novel dan tafsir

pak lurah, adalah lurah cabul yang relah menjual darah dan uang rakyat

ia suka salat tapi juga tidak mau zakat
suka haji tapi pelit, rentenir
suka ngaji tapi juga suka ke diskotik

suatu hari pernah ia hampir menjual sebidang tanah luas karena di dalam tanah itu mengandung bahan-bahan mineral, yang sangat berharga. ia langsung etuju karena dipanjar dengan wanita dan segepok 300 juta, ia undang seluruh rt,rw

PEMBENTUKAN ILMU USHUL AL-TAFSIR

Oleh A. Chozin Nasuha[1]

Tulisan ini diangkat dengan tujuan mengembangkan Ilmu Ushul al-Tafsir di UIN Sunan Gunung Djati Bandung, Ada tiga alasan mengapa Ilmu Ushul al-Tafsir ini ditulis:

Pertama, penelitian studi al-Qur’an Pascasarjana UIN SGD Bandung tahun 1992-1994 menyimpulkan bahwa pola pengajaran tafsir al-Qur’an di lembaga ini masih bersifat substantif dan belum memasuki medan informasi (teori) serta belum ada usaha untuk mencari metoda baru. Dari hasil wawancara tersebut, hampir semua responden yang mem-berikan informasi menilai bahwa pengembangan tafsir al-Qur’an selama ini dinilai sudah cukup baik. Dengan kata lain, unsur informasi dan unsur metodologi belum dianggap penting, padahal dua unsur itu merupakan pilar utama dalam mem-bangun pengetahuan ilmiah, di samping pengembangan unsur substansi.

Kedua, ada enam kitab yang judul besarnya Ushul al-Tafsir, yaitu: (1) Muqaddimah fi Ushul al-Tafsir karya Ibn Taymiyah;(2) Al-Iksir fi Ushul al-Tafsir karya Al-Thufi;(3) Al-Fawzul Kabir fi Ushul al-Tafsir karya Al-Dahlawi;(4) Ushul al-Tafsir wa Qawa'iduh karya Khalid Abdurrahman Al-'Ak; (5) Buhuts fi Ushul al-Tafsir wa Manahijuh karya Fahd ibn Abdurrahman al-Rumi; (5) karya Muhammad ibn Luthfi al-Shabbagh.

Kitab pertama dan kedua masih singkat dan belum bisa disejajarkan dengan karya Al-Syafi'i, Al-Risalah. Tampaknya Nazham Itmam al-Dirayah karya Al-Suyuthi diambil dari dua kitab itu. Ketiga kitab sudah membagi ayat al-Qur'an menjadi lima kelompok, yaitu: (1) Ilmu Ahkam; (2) Ilmu Mukhashamah; (3) Ilmu Mengenai Nikmat Allah; (4) Ilmu Mengingat Hari-hari Allah; dan (5) Ilmu Mengingat Mati dan Kehidupannya. Kitab itu mendorong agar pembaca memahami teks dan belum ada usaha untuk mengulas konteks. Kitab keempat terdiri atas 496 halaman, yang umumnya mengarahkan pada pemaknaan ayat al-Qur'an. Kitab kelima terdiri atas 186 halaman dan pembahasan-nya singkat. Kitab Keenam terdiri atas 346 halaman dan umum-nya membahas model-model tafsir al-Qur'an terutama kitab-kitab klasik.

Ketiga, Amin al-Khulli menafsirkan al-Qur'an dengan langkah: (1) menyusun tema-tema ayat al-Qur'an; (2) tartib zamani, untuk mempermudah pemahaman; (3) dari dua bab tadi, disusunlah tafsir al-Qur'an yang difokuskan pada: (a) studi maa fi al-Qur'an dan (b) studi maa haul al-Qur'an. Dulu penulis menduga bahwa studi pertama itu berkaitan dengan studi teks (buku kecil) dan studi kedua berkaitan dengan konteks (buku besar). Tetapi setelah dipelajari, dugaan itu salah, maka ia belum bisa dinilai sebagai Ushul al-Tafsir.

Tulisan ini akan mencoba membentuk Ilmu Ushul al-Tafsir yang mengolah babnya mengikuti Ilmu Manthiq Aris-toteles, dan kerangka berfikirnya mengikuti Al-Syafi'i, ketika mujtahid ini menyusun Ushul Fiqh. Kutipan model ini, oleh cendekiawan santri disebut taqlid manhaj. Untuk lebih jelasnya, dapat dilihat dalam gambaran lengkapnya yang tersusun sebagai berikut:

Bab I

Definisi Ushul al-Tafsir

Di sini ada uraian tentang apa yang melatar belakangi Ushul al-Tafsir itu ditulis, diteruskan dengan pembahasan tentang ontologi, epistemologi, dan aksiologi Ulum al-Tafsir. Dalam bab ini akan dijelaskan perbedaan dan persamaan ilmu ini dengan Ulum al-Qur’an atau dengan Manahij al-Mufassirin dan lain-lain. Bahkan kalau perlu, bab ini akan menyajikan langkah-langkah pengembangan Ushul al-Tafsir dan begitulah seterusnya.

Bab II

Makna Mufradat.

Di sini semua kata dan istilah yang diperlukan oleh ilmu tafsir diuraikan. Kata-kata dalam tafsir al-Qur’an memiliki konsep atau makna yang beda-beda menurut pemakainya. Antara lain ada kata-kata yang konsepnya dipakai oleh semua mufasir, seperti nasikh-mansukh, muhkam-mutasyabih, kissah, matsal, dan seperti gharib, mutarradif, i’jaz, ithnab, hakikat, majaz dan lain-lain. Tetapi ada juga kata-kata yang konsepnya hanya dipakai oleh mufassir lokal, seperti kata-kata ‘am, khash, qayyid, mubayyan, amar, nahyi, dan lain-lain, yang hanya dipakai oleh mufasir ahkam. Atau seperti kata-kata zuhud, ma’rifat, faidl, hulul, dan lain sebagainya, yang hanya dipakai oleh mufasir shufi. Dari segi lain, banyak lagi kata-kata yang konsepnya hanya dipakai oleh ilmuan tertentu seperti oleh ilmu alamiah, sosial, dan budaya, dan begitulah seterusnya. Dalam ilmu Logika, bab ini dimasukkan ke dalam pembahsan kata, pembagiandan pengertiannya (makna kata dan definisi).

Bab III

Makna Murakkabat

Bab ini akan membahas pernyataan yang tersusun lengkap dan menguraikan sesuatu, yang terdiri atas subjek, objek dan predikat. Ushul al-Tafsir menganggap uraianitu sebagai sumber tafsir Al-Qur’an. Sumber ini terdiri atas tiga macam, yaitu (1) sumber normatif, (2) sumber empiris, dan (3) sumber metodologis. Setiap satu dari sumber itu mempunyai pasal-pasal, dan setiap satu pasal memiliki bagian, a,b,c, dan d.

Pasal l. Sumber normatif terdiri atas tiga bagian, yaitu (1a) Al-Qur’an, (1b) al-Hadits, dan (1c) Informasi dari sahabat Nabi. Pasal 2. Sumber empiris terdiri atas tiga bagian juga, yaitu (2a) Sumber kerasulan Nabi Muhammad secara makro (hudan), (2b) Sumber kenyataan ayat al-Qur’an yang turun di Makkah dan sebagian lagi turun di Madinah, (2c) Sumber kenyataan adanya cicilan satu persatu ayat al-Qur’an, baik turun di Makkah atau di Madinah. Pasal ke 3. Sumber metodologis terdiri atas empat macam, yaitu (3a) metoda naqli, (3b) metoda aqli, (3c) metoda isyari, (3d) metoda gabungan.

(1a)Al-Qur’an sebagai sumber tafsir. Ayat-ayat al-Qur’an ada yang redaksinya ringkas, dan ada yang redaksinya menguraikan. Seperti kisah Nabi Adam atau kisah Nabi Musa, yang muncul singkat dalam satu tempat, tetapi dalam tempat lain kisah-kisah itu, diuraikan dari segi lain. Dengan demikian, beberapa ayat-ayat itu datang dengan redaksi yang saling melengkapi. Dalam tempat lain, ada ayat al-Qur’an yang turun memakai sighat umum dan dalam tempat lain, ayat itu turun memakai shighat takhsis. Dari segi lain ada pula ayat-ayat al-Qur’an yang kelihatan bertentangan dalam menerangkan satu kasus. Misalnya, kisah penciptaan Adam itu berbeda-beda, ada ayat yang menyebutkan dari turab, dari thin, dari hama masnun, dan dari shalshal. Padahal kata-kata itu satu sama lain memiliki makna yang berbeda. Dengan tiga contoh tadi berarti tafsir ayat al-Qur’an memerlukan penafsiran dengan ayat al-Qur’an yang lain.

(1b)Al-Hadits sebagai sumber tafsir. Para sahabat Nabi selalu mendatangi Rasulullah Saw. untuk mencari penjelasan tentang isi al-Qur’an, terutama tentang masalah yang berkaitan dengan agama. Rasulullah sendiri banyak menjelaskan masalah hukum yang ada di dalam al-Qur’an, baik dengan bentuk perkataan, atau perbuatan dan atau dengan pengakuan (taqrir). Utsman ibn Affan dan Abdullah ibn Mas’ud jika mendengar al-Qur’an dari Rasulullah Saw. sepuluh ayat, maka mereka selalu mohon penjelasan lebih dahulu, baru mereka ajarkan kepada orang lain. Dari segi lain, Umar ibn al-Khattab berkata, bahwa: Ayat al-Qur’an yang turun akhir adalah ayat tentang riba. Tetapi Rasulullah Saw. sendiri wafat sebelum ayat itu dijelaskan maksudnya. Dengan demikian, penjelasan Rasulullah Saw. adalah sumber penafsiran bagi ayat-ayat al-Qur’an.

(1c) Informasi sahabat Nabi sebagai sumber tafsir. Sumber ini dijadikan bahan tafsir al-Qur’an, yang datang sesudah hadits Nabi. Demikian karena, (a) Para sahabat Nabi menyaksikan berbagai kasus ketika ayat itu turun. (b) Mereka memiliki bahasa Arab yang fasih, dan baligh. (c) Mereka mengetahui berbagai kebudayaan yang terjadi pada zaman sebelum Islam, dan mereka faham pula terhadap sejarah tokoh, suku, politik, dan interaksinya masing-masing. (d) Bagi mereka yang tidak memliki pengetahuan sejarah, mereka memiliki insting ke-Arab-an yang tinggi yang tumbuh dari pergaulan. Oleh karena itu, informasi dari sahabat Nabi dapat dijadikan sebagai sumber tafsir al-Qur’an.

(2a) Kasus Empirisyang makro sebagai sumber tafsir. Masalah iniberasal dari misi para rasul Allah yang dalam proses perumusannya berhubungan secara timbal balik dengan wahyu. Entitas sunnah para rasul telah terjadi dalam jangka waktu yang amat panjang, yaitu sejak dari Nabi Adam, Nabi Nuh dan nabi-nabi lainnya sampai pada zaman Nabi Isa, yang tersebar di berbagai kawasan. Ia merupakan sunnah kenabian (kerasulan) yang mencakup unsur struktur (perjuangan) dan unsur kultur (syari’at). Untuk memahami sumber tafsir itu, memerlukan pendekatan historis bagi kehidupan masa lalu (syara’ man qablana) dan pendekatan antropologis dan sosiologis terhadap sunnah nabi-nabi dan ijtihad untuk masa kini. Itulah penafsiran yang oleh Ushul al-Tafsir disebut siyaqiyah atau kontekstualisasi.

Dalam Surat al-Syura ayat 13 Allah menerapkan, syari’at agama samawi kepada umat Muhammad, itu adalah agama samawi yang dulu dipesankan kepada Nabi Nuh, dan dikem-bangkan oleh umatnya, yang dalam kisah disebut Shabiah[2].Dari Nabi Nuh, syari’at samawi diwasiatkan kepada Nabi Ibrahim. Nabi ini memiliki banyak putera, diantaranya dua orang yang diutus menjadi rasul Allah, yaitu Nabi Ishaq di Palestina dan Nabi Ismail di Makkah. Agama Ibrahim yang dikembangkan oleh Ishaq di Palestina, Allah pesankan kepada Nabi Musa dengan nama Agama Yahudi, dan Allah pesankan pula kepada Nabi Isa dengan nama Agama Nasrani. Sedangkan Agama Ibrahim yang dikembangkan oleh Nabi Ismail, Allah pesankan kepada Nabi Muhammad dengan nama Agama Islam. Sehubungan Agama Nuh, komunitas umatnya sudah punah, makaagama samawi yang ada sekarang hanya agama Ibrahim, yaitu Yahudi, Nasrani dan Islam. Pada zaman sahabat Nabi dan zaman berikutnya, Agama Nuh dan Ibrahim banyak dikutip oleh para mufasir untuk tafsir al-Qur’an. Mereka hanya mengambil teks tentang kisah yang oleh Ulum al-Qur’an disebut Israiliyat. Mereka belum mengambil konteks kebudayaan dan peradaban dari nabi-nabi dan pengikutnya, yang bisa dijadikan sebagai “buku besar”. Dengan demikian, mufasir dulu hanya mengambil buku kecil dari Agama Nuh dan Ibrahim, dan belum mengambil buku besarnya. Dengan kata lain, para mufasir waktu itu hanya mengambil teks normatif saja dan belum mengambil konteks yang ada pada teks itu.

(2b) Kasus Empiris yang messo sebagai sumber tafsir. Kasus ini berasal dari kehidupan umat, yang kisahnya dikaitkan dengan turunnya Al-Qur’an, yaitu gerakan keagamaan yang sudah ada di semenanjung Arabia, terutama di Makkah dan Madinah (Yatsrib). Gerakan itu sebagai kelanjutan Agama Ibrahim yang disebut AganaHanif, dan pengikutnya disebut Hunafa. Di Makkah gerakan ini dipopulerkan oleh Zaid ibn ‘Amr ibn Nufail,[3] Waraqah ibn Naufal,[4]Abdullah ibn Jahsy,[5] Ka’ab ibn Lu’ai ibn Ghalib,[6] dan Abdul muthallib.[7] Di Madinah, gerakan ini dipopulerkan oleh Rahib Abu Amir, dan banyak lagi tokoh yang anak cucunya bergabung bersama Rasulullah Saw. sebagai Sahabat Anshor. Selain tokoh-tokoh tadi, gerakan ini dipopulerkan pula oleh Umayyah ibn Abi al-Shalt,[8] Zuhair ibn Abu Salma,[9] dan banyak lagi tokoh-tokoh Hunafa, di luar Makkah dan Madinah.Mereka tidak mau menyembah patung, tidak mau makan riba, mengharamkan zina, tidak mau membunuh orang tanpa alasan, dan lain-lain. Mereka menjalankan puasa, khitan, melakukan ibadah haji dan umrah, percaya pada kebangkitan akhirat, dan lain sebagainya. Setelah itu, Allah menurunkan al-Qur’an kepada Nabi Muhammad Saw. Dengan demikian, sumber empiris yang messo ini, sebagai jembatan bagi turunnya satu persatu ayat al-Qur’an.

Al-Qur’an turun kepada Rasulullah secara bertahap selama hampir 23 tahun.13 tahun turun di Makkah, dan 9 tahun turun di Madinah. Secara empiris, ayat-ayat al-Qur’an yang turun di dua kawasan itu berbeda, dan keduanya mempunyai ciri-ciri yang bisa dipelajari. Ciri-ciri ayat yang turun di Makkah adalah 1. Dalam surat itu ada ayat sujud. 2. Terdapat kata-kata “kalla”. 3. Panggilan Yaa ayyuhannaas.4. Dalam surat itu, ada kisah para nabi dan umat masa lalu, kecuali Surat al-Baqarah dan Ali Imran. 5. Di awal surat itu ada huruf muqathta’ah kecuali Surat al-Baqarah dan Ali Imran, yang diawali dengan Alim Laam Miim. 6. Ayat dan suratnya pendek-pendek (ringkas), mengajak iman kepada Allah, hari kiamat, bicara tentang sorga dan neraka, mengajak berpegang pada akhlaq dan istiqamah dalam kebaikan, menentang orang-orang musyrik, dan banyak bersumpah. Sedangkan ciri-ciri surat yang turun di Madinah antara lain; 1. Semua suratnya ada izin berperang, 2. Surat itu berbicara tentang hukum, kewajiban, qanun kelembagaan, kemasyarakatan, dan kenegaraan. 3. Surat itu menyebut orang munafiq, kecuali Surat al-Ankabut. 4. Dalam surat itu ada ayat yang menentang ahli kitab. 5. Ciri-ciri ayatnya panjang, dan merinci argumentasi, dan menyajikan dalil tentang hakikat agama. Demikian sumber tafsir empiris yang dilihat dari segi teks. Sumber ini oleh Ushul al-Tafsir disebut buku kecil.[10]

Ketika al-Qur’an turun, penduduk Makkah yang mayoritas Suku Quraisy itu terbagi menjadi dua kelompok. Satu, masyarakat yang taat kepada agama Ibrahim, dan dua masyarakat yang oleh sejarah disebut jahiliyah. Masyarakat yang disebut akhir ini kehidupannya bebas, menindas dan merampok orang lain, bahkan terkadang terjadi perkelahian di antara mereka. Thaha Husein menilai bahwa masyarakat itu sebagai kehidupan yang keras dan kasar. Kegiatan mereka, baik kelompok pertama atau kelompok kedua adalah berdagang, ke luar kota sebagaimana dijelaskan oleh al-Qur’an Surat al-Quraisy ayat 2. Kebiasaan orang-orang Quraisy adalah bepergian pada musim dingin dan pada musim panas. Musim dingin, mereka berangkat ke Syam untuk berdagang, dan pada musim panas mereka berangkat ke Yaman untuk berdagang pula.

Berbeda dengan Madinah yang tidak ada dominasi suku, karena penduduknya terdiri atas suku-suku Aus, Khazraj, Bani Nazhir, Bani Quraizhah, dan beberapa suku lain yang lebih kecil. Meskipun begitu, pencaharian kehidupan mereka umumnya sama yaitu bercocok tanam (petani). Agama yang berkembang bervariasi, seperti Yahudi, Nasrani, Millah Ibrahim (al-Hanif), dan mereka mengenal komunitas lain seperti Majusi dan Zindiq. Semua kepercayaan tersebut memiliki wujud eksistensi di kota itu.

Makkah sebagai awal turunnya al-Qur’an dan Madinah sebagai locus kejayaan Islam, yang kemudian tertransformasi dalam tubuh penafsiran ayat-ayat al-Qur’an. Meski begitu, dua kota itu memiliki pola kehidupan, ritual-ritual, klaim, dan afiliasi yang satu sama lainnya berbeda. Di samping itu, slogan-slogan yang biasa mereka angkat, serta syair-syair orasi, dan hikmah aforisma yang mereka senandungkan, tidak sama. Dari segi keagamaan, Madinah lebih bervariasi, sedangkan dari segi syair dan orasi keilmuan (sastrawan), Makkah lebih menonjol. Dengan demikian, tafsir al-Qur’an yang akan diangkat dari buku kecil seperti tersebut di atas, dan digabungkan dengan buku besar[11] ini, memerlukan pendekatan keilmuan yang komprehensip. Keilmuan itu bisa mengambil bantuan geografis, linguistik, sastra, filosofis, serta pendekatan sejarah, antro-pologis, dan sosiologis. Dengan kata lain, buku besar ini perlu dipakai untuktafsir al-Qur’an.

(2c) Kasus Empiris mikro sebagai sumber tafsir. Dalam kitab Ulum al-Qur’an masalah Asbab al-nuzul selalu diuraikan dengan panjang lebar, karena memiliki posisi yang amat penting bagi tafsir al-Qur’an. Al-Wahidi (w. 427 H) mengatakan bahwa: Tidak mungkin para mufasir bisa mengetahui penafsiran ayat al-Qur’an, tanpa memperhatikan kisah dan penjelasan turunnya ayat itu. Karena masalah sudah jelas maka tidak banyak diuraikan lagi di sini. Perbedaan antara Ulum al-Qur’an dan Ushul al-Tafsir adalah pada tekanannya. Ulum al-Qur’an memanfaatkan nuzul al-Qur’an dari segi struktur sejarahnya, sedangkan Ushul al-Tafsir memanfaatkan asbab nuzul dari segi kultur empiriknya.

(3a) Sumber Metodologi Naqli. Cara kerja metoda ini adalah menafsirkan ayat-ayat al-Qur’an dengan ayat al-Qur’an lagi, atas petunjuk Rasulullah Saw. Atau menafsirkan ayat al-Qur’an dengan Sunnah Rasulullah Saw. atas petunjuk dari sahabat Nabi. Atau menafsirkan ayat al-Qur’an dengan memakai penjelasan sahabat Nabi, atas petunjuk dari para tabi’in. Kalau para mufasir itu menafsirkan ayat al-Qur’an dengan ayat al-Qur’an lagi atas kemauan sendiri, maka itu tidak bisa disebut tafsir naqli. Definisi ini agak berbeda dengan para mufasir IAIN pada umumnya. Alasannya sederhana, yaitu karena melihat catatan bahwa tafsir naqli selalu disajikan memakai sanad. Meskipun begitu, seandainya mufasir itu menafsirkan ayat al-Qur’an dengan ayat al-Qur’an lagi dengan menyajikan kerangka berfikir yang jelas, maka ada ulama yang menerima sebagai tafsir naqli, seperti kitab Adlwa al-Bayan Fi Idlah al-Qur’an Bi al-Qur’an karya al-Syinqithiy ( w. 1393 H). Kitab ini oleh al-Rumi dinilai tafsir naqli abad 14 Hijriyah.

(3b) Sumber Metodologi Aqli. Sumber ini adalah menafsirkan ayat-ayat al-Qur’an dengan memakai akal sebagai kerangka berfikirnya. Sumber ini pertama kali dilakukan oleh Mu’tazilah, antara lain Al-Jahizh (l59-263 H) dalam kitabnya, Al-Hayawan Jilid 5. Sumber ini semakin lama semakin banyak modelnya, sejak dari pendekatan tekstualistik, naturalistik sampai fenomenolgis, bahkan pendekatan emansipatoris.

(3c) Sumber Metodologi Isyari. Sumber ini adalah tafsir yang berusaha menjelas-kan makna ayat-ayat al-Qur’an dari sudut esoterik atau berdasarkan isyarat-isyarat yang tampak bagi seorang shufi dalam suluk-nya. Dengan kata lain, metoda ini adalah tafsiran ayat-ayat al-Qur’an, memakai perasaan shufistik, dan bukan dilakukan oleh perasaan setiap orang. Tafsir shufi terbagi menjadi dua, (1) Tafsir yang didasarkan pada teori pemahaman shufistik yang suatu saat ta’wilnya bertentang dengan makna lughawi. (2) Tafsir Isyari yang didasarkan pada amalan shufi. Biasanya, tafsir yang kedua ini bisa ditolerir oleh mufasir lughawi.

(3d) Sumber Metodologi Gabungan. Metoda ini mengabungkan cara penafsiran terhadap ayat-ayat al-Qur’an atas dasar pendekatan naqli dan aali seperti dilakukan oleh Al-Thabari dalam tafsirnya, Jami’ al-Bayan, atau menggabungakan metoda naqli dan dzauqi seperti dilakukan oleh Al-Alusi dalam tafsirnya, Ruh al-Ma’ani atau seperti Tafsir Fi Zhilal al-Qur’an karya Sayyid Quthub yang menggabungkan antara rasio dan perasaan (emosi). Metoda ini oleh Fahd al-Rumi disebut manhaj tadzawwuqi.

Bab IV

Istiqra

Bab ini akan mengolah tafsir al-Qur’an, dengan mengga-bungkan teks al-Qur’an, dengan sumber ulasannya. Tokoh-tokoh mufasir klasik membagi kelompok ayat-ayat al-Qur’an menjadi tujuh pembahasan. Pemikiran itu, tampaknya didorong oleh hadits Nabi Saw. yang mengatakan bahwa al-Qur’an diturunkan atas tujuh huruf (Riwayat al-Bukhari, Muslim dan lain-lain). Muhammad ibn Ahmad al-Kalabi dalam Kitab al-Tashil menulis bahwa isi al-Qur’an itu ada tujuh pokok pembahasan, yaitu Ketuhanan, Kenabian, Akhirat, Hukum, Janji, Ancaman, dan Kisah.

Berbeda dengan Fazlurrahman dalam bukunya Major Themes of the Quran yang diterjemahkan menjadi Tema Pokok Al-Qur’an membagi al-Qur’an menjadi sembilan pokok pembahasan. Kemudian, penulis makalah ini menambah tiga pokok pembahasan lagi, sehingga menjadi dua belas pokok pembahasan. Yaitu A. Ketuhanan (tauhid), B. Manusia sebagai individu, C. Manusia sebagai anggota masyarakat (komunitas umat) D. Alam semesta, E. Kenabian dan Wahyu, F. Eskatologi, G. Syetan dan kejahatan, H. Lahirnya Masyarat Madani (Gerakan setelah Rasulullah Saw. hijrah), I. Ahli Kitab dan Keragaman Agama, J. Etika dan Pranata Sosial, K. Edukasi dan Penyebaran Agama, L. Tasliyah bagi Rasulullah Saw. dan bagi umatnya.

Berdasarkan kompleksitas ayat-ayat al-Qur’an yang diberi tanda A,B,C, sampai L itu, jika disilangkan dengan sumber-sumber penafsiran di atas, maka akan terjadi wilayah penafsiran menjadi 120 model, seperti kolom di bawah ini:

Kompleksitas

Ayat

Bentuk-bentuk Penafsiran

1a

1b

1c

2a

2b

2b

2c

3a

3c

3d

A

A1a

A1b

A1c

A2a

A2b

A2c

A3a

A3b

A3c

A3d

B

B1a

B1b

B1c

B2a

B2b

B2c

B3a

B3b

B3c

B3d

C

C1a

C1b

C1c

C2a

C2b

C2c

C3a

C3b

C3c

C3d

D

D1a

D1b

D1c

D2a

D2b

D2c

D2a

D3b

D3c

D3d

E

E1a

E1b

E1c

E2a

E2b

E2c

E3a

E3b

E3c

E3d

F

F1a

F1b

F1c

F2a

F2b

F2c

F3a

F3b

F3c

F3d

G

G1a

G1b

G1c

G2a

G2b

G2c

G3a

G3b

G3c

G3d

H

H1a

H1b

H1c

H2a

H2b

H2c

H3a

H3b

H3c

H3d

I

I1a

I1b

I1c

I2a

I2b

I2c

I3a

I3b

I3c

I3d

J

J1a

J1b

J1c

J2a

J2b

J2c

J3a

J3b

J3c

J3d

K

K1a

K1b

K1c

K2a

K2b

K2c

K3a

K3b

K3c

K3d

L

L1a

L1b

L1c

L2a

L2b

L2c

L3a

L3b

L3c

L3d

Jika salah satu dari model penafsiran itu dilaksanakan, maka mufasir memerlukan empat langkah. Langkah pertama, dia memilih dulu salah satu dari kompleksitas ayat-ayat al-Qur’an yang akan ditafsirkan, dan apa masalahnya. Langkah kedua, adalah bagaimana cara dia mendekati sasaran penafsiran. Pernyataan itu berkaitan dengan unsur informasi atau unsur teori yang dalam kerja ilmiah disebut pendekatan. Langkah ketiga, dia menerapkan metoda yang sudah diprogramkan. Di sini dia memilih dan menentukan sumber penafsiran, cara menentukan pekerjaan awal sampai hipotesa, cara pengumpulan data yang dikelola dan sekaligus melaksanakan analisa. Langkah ketiga ini mengiringi jawaban dia pada langkah pertama dan kedua. Langkah keempat dia menguraikan tujuan dan kegunaan tafsir, antara lain, ia mengungkapkan isi teks al-Qur’an agar sejalan dengan maksud yang dikehendaki Allah, sesuai kemampuan manuisawi.

Secara garis besar, tafsir al-Qur’an itu terdiri atas dua hal, yaitu studi teks dan studi konteks. Konsep ini berbeda dengan konsep Amin al-Khulli yang mengatakan bahwa tafsir al-Qur’an mempunyai dua sasaran, yaitu mempelajari maa fi al-Qur’an dan maa haul al-Qur’an. Tetapi gagasan tokoh ini tidak akan dijelaskan di sini.

Wujud teks, adalah semua ayat-ayat al-Qur’an yang termaktub dalam mushhaf utsmaniy dengan sepuluh macam qiraatnya. Wujud yang posisinya ditempatkan di sini disebut buku kecil. Posisi ini oleh Ilmu Manthiq disebut muqaddimah shughra. Sedangkan wujud konteks merupakan bagian dari entitas kehidupan manusia yang bersifat dinamis dan beragam. Oleh karena itu, konteks bisa disebut sebagai buku besar. Posisi ini, oleh Ilmu Mantiq disebut muqaddimah kubra.[12] Kedua wujud itu (teks dan konteks) merupakan suatu kontinum (bukan dikotomis) yang dihubungkan oleh suatu proses yng bersifat dinamis. Proses semacam itu, oleh Ilmu Mathiq disebut istid-lal, oleh Ushul Fiqh disebut istinbath dan oleh Ushul al-Tafsir disebutistiqra (dikutip dari kata iqra).

Setelah itu, penafsiran ayat-ayat al-Qur’an yang dikelola memakai kerangka di atas, bisa dilihat menurut berbagai sudut pandang. Untuk memudahkan analisa, penafsiran itu dapat dipilah secara dikotomis menjadi dua, yaitu penafsiran normatif dan penafsiran empiris. Penafsiran normatif biasanya pemikiran mufasir dijiwai oleh interpretasinya terhadap hadits Nabi “Al-Islam ya’luu walaa yu’laa alaih” (Islam itu tinggi dan tidak di lindih) oleh yang lain. Ilmu tafsir adalah ilmu Islam yang tinggi, karena dihubungkan langsung dengan teks al-Qur’an. Maka ilmu ini harus dijunjung tinggi, dan tidak boleh dikalahkan oleh berbagai pemikiran.[13] Penafsiran model ini dilakukan oleh para muballigh atau guru yang berusaha untuk memperoleh kebenaran agama. Sedangkan penafsiran empiris, tidak menggunakan perspektif studi Islam secara langsung, tetapi difokuskan pada aspek-aspek Islam dalam kebudayaan dan masyarakat muslim, menurut sudut pandang sejarah dan sastra, atau sudut pandang antropologi dan sosiologi. Mufasir model ini yakin bahwa tafsir al-Qur’an itu sebuah ilmu dan bukan doktrin agama. Oleh karena itu, pengelolaannya bisa menggunakan alat keilmuan yang dunuawi. Penafsiran semacam itu dalam pemikiran Hasan Hanafi, disebut Islam kiri (Al-Yasar Al-Islamiy).

Ketika tafsir al-Qur’an menggunakan pendekatan yang didasarkan pada disiplin ilmu, maka terhadap masing-masing model penafsiran, digunakan pendekatan yang dipandang paling tepat. Setiap model digunakan satu pendekatan utama yang diprioritaskan, kemudian ditunjang oleh pendekatan lain. Dengan demikian, ada model tafsir yang menggunakan pende-katan tunggal, dan ada pula yang menggunakan pendekatan gabungan. Secara keseluruhan, pendekatan itu mencakup pendekatan teologis, filosofis, yuridis, dan logis, terutama terhadap fokus teks, dan pendekatan historis, antropologis, dan sosiologis terhadap fokus konteks.[14] Ketujuh pendekatan itu merupakan tipe ideal yang dalam pelaksanaan tafsirnya, terjadi percampurbauran, dan tergantung pada pilihan mufasir sendiri yang mengaplikasikan model pengelolaan yang disusun dan dirumuskan.

Selanjutnya, paradigma Ushul al-Tafsir adalah humanis dengan pendekatan subjektif. Tujuannya adalah menciptakan pola penafsiran ayat-ayat al-Qur’an yang teratur, terkontrol dan harmoni. Paradigma ini lebih mendekati paradigma Ushul Fiqh, dan tidak memakai pendekatan Ilmu Manthiq. Di atas telah banyak disebut-sebut Ilmu Manthiq tetapi hakikatnya Ushul al-Tafsir sangat berbeda dengan Ilmu Manthiq tadi, terutama dalam mengahadapi realitas sosial. Ketika menghadapi hakikat manusia Ilmu Manthiq memakai pendekatan determinisme sedangkan Usul al-Tafsir memakai pendekatan voluntarisme. Secara ontologis, Ilmu Manthiq memakai pendekatan realisme, sedangkan Ushul al-Tafsir memakai pendekatan nominalisme. Secara epistemologis, Ilmu Manthiq memakai pendekatan positivisme, sedangkan Ushul al-Tafsir memakai pendekatan anti-positivisme. Secara metodologis, Ilmu Manthiq memakai pende-katan nomotetis, sedangkan Ilmu Ushul al-Tafsir memakai pendekatan idegrafis.

Dengan demikian, seorang penulis yang mengatakan bahwa IlmuUshul-Fiqhitu mengikuti kerangka berfikir Ilmu Manthiq maka termasuk pemikiran yang tidak lurus.. Begitu pula, penulis yakin bahwa Ilmu Ushul al-Tafsir tidak akan sama dengan kerangka berfikirIlmu Manthiq, seperti gambaran di bawah ini.







[1] Penulis adalah Guru Besar Ilmu Tafsir dan Ketua Konsentrasi Studi Al-Qur’an, Pascasarjana UIN Sunan Gunung Djati Bandung.

[2] Agama ini masih ada pada zaman Rasulullah sampai awal Abbasiyah di Baghdad, dan komunitasnya mulai habis pada masa kemajuan Abbasiyah sebelum Saljuk, dan pada masa Daulat Fathimiyah.

[3] Paman Umar ibn al-Khattah, atau saudara kandung ayah Umar.

[4] Sepupu Sayyidah Khadijah, istri Rasulullah Saw. Tokoh ini orang yang pertama kali dihubungi oleh Sayyidah Khadijah, ketika Rasulullah Saw. baru menerima wahyu di Gua Hira.

[5] Keponakan Hamzah ibn Abdulmuthallib. Tokoh ini gugur di Perang Uhud, dan dimakamkan di dekat Jabal Uhud di Madinah. Di sana ada tiga kuburan, yaitu Hamzah, Abdullah, dan Mush’ab ibn Umair.

[6] Buyut Rasulullah Saw.

[7] Kakek Rasulullah, dan ayah Sayyid Hamzah r.a..

[8] Tokoh ini penyair besar dan bangsawan terkemuka di Thaif, yang syair-syairnya digantungkan di Ka’bah bersama penyair lain, yangdisebut Al-Mu’allaqat. Penyair waktu itu seperti intelektual masa sekarang. .

[9] Tokoh ini penyair besar dari Najd, dan popularitasnya sama seperti Umayyah, Antarah, Imri al-Qais dll.

[10] Sebutan buku kecil ini hanya untuk memudahkan analisa. Ilmu Manthiq mengelola model ini dengan sebutan muqaddimah shughra.

[11] Buku besar adalah kebudayaan dan peradaban entitas umat yang amat luas di Makkah dan Madinah. Ilmu Manthiq mengelola model ini dengan sebutan muqaddimah kubra.

[12] Sekali lagi Ilmu Manthiq disebutkan di sini, bukan akan dikutip materi atau dijiplak metodanya, tetapi hanya dipakai untuk memudahkan analisa.

[13] Barangsiapa yang membicarakan al-Qur’an dengan pendapatnya, maka siaplah tempat duduknya dalam neraka.(Riwayat al-Tirmizi dari Shb. Jundab). Hadits ini banyak


WAJAH Allah Azza Wa Jalla adalah aspek dzahir dari Dia, yang dari sisi wajah-Nya ini memancar cahaya keindahan-Nya. Sebagaimana makna cahaya adalah sesuatu yang membuat dzahirnya segala sesuatu dengannya, maka An-Nuur secara mutlak merupakan isim (nama) dari asma-asma Allah Ta’ala yang mengibaratkan sesuatu yang sangat dzahir serta dzahir-nya segala sesuatu disebabkan keberadaannya. Wajah Allah merupakan hijab rahmat bagi semesta alam yang tanpa itu 18.000 alam akan musnah ditelan Wujud-Nya.

“Sesungguhnya Allah menciptakan makhluk dalam kegelapan, kemudian dia limpahkan atas mereka secercah cahaya-Nya.” (Hadits Nabi)

Semesta alam-alam yang Dia ciptakan dalam kegelapan, tanpa cahaya Ar-Rahmaan tak akan mampu menyadari keberadaan penciptanya, bahkan dirinya sendiri. Tiupan rahmat dan pemeliharaan-Nya kemudian yang memekarkan setiap titik ciptaan dari status awalnya yang tanpa nama sehingga terpakaikan kepadanya pakaian wujud. Setiap wujud yang ditampakan oleh cahaya-Nya merupakan pernyataan dari himpunan asma-asma Allah, bahkan asma-asma Allah itu sendiri yang tetap tegak oleh tajali ilahiyyah yang terus menerus.

Diantara himpunan asma-asma Nya yang tak terhitung terdapat asma teragung-Nya, Ismul Adzham, merupakan cahaya Allah paling terang diantara limpahan cahaya-cahaya yang menunjuk kepada-Nya. Cahaya Allah teragung ini merupakan cahaya sumber tempat cahaya-cahaya mengambil cahayanya.

25 : 35

Allah cahaya petala langit dan bumi. Perumpamaan cahaya-Nya bagaikan sebuah misykat yang didalamnya terdapat pelita terang. Pelita tersebut didalam kaca, kaca itu seakan-akan kaukab yang berkilau dinyalakan (minyak) dari pohon yang banyak berkahnya; pohon zaitun yang tumbuh tidak disebelah timur dan tidak pula disebelah barat, yang minyaknya saja hampir-hampir menerangi walau tanpa disentuh api. Cahaya diatas cahaya. Allah membimbing kepada cahaya-Nya siapa-siapa yang Dia kehendaki dan Allah membuat perumpamaan bagi manusia, dan Allah Maha Mengetahui segala sesuatu.” (Q.S. An Nuur:35)

Dengan mempergunakan cahaya-Nya, Rabbul ‘Alamin mendzahirkan tujuh petala langit dan bumi. Tanpa cahaya-Nya seluruh ciptaan akan berada dalam kegelapan. Kehadiran cahaya Allah merupakan syarat utama atau sebab awal bagi tegaknya kaun (semesta) langit dan bumi.

Apa yang Allah Ta’ala ungkapkan dalam An-Nuur : 35 adalah tentang insan Ilahi, tentang manusia yang menyandang gelar cahaya Allah yang tanpa kehadiran cahaya Allah ini di alam syahadah maka seluruh jagat raya lenyap; insan cahaya ini merupakan segel yang menjaga petala langit dan bumi dari keruntuhannya, juga yang menyematkan kepada-Nya asma Al Hafidzh (Sang Penjaga).

Allah membimbing kepada cahaya-Nya siapa-siapa yang Dia kehendaki”, bagian ayat Allah ini menunjukan bahwa tidak semua manusia, bahkan sebagian besar manusia, tidak berperan sebagaimana yang semestinya, sebagai cahaya Allah.

Cahaya Allah atau insan Ilahi ini diibaratkan dengan misykat, fash, atau ceruk, lubang tak tembus yang didalamnya tedapat pelita terang. Misykat melambangkan kegelapan jasad insan, merupakan tempat bertemunya dua lautan, lautan yang mengalir dari mata air ubudiyyah hamba dan lautan yang bersumber dari ketinggian Uluhiyyah-Nya. Aspek ubudiyyah insan keluar dari sisi jasad dan jiwa insan (nafs), sedangkan apa yang datang dari aspek Uluhiyyah adalah Amr-Nya Ruh Al-Quds, yang dilambangkan dengan pelita atau api yang terang nyalanya.

Jasad insan merupakan wujud yang dibangun dari aspek al-ardh (kebumian); sedangkan nafs insan yang karena kejernihan wujudnya bagaikan kaca, dilabel oleh kata as-samaa’i (langit). Jadi as-samaa’i dun-ya dan al-ardh melambangkan pasangan jiwa dan raga insan yang pada jenjang tertentu keduanya telah berperan sebagai cahaya Allah Ta’ala, saksi Allah sejati. Dalam persoalan mengabdi kepada Al-Khaliq (sang pencipta), nafs insan merupakan imam bagi jasad dimana pasangan ini akan bertindak sebagai pelaku utama dalam persoalan pengungkapan khazanah Ilahi.

“Aku adalah harta tersembunyi (kanzun makhfiy), Aku rindu untuk dikenal, karena itu aku ciptakan makhluk agar aku diketahui.” (Hadits Qudsi)

Sedangkan tiupan atau nafas ruh (jamak: arwah) ke dalam diri insan merupakan ujung dari nafas panjang Rububiyyah, yang dilambangkan dengan cahaya jernih yang mengisi ruang-ruang petala langit, as-samawaati. Jadi nafs insan merupakan langit pertama, langit terdekat ke sisi jasad, dari tujuh langit malakut yang berlabuh didalam jasad insan.

Jasad atau jism insan merupakan rumah atau wadah bagi nafs insan, dan qalb dari nafs yang telah diterangi cahaya taqwa merupakan rumah bagi Ar-Ruh yang datang dari sisi-Nya.

Kehadiran Ruh Al-Quds ke dalam nafs insan dan menetapnya Ar-Ruh ini di dalam qalb merupakan satu persoalan yang mengakibatkan manusia tersebut digelari Rumah Cahaya Allah, baitullah, atau ahlul bait.

“Tidak memuat-Ku bagi-Ku petala langit dan bumi-Ku, yang memuat-Ku hanyalah qalb hamba-hamba-Ku yang mu’min.” (Hadits Qudsi)

Zujajah atau bola kaca yang jernih melambangkan kejernihan qalb di dalam nafs yang kudus. Terangnya qalb merupakan syarat utama agar api Ruh menetap di qalb, merupakan cahaya yang memancar dari dalam nafs yang diberkati Allah Ta’ala; tidak ada tempat bagi cahaya kecuali cahaya. Zujajah yang terang ini bagaikan sebuah bola langit malam yang gemerlap oleh taburan benda-benda langit, bagaikan sebuah mutiara yang berkilau diterpa cahaya yang meneranginya.

Kaukab adalah benda langit yang menyala tetap dan hanya bercahaya jika ada cahaya yang menerpanya, sehingga bola langit yang dibangun oleh taburan kawaakib (jamak dari kaukab) yang bersinar cemerlang menghiasai ruang langit pertama, mengibaratkan qalb yang bersinar menerangi nafs mukmin.

Bersinarnya kaukab kalbu ini karena adanya minyak yang menyalakannya, minyak yang bercahaya walau tanpa disentuh api, minyak yang keluar dari pohon yang banyak berkahnya. Pohon yang tidak tumbuh disebelah barat, tidak pula disebelah timur; tidak tumbuh di barat, di tempat tenggelamnya matahari Al-Haqq, tidak pula di timur, di tempat terbitnya matahari Al-Haqq; di baratnya ada jasad insan dan di timurnya ada Ruh Allah . Pohon ini tumbuh tidak diufuk diri, tetapi tumbuh ditengah-tengah antara aspek jasad dan aspek ruh, yaitu di nafs insan.

Allah Ta’ala menanam benih pohon ini pada suatu lahan dipermukaan bumi diri yang telah dirahmati dengan kesucian iman dan kesuburan, pada batas persentuhan antara urusan bumi jasad dan langit jiwa. Dengan memohon taufiq dan rahmat-Nya, benih ini merupakan suatu persoalan yang harus ditumbuhkan di dalam diri setiap insan utama. Pohon ini ditumbuhkan dengan iman, amal shalih dan akhlaq mulia yang membuat ridha dan senang Sang Penanamnya, sehingga Dia memberkati pohon yang sedang tumbuh ini dengan perawatan dan perlindungan yang baik agar tumbuh kuat dan berbuah banyak.

Allah Ta’ala menamai pohon yang menjadi pemberi nyala kaukab qalb ini, yang tumbuh menjulang dari bumi diri dan cabang-cabangnya merentang dan berbuah di langit jiwa, sebagai al-kalimah, kalimah Allah, atau kalimah yang datang dari sisi-Nya.

14 : 24

14 : 25

“Tidakkah kamu melihat bagaimana Allah telah membuat perumpamaan bagi kalimah yang baik adalah bagaikan sebuah pohon yang baik, akarnya kokoh dan cabang-cabangnya (merentang) di langit. Pohon itu berbuah pada setiap musim dengan seizin Rabb-Nya. Dan Allah membuat perumpamaan bagi manusia agar mereka selalu ingat.”(Q.S. Ibrahim : 24-25)

Akar pohon ini melambangkan aspek-aspek keimanan yang diteguhkan oleh Nur Iman, akarnya kokoh menghujam bumi diri dan bumi jagat secara mutasyabih. Batang pohon melambangkan ketaqwaan yang tumbuh diatas landasan akar keimanan yang kokoh; seperti yang Rasulullah SAW ungkapkan bahwa buah-buah keihsanan yang dihasilkan dari pohon taqwa ini, dari kalimah at-taqwa, adalah al-hasanah. Sari yang dihasilkan al-hasanah berupa minyak yang berkilau terang menampakkan wajah pengetahuan tersembunyi, pengetahuan tentang haqiqah kehidupan, pengetahuan tentang rahasia Al-Haqq.

“Iman itu telanjang, pakaiannya taqwa, buahnya ilmu dan hiasannya malu.” (Al-Hadits)

2 : 282

“Bertaqwalah kepada Allah, maka Allah akan mengajarimu. Dan Allah Maha Mengetahui segala sesuatu.” (Q.S. Al-Baqarah : 282)

Tidak ada yang datang kepada cahaya kecuali cahaya, maka kaukab qalb yang ternyalakan indah oleh minyak zaitun merupakan arsy (singgasana) bagi api Al-Aziz, utusan-Nya; Arsy Allah ini berdiri diatas kursiy-Nya berupa kekuasaan atas dua kerajaan, yaitu kerajaan petala langit nafsiyyah dan bumi jism, malakut dan mulk. Ranting-ranting kaya minyak yang menghijau khidr diketinggian langit jiwa merupakan gambaran suburnya ketaqwaan, sebagai buah dari pengabdian dan penyerahan diri yang dalam kepada Al-Malikul Qudduus, akan segera terkuduskan oleh medan cahaya api suci-Nya yang penuh berkah, api Ruh Al-Quds.

35 : 80

“Yang menjadikan bagimu api dari pohon yang hijau, maka tiba-tiba kamu nyalakan dari pohon itu (api).” (Q.S. Yaasiin : 80)

27 : 8

“Bahwa ketika dia tiba di api itu, diserulah dia, ‘Diberkati orang-orang yang berada di dalam api dan orang-orang yang berada disekitarnya. Dan Subhanallah, Rabbul ‘Alamin.’”(Q.S. An-Naml : 8 )

Qalb yang suci bagaikan bola lampu kristal yang jernih dan tampak titik apinya, tempat bertemunya minyak dan api, dari luarnya diterangi oleh cahaya iman sedangkan di dalamnya diterangi cahaya ruh suci; sehingga terberkatilah dua rumah: rumah jiwa dan rumah jasad oleh cahaya-cahaya tersebut.

Lampu jiwa ini merupakan cahaya pemandu dan sumber kekuatan (sulthan) bagi nafs sebagai hakikat sejati insan, fokus utama pendidikan Ilahi tujuan alam semesta dihamparkan, agar mi’raj menembus tujuh lapis langit ruhani, untuk ma’rifatullah. Maka yang disebut insan Ilahi, cahaya Allah, adalah insan yang api jiwanya telah dinyalakan Allah Ta’ala, telah diperkuat oleh cahaya ilmu dan cahaya ma’rifat. Insan seperti ini memiliki struktur seperti yang digambarkan didalam surat An-Nuur ayat 35, cahaya diatas cahaya, nuurun alan-nuur.

misykat struktur insan

Misykat, zujajah dan pohon zaitun adalah persoalan yang datang dari aspek ubudiyyah, merupakan pasangan bagi api al-misbah yaitu urusan yang datang dari aspek Uluhiyyah-Nya; persoalan yang diidentifikasi oleh hakikat pasangan perempuan dan laki-laki.

Lubang pada misykat yang mengarah kesatu arah, adalah pintu-pintu indra di jasad insan yang terbuka ke alam syahadah. Jika kaukab qalb menyala maka indera-indera jasad akan memperoleh kekuatan tambahan, kekuatan ruhaniah, sehingga cahaya yang terbit pada pintu-pintu indera tidak hanya menampakkan alam syahadah tetapi juga alam malakut yang menyertainya, yaitu hakikat kaun, hakikat ayat-ayat Allah yaitu wajah Al-Haqq.

Apa yang menyala di lubang-lubang misykat jasad adalah cahaya yang memperoleh saluran yang berbeda-beda ke alam syahadah, cahaya itu yang melihat, cahaya itu yang mendengar, cahaya itu yang merasa.

Pohon Zaytun

Terdapat kesimetrian persoalan pada apa-apa yang diliputi oleh misykat jasad dengan apa-apa yang diliputi oleh misykat jagat. Didalam misykat jasad insan berlabuh tujuh langit malakut sedangkan diatas jasad insan membentang tujuh langit kaun yang tegak berdiri tanpa tiang.

Batas terluar dari langit-langit jagat raya adalah misykat jagat. Setiap lapisan langit jagat tetap tegak terpelihara selama segel-segel yang bersesuaian hadir di alam semesta: seorang dengan maqam langit ke empat adalah segel bagi urusan-urusan di langit empat jagat. Sedangkan misykat jagat adalah kegelapan kaun, merupakan wadah jagat raya, batas luar dari satu urusan Rububiyyah-Nya.

Ruh yang memberi kehidupan pada jagat raya adalah cahaya yang menampakkan jagat raya, sehingga bertasbih mengikuti kehendak-Nya, adalah Nur Muhammadiyyah yang memancar dari qalb alam semesta. Jantungnya kehidupan semesta adalah Muhammad Shalallahu Alaihi Wassalam yang tanpanya alam semesta tempat para Nabi dan Rabbani, sebagai kaukab-kaukab cahaya yang mengelilinginya, mengambil cahaya dan kekuatan ruhaninya. Maka seorang dengan maqam langit tujuh ini merupakan sebab awal sehingga tujuh petala langit jagat dipelihara oleh Rabb alam semesta.

Dibentuknya misykat jagat dan misykat diri tak lain agar dian (lentera) jagat dan dian-dian insan dinyalakan sehingga cahaya-cahaya keluar dari setiap lubang misykat menyala ke satu arah yaitu Wajah-Nya, menyala untuk kepentingan-Nya, dan kebahagiaan insan sejati terletak pada terhubungnya cahaya dengan cahaya-cahaya Kemuliaan-Nya.

Dari setiap langit kaun dikeluarkan masing-masing 1000 alam beserta urusan-urusan dan ahli-ahlinya yang ditata didalamnya; dari setiap langit jiwa keluar 1000 peringkat kejiwaan, urusan-urusan dan ahli-ahlinya, dan dari setiap unsur kebumian (tanah, air, api, udara) juga keluar 1000 alam beserta urusan-urusan dan ahli-ahlinya sehingga alam semesta dalam satu urusan Rububiyyah berjumlah 18.000 alam.

fraktal langit jasad

Perpaduan jasad dan nafs kudus insan ibaratnya perpaduan antara rasa dan kaca yang jernih, membentuk sebuah cermin yang sempurna, suatu kesempurnaan perwujudan insan yang tidak dimiliki baik oleh wujud hewan yang kusam maupun wujud malaikat yang jernih.

Cermin yang memantulkan wajah Al-Haqq secara sempurna adalah cermin insan kamil (manusia yang sempurna), cermin yang rasah (lapisan dasar kaca cermin yang memantulkan bayangan) jasad maupun kaca jiwanya telah digosok dan dikilapkan oleh syariat Allah, insan yang telah ditata dirinya dengan syari’at dzahir dan syari’at bathin.

Tazkiyatun nafs (penyucian jiwa) membuka jalan bagi tajalli Ilahiyyah dimana Keindahan dan Kekuasaan-Nya akan membayang di cermin diri. Harta terpendam-Nya berupa pengetahuan Al-Haqq dan cahaya ma’rifah yang berlabuh di qalb jiwa yang taqwa, merembes ke jasad insan dan keluar dari lubang-lubang misykat, bagaikan curahan air yang keluar dari sejumlah mata air pengetahuan.

Kaun, alam semesta, selain sebagai cermin bagi insan kamil untuk melihat kekhususan dan keistimewaan dirinya ditengah-tengah kaun, juga sebagai buku pengetahuan yang harus diuraikan; dan Insan Kamil (manusia yang sempurna) selain berperan sebagai cermin sempurna bagi Dia untuk melihat Kesempurnaan-Nya, juga bagi-Nya sebagai hadrah (hadirat) tempat menguraikan dan mengeluarkan khazanah-khazanah terpendam-Nya agar menjadi rahmat bagi semua alam. Kaun adalah ayat-ayat yang membayang di dalamnya pengetahuan Ilahiyyah secara mutasyabihan, merupakan suatu beda potensial yang memancing air pengetahuan keluar dari sumber-sumbernya.

Manusia Ilahi dipercaya sebagai wakil Allah di alam semesta, selain sebagai segel alam semesta juga sebagai pintu bagi alam semesta untuk melihat Sang Pencipta, mengenal-Nya; kehadiran Keindahan dan Kekuasaan Ilahi yang membayang dalam diri insan Ilahi merupakan jembatan rahmat (penolong) bagi alam semesta untuk berjalan mengenal-Nya, insan Ilahi adalah tangan Kepemurahan-Nya (surratur-Rahmaan) yang membawa seluruh alam semesta menjadi peningkat derajatnya. Inilah amanah yang diembankan kepada insan Ilahi yang dipercaya sebagai ruh dan cahaya kehidupan bagi seluruh alam semesta, semuanya adalah cermin yang saling berhadap-hadapan, seimbang tanpa cacat.

33 : 72

“Sesungguhnya Kami telah menawarkan amanah kepada petala langit, bumi dan gunung-gunung, maka semuanya enggan untuk memikulnya dan mereka takut akan (amanah) ini, dan dipikullah amanah itu oleh manusia. Sedang keadaan manusia itu amat zalim dan amat bodoh”(Q.S. Al-Ahzab: 72)

Misykat jasad yang di dalamnya dinyalakan cahaya-cahaya qudrah-Nya adalah mereka yang telah menjadi baytullah, tempat yang terpercaya untuk dikumandangkan pengetahuan-pengetahuan tertinggi dan asma-asma -Nya.

24 : 36

24 : 37

“Di rumah-rumah yang diizinkan Allah untuk ditinggikan dan disebut didalamnya asma-Nya, bertasbih kepada-Nya didalamnya diwaktu pagi dan petang. Laki-laki yang tidak dilalaikan oleh perniagaan dan jual beli dari mengingat Allah dan mendirikan shalat dan membayar zakat. Mereka takut kepada suatu hari yang qalb dan penglihatan mereka menjadi guncang.” (Q.S. An-Nuur : 36-37)

Manusia yang tidak menyala qalb-nya oleh Nur Iman, tidak akan bisa menyalakan zujajah kalbunya sehingga tidak pernah tersedia di dalamnya singgasana cahaya bagi api-Nya, tidak akan pernah menjadi khalifah walau bagi dirinya sendiri. Maka insan seperti ini bagaikan rumah dengan lorong-lorong yang gelap gulita karena kusam tubuhnya dan padam lampunya, tidak diisi melainkan oleh tipuan ilusi, hawa nafsunya dan jejak syaithan; tidak ada seorang pun yang mampu menghidupkan rumah seperti ini kecuali Allah Azza wa Jalla, tempat tumpuan harapan seluruh alam.

24 : 40

“Seperti gelap gulita di lautan yang dalam yang diliputi oleh ombak yang di atasnya ombak, di atasnya awan. Gelap gulita yang bertindih-tindih, apabila dia mengeluarkan tangannya hampir-hampir tidak melihatnya. Dan barangsiapa tidak diberi cahaya oleh Allah, tiadalah dia memiliki cahaya sedikitpun.”(Q.S. An-Nuur : 40)

[]

P.S: tentang ‘Wajah-Nya’, ada baiknya anda juga membaca artikel ini (redaksi).


(Dari Jurnal Ruh Al-Quds; Volume 1 tahun 1; 2001: PICTS)

**Catatan: artikel ini adalah repost, dimuat dari posting 7 Mei 2005, untuk teman-teman pengajian yang kemarin membutuhkan artikel ini

Komentar

Postingan populer dari blog ini

kamus filsfat

skcism barat

celoteh dan filsafat barat