kedalam empat unsur:

1. Bagian-bagian kuantitas;

2. Bagian-bagian luar (materi dan forma);

3. Bagian-bagian rasional atau bagian-bagian batasan (genus dan differensia yang diambil dari materi dan forma atau akal manusia mengkonsepsi suatu maujud yang memiliki genus dan diferensia);

4. Bagian-bagian analitik (wujud dan kuiditas).

Adapun maujud komposisi dibagi atas dua bagian, yaitu hakiki dan non-hakiki ('iktibari), dan setiap dari keduanya dibagi lagi menjadi eksternal dan rasional, sebagai berikut:

a. Komposisi hakiki.

Suatu yang memiliki bagian-bagian dan di antara bagian-bagiannya memiliki hubungan kausalitas dan saling membutuhkan. Kekhususan komposisi ini adalah bahwa salah satu bagiannya adalah kesatuan hakiki. Komposisi itu sendiri mempunyai efek-efek khusus yang berbeda dengan efek-efek dari bagian-bagian yang membentuknya, tapi efek-efek khusus dari komposisi ini bukan berasal dari efek bagian-bagian itu sendiri. Komposisi hakiki terdiri atas dua bagian:

1. Hakiki eksternal.

Adalah komposisi yang tersusun dari bagian-bagian eksternal dan bagian-bagian tersebut saling berbeda satu sama lain di alam luar (tidak hanya di alam pikiran), untuk setiap bagian memiliki identitas dan wujud yang mandiri dimana jika salah satu dari mereka musnah maka bagian-bagian lain tidak ikut musnah dan tetap pada kondisinya masing-masing, seperti hubungan jiwa dan badan, dimana manusia tersusun dari jiwa dan badan, ini adalah komposisi hakiki dan setiap individu manusia merupakan kesatuan hakiki yang memiliki efek-efek khusus. Dapat dirumuskan bahwa di antara materi dan forma dalam berbagai substansi-substansi materi yang sangat berpengaruh dan memiliki efek adalah komposisi hakiki.[5]

2. Hakiki rasional.

Komposisi hakiki rasional adalah komposisi yang tersusun dari bagian-bagian rasional (genus dan diferensia). Bagian-bagian komposisi ini yang berpengaruh adalah kesatuan hakiki yang merupakan parameter dari setiap komposisi hakiki, walaupun di luar alam pikiran mereka tidak berbeda satu sama lain dan tidak mempunyai identitas dan wujud yang mandiri, mereka adalah satu maujud, seperti segitiga yang memiliki tiga sudut, ketiga sudut segitiga itu di alam pikiran memiliki perbedaan, tapi di alam luar tidak memiliki identitas sendiri-sendiri yang mandiri.[6]

b. Komposisi non-hakiki ('iktibari, mentally-posited).

Komposisi yang terwujud dari gabungan bagian-bagian yang di antara mereka tidak terdapat hubungan kausalitas dan saling membutuhkan serta tidak ada kesatuan hakiki yang berpengaruh atas bagian-bagian. Komposisi non-hakiki tidak sebagai realitas baru yang mempunyai efek-efek khusus. Komposisi non-hakiki ini juga mempunyai dua bagian:

1. Non-hakiki eksternal.

Komposisi yang mempunyai bagian-bagian di alam luar, seperti rumah yang tersusun dari kapur, semen, besi, kayu. Di antara bagian-bagian pembentuk rumah itu tidak terdapat hubungan kausalitas, efek komposisi (dalam hal ini adalah rumah) adalah hasil dari keseluruhan efek bagian-bagian pembentuknya sendiri dan wujud komposisi itu sendiri adalah suatu wujud yang non-hakiki dimana bagian-bagian pembentuknya adalah wujud hakiki dan memiliki efek.

2. Non-hakiki rasional.

Komposisi yang dibentuk dari bagian-bagian rasional yang tidak memiliki realitas di luar alam pikran dan merupakan suatu wujud-wujud yang tidak berbeda dan juga tidak mandiri.[7]

Istilah komposisi juga digunakan di alam benda-benda. Dengan makna bahwa filosof memandang terhadap benda yang tersusun dari benda-benda yang berbeda secara alami, seperti hewan, tumbuhan dan barang tambang. Ketiga benda-benda ini tersusun dari empat jenis unsur (benda) yakni: air, udara, api, dan tanah.[8]

Urgen diungkapkan di sini bahwa pembagian dan defenisi yang berhubungan dengan alam kebendaan berdasarkan ilmu alam kuno dan bukan ilmu fisika dan kimia moderen. Zaman sekarang, komposisi kimia dan matematika telah menjadi tema pembicaraan. Dengan demikian seluruh pembagian komposisi dapat dirumuskan secara singkat dalam bentuk sebagai berikut:

1. Komposisi benda dari materi dan forma;

2. Komposisi wujud dan kuiditas (eksistensi dan kuiditas), dimana hanya berlaku bagi setiap mumkin al-wujud;

3. Komposisi kuiditas dari genus dan diferensia;[9]

4. Komposisi dari bagian-bagian aktual, seperti komposisi rumah dari semen, besi, kapur, kaca dan…;

5. Komposisi dari unsur-unsur kimia, dalam ilmu kimia moderen menjadi bahan analisa, seperti komposisi air yang tersusun dari hidrogen dan oksigen;

6. Komposisi matematika, seperti komposisi sebuah garis satu meter yang tersusun dari dua garis 50 centi meter atau komposisi angka 10 dari dua angka 5;

7. Komposisi wujud dan ketiadaan, menurut filosof Mulla Sabzwari merupakan komposisi yang paling rendah, sebab komposisi-komposisi selainnya terbentuk dari bagian-bagian yang berwujud. Sementara dalam komposisi wujud dan ketiadaan adalah salah satunya adalah wujud dan "lainnya" adalah non-eksistensi.[10]

Pembagian Basîth

Pembagian ini berasaskan bahwa basîth adalah hampa dan kosong dari bagian-bagian. Basîth dibagi atas tiga bagian:

1. Basîth eksternal. Basîth yang tidak tersusun dari bagian-bagian yang aktual, seperti materi dan forma atau sembilan kategori aksiden.

2. Basîth rasional. Basîth yang tidak mempunyai bagin-bagian di alam pikiran, seperti genus dan diferensia. Semua konsep-konsep badihi dan aksioma terhitung sebagai Basîth rasional, seperti konsep eksistensi dan konsep lain yang tidak mempunyai batasan. Materi pertama dan forma benda adalah Basîth, sebab tidak tersusun dari bagian-bagian rasional dan bagian-bagian eksternal; dikarenakan materi pertama adalah potensi murni dan kosong dari segala bentuk keaktualan. Forma juga tidak bercampur dengan materi pertama (potensi).

3. Basîth hakiki atau Basîth al-Hakîkah. Basîth ini merupakan basîth yang paling tinggi, dimana secara total bersih dari segala bentuk percampuran, multiplisitas esensial dan komposisi, baik komposisi materi dan forma, eksistensi dan aksiden, genus dan differensia, bagian-bagian kuantitas dan komposisi matematika, komposisi unsur-unsur kimia, dan komposisi wujud dan ketiadaan. Satu-satunya obyek luar dari basîth hakiki adalah Wajibul Wujud.

Terkadang basîth hakiki juga digunakan untuk akal dan jiwa, ini bukan penafian komposisi eksistensi dan kuiditas, sebab selain Wajibul Wujud adalah wujud-wujud kontingen baik itu bersifat materi dan non-materi. Sebagaimana filosof mengatakan, "Setiap mumkin al-wujud terangkap dari kuiditas dan eksistensi".[11]

Teori Basîth

Dalam filsafat Islam terdapat berbagai teori universal yang berhubungan dengan basîth dan komposisi, di antara teori-teori tersebut adalah:

a. Basîth hakiki adalah meliputi dan mencakup segala sesuatu tapi bukanlah segala sesuatu itu sendiri. Makna ini secara detail akan dibahas kemudian.

b. Basîth itu sendiri mustahil sekaligus sebagai pelaku (fâ'il) dan sebagai penerima (qâbil), yakni maujud basîth mustahil memiliki sisi pelaku dan sisi penerima secara bersamaan. Jika maujud basîth adalah pelaku dan juga penerima, maka niscaya terdapat dua sisi dan dua dimensi pada dzatnya yang keduanya memiliki perbedaan, dan ini berarti ia adalah maujud non-basîth (wujud bercampur). Jika diasumsikan bahwa maujud basîth, dari dimensi ia sebagai pelaku dan pada dimensi itu juga ia sebagai penerima, maka pada aspek ia sebagai pelaku dan ia sebagai penerima adalah satu sama lain bertentangan, hal ini adalah mustahil karena meniscayakan berkumpulnya dua hal yang bertolak belakang.

c. Setiap basîth yang tidak memiliki dimensi penerima baginya maka tidak akan meniada. Ssetiap maujud basîth yang tidak memiliki penerima tidak akan meniada selamanya. Syeikh Isyraq dalam hikmah al-isyrâq memuat teori ini, dan Quthubuddin Syirazi dalam komentarnya terhadap teori ini memandang bahwa muatan dan manfaat kaidah ini adalah menetapkan keabadian akal, materi pertama (hayûlâ), dan setiap maujud sederhana yang esensial[12]. Mulla Shadra dalam Asfar juga untuk menetapkan keabadian jiwa dan ruh manusia (nafs nâtiqah) berdasarkan kaidah ini, dan berkata, "Karena jiwa adalah dzat yang basîth dan setiap yang basîth secara esensial tak akan menerima kefanaan dan ketiadaan, jika tidak demikian akan meniscayakan jiwa terangkap (ia) dari kepotensian wujud dan ketiadaan atau keaktualan wujud dan ketiadaan, dan ini adalah menyalahi asumsi.[13]

d. Setiap yang basîth di alam pikiran pasti basîth di alam eksternal, tapi tidak sebaliknya. Segala sesuatu yang basîth secara rasional niscaya basîth di alam nyata; sebab sesuatu yang tak terangkap dari genus dan diferensia di alam pikiran mesti tak terangkap dari materi dan forma di alam eksternal. Mulla Shadra, dalam menafikan bagian-bagian eksternal dari dzat Tuhan, berpegang pada kaidah ini dan mengatakan, "Tuhan tidak memiliki bagian-bagian rasional dan setiap yang ternegasikan dari bagian-bagian rasional pasti ternegasikan dari bagian-bagian eksternal; karena setiap sesuatu yang basîth dalam alam akal niscaya basîth di alam luar, tapi tidak sebaliknya[14]. Tidaklah benar bila dikatakan: "Setiap yang basîth di alam luar mesti basîth di alam akal"; sebab mungkin saja suatu maujud basîth di alam luar, tapi non-basîth di alam akal karena memiliki genus serta diferensia, seperti sembilan kategori aksiden. Menurut pandangan Mulla Shadra, genus dan diferensia dan kategori-kategori aksidensi adalah persepsi mental dan bukanlah hakiki; karena aksiden-aksiden di alam luar adalah basîth dimana tidak mempunyai materi dan forma hakiki, dan setiap maujud yang demikian ini tidak akan memiliki genus dan diferensia hakiki[15]. Kaidah ini juga diaplikasikan dalam menetapkan ke-basîth-an Wajibul Wujud.

e. Kaidah tentang bolehnya terwujud basîth dari sesuatu yang berkomposisi. Adalah memungkinkan maujud basîth terwujud dari suatu sebab yang berkomposisi.

Kaidah Basîth al-hakikah dan Sejarahnya

Basîth al-hakikah (basîth hakiki) merupakan salah satu kaidah yang mendasar dan utama dalam Hikmah Muta'aliyah. Mulla Shadra memandang bahwa kaidah ini merupakan hal yang baru dalam bidang filsafat dan sekaligus sebagai kebanggaan bagi aliran filsafat Sadrian. Bunyi kaidah ini adalah, "Basîthul hakikah kullul asy-yâ wa laisa bisyain minhâ" (basîth hakiki adalah segala sesuatu dan ia bukan dari segala sesuatu). Pengertian kaidah ini akan dibahas secara mendetail dan sekaligus akan ditelusuri latar belakang sejarahnya, tapi di bawah ini akan kami paparkan maksud dan maknanya secara global.

Makna kaidah basîth hakiki adalah bahwa ia merupakan segala sesuatu, ia meliputi dan mencakup segala sesuatu, dan ia pun bersama dengan segala sesuatu, tapi ia tidak berasal dari segala sesuatu dan juga bukan segala sesuatu itu sendiri; ini berarti bahwa ia memiliki kesempurnaan-kesempurnaan eksistensial segala sesuatu, tapi bersih dan suci dari kekurangan, keterbatasan dan determinasi segala sesuatu.

Mulla Shadra memandang bahwa kaidah ini sebagai aspek yang rumit dalam ilmu ketuhanan, karena itu sangat sedikit orang yang dapat memahaminya, dalam al-Asfar ia menuliskan: "Dengan ketentuan Tuhan dan malaikat-malaikat-Nya yang tinggi dan agung, kami berhasil menemukan suatu argumen transenden (baca: kaidah basîth al-hakikah) untuk menegaskan ketauhidan Wajibul Wujud ...[16]

Menurut Mulla Shadra, kaidah basîth al-hakikah merupakan murni hasil kontemplasi dan pikirannya. Mulla Hadi Sabzwâri juga menambahkan bahwa di antara para filosof terdahulu, hanya Aristoteles yang pernah mengungkapkannya, tapi dalam bentuk yang sangat global.[17]

Dengan demikian telah diketahui bahwa kaidah ini merupakan buah perenungan Mulla Shadra dan bukan pikiran dari filosof-filosof sebelumnya. Mulla Hadi Sabzwâri dalam komentarnya atas al-Asfar menjelaskan secara global bahwa maksud dari kaidah ini adalah kejamakan dalam ketunggalan itu sendiri dan bukan ketunggalan dalam kejamakan. Sebenarnya Mulla Hadi ingin mengisyaratkan bahwa hakikat kandungan kaidah ini - dengan ungkapan-ungkapan yang beragam - dapat ditemukan di dalam karya-karya para urafa sebelum Mulla Shadra dimana juga berkontemplasi tentangnya. Dari perspektif ini, maka kaidah tersebut mempunyai latar belakang sejarah sebelum Mulla Shadra; karena ditemukan dalam karya-karya urafa ungkapan-ungkapan seperti "penyaksian mendetail dalam keuniversalan", "penyaksian universal dalam kemendetailan", dan "kejamakan dalam ketunggalan".

Dalam hal ini, Mulla Shadra tetap memiliki keunggulan dan kelebihan dibandingkan dengan para filosof dan pemikir Islam lainnya dalam mengutarakan kaidah basîth al-hakikah; sebab ia mampu mengkonstruksi kaidah ini menjadi sebuah argumentasi filosofis yang dapat diaplikasikan dalam berbagai masalah-masalah di bidang filsafat dan ketuhanan. Dengan perantaraan kaidah ini Mulla Shadra melakukan inovasi baru dalam bidang filsafat, sebagaimana ditegaskan oleh Mulla Hadi Sabzwâri.[18]

Selanjutnya, di bawah ini akan kami utarakan latar belakang sejarah kaidah basîth al-hakikah lewat pendekatan tokoh-tokoh filsafat:

1. Aristoteles

Apakah Aristoteles mengisyaratkan kaidah ini walaupun dalam bentuk yang global? Dan apakah kaidah ini dapat ditemukan dalam karya-karyanya?

Dari ungkapan Mulla Shadra dapat diperoleh gambaran bahwa tak seorangpun yang mendapatkan pengetahuan tentang kaidah basîth al-hakikah kecuali ia; akan tetapi Mulla Hadi Sabzwâri, dalam komentarnya atas al-Asfar, mengklaim bahwa Aristoteles juga mengetahui secara global kaidah tersebut.

Mulla Shadra ,dalam al-Asfar, ketika meneliti ucapan Amirul Mukminin Ali as yang mengatakan bahwa seluruh kandungan Al-Qur'an tersimpulkan dalam huruf "bâ"nya Bismillah dan aku adalah titik di bawah huruf ", dan ini mengisyaratkan tentang kaidah basîth al-hakikah, lebih lanjut Mulla Sadra mengutarakan bahwa guru filsafat Peripatetik, dalam kitab otsologia-nya, berkata bahwa tunggal (wâhid) murni merupakan sebab segala sesuatu; akan tetapi Dia tidak serupa dengan satupun dari segala sesuatu itu, namun ia adalah Pemula dari segala sesuatu dan Dia juga bukan segala sesuatu itu sendiri, bahkan segala sesuatu itu ada padanya.

Kesalahan penisbahan kaidah ini kepada Aristoteles pada dasarnya dikarenakan kesalahan penisbahan kitab Otsologia kepada Aristoteles, kitab ini bukan karya Aristoteles, tetapi karya Plutin. Aristoteles secara prinsipil tidak memiliki keyakinan terhadap kaidah ini; karena, berdasarkan suatu penelitian yang mendalam, diketahui bahwa kaidah ini secara fundamental tidak sesuai dengan pikiran-pikiran Aristoteles sendiri. Gagasan-gagasan filsafat Aristoteles lebih sesuai dengan kaidah prinsipalitas kuiditas (ashalah al-mahiyah), sementara konsep-konsep filsafat Sadrian berpijak pada teori prinsipalitas wujud (ashalah al-wujud). Dan dalam filsafat Aristoteles kesatuan, komprehensi wujud dan kesempurnaannya merupakan perkara yang non-hakiki dan 'iktibari. Sebaliknya, Mulla Shadra memandang wujud, kesatuan dan kesempurnaan adalah bersifat hakiki dan bukan kuiditas, dengan demikian bisa dikatakan bahwa pemikiran filsafat Mulla Sadra tidak sejalan dengan sebagian konsep dan gagasan filsafat Aristoteles. Sebagai contoh, Aristoteles dalam kitab Metafisikanya, berkata, "Wujud bukanlah genus bagi segala sesuatu dan dalam setiap kategori ia bermakna sesuai dengan kategori itu sendiri."[19]

Oleh karena itu, pemikiran Aristoteles sewarna dengan pemikiran yang memandang bahwa kejamakan dan keragaman sebagai hal yang mendasar dan fundamental, pandangannya lebih berpijak pada prinsipalitas kuiditas. Berdasarkan hal ini, maka mustahil ia sepaham dengan kaidah basîth al-hakikah yang digagas Mulla Sadra dimana berpijak pada teori prinsipalitas eksistensi.

2. Plutin

Mazhab neo Plato berdiri di Iskandariyah dan berasaskan pandangan Plato dan filosof lainnya dari Yunani, Iran, dan India. Mazhab berkembang dan menyempurna ditangan filosof bernama Plutin (203-270 M). Pengajaran-pengajarannya dikumpulkan oleh murid istimewanya bernama Furfriyus, ia menyusun enam kitab dimana setiap kitab terdiri dari sembilan bagian. Satu bagian dari kitab tersebut diterjemahkan kedalam bahasa Arab yang kemudian diberi nama Otsologia. Sebagian filosof Islam keliru memandang bahwa Otsologia itu merupakan karya Aristoteles.

Plutin, dalam kitab Otsologia, melontarkan satu kajian bertemakan: Kausa prima dan segala sesuatu yang terwujud darinya. Dalam pembahasan ini bisa dilihat bagaimana perhatian ia terhadap kaidah basîth al-hakikah. Dan Mulla Shadra salah menganggap bahwa Aristoteles mempunyai perhatian secara global terhadap kaidah ini, sebenarnya yang dimaksud adalah Plutin.

Untuk mengenal lebih dalam pandangan Plutin, kita berupaya mengulas secara singkat beberapa pandangan-pandangannya:

Menurut pandangan Plutin, Tuhan adalah tunggal murni dan sebab segala sesuatu, tetapi tak serupa dengan segala sesuatu itu. Tuhan adalah awal dan permulaan segala sesuatu. Plutin memiliki ungkapan yang dapat ditafsirkan bahwa "tunggal murni adalah segala sesuatu" (segala sesuatu adalah tunggal murni): "Tunggal murni adalah sebab segala sesuatu…tapi Dia sendiri bukan segala sesuatu; akan tetapi segala sesuatu adalah dari-Nya, karena segala sesuatu mendapatkan emanasi dari-Nya dan keberlangsungan eksistensi mereka bergantung pada-Nya serta semuanya kembali kepada Dia."[20]

Lebih lanjut ia mengurai permasalahan dalam bentuk tanya dan jawab, pertanyaannya adalah bagaimana segala sesuatu yang beragam dapat terwujud dari tunggal murni yang basîth dimana tidak memiliki satu dimensi kejamakan? Ia menjawab, sesuatu yang tanpa perantara mendapatkan emanasi dari tunggal murni basîth adalah wujud akal. Kemudian maujud-maujud lainnya yang berada di alam paling tinggi hingga alam paling rendah mendapatkan emanasi dengan perantara wujud akal[21]. Pada hakikatnya, Plutin menjawab pertanyaan itu dengan teori ketunggalan (al-wâhid).

Dengan demikian, ia secara gamblang telah mengungkapkan bahwa "segala sesuatu bersumber dari tunggal murni basîth" dan perhatiannya terhadap aplikasi kaidah basîth al-hakikah.

3. Kaum 'Arif Islam

Mengkaji karya-karya kaum 'arif Islam akan bertemu dengan kenyataan bahwa mereka dalam beberapa pembahasan berpijak pada kaidah tersebut, seperti konsep tentang "penyaksian universal dalam dimensi partikular", "penyaksian partikular dalam universal", "multiplisitas dalam unitas" dan "hakikat Muhammadiyah".

Asytiyânî, dalam Syarh-e Mukaddimah Qaishari bar Fushûsh al-Hikam Ibnu Arabi, menuliskan: "Kaidah ini sebenarnya juga dijelaskan oleh para urafa Islam dalam karya mereka; akan tetapi karena pandangan para urafa ini tentang kesatuan wujud individual (wahdah asy-syakhshi) dalam wujud, maka mereka, karena situasi dan kondisi, sementara mengikuti pandangan Aristoteles dalam menjabarkan berbagai permasalahan filsafat. Sesungguhnya para urafa mendapatkan ilham tentang kaidah ini dalam kitab suci Al-Qur'an dan hadits Nabi saw.[22]

Doktor Syahâbi, dalam kitab an-Nazharah ad-Daqîqah fî Qâidah Basîth al-Hakikah, mengutarakan sebagian riwayat yang menunjukkan kandungan kaidah tersebut.[23] Substansi kaidah ini adalah bahwa dzat basîth Tuhan meliputi seluruh hakikat-hakikat eksistensi, para 'urafa mengungkapkan bahwa "Tak ada sesuatupun yang keluar dari cakupan wujud-Nya. Kaidah ini sesuai dengan firman-Nya yang berbunyi, "Dia Maha Perkasa atas hamba-Nya"[24] dan "Sesungguhnya Dia meliputi segala sesuatu"[25]. Ahli irfan juga memiliki gagasan bahwa "Dia lah yang tampak dan Dia pulalah penampakan itu sendiri ", hal ini sesuai dengan firman Tuhan: "Dia adalah yang awal dan yang akhir serta yang lahir dan yang batin"[26].

Menurut urafa Islam, maujud pertama yang teremanasi dari dzat Tuhan adalah ruh Muhammad, dan ini sesuai dengan sabda Nabi Saw: "Yang pertama diciptakan Tuhan adalah cahayaku", ruh Muhammad ini dikenal dikalangan filosof dengan akal pertama. Jadi hakikat Muhammad ini merupakan emanasi pertama Tuhan dalam penciptaan. Akal pertama ini sebagai perantara emanasi maujud-maujud lainnya. Perlu diperhatikan bahwa dalam tipologi irfan teoritis Islam hakikat Muhammad adalah segala sesuatu itu sendiri, yakni ia memiliki seluruh kesempurnaan maujud-maujud yang berada di bawahnya dalam bentuk yang lebih sempurna.

Dengan demikian, hakikat Muhammad adalah manifestasi sempurna nama-nama Tuhan dan sekaligus menjadi wadah tajalli seluruh nama Tuhan itu di alam penciptaan.

Oleh sebab itu, tidak diragukan jika urafa Islam dalam menguraikan masalah-masalah irfan bersandar pada kaidah basîth al-hakikah, kendatipun mereka tidak mengungkapkannya dalam bentuk satu kaidah tersendiri yang argumentatif.

4. Filosof Islam

Salah satu inti persoalan dalam filsafat ketuhanan yang dibahas serius oleh para filosof, urafa, dan teolog adalah masalah ilmu Tuhan terhadap seluruh maujud sebelum dan sesudah penciptaan dan bagaimana ilmu Tuhan berkaitan dengan partikular-partikular dan universal-universal dalam dzat-Nya. Mulla Shadra menjelaskan ilmu Tuhan dengan menggunakan kaidah basîth al-hakikah. Para filosof sebelumnya, jika mereka memahami kaidah ini, niscaya menafsirkan ilmu Tuhan juga dengan kaidah tersebut; sebagaimana urafa Islam menjelaskan ilmu Tuhan memanfaatkan kaidah ini.

Seluruh filosof Islam – baik dari mazhab Peripatetik maupun dari mazhab Iluminasi - sepakat tentang ke-basîth-an dzat Wajibul Wujud dan mengkonstruksi dalil untuk menegaskan ke-basîth-an dzat-Nya, juga secara detail membahas ilmu Tuhan terhadap dzat-Nya dan selain-Nya. Dengan demikian, apakah dapat diklaim bahwa mereka juga memahami kandungan kaidah basîth al-hakikah?

Abu Nashr Muhammad Farabi (wafat 339 H) pendiri filsafat Islam mazhab Peripatetik, dalam kitab Fushush al-Hikam tentang metafisika dan tauhid, menjelasan tentang ilmu Wajibul Wujud terhadap dzat-Nya dan selain-Nya. Tanpa bermaksud meneliti konsep Farabi tentang ilmu Tuhan secara mendetail, kami mengutip pandangannya di pasal tujuh puluh dari kitab tersebut dimana membahas tentang ilmu Tuhan, berkata: "Jika Tuhan ditinjau dari dzat dan sifat-sifat-Nya maka segala sesuatu berada dalam satu kesatuan. Maka dari itu, segala sesuatu adalah sama dalam kodrat dan ilmu-Nya. Kodrat dan ilmu Tuhan sebagai hakikat keseluruhan yang tetap. Oleh karena itu, Tuhan dari sisi sifat-Nya meliputi segala sesuatu dan berada di atas keseluruhan, sementara kesatuan dzat-Nya meliputi sifat-sifat tersebut."[27]

Menurut pandangan Farabi, sifat-sifat-Nya meliputi segala sesuatu dan sisi lain dzat-Nya meliputi sifat-sifat-Nya. Konklusinya adalah dzat-Nya yang meliputi segala sesuatu; dengan makna bahwa segala sesuatu "terkumpul" dalam dzat-Nya dan tanpa ada kekosongan atas kesatuan dzat-Nya.[28]

Demikian pula Farabi, dalam risalah Fî al-ilmi al-Ilâhi, menisbahkan segala sesuatu dan keseluruhan kepada akal. Menurut ia, akal adalah segala sesuatu dan segala sesuatu itu ada padanya; ini sebagaimana keyakinan Plutin terhadap gagasan ini. Farabi berkata, "Akal universal meliputi seluruh potensi segala sesuatu, seperti meliputinya panca indra atas gambaran-gambaran dan mencakupnya keseluruhan atas bagian-bagian".[29]

Farabi dalam kitab tersebut mengungkapkan pandangan tentang ke-basîth-an tunggal murni dan berpandangan bahwa Dia adalah Pelaku Pertama di atas segala substansi dan di atas potensi segala sesuatu. Dia adalah paling awal dan hadir dengan segala sesuatu, akan tetapi segala sesuatu tidak terwujud pada-Nya.[30]

Dengan observasi singkat terhadap karya Farabi ini, maka bisa diklaim bahwa ia memahami kaidah basîth al-hakikah, kendatipun tak sesempurna pemahaman Mulla Shadra tentangnya.

Ibnu Sina, dalam karya-karyanya seperti Ilâhiyyât asy-syifa, membahas tauhid, ke-basîth-an dzat Tuhan, kesucian-Nya dari kuiditas, kebaikan murni, dan kesempurnaan mutlak Wajibul Wujud. Konklusi pembahasan adalah terdapat ungkapan yang dapat ditafsirkan sebagai kandungan dari kaidah basîth al-hakikah, dikatakan bahwa Tuhan tidak memiliki kuiditas, kualitas, kuantitas, genus, dan…tidak memiliki sekutu, lawan, batasan, dan penjelas, tetapi Dia adalah penjelas segala sesuatu, maka dari itu, segala sesuatu bersumber dari-Nya dan Dia tidak bersekutu dengan mereka satupun. Dia adalah permulaan (mabda) segala sesuatu, sedangkan Dia tidak serupa dengan mereka.[31]

Dari ungkapan di atas dapat ditafsirkan dan diarahkan kepada kaidah basîth al-hakikah bahwa Tuhan adalah segala sesuatu dan Dia juga bukan segala sesuatu itu sendiri dari mereka dalam.

Demikian pula Ibnu Sina menguraikan ilmu Wajibul Wujud terhadap segala sesuatu dimana kemudian Syekh Isyrâq dan Mulla Shadra juga mengkaji masalah tersebut. Menurut pandangan Ibnu Sina, ilmu Tuhan terhadap segala sesuatu adalah dalam bentuk akal basîth.[32]

Jika pandangan Ibnu Sina bahwa ilmu Tuhan diposisikan sebagai akal basîth, maka hal ini mungkin mengilhami Mulla Shadra dan berpandangan bahwa Wajibul Wujud dalam tataran dzat memiliki ilmu terhadap segala sesuatu dimana hal tidak berefek pada kejamakan dzat-Nya.[33] Ibnu Sina memandang bahwa karena Tuhan adalah akal basîth, maka Tuhan mengetahui segala sesuatu dalam bentuk yang basîth dan universal, tanpa membuat dzat-Nya menjadi jamak.[34]

Penjelasan Ibnu Sina di atas mungkin dapat dipandang dekat dengan konsep irfan tentang multiplisitas dalam unitas dimana pandangan irfan ini sesuai dengan kandungan kaidah basîth al-hakikah. Yang pasti bahwa Ibnu Sina secara tegas tidak pernah mengungkapkan tentang teori basîth al-hakikah, dan apa yang disebutkan di atas hanya berupa tafsiran atas ungkapan-ungkapan Ibnu sina.[35]

Gagasan Syekh Syihabuddin Suhrawardi (945-987 H) bahwa Tuhan adalah sumber segala cahaya-cahaya dan Dia adalah Cahaya di atas cahaya-cahaya. Konsep ini memecahkan kerumitan tentang ilmu Tuhan dengan metode iluminasi. Ia, dalam kitab Hikmah al-Isyrâq, berkata, "Tuhan adalah Cahayanya segala cahaya, ini berarti bahwa Dia cahaya bagi diri-Nya sendiri dan mencahayai selain-Nya, dan tidak ada sesuatu pun di langit dan di bumi yang tersembunyi dari ilmu-Nya.[36]

Selain ungkapannya yang disebutkan di atas, tidak ditemukan ungkapan-ungkapan lain dalam kitab Hikmah al-Isyrâq dan karya-karyanya yang lain yang sesuai dengan kandungan kaidah basîth al-hakikah.

Mir Dâmâd, dalam kitab Ufuq al-Mubîn, mengungkapkan tentang peliputan Tuhan atas segala sesuatu. Menurutnya, Wajibul Wujud secara esensial adalah tunggal dan basîth al-hakikah dari seluruh dimensi serta dzat-Nya tidak mungkin dapat diurai menjadi dimensi-dimensi yang beragam. Seluruh dimensi sifat pensucian harus mengandung satu dimensi keagungan dan kesucian, dimana pada hakikatnya satu dimensi ini mencakup seluruh dimensi kesempurnaan. Dimensi kesempurnaan ini tidak lain adalah dimensi keniscayaan eksistensial Tuhan.[37]

Dengan memperhatikan semua penjelasan di atas, diketahui bahwa meskipun sebagian filosof, seperti Plutin, Farabi dan urafa Islam memahami substansi kaidah basîth al-hakikah, akan tetapi yang menjadikan kaidah ini sebagai suatu prinsip universal dalam bidang filsafat adalah filosof agung Mulla Shadra.[]



[1] . Mulla Shadra, Al-Asfar jld.6, Hal.257.

[2] . Fakhrurrâzi, al-Mabâhits al-Masyriqiyyah, jld.1, hal. 51.

[3] . Mulla Hadi Sabzwâri, Syarh al-Manzhûmah, hal.155-156.

[4] . Muhammad Taqi Mishbah, catatan kaki Nihâyah al-Hikmah, hal. 408.

[5] . Mulla Hadi Sabzwâri, Syarh al-Manzhûmah, hal. 104.

[6] . Fakhrurrazi, al-Mabâhits al-Masyriqiyyah, jld. 1, hal. 56-58.

[7] . Mulla Abdullah Zanuzi, Luma'ât al-Ilahiyyah, hal. 97-99.

[8] . Ibnu Sina, Isyârât, jld.2, hal. 107-108.

[9] . Seperti wujud manusia di alam luar yang tersusun dari badan (materi) dan jiwa (forma), sementara kuiditas manusia di alam pikiran tersusun dari hewan (genus) dan berpikir (diferensia).

[10] . Doktor Ali Ashgar Zakawi, Basith al-Hakikah az Didgâh Mulla Shadra, Hal. 130.

[11] . Shadruddin Syirâzi, Al-Asfar, jld.1, hal. 187.

[12] . Quthubuddin Syirazi, Syarh Hikmah al-Isyrâq, Hal.245.

[13] . Shadruddin Syirazi, al-Asfar, jld. 7, hal. 334.

[14] . Shadruddin Syirazi, al-Asfar, jld. 6, hal. 103.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

kamus filsfat

skcism barat

celoteh dan filsafat barat